Jika Hari Rembang Petang
Jika hari rembang petang
Tidak berarti permainan bakal selesai
Dan boleh meninggalkan gelanggang
Hanya perasaan bertukar
Dari pemain di dalam
Menjadi penonton di luar
Kita lantas memasuki ruang penuh cahaya
Dan melihat bayang
Terlempar di layar
Kita bisa jaga dan menatap semalam suntuk
Hari sudah tinggi
Kau tak berbenah?
Di bawah bayang senja
Setiap barang nampak indah
Muka-muka yang lelah
Berbinar di redup sinar
Di antara kita berdua, kekasih
Siapa dulu akan terkapar?
Puisi yang berjudul “Jika Hari Rembang Petang” merupakan karya Subagyo Sastrowardojo yang merupakan angkatan tahun 1966. hal ini dapat diketahui dari pernyataan sebelum teks puisi bahwa Subagyo Sastrowardojo merupakan penyair yang menyajak/menyair dengan beku-dingin yang dapat menguasai selera hidupnya.
Puisi “Jika Hari Rembang Petang” jika ditilik dari segi fisik atau bentuknya dapat disebut sebagai puisi liris/lirik yang merupakan curahan hati pengarang/penyairnya. Puisi tersebut juga dibuat dengan penuh emosional oleh penyairnya yang sangat menunjukkan kesan ‘private’-nya. Hal ini dapat diketahui dengan pilihan kata (diksi) yang digunakan penyair. Misalnya pada bait I pada kata hari dan berarti yang terkesan padu iramanya, kemudian kata petang dan gelanggang yang juga berirama lisrik (jika dalam lagu, maka lagunya ‘enak’ dinikmati).
Parafrase
Jika Hari Rembang Petang
Jika hari (sudah) (mulai) rembang (dan) petang
Tidak berarti (sebuah) permainan (itiu) bakal (-an) selesai
Dan (seseorang) (akan) boleh (saja) meninggalkan (arena) gelanggang
Hanya (akan) (ada) perasaan (yang) bertukar
(yaitu) Dari pemain (yang) (ada) di dalam
(akan) Menjadi penonton (yang) (ada) di luar (sana )
(dan) Kita (pun) lantas (akan) memasuki (sebuah) ruang (yang) penuh (dengan) cahaya
Dan melihat (suatu) bayang (-an) (diri sendiri)
(yang) Terlempar di (sebuah) layar (kehidupan)
Kita (pun) (akan) bisa jaga dan (terus) menatap (-nya) semalam suntuk
Hari sudah (mulai) tinggi
(apa) Kau tak (mau/enggan/segera) berbenah?
Di bawah bayang (-an) senja (usia)
Setiap barang (akan) nampak indah (saja)
Muka-muka (orang/manusia) yang (telah) lelah (hidup)
(menjadi) (sangat) Berbinar di redup (-nya) sinar (hidup)
Di antara kita (yang) berdua (ini), kekasih (-ku)
Siapa (-kah) (yang) dulu (-an) akan terkapar (selamanya) (kekasihku)?
Arti kiasan atau simbol dan tafsiran yang ada pada puisi “Jika Hari Rembang Petang” adalah sebagai berikut:
Hari rembang petang
Rembang berarti setinggi-tingginya (tentang matahari, bulan, dll); titik di langit, tepat benar (waktunya) [Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2003: 944]. Sedangkan arti petang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia juga adalah waktu sesudah tengah hari (kira-kira dari pukul tiga sampai matahari terbenam); sore.
Hari rembang petang berarti siang menjelang sore hari. Jika dikaitkan dengan usia manusia adalah usia yang sudah tua yang merupakan sisa usia sebelum benar-benar menuju pada kematiannya.
Arti dari bait I, II, III dan IV
Hanya perasaan bertukar
Dari pemain di dalam
Menjadi penonton di luar
Kita lantas memasuki ruang penuh cahaya
Dan melihat bayangan
Terlempar di layar
Kita bisa jaga dan menatap semalam suntuk
Secara keseluruhan artinya sebagai berikut:
Ketika seseorang sudah mulai menua, ia pasti sedikit banyak akan mengingat masa lalu yang pernah ia lakoni. Dia sekarang (saat tua) sudah tak bisa melewati atau melakukan lagi perbuatan masa-masa yang telah silam itu. Ia hanya mampu mengingatnya dalam kenangan. Seperti seorang pemirsa televisi yang menonton program-program di salah satu channelnya.
Bagi orang itu, tayangan televisi itu berisi kenangannya yang tak bisa diputar lagi untuk dilakukannya, ia tak bisa melakukannya lagi setelah pernah ia lampaui di masa lalu. Perhatikan petikan kalimat berikut:
Arti hari sudah tinggi
Hal ini berkenaan atau berkaitan dengan usia manusia. Kata tinggi menyiratkan usia yang selalu saja bertambah dan terus bertambah untuk menjadi tua. Kata tinggi juga mengesankan bahwa semuanya sudah terlanjur terjadi.
Hari sudah tinggi bisa diartikan bahwa batang usia semakin bertambah, tak akan ada manusia bertambah hari akan bertambah tua, tapi justru akan sebaliknya: tambah menua (usia sudah tambah tua).
Arti bait VI, VII dan VIII
Di bawah bayang senja
Setiap barang nampak indah
Muka-muka yang lelah
Berbinar di redup sinar
Di antara kita berdua, kekasih
Siapa dulu akan terkapar?
Bayang senja bisa berarti usia yang menuju ke tua, atau usia setengah baya. Barang bisa berarti segala keinginan tentang duniawi (hasrat keduniawian semacam perempuan cantik).
Muka-muka identik dengan seseorang atau banyak orang yang telah melakukan banyak hal. Berbinar mengisyaratkan kegembiraan (melakukan hal yang penuh suka cita seperti foya-foya). Redup berarti akan mati, hampir padam, agak gelap, mendung, tidak gembira atau redam. Sinar yang dimaksud mungkin berkenaan pada nur Ilahiah atau penceraan dari Tuhan.
Kita mungkin saja persatuan antara jiwa dengan raga. Kekasih bisa dari salah satu ‘kita’ yaitu salah satu dari jiwa atau raga. Terkapar memberikan kesan terbaring hampir mati dan tidak mendapatkan perhatian/ telantar (sekarat karena akan menemui ajal).)
Arti secara keseluruhan adalah sebagai berikut:
Bahwa masa muda itu sangat menyenangkan. Kadang digunakan bersenang-senang dengan kesenangan duniawi. Tetapi ketika hal itu berlalu, penyesalan akan kita dapat bahwa waktu bertobat semakin sempit. Masa muda digunakan foya-foya dengan kesenangan dunia, tua merana karena bertumpuk dosa. Kenangan indah akan tetap saja menjadi kenangan, dosa tak akan bisa lagi disulap kembali menjadi pahala karena sudah telanjur diperbuat.
Waktu tobat yang hampir usai karena kematian akan segera menjelang menuai penyesalan: mengapa masa muda tak dimanfaatkan untuk beribadah, sehingga di masa tua tak begitu berat untuk meraih ridla Tuhan yang dan menjalani sisa-sisa kehidupan? Hidup memang singkat, tapi singkatnya itu bermakna atau tidak tergantung orang yang mempunyai hidup itu sendiri.
Kehidupan kita ada karena nyawa. Sedangkan nyawa tak berujud. Yang dapat menjadi ‘tetenger’ adalah bergerak tidaknya jasad. Maka kehidupan itu sendiri dapat dikatakan menyatunya jasad dan, jiwa dan raga yang bagaikan sepasang kekasih yang tak dapat dipisahkan. Tetapi kalau sudah mati, mereka toh akhirnya akan berpisah jua. Jiwa bercerai dengan jasad (yang pasti telantar, tinggal yang masih hidup mau mengubur, membakar atau membiarkannya saja).
>>>Dari keseluruhan puisi ini bertemakan religi. Bahwa kehidupan manusia itu tak ubahnya perkawinan antara jiwa dan raga yang hanya sementara. Sebab akan tiba masanya ada perceraian di pengadilan maut melalui kematian.
>>>Puisi ini memberikan ‘keinsafan’ dan mengingatkan pada setiap manusia yang masih bernyawa untuk selalu ‘eling’ bahwa hidup itu singkat, maka isi dan lewatilah dengan hal-hal yang berarti. Kita sedang ditunggu Tuhan untuk kembali dengan segala ‘hasil’ yang kita petik di dunia. Sedangkan kita pun mempersiapkan diri untuk dipanggil Tuhan dengan apa yang kita ‘hasilkan’ di dunia.
>>Bahasa Subagyo meski puitis, tetap saja mudah dicerna. Karena tema religi ini sangat dekatnya dengan kita, dengan kehidupan kita sehari-hari. Kata per kata yang dipilih menimbulkan bunyi liris di antara rima dan iramanya. Hal ini pulalah yang menimbulkan tidak hanya liris, tapi juha romantis. Menusuk sekaligus mengena pada sasarannya yaitu: hati kita agar tersadar!
No comments:
Post a Comment