Semiotik atau ada yang menyebut dengan semiotika berasal dari kata
Yunani semeion yang berarti “tanda”. Istilah semeion tampaknya
diturunkan dari kedokteran hipokratik atau asklepiadik dengan perhatiannya pada
simtomatologi dan diagnostik inferensial (Sobur, 2004:95). Tanda pada masa itu
masih bermakna sesuatu hal yang menunjuk pada adanya hal lain. Secara terminologis,
semiotik adalah cabang ilmu yang berurusan dengan dengan pengkajian tanda dan segala
sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang
berlaku bagi tanda (van Zoest, 1993:1). Semiotik merupakan ilmu yang
mempelajari sederetan luas obyek - obyek, peristiwa-peristiwa, seluruh
kebudayaan sebagai tanda. Ahli sastra Teew (1984:6) mendefinisikan semiotik
adalah tanda sebagai tindak komunikasi dan kemudian disempurnakannya menjadi
model sastra yang mempertanggungjawabkan semua faktor dan aspek hakiki untuk
pemahaman gejala susastra sebagai alat komunikasi yang khas di dalam masyarakat
mana pun. Semiotik merupakan cab ang ilmu yang relatif masih baru.
Penggunaan tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya
dipelajari secara lebih sistematis pada abad kedua puluh. Para ahli semiotik
modern mengatakan bahwa analisis semiotik modern telah di warnai dengan dua
nama yaitu seorang linguis yang berasal dari Swiss bernama Ferdinand de de Saussure
(1857 - 1913) dan seorang filsuf Amerika yang bernama Charles Sanders Peirce
(1839 - 1914). Peirce menyebut model sistem analisisnya dengan semiotik dan
istilah tersebut telah menjadi istilah yang dominan digunakan untuk ilmu
tentang tanda. Semiologi de Saussure berbeda dengan semiotik Peirce dalam
beberapa hal, tetapi keduanya berfokus pada tanda. Seperti telah disebut-kan di
depan bahwa de Saussure menerbit -kan bukunya yang berjudul A Course in General
Linguistics (1913).
Dalam buku itu de Saussure memba -yangkan suatu ilmu yang
mempelajari tanda -tanda dalam masyarakat. Ia juga menjelas -kan konsep-konsep
yang dikenal dengan dikotomi linguistik. Salah satu dikotomi itu adalah signifier
dan signified (penanda dan petanda). Ia menulis… the linguistics
sign unites not a thing and a name,but a concept and a sound image a sign .
Kombinasi antara konsep dan citra bunyi adalah tanda ( sign). Jadi de
Saussure mem-bagi tanda menjadi dua yaitu komponen, signifier (atau
citra bunyi) dan signified (atau konsep) dan dikatakannya bahwa hubungan
antara keduanya adalah arbitrer.
Semiologi didasarkan pada anggapan bahwa selama perbuatan dan
tingkah laku manusia membawa makna atau selama berfung si sebagai tanda, harus
ada di belakang sistem pembedaan dan konvensi yang memungkinkan makna itu. Di
mana ada tanda, di sana ada sistem (de Saussure, 1988:26). Sekalipun hanyalah
merupakan salah satu cabangnya, namun linguistik dapat berperan sebagai model
untuk se-miologi. Penyebabnya terletak pada ciri arbiter dan konvensional
yang dimiliki tanda bahasa. Tanda -tanda bukan bahasa pun dapat dipandang sebagai
fenomena arbiter dan konvensional seperti mode, upacara, kepercayaan dan
lain-lainya.
Dalam perkembangan terakhir kajian mengenai tanda dalam masyarakat
didominasi karya filsuf Amerika. Charles Sanders Peirce (1839 - 1914). Kajian
Peirce jauh lebih terperinci daripada tulisan de Saussure yang lebih
programatis. Oleh karena itu istilah semiotika lebih l azim dalam dunia
Anglo-Sakson, dan istilah semiologi lebih dikenal di Eropa Kontinental. Siapakah
Peirce? Charles Sanders Peirce adalah seorang filsuf Amerika yang paling
orisinal dan multidimensioanl. Bagi teman -teman sejamannya ia terlalu
orisional. Dalam kehidupan bermasyarakat, teman-temannya membiarkannya dalam
kesusahan dan meninggal dalam kemiskin-an Perhatian untuk karya-karyanya tidak
banyak diberikan oleh teman-temannya. Peirce banyak menulis, tetapi kebanyakan
tulisannya bersifat pendahuluan, sketsa dan sebagian besar tidak diterbitkan
sampai ajalnya. Baru pada tahun 1931 - 1935 Charles Hartshorne dan Paul Weiss
menerbitkan enam jilid pertama karyanya yang berjudul Collected Papers of
Charles Sanders Pierce. Pada tahun 1957, terbit jilid 7 dan 8 yang
dikerjakan oleh Arthur W Burks. Jilid yang terakhir berisi bibliografi tulisan
Pierce. Peirce selain seorang filsuf juga seorang ahli logika dan Peirce
memahami bagaimana manusia itu bernalar. Peirce akhirnya sampai pada keyakinan
bahwa manusia ber pikir dalam tanda. Maka diciptakannyalah ilmu tanda yang ia
sebut semiotik. Semiotika baginya sinonim dengan logika.
Secara harafiah ia mengatakan “Kita hanya berpikir dalam tanda”. Di
samping itu ia juga melihat tanda sebagai unsur dalam komunikasi. Semakin lama
ia semakin yakin bahwa segala sesuatu adalah tanda artinya setidaknya sesuai cara
eksistensi dari apa yang mungkin (van Zoest, 1993:10). Dalam analisis
semiotiknya Peirce membagi tanda berdasarkan sifat ground menjadi tiga
kelompok yakni qualisigns, sinsigns dan legisigns. Qualisigns adalah
tanda-tanda yang merupakan tanda berdasarkan suatu sifat. Contoh, sifat merah
merupakan qualisgins karena merupakan tanda pada bidang yang mungkin. Sinsigns
adalah tanda yang merupakan tanda atas dasar tampiln ya dalam kenyataan.
Semua pernyataan individual yang tidak dilembagakan merupakan sinsigns.
Sebuah jeritan bisa berarti kesakitan, keheranan atau kegembiraan. Legisigns
adalah tanda-tanda yang merupakan tanda atas dasar suatu peraturan
yang berlaku umum, sebuah konvensi, sebuah kode. Tanda lalu lintas adalah sebuah
legisigns. Begitu juga dengan mengangguk, mengerutkan alis, berjabat
tangan dan sebagainya.
Untuk tanda dan denotatumnya Peirce memfokuskan diri pada tiga
aspek tanda yaitu ikonik, indeksikal dan simbol. Ikonik adalah sesuatu
yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang serupa dengan bentuk obyeknya
(terlihat pada gambar atau lukisan). Indeks adalah sesuatu yang melaksanakan
fungsi sebagai penanda yang mengisyaratkan petandanya, sedangkan simbol adalah
penanda yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang oleh kaidah secara
kovensi telah lazim digunakan dalam masyarakat. Tabel berikut menunjukkan
hubungan ketiganya. Model tanda yang dikemukakan Peirce adalah trikotomis atau
triadik, d an tidak memiliki ciriciri struktural sama sekali (Hoed, 2002:21).
Prinsip dasarnya adalah bahwa tanda bersifat reprsentatif yaitu tanda adalah
sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain ( something that represents something
else). Proses pemakna-an tanda pada Peirce mengikuti hubungan antara tiga
titik yaitu representamen (R) - Object (O) - Interpretant (I).
R adalah bagian tanda yang dapat dipersepsi secara fisik atau mental, yang
merujuk pada sesuatu yang diwakili olehnya (O). Ke -mudian I adalah bagian dari
proses yang menafsirkan hubungan antara R dan O.
Oleh karena itu bagi Pierce, tanda tidak hanya representatif,
tetapi juga inter -pretattif. Teori Peirce tentang tanda mem-perlihatkan
pemaknaan tanda seagai suatu proses kognitif dan bukan sebuah struktur. Proses
seperti itu disebut semiosis. Seperti terlihat pada tabel di atas bahwa Peirce
membedakan tanda menjadi tiga yaitu indeks, ikon dan simbol. Bagaimanakah
hubungan ikon, indeks dan simbol? Seperti yang dicontohkan Hoed (2002:25), apabila
dalam perjalanan pulang dari luar kota seseorang melihat asap mengepul di
kejauhan, maka ia melihat R. Apa yang dilihatnya itu membuatnya merujuk pada
sumber asap itu yaitu cerobong pabrik (O).
Setelah itu ia menafsirkan bahwa ia sudah mendekati sebua h pabrik
ban mobil. Tanda seperti itu disebut indeks, yakni hubungan antara R dan O
bersifat langsung dan terkadang kausal. Dalam pada itu apabila seseorang
melihat potret sebuah mobil, maka ia melihat sebuah R yang membuatnya merujuk
pada suatu O yakni mobil yang bersangkutan. Proses selanjut -nya adalah menafsirkan,
misalnya sebagai mobil sedan berwarna hijau miliknya (I). Tanda seperti itu
disebut ikon yakni hubungan antara R dan O menunjukkan identitas. Akhirnya
apabila di tepi pantai se -seorang melihat bendera merah (R), maka dalam
kognisinya ia merujuk pada ‘larangan untuk berenang’ (O). Selanjutnya ia
menafsirkan bahwa ‘adalah berbahaya untuk berenang disitu’ (I). Tanda seperti
itu disebut lambang yakni hubungan antara R dan O bersifat konvensional.
Peirce juga mengemukakan bahwa pemaknaan suatu tanda bertahap
-tahap. Ada tahap kepertamaan (firstness) yakni saat tanda dikenali pada
tahap awal secara prinsip saja. Firstness adalah keberadaan seperti apa
adanya tanpa menunjuk ke sesuatu yang lain , keberadaan dari kemungkinan yang
potensial. Kemudian tahap ‘kekeduaan’ ( secondness) saat tanda dimaknai secara
individual, dan kemudian ‘keketigaan’ ( thirdness) saat tanda dimaknai
secara tetap sebagai kovensi. Konsep tiga tahap ini penting untuk memahami
bahwa dalam suatu kebudaya -an kadar pemahaman tanda tidak sama pada semua
anggota kebudayaan tersebut.
Salah seorang sarjana yang secara konservatif menjabarkan teori De
de Saussure ialah Roland Barthes (1915 - 1980). Ia menerapkan model De de
Saussure dalam penelitiannya tentang karya - karya sastra dan gejala-gejala
kebudayaan, seperti mode pakaian. Bagi Barthes komponen - komponen tanda
penanda - petanda terdapat juga pada tanda -tanda bukan bahasa antara lain terdapat
pada bentuk mite yakni keseluruhan si stem citra dan kepercayaan yang dibentuk masyarakat
untuk memp-ertahankan dan menonjolkan identitasnya (de Saussure,1988). Selanjutnya
Barthes (1957 dalam de Saussure) menggunakan teori signifiant - signifie
yang dikembangkan menjadi teori tentang metabaha sa dan konotasi. Istilah signifiant
menjadi ekspresi (E) dan signifie menjadi isi (C). Namun Barthes
mengatakan bahwa antara E dan C harus ada relasi (R) ter-tentu, sehingga
membentuk tanda ( sign, Sn). Konsep relasi ini membuat teori tentang
tanda lebih mungkin berkembang karena relasi ditetapkan oleh pemakai tanda.
Menurut Barthes, ekspresi dapat berkembang dan membentuk tanda baru, sehingga
ada lebih dari satu dengan isi yang sama. Pengem-bangan ini disebut sebagai
gejala meta -bahasa dan membentuk apa yang disebut kesinoniman (synonymy).
Setiap tanda selalu memperoleh pe -maknaan awal yang dikenal dengan
dengan istilah denotasi dan oleh Barthes disebut sistem primer. Kemudian
pengembangan -nya disebut sistem sekunder. Sistem sekunder ke arah ekspresi
dise but metabahasa. Sistem sekunder ke arah isi disebut konotasi yaitu
pengembangan isi sebuah ekspresi. Konsep konotasi ini tentunya didasari tidak hanya
oleh paham kognisi, melainkan juga oleh paham pragmatik yakni pemakai tanda dan
situasi pemahamannya. Dalam kaitan dengan pemakai tanda, kita juga dapat
memasukkan perasaan sebagai (aspek emotif) sebagai salah satu faktor yang
membentuk konotasi. Model Barthes demikian juga model De de Saussure tidak
hanya diterapkan pada analisis bahasa sebagai salah satu aspek kebudayaan, tetapi
juga dapat digunakan untuk menganalisis unsur -unsur kebu-dayaan.
Semiotik yang dikembangkan Barthes juga disebut dengan semiotika
konotatif. Terapannya juga pada karya sastra tidak sekadar membatasi diri pada
analisis secara semios is, tetapi juga menerapkan pendekatan konotatif pada
berbagai gejala kemasyarakatan. Di dalam karya sastra ia mencari arti ’kedua’
yang tersembunyi dari gejala struktur tertentu (van Zoest, 1993:4).
Aliran semiotik yang dipelopori oleh Julia Kristeva dise but
semiotika eksplanatif. Ciri aliran ini adalah adanya sasaran akhir untuk
mengambil alih kedudukan filsafat. Karena begitu terarahnya pada sasaran,
semiotik ini terkadang disebut ilmu total baru ( de nieuwe totaalwetwnschap).
Dalam semiotik ini pengertian tanda kehilangan tempat sentralnya. Tempat itu
diduduki oleh pengertian produksi arti. Penelitian yang menilai tanda terlalu
statis, terlalu nonhistoris, dan terlalu reduksionalis, diganti oleh penelitian
yang disebut praktek arti ( betekenis praktijk). Para ahli semiotika
jenis ini tanpa merasa keliru dalam bidang metodologi, mencampurkan analisis
mereka dengan pengertian-pengertian dari dua aliran hermeutika yang sukses
zaman itu, yakni psikoanalisis dan marxisme (van Zoest, 1993:5).
Tokoh semiotik Rusia J.U.M. Lotman mengungkapkan bahwa … culture
is constructed as ahierarchy of semantic systems (Lotman, 1971:61).
Pernyataan itu tidaklah berlebihan karena hirarki sistem semiotik atau sistem
tanda meliputi unsur (1) sosial budaya, baik dalam konteks sosial maupun situasional,
(2) manusia sebagai subyek yang berkreasi, (3) lambang sebagai dunia simbolik
yang menyertai proses dan mewujudkan kebudayaan, (4) dunia pragmatik atau pemakaian,
(5) wilayah makna. Orientasi kebudayaan manusia sebagai anggota suatu
masyarakat bahasa salah satunya tercermin dalam sistem kebahasaan maupun sistem
kode yang digunakannya.
Adanya kesadaran bersama terhadap sistem kebahasaan, sistem kode
dan pemakaiannya, lebih lanjut juga menjadi dasar dalam komunikasi antar
-anggota masyarakat bahasa itu sendiri. Dalam kegiatan komunikasinya, misalnya
antara penutur dan pendengar, sadar atau tidak, pastilah dilakukan
identifikasi. Identifikasi tersebut dalam hal ini tidak terbatas pada tanda
kebahasaan, tetapi juga terhadap tanda berupa b unyi prosodi, kinesik, maupun
konteks komunikasi itu sendiri. Dengan adanya identifikasi tersebut komunikasi
itu pun menjadi sesuatu yang bermakna baik bagi penutur maupun bagi
penanggapnya.
No comments:
Post a Comment