About

Puisi Si Anak Hilang



KEMAMPUAN SITOR MELEBUR
KE DALAM PUISI SI ANAK HILANG

Kepenyairan Sitor Situmorang sebagai penyair tiga zaman, tidak dapat dianggap selayang pandang saja dalam kancah kesusasteraan. Disebut penyair tiga zaman karena eksistensialisnya yang mempunya corak khas, terkemuka pada demokrasi terpimpin, dan setelah bebas dari delapan tahun dalam tahanan ia dapat mencuatkan karya-karya yang sesuai dengan perkembangan sastra pada masa itu.
Ia penyair yang bukan hanya handal memadukan kata-kata hingga menjadi bait-bait yang mempunyai citra liris dan dinamis serta mengemban makna. Tetapi ia juga menciptakan karya yang di dalamnya terdapat paradoksal antara bentuk dan isi/makna. Karya yang dimaksud dapat dilihat pada puisi Si Anak Hilang berikut:

SI ANAK HILANG

Pada terik tengah hari
Titik perahu timbul di danau
Ibu cemas ke pantai berlari
Menyambut anak lama ditunggu

Perahu titik menjadi nyata
Pandang berlinang air mata
Anak tiba dari rantau
Sebaik turun dipeluk ibu

Bapak duduk di pusat rumah
Seakan tak acuh menanti
Anak di sisi ibu gundah
—Laki-laki layak menahan hati—
Anak duduk disuruh bercerita
Ayam disembelih nasi dimasak
Seluruh desa bertanya-tanya
Sudah beristri sudah beranak?

Si anak hilang kini kembali
Tak seorang dikenalnya lagi
Berapa kali panen sudah
Apa saja telah terjadi?

Seluruh desa bertanya-tanya
Sudah beranak sudah berapa?
Si anak hilang berdiam saja
Ia lebih hendak bertanya

Selesai makan ketika senja
Ibu menghampir ingin disapa
Anak memandang ibu bertanya
Ingin tahu dingin Eropa

Anak diam mengenang lupa
Dingin Eropa musim kotanya
Ibu diam berhenti berkata
Tiada sesal hanya gembira
Malam tiba ibu tertidur
Bapa lama sudah mendengkkur
Di pantai pasir berdesir gelombang
Tahu si anak tiada pulang

Dari puisi Si Anak Hilang di atas kita akan mendapatkan satu surprise yang dapat dilihat pada akhir bait. Anak yang diceritakan dari awal telah pergi menghilang ternyata benar-benar hilang dan tak akan pernah kembali. Meskipun dilukiskan betapa meriah pesta yang diadakan ibunya atas kepulangan anak tersebut.
Namun, pesta yang diadakan ibunya hanya merupakan semacam impian, lamunan atau angan-angan saja. Tidak benar-benar terjadi. Kerinduan pun tetap seperti semula adanya, membenam tanpa harus bisa dilampiaskan dengan pertemuan.
Penulis juga menduga kalau sebenarnya puisi Si Anak Hilang ditulis oleh penyairnya, Sitor Situmorang berdasarkan pengalaman pribadinya. Sitor yang putra Indonesia itu ternyata telah menjadi anak dunia. Hidupnya yang sering malang melintang di dunia Eropa menjadikannya seakan-akan lupa untuk pulang ke tanah kelahirannya Indonesia, dan kampung halamannya yang bersuku Batak itu.
Oleh karena itulah Sitor juga dikenal dengan sebutan penyair tiga negeri. Selain dia mempunyai predikat penyair tiga bahasa dalam menuangkan karya-karyanya. Sebab ternyata Sitor suka sekali menulis puisi-puisi ke dalam bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan bahasa Belanda.
Kemahirannya berpuisi juga terlihat pada puisi Si Anak Hilang ini. Terbukti dengan keberhasilannya memadukan gaya cipta puisi yang tidak hanya puitis, tetapi pada akan kata, makna, dan lihai mengawinkan format puisi lama dengan puisi yang berbentuk lebih modern.
Maka jadilah puisi Si Anak Hilang sebagai puisi Indonesia modern yang mempunyai bentuk istimewa. Keistimewaan ini penulis sebut saja format paradoksal yang melahirkan ironi dalam puisi. Disebut ironi karena dalam puisi tersebut terdapat pertentangan antara bentuk dan isi, ungkapan yang digunakan dengan fungsinya serta menimbulkan efek pada ketragisan nasib.
Justru ironi dalam puisi itulah yang menambah pesona kepuitisan dilihat dari segi bentuk dan maknanya. Penyair memilih bentuk puisi yang sedikit menyerupai bentuk konvensi tradisional, pantun, dan dikombinasikan dengan bentuk puisi yang modern.
Dari puisi Si Anak Hilang di atas dapat dijumpai persajakan yang liris dan langsung saja menyaran pada makna yang dikandungnya secara efektif. Persajakan yang penulis maksudkan dapat diraikan sebagai berikut:
  1. Persajakan yang digunakan pada bait I  dan II
Pada bait I menggunakan tipe persajakkannya a-b-a-b dan bait II tipe sajaknya a-a-b-b. Kedua bait tersebut berisi tentang pertemuan antara anak dan ibunya.
  1. Persajakan yang digunakan pada bait III
Bait III menggunakan tipe persajakkannya a-b-a-b dan berisi tentang adanya konfrontasi yang terjadi antara anak dengan bapaknya yang terlihat tidak peduli dengan kedatangan anaknya. Konfrontasi ini juga membedakan sikap ibu dari bapak, ibu begitu peduli dan bersenang hati atas kedatangan anaknya.
  1. Persajakan yang digunakan pada bait IV dan VI
Pada bait IV menggunakan tipe persajakkan a-b-a-b dan bait VI tipe sajaknya a-a-a-a. Kedua bait tersebut berisi tentang keadaan pesta yang diadakan dan dihadiri oleh tetangga atau masyarakat sekitar. Di sinilah anak ini dihadapkan pada masyarakat yang dulu pernah ditinggalkannya.
  1. Persajakan yang digunakan pada bait V
Bait V menggunakan tipe persajakkan a-b-a-b dan berisi tentang reksi anak terhadap keadaan masyarakat yang sudah tidak bisa lagi ia ingat. Anak telah lupa tentang orang-orang yang ada di sekitarnya, dan bertanya macam-macam padanya.
  1. Persajakan yang digunakan pada bait VII dan VIII
Pada bait VII dan bait II sama-sama menggunakan tipe persajakan a-a-a-a. Kedua bait tersebut berisi tentang nihilisme komunikasi antara ibu dan anak.
  1. Persajakan yang digunakan pada bait IX
Bait IX menggunakan tipe persajakkan a-a-b-b dan berisi tentang kesimpulan bahwa ternyata semua hal tentang pertemuan dan jamuan pesta atas kedatangan anak tersebut hanya angan-angan, atau impian saja yang terjadi karena kerinduan ibu kepada anaknya yang sangat luar biasa.
Dari segi maknanya, puisi tersebut bisa saja dianggap mengemban makna yang cukup didaktis, mendidik atau menasihati. Bahwa apa yang disebut dengan hilang itu pasti sudah tidak bisa teraih, disarankan untuk tidak usah dirindukan datangnya lagi, dan orang yang kehilangan diharapkan bisa belajar rela pada sesuatu yang telah hilang.
Siapa saja yang dapat berbahasa Indonesia tidak akan menemui kesulitan untuk mengetahui sekaligus memahami isi atau makna puisi Si Anak Hilang tersebut. Hal ini disebabkan oleh penggunaan kata-kata dalam Bahasa Indonesia yang mudah dimengerti, sederhana, cukup singkat, dan mempunyai makna yang tidak hanya padat, tetapi juga memiliki kekuatan estetis. Apalagi kata-kata tersebut dirangkai dalam bait-bait yang merupakan format dari puisi bebas dan ada paradoksal atau pertentangan antara bentuk itu dengan maknanya. Meskipun kata-kata dalam rangkaian bait-bait puisi tersebut di-‘efektif-efisien’-kan.
Lain dari hal-hal yang dapat membangun konstruksi dan menambah keindahan puisi Si Anak Hilang, penulis kira tidak ada suatu unsur yang berlebihan yang dapat mengurangi nilai pesona puisi tersebut. Penulis menjadi dapat berkompromi dengan pendapat Herman J. Waluyo tentang salah satu definisi yang ditulisnya.
Bahwa puisi adalah salah satu bentuk kesusastraan yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengonsentrasikan semua kekuatan bahasa dan pengkonsentrasian struktur fisik dan struktur batinnya. Hal ini penulis kira sesuai dengan puisi Si Anak Hilang Sitor Situmorang yang merupakan frame kehidupannya, yang ia coba leburkan ke dalam jagad perpuisian.
Meskipun demikian, tidak lantas puisi ini menjadi milik penyair secara pribadi. Siapapun pembaca yang membaca Si Anak Hilang ini bisa menikmati unsur estetis dan belajar makna didaktis dari unsur batiniah yang penyair coba elipskan di dalamnya. Dan bagi penulis, sastra merupakan salah satu cara nguruki, menasihati manusia yang tidak hanya praktis, tetapi juga ampuh, ketika cara-cara lain sudah tidak mempan.