BALADA TERBUNUHNYA ATMO KARPO (WS
Rendra)
Dengan
kuku-kuku besi kuda menebah perut bumi
Bulan
berkhianat gosok-gosokkan tubuhnya di pucuk-pucuk para
Mengepit
kuat-kuat lutut menunggang perampok yang diburu
Surai
bau keringat basah, jenawi pun telanjang
Segenap
warga desa mengepung hutan itu
Dalam
satu pusaran pulang balik Atmo Karpo
Mengutuki
bulan betina dan nasibnya yang malang
Berpancaran
bunga api, anak panah di bahu kiri
Satu
demi satu yang maju terhadap darahnya
Penunggang
baja dan kuda mengangkat kaki muka. ---
Nyawamu
barang pasar, hai orang-orang bebal!
Tombakmu
pucuk daun dan matiku jauh orang papa.
Majulah
Joko Pandan!
Di
mana ia?
Majulah
ia kerna padanya seorang kukandung dosa.
Anak
panah empat arah dan musuh tiga silang Atmo Karpo tegak, luka tujuh liang. ---
Joko
Pandan!
Di
mana ia!
Hanya
padanya seorang kukandung dosa.
Bedah
perutnya atapi masih setan ia
Menggertak
kuda, di tiap ayun menungging kepala
Joko
Pandan!
Di
manakah ia!
Hanya
padanya seorang kukandung dosa.
Berberita
ringkik kuda muncullah Joko Pandan
Segala
menyibak bagi reapnya kuda hitam
Ridla
dada bagi derinya dendam yang tiba.
Pada
langkah pertama keduanya sama baja.
Pada
langkah ketiga rubuhlah Atmo Karpo
Panas
luka-luka, terbuka daging kelopak-kelopak angsoka.
Malam
bagai kedok hutan bopeng oleh luka
Pesta
abulan, sorak sorai, anggur darah
Joko
Pandan menegak, menjilat darah di pedang Ia telah membunuh bapanya
Puisi tersebut mengisahkan Atmo Karpo pelaku
utama sebagai pencerita yaitu si aku seorang perampok yang sedang diburu warga.
Kesialan melanda si aku karena malam itu sinar bulan purnama dapat menerangi
seluruh malam: ‘Bulan berkhianat gosok-gosokkan
tubuhnya di pucuk-pucuk para’. Bulan yang
angat tak bersahabat dengan si aku, si aku tak bisa bersembunyi di balik
pekatnya malam yang terang benderang dimana ia bersembunyi bulan purnama
menyinari dirinya.
Malam itu, si aku hanya bisa: ‘Mengutuki bulan betina dan nasibnya yang malang’. Tapi, bukan berarti si aku menyerah begitu saja. Si
aku berusaha melawan semua orang yang akan menangkapnya. Sehingga terjadilah pertumpahan
darah dan pengejarnyapun roboh tersadap oleh tangannya satu persatu: ‘satu
demi satu yang maju tersadap darahnya’. Bahkan si aku dengan kesombongannya
berkata kepada mereka yang telah dibunuhnya: “Nyawamu
barang pasar, hai orang-orang bebal! / Tombakmu pucuk daun dan matiku jauh
orang papa”. Si aku menganggap warga dan
pasukan kerajaan yang mengepung dan menangkapnya itu hanyalah orang-orang
rendahan saja, dan mereka bukanlah tandingan yang mantap untuk meringkus si
aku.
Lawan yang dicari si aku adalah Joko
Pandan yang tak lain ia adalah anaknya sendiri: “Majulah
Joko Pandan! Di mana ia? / Majulah ia kerna padanya seorang kukandung dosa“.
Si aku merasa mempunyai beban dosa, dan yang bisa menghapus segala dosanya
hanyalah Joko Pandan anak dari Si Aku.
Walaupun bertubi-tubi menyerangnya: ‘Anak panah empat arah dan musuh tiga silang’, meski dengan luka tujuh liang si aku tetap tegak. si
aku seperti mempunyai nyawa lebih dari satu yang perutnya tercacar darah: ‘bedah perutnya tapi masih setan ia’. Pacuan kudanya terus untuk menyibak malam, dan
semakin kencang: ‘Menggertak kuda, di tiap ayun
menungging kepala’. Berkali-kali dia memanggil Joko Pandan Sembari
memacu kudanya,: “Joko Pandan! Dimana ia! Hanya
padanya seorang kukandung dosa.”
Hingga akhirnya terdengar ringkikan kuda
yang menandakan Joko Pandan telah datang. Digambarkan di dalam puisi, bahwa
lelaki itu datang dengan berkendara kuda hitam. Si aku pun merasa ridla dada
bagi derunya dendam yang tiba.
Pertarungan sengit pun tak terelakkan: ‘Pada langkah pertama keduanya sama baja’ / pada langkah
ketiga rubuhlah Atmo Karpo’. Benar saja si aku mengalami kekalahan
dalam pertarungan sengir tersebut. Karena, sebelumnya si aku bertarung melawan
para pasukan kerajaan dan warga yang hendak menangkapnya. Pertarungan tersebut
mengasilkan buah yang membahagiakan bagi warga, begitu pula Joko Pandan. ‘panas luka-luka, terbuka daging kelopak-kelopak angsoka’:
Joko Pandan menang atas pertarungan tersebut, si aku sudah tak berdaya.
Tubuhnya tak lagi sempurna, luka-luka menghiasi setiap lekuk tubuhnya, sampai
terbuka daging segar yang berlumuran darah si aku.
Akhirnya tewaslah si aku di tangan Joko
Pandan: ‘Joko Pandan menegak, menjilat darah di
pedang / Ia telah membunuh bapanya’. Tindakan itu dia lakukan karena
ada kepercayaan bahwa seorang pembunuh jika telah meminum darah korbannya maka
arwah si korban tidak akan bergentayangan menuntut balas.
Malam itu para pasukan kerajaan sorak
sorai dan membahana, dialah Joko Pandan satu orang yang paling merasa
menyesal,. Karena, telah membunuh bapaknya sendiri.
Sebenarnya, Atmo Karpo bukanlah maling
biasa. Dia adalah sosok pemberontak yang tak setuju dengan ketimpangan. Di satu
sisi, kerajaan bergelimangan harta, tapi di sisi lain rakyat jelata hidup
sengsara. Maka, Atmo Karpo pun memilih menjadi maling kerajaan. Dia curi harta
kerajaan dan dibagikan kepada rakyat miskin yang sengsara.
Si aku ini adalah seorang perampok
kerajaan yang diburu warga. Dengan memacu kudanya si aku menghindari kejaran
warga: ‘Dengan kuku-kuku besi kuda menebah perut
bumi / bulan berkhianat gosok-gosokkan tubuhnya di pucuk-pucuk para’.
Hal tersebut merupakan kiasan barang atau benda yang tidak bernyawa yang
melekat pada sifat-sifat insani, pada bait ke-1 larik ke-1 dan ke-2.merupakan
ide yang abstrak yang berupa personifikasi.
dalam bait ke-1 larik ke-1 Penyebutan
sebagian nama atau kumpulan yang berupa majas sinekdok totem pro parte: ‘segenap warga desa mengepung hutan itu’. Berarti
hanya sebagian warga yang mengepung hutan dimana terdapat keberadaan si aku
sebagai Atmo Karpo. Akan tetapi, pada bait ke-2 larik ke-3 terdapat kata ‘bulan betina’, yang mempunyai sifat seperti
makhluk hidup, kiasan yang melekatkan sifat-sifat insani pada barang atau benda
yang tidak bernyawa ataupun pada ide yang abstrak berupa personifikasi. Tidak
ada bulan jantan maupun betina.
“Nyawamu barang pasar …..! /
tombakmu pucuk daun”
menggunakan gaya bahasa metafora, yaitu gaya bahasa yang membandingkan dua hal
secara implisit. Si aku menganggap warga yang mengepung dan hendak menangkapnya
itu mempunyai nyawa tak berguna, sehingga mudah dikalahkan. Nyawa bukan
merupakan barang yang diperdagangkan dipasaran. Selain itu, si aku juga dengan
sombong mengatakan tombak warga tersebut hanyalah pucuk daun. Artinya, tombak
tersebut tidak berguna dan tidak ampuh untuk membunuh si aku.
Majas metafora juga terdapat pada bait
ke-7 larik ke-1: ‘bedah perutnya tapi masih setan
ia’. Artinya, walaupun tubuh si aku sudah bercacaran darah, bahkan
sampai bedah perutnya, ia masih hidup dan kuat seperti memiliki nyawa lebih
dari satu.
Gaya bahasa yang berupa klimaks
merupakan gaya bahasa yang berupa susunan ungkapan yang makin lama makin
mengandung penekanan atau makin meningkat kepentingannya dari gagasan atau
ungkapan sebelumnya. Klimaks terdapat pada bait ke-10 larik ke-1: ‘pada langkah pertama keduanya sama baja’.
Artinya, semakin lama mempunyai kandungan arti yang menekan atau semakin
meningkat. Pertarungan sengit antara keduanya berawal seri, akan tetapi pada
akhirnya salah satu ada yang mati.
Seperti bait ke-10 larik ke-3: ‘panas
luka-luka terbuka daging kelopak-kelopak angsoka’. Artinya, pertarungan sengit
tersebut terdapat penekanan arti pada panas luka dan terbukanya daging kelopak
angsoka. Tubuh si aku tak lagi sempurnya, melainkan tersayat-sayat dengan
sebilah pedang Joko Pandan.
Dan pada bait ke-11 larik ke-1 terdapat:
‘Malam bagai kedok hutan bopeng oleh luka’. Yang
mempunyai gaya bahasa yang membandingkan dua hal secara implisit. Artinya,
malam merupakan saksi atas tragedi pertumpahan darah tersebut, warga membahana
bahagia atas kekalahan si aku.
No comments:
Post a Comment