Ø Dekade 70-an kesusasteraan Indonesia tumbuh dengan pesat, hal
ini disebabkan oleh faktor-faktor berikut:
1.
Adanya maecenas sastra, ekonomi
Indonesia
makin stabil, berdirinya Pustaka Jaya serta penerbitan lain setelahnya, dan
sumbangan dari pemerintah yang lumayan dapat membantu pergerakan pekerja
sastra.
2.
Kebebasan berkreasi tanpa
adanya tekanan politik (komunis).
3.
Munculnya media massa yang membantu
mobilitas karya-karya sastra.
4.
Munculnya peminat sastra di
kalangan remaja yang semakin meningkat.
Ø Di era inilah muncul genre baru dalam kesusastraan Indonesia yang berupa novel ringan
dan novel serius.
Ø Novel ringan yang berada di luar jalur ‘resmi (di luar kaidah karya
berbobot sastra/serius) disebut PICISAN oleh Roolvink.
Ø Karya sastra (seni) tidak hanya memberikan pesona dan hiburan saja,
tetapi juga memberikan manfaat bagi para penikmatnya (DULCE ET UTILE).
Ø USIA MANUSIA TERLALU PENDEK
UNTUK MENGETAHUI DAN MENGALAMI PERISTIWA-PERISTIWA YANG MENIMPA DIRINYA. UNTUK
ITU MANUSIA HARUS BELAJAR DARI SESAMANYA. BELAJAR DARI PENGALAMAN MANUSIA LAIN.
DAN KARYA SASTRA MEMBERIKAN PENGALAMAN DEMIKIAN ITU.
PERBEDAAN ANTARA SASTRA
POPULER & SASTRA SERIUS
No.
|
Sastra Populer
|
Sastra Serius
|
1.
|
Bertema kisah cinta asmara
|
Tema yang diangkat
sangat kompleks, cerita cinta hanya sebagai bumbu dalam meramu jalan cerita
(bukan persoalan utama).
|
2.
|
Menekankan alur
(suspensif, humoris, dan penuh passi), karakterisasi dan problema kehidupan
secara global terabaikan
|
Karakterisasi, setting,
tema lebih penting daripada jalan cerita.
|
3.
|
Bahasa dan gaya cerita terlalu
sentimentil
|
Bahasa dan gaya cerita merupakan
cermin pribadi si Sastrawan mengenai latarbelakang IPOLEKSOSBUDHANKAM.
|
4.
|
Mengabdi pada selera
pasar pembaca yang penceritaannya konvensional
|
Hal yang diceritakan
merupakan pengalaman yang telah, sedang, dan akan dialami manusia (bersifat
continue, universal, dan konkrit) dan tidak bersifat artifisial serta
kebetulan saja.
|
5.
|
Bahasa bersifat
kontemporer yang hidup pada saat karya itu diciptakan, cenderung bahasa gaul
atau bahasa slang.
|
Bahasa yang digunakan
adalah bahasa yang standard, lazim digunakan dan diketahui maknanya secara
luas, bukan merupakan bahasa gaul atau slang yang hanya dimengerti sebagian
kecil masyarakat penuturnya saja.
|
6.
|
Bersifat menghibur dan
komersil.
|
Bersifat serius,
meng-involved pembaca untuk masuk ke dalam substansi cerita, butuh pendalaman
ketika menikmatinya dan dibuat bukan untuk tujuan komersil tetapi memberikan
kekayaan jiwa bagi si Pembaca/Penikmatnya (wawasan berupa rohani atau ragawi
terutama).
|
7.
|
Berfungsi personal.
|
Berfungsi sosial.
|
8.
|
Tidak begitu
diperhatikan oleh Kritikus atau ahli sastra yang lain.
|
Lebih dijadikan
bahan-bahan diskusi yang perlu direnungkan berulang kali.
|
9.
|
Jenis karya kebanyakan
tentang cerita detektif, roman percintaan sentimentil, misteri,
gothic/setan-setan, kriminil, dan science fiction.
|
Semua jenis karya yang
memenuhi kriteria sastra yang baik, yang menghibur sekaligus memberi manfaat
bertambahnya khasanah wawasan mengenai kehidupan pada para penikmat setelah
menikmatinya.
|
10.
|
Biasanya hanya sekali
baca berguna ‘killing of time’.
|
Dibaca berulang kali
agar mendapatkan tendensi moral atau ide/gagasan filsafatis dari seorang
pencipta karya sastra/seni.
|
Prodi : Sastra Indonesia
Penilaian terhadap Puisi “Jika Hari Rembang Petang” Karya Subagyo
Sastrowardojo
Jika Hari Rembang Petang
Jika hari
rembang petang
Tidak berarti
permainan bakal selesai
Dan boleh
meninggalkan gelanggang
Hanya perasaan
bertukar
Dari pemain di
dalam
Menjadi
penonton di luar
Kita lantas
memasuki ruang penuh cahaya
Dan melihat
bayang
Terlempar di
layar
Kita bisa jaga
dan menatap semalam suntuk
Hari sudah
tinggi
Kau tak
berbenah?
Di bawah
bayang senja
Setiap barang
nampak indah
Muka-muka yang
lelah
Berbinar di
redup sinar
Di antara kita
berdua, kekasih
Siapa dulu
akan terkapar?
Puisi yang berjudul “Jika Hari Rembang Petang” merupakan
karya Subagyo Sastrowardojo yang merupakan angkatan tahun 1966. hal ini dapat
diketahui dari pernyataan sebelum teks puisi bahwa Subagyo Sastrowardojo
merupakan penyair yang menyajak/menyair dengan beku-dingin yang dapat menguasai
selera hidupnya.
Puisi “Jika Hari Rembang Petang” jika ditilik dari segi
fisik atau bentuknya dapat disebut sebagai puisi liris/lirik yang merupakan
curahan hati pengarang/penyairnya. Puisi tersebut juga dibuat dengan penuh emosional
oleh penyairnya yang sangat menunjukkan kesan ‘private’-nya. Hal ini dapat
diketahui dengan pilihan kata (diksi) yang digunakan penyair. Misalnya pada
bait I pada kata hari dan berarti yang terkesan padu iramanya, kemudian kata
petang dan gelanggang yang juga berirama lisrik (jika dalam lagu, maka lagunya
‘enak’ dinikmati).
Parafrase
Jika Hari Rembang Petang
Jika hari (sudah) (mulai) rembang (dan) petang
Tidak berarti (sebuah) permainan (itiu) bakal (-an) selesai
Dan (seseorang) (akan) boleh (saja) meninggalkan (arena) gelanggang
Hanya (akan) (ada) perasaan (yang) bertukar
(yaitu) Dari pemain (yang) (ada) di dalam
(akan) Menjadi penonton (yang) (ada) di luar (sana)
(dan) Kita (pun) lantas (akan) memasuki (sebuah) ruang (yang) penuh (dengan)
cahaya
Dan melihat (suatu) bayang (-an) (diri sendiri)
(yang) Terlempar di (sebuah) layar (kehidupan)
Kita (pun) (akan) bisa jaga dan (terus) menatap (-nya) semalam
suntuk
Hari sudah (mulai) tinggi
(apa) Kau tak (mau/enggan/segera) berbenah?
Di bawah bayang (-an) senja (usia)
Setiap barang (akan) nampak indah (saja)
Muka-muka (orang/manusia) yang (telah) lelah (hidup)
(menjadi) (sangat) Berbinar di redup (-nya) sinar (hidup)
Di antara kita (yang) berdua (ini), kekasih (-ku)
Siapa (-kah) (yang) dulu (-an) akan terkapar (selamanya) (kekasihku)?
Arti kiasan atau simbol
dan tafsiran yang ada pada puisi “Jika Hari
Rembang Petang” adalah sebagai berikut:
Hari rembang
petang
Rembang berarti setinggi-tingginya
(tentang matahari, bulan, dll); titik di langit, tepat benar (waktunya) [Kamus
Besar Bahasa Indonesia, 2003: 944]. Sedangkan arti petang dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia juga adalah waktu sesudah tengah hari (kira-kira dari pukul
tiga sampai matahari terbenam); sore.
Hari rembang petang berarti siang
menjelang sore hari. Jika dikaitkan dengan usia manusia adalah usia yang sudah
tua yang merupakan sisa usia sebelum benar-benar menuju pada kematiannya.
Arti dari bait
I, II, III dan IV
Hanya perasaan bertukar
Dari pemain di dalam
Menjadi penonton di luar
Kita lantas memasuki ruang penuh cahaya
Dan melihat bayangan
Terlempar di layar
Kita bisa jaga dan menatap semalam suntuk
Secara keseluruhan artinya sebagai berikut:
Ketika seseorang sudah mulai menua,
ia pasti sedikit banyak akan mengingat masa lalu yang pernah ia lakoni. Dia
sekarang (saat tua) sudah tak bisa melewati atau melakukan lagi perbuatan
masa-masa yang telah silam itu. Ia hanya mampu mengingatnya dalam kenangan.
Seperti seorang pemirsa televisi yang menonton program-program di salah satu
channelnya.
Bagi orang itu, tayangan televisi itu
berisi kenangannya yang tak bisa diputar lagi untuk dilakukannya, ia tak bisa
melakukannya lagi setelah pernah ia lampaui di masa lalu. Perhatikan petikan
kalimat berikut:
Kenangan memang tak terhapuskan. Bahkan yang paling pahit sekalipun.
Kenangan adalah milik manusia yang tak dapat diambil, dicuri atau direbut pihak
lain. Manusia bisa dikurung atau dipenjarakan, tetapi kenangan tak dapat
dibelenggu. Ke manapun manusia pergi, kenangannya akan selalu bersamanya. Selalu.
Miliknya pribadi yang tak dapat dipisahkan.
Arti hari
sudah tinggi
Hal ini berkenaan atau berkaitan
dengan usia manusia. Kata tinggi menyiratkan usia yang selalu saja bertambah
dan terus bertambah untuk menjadi tua. Kata tinggi juga mengesankan bahwa semuanya
sudah terlanjur terjadi.
Hari sudah tinggi bisa diartikan
bahwa batang usia semakin bertambah, tak akan ada manusia bertambah hari akan
bertambah tua, tapi justru akan sebaliknya: tambah menua (usia sudah tambah
tua).
Arti bait VI,
VII dan VIII
Di bawah bayang senja
Setiap barang nampak indah
Muka-muka yang lelah
Berbinar di redup sinar
Di antara kita berdua, kekasih
Siapa dulu akan terkapar?
Bayang senja bisa berarti usia yang menuju ke tua, atau usia setengah baya. Barang
bisa berarti segala keinginan tentang duniawi (hasrat keduniawian semacam
perempuan cantik).
Muka-muka identik dengan seseorang atau banyak orang yang telah melakukan
banyak hal. Berbinar mengisyaratkan kegembiraan (melakukan hal yang
penuh suka cita seperti foya-foya). Redup berarti akan mati, hampir
padam, agak gelap, mendung, tidak gembira atau redam. Sinar yang
dimaksud mungkin berkenaan pada nur Ilahiah atau penceraan dari Tuhan.
Kita
mungkin saja persatuan antara jiwa dengan raga. Kekasih bisa dari salah
satu ‘kita’ yaitu salah satu dari jiwa atau raga. Terkapar memberikan kesan
terbaring hampir mati dan tidak mendapatkan perhatian/ telantar (sekarat karena
akan menemui ajal).)
Arti secara keseluruhan adalah sebagai
berikut:
Bahwa masa muda itu sangat
menyenangkan. Kadang digunakan bersenang-senang dengan kesenangan duniawi.
Tetapi ketika hal itu berlalu, penyesalan akan kita dapat bahwa waktu bertobat
semakin sempit. Masa muda digunakan foya-foya dengan kesenangan dunia, tua
merana karena bertumpuk dosa. Kenangan indah akan tetap saja menjadi kenangan,
dosa tak akan bisa lagi disulap kembali menjadi pahala karena sudah telanjur
diperbuat.
Waktu tobat yang hampir usai karena
kematian akan segera menjelang menuai penyesalan: mengapa masa muda tak
dimanfaatkan untuk beribadah, sehingga di masa tua tak begitu berat untuk
meraih ridla Tuhan yang dan menjalani sisa-sisa kehidupan? Hidup memang
singkat, tapi singkatnya itu bermakna atau tidak tergantung orang yang
mempunyai hidup itu sendiri.
Kehidupan kita ada karena nyawa. Sedangkan
nyawa tak berujud. Yang dapat menjadi ‘tetenger’ adalah bergerak tidaknya
jasad. Maka kehidupan itu sendiri dapat dikatakan menyatunya jasad dan, jiwa
dan raga yang bagaikan sepasang kekasih yang tak dapat dipisahkan. Tetapi kalau
sudah mati, mereka toh akhirnya akan berpisah jua. Jiwa bercerai dengan jasad
(yang pasti telantar, tinggal yang masih hidup mau mengubur, membakar atau
membiarkannya saja).
Dari keseluruhan puisi ini bertemakan
religi. Bahwa kehidupan manusia itu tak ubahnya perkawinan antara jiwa dan raga
yang hanya sementara. Sebab akan tiba masanya ada perceraian di pengadilan maut
melalui kematian.
Puisi ini memberikan ‘keinsafan’ dan
mengingatkan pada setiap manusia yang masih bernyawa untuk selalu ‘eling’ bahwa
hidup itu singkat, maka isi dan lewatilah dengan hal-hal yang berarti. Kita
sedang ditunggu Tuhan untuk kembali dengan segala ‘hasil’ yang kita petik di
dunia. Sedangkan kita pun mempersiapkan diri untuk dipanggil Tuhan dengan apa
yang kita ‘hasilkan’ di dunia.
Bahasa Subagyo meski puitis, tetap
saja mudah dicerna. Karena tema religi ini sangat dekatnya dengan kita, dengan
kehidupan kita sehari-hari. Kata per kata yang dipilih menimbulkan bunyi liris
di antara rima dan iramanya. Hal ini pulalah yang menimbulkan tidak hanya liris,
tapi juha romantis. Menusuk sekaligus mengena pada sasarannya yaitu: hati kita
agar tersadar!
Telaah Makna di Balik Balada “Ibu yang Dibunuh”
Karya W. S. Rendra
Balada merupakan sajak sederhana yang mengisahkan cerita
rakyat yang mengharukan, kadang-kadang berupa dialog dan bersifat naratif
[bercerita]. Di bawah ini terdapat balada yang berjudul Balada Ibu yang
Terbunuh dari Rendra;
Balada Ibu yang Dibunuh
Ibu musang dilindung pohon
tua meliang
bayinya dua ditinggal mati
lakinya
Bulan sabit terkait malam
memberita datangnya
waktu makan bayi-bayinya
mungil sayang
Matanya berkata pamitan,
bertolak ia
dirasukinya dusun-dusun,
semak-semak, taruhan atas nyawa
Burung kolik menyanyikan
berita panas dendam warga desa
menggetari
ujungbulu-ujungbulunya tapi dikibaskannya juga
Membubung juga nyanyi
kolik sampai mati tiba-tiba
oleh lengking pekik yang
lebih menggigilkan pucuk-pucuk daun
tertangkap musang betina
dibunuh esok harinya
Tiada pulang ia yang mesti
rampas rejeki hariannya
ibu yang baik, matinya baik,
pada bangkainya gugur pula dedaunan tua
Tiada tahu akan merataplah
kolik meratap juga dan
bayi-bayinya bertanya akan
bunda pada angin tenggara
Lalu satu ketika di pohon
tua meliang
matilah anak-anak musang,
mati dua-duanya
Dan jalannya semua peristiwa
tanpa dukungan satu dosa. Tanpa
Interpretasi pada bait pertama memberitahukan pada
pembaca bahwa ada seekor musang betina [induk; karena beranak] bersama dengan
dua anaknya tinggal di salah satu lubang pohon yang sudah tua. Suami si induk
[musang betina] tadi sudah meninggal lama.
Pada bait kedua bercerita tentang waktu anak-anak bayi
musang makan. Ketika bulan sabit telah terbit dan merupakan pertanda waktu yang
tepat bagi sang induk untuk mencari makan.
Bait ketiga menceritakan tentang induk yang harus pamit
pergi kepada anak-anaknya untuk keluar dari lubang atau sarang untuk mencari
makan. Musang betina itu pun pergi jua. Dusun demi dusun, semak demi semak pun
ia arungi dengan pantang menyerah dan pertaruhan nyawa. Hal ini ia lakukan
supaya ia segera mendapatkan makanan buat bayi-bayinya.
Namun, burung kolik segera terbang dan berkicau nyaring
di atas udara mengisyaratkan pada warga desa bahwa ada musang yang datang untuk
mencari mangsa. Ketakutan pun menyerang musang betina itu, ia gemetar, ujung bulunya
serasa mau lepas, tapi ia terus saja tetap maju mencari makan demi bayi-bayinya
dengan pantang menyerah.
Bait keempat mengisahkan tertangkapnya musang betina
itu. Ketika burung kolik terdiam dan terganti oleh erang kesakitan musang yang
tertangkap. Sorak sorai pun datang dari warga desa yang telah berhasil menangkap
musang betina yang selama ini menimbulkan keributan di desa karena sering
memangsa ayam peliharaan warga. Keesokan harinya, tamatlah riwayat musang
betina yang bermaksud ingin mencarikan makanan untuk bayi-bayinya.
Bait kelima menunjukkan suasana setelah ibu musang itu
mati. Musang betina tak pulang, makanan pun tak sampai pada anak-anaknya.
Tetapi ibu musang itu telah menjalankan keajibannya yaitu berusaha untuk
memberikan makanan pada bayi-bayinya. Meski di mata warga desa ia pengacau dan
dianggap ‘penjahat’, tetapi ia pahlawan yang berjasa bagi anak-anaknya.
Bait keenam berisi tentang harapan bayi-bayi ibu musang
yang menginginkan ibunya pulang. Mereka bertanya-tanya mengapa ibunya pergi dan
belum juga kembali-kembali sampai lama. Mereka tak dapat bertanya pada
siapa-siapa, kecuali angin yang berhembus dari arah tenggara, angin yang
mengalir dari tempat ibunya pergi ke sana.
Bait ketujuh berkisah pada suasana kematian bayi-bayi
musang di lubang pohon tua. Mereka mati karena ibunya tak juga datang dan badan
diliputi kelaparan yang sangat melilit perut sedangkan mereka belum mampu
mencari makan sendiri.
Bait kedelapan merupakan akhir dari kisah ibu musang
yang mati bersama-sama bayinya karena kelaparan. Pembunuhan musang itu tidak
dikatakan dan tidak bisa dikategorikan dosa karena tidak terjadi pada manusia
dengan manusia; bukan karena manusia membunuh manusia, maka tak ada hukum atau
undang-undang yang berlku yang harus ditegakkan.
Balada di atas menggunakan bahasa yang lumayan susah
dipahami karena tidak selazimnya. Ada
nuansa penggunaan bahasa pantun yang dikolaborasikan dengan bentuk puitik,
dalam enjamblemennya, rima dan iramanya, maupun pilihan kata atau diksinya.
Tetapi balada tersebut tidak meninggalkan kekhasannya yang naratif atau
berusaha bercerita atau ‘mendongeng’ untuk pembacanya.
Oleh karena pada hakikatnya balada adalah sajak atau
puisi, maka unsur-unsur pembangun balada pun tidak jauh berbeda dengan yang ada
pada unsur-unsur puisi. Hal ini dapat terlihat pada diksinya, misal;
- Ibu musang dilindung pohon tua meliang bayinya dua ditinggal mati lakinya. Tidak langsung dikatakan: di lubang sebuah pohon yang sudah tua.
- Bulan sabit terkait malam memberita datangnya waktu makan bayi-bayinya mungil sayang. Tidak langsung dikatakan: membawa berita, pertanda, memberitahukan atau mengabarkan.
- Matanya berkata pamitan, bertolak ia dirasukinya dusun-dusun, semak-semak, taruhan atas nyawa. Tidak langsung dikatakan: dimasukinya, dilaluinya atau diarunginya.
Burung kolik menyanyikan
berita panas dendam warga desa menggetari ujungbulu-ujungbulunya tapi
dikibaskannya juga. Tidak langsung dikatakan:
berkicau sebagai pertanda, berkicau membawa berita/kabar atau berkicau yang
mengisyaratkan.
- Membubung juga nyanyi kolik sampai mati tiba-tiba oleh lengking pekik yang lebih menggigilkan pucuk-pucuk daun tertangkap musang betina dibunuh esok harinya. Tidak langsung dikatakan: sorak sorai dari warga desa [jika yang menyerukan warga desa], erang kesakitan [jika yang menyuarakan musang betina].
- Tiada pulang ia yang mesti rampas rejeki hariannya ibu yang baik, matinya baik, pada bangkainya gugur pula dedaunan tua. Tidak langsung dikatakan: membawa atau mendapatkan/memperoleh.
- Tiada tahu akan merataplah kolik meratap juga dan bayi-bayinya bertanya akan bunda pada angin tenggara. Tidak langsung dikatakan: menderita dan angin tenggara tidak disebutkan angin yang mengalir atau berhembus dari tempat ibunya pergi ke sana.
- Lalu satu ketika di pohon tua meliang matilah anak-anak musang, mati dua-duanya. Tidak langsung dikatakan: keduanya mati, atau mati keduanya [mati kedua-duanya].
- Dan jalannya semua peristiwa tanpa dukungan satu dosa. Tanpa. Tidak langsung dikatakan: mengakibatkan, membuat, menjadikan atau memperoleh/mendapatkan.
Rima dan iramanya dapat dirasakan dari kata yang akhiran
suku-suku katanya menimbulkan asonansi yang indah didengar. Hal tersebut dapat
dilihat dari uraian berikut:
Contoh:
Ibu musang dilindung pohon
tua meliang
bayinya dua ditinggal mati
lakinya
Pada kata musang dan meliang terdapat bunyi yang liris dari persajakan pada suku kata sang dan li-ang. Kemudian berpadu dengan ditinggal pada baris kedua yang juga menimbulkan kelirisan. Latak
kelirisannya adalah kolaborasi bunyi-bunyi sengau yang terdapat pada baris satu
dan kedua.
Matanya berkata pamitan,
bertolak ia
dirasukinya dusun-dusun,
semak-semak, taruhan atas nyawa
Burung kolik menyanyikan
berita panas dendam warga desa
menggetari
ujungbulu-ujungbulunya tapi dikibaskannya juga
Pada kata matanya, dirasukinya, nyawa, menyanyikan,
ujung bulunya, dan dikibaskannya terdapat
kolaborasi kelirisan dari –nya pada
kata-kata tersebut yang menimbulkan efek indah bila dicitra dengan indra
pendengaran. Persajakannya adalah aaaa karena di akhir baris diksinya bersuku
kata i-a, wa, sa, dan ga
. Jika dibaca akan menimbulkan efek yang liris dan puitis.
Secara kesluruhan maksud balada di atas adalah
mengisahkan ketragisan nasib musang betina dan anak-anaknya yang mati karena
kelaparan. Secara tersirat, memberitahukan bahwa kesalahan orang tua itu
berimbas pada anak-anak dan bahkan mungkin cucu-cucunya secara turun-temurun.
Tetapi di dalam balada tersebut juga dilukiskan betapa
kasih seorang ibu sangat besar kepada anak-anaknya, ia berusaha keras untuk
mereka dengan perjuangan mempertaruhkan nyawa. Juga diberikan wejangan bahwa
manusia harus bisa mengasihi dan memelihara hubungan yang terjalin di antara
sesamanya maupun lingkungan di sekitarnya [juga binatang-binatang yang juga
hidup dan bernafas di satu lingkukngan tempat ia hidup].
Manusia dilarang semena-mena terhadap sesamanya maupun
mereka yang hidup di sekitanya [termasuk binatang dan tumbuhan]. Karena jika
hal tersebut dilakukan, maka akibatnya pun berimbas pada mereka [bisa saja
terjadi banjir ataukepunahan satwa]. Manusia hendaknya menjaga keseimbangan
hidup dan tempat hidupnya.
Balada di atas cocok sekali dijadikan dongeng sebelum
tidur untuk anak-anak. Tentunya setelah orang tua mereka memahami apa kandungan
yang ada dalam balada tersebut.
Dengan begitu salah satu fungsi karya sastra terpenuhi
selain fungsinya yang estetis, yaitu fungsi didaktis. Kamampuan sebuah karya
sastra yang bertujuan pendidikan; untuk menanamkan budi pekerti dan nilai-nilai
luhur kehidupan.
Jika balada mampu mengemban misi tersebut, rasanya
balada pantas menjadi mediator dongeng sebelum tidur yang sejajar dengan cerita
anak berupa prosa; yang selama ini merajai dongeng-dongeng anak [dongeng kancil
misalnya]. Bila balada mampu, mengapa tidak?
No comments:
Post a Comment