About

BAB III Sastra Bandingan


PEMBAHASAN
3.1 Analisis Sebab Akibat dan Perbedaannya
Kedua novel yang mengetengahkan dunia pelacur memang sudah banyak, dan bahkan sudah sulit dihitung dengan jari. Tetapi setiap cerita selalu mempunyai kekhasan tersendiri, meskipun mempunyai kesamaan tema. Perbedaan jelas akan mewarnai, meskipun sama-sama membahas dunia kepelacuran. Apalagi jika cerita tersebut berasal dari negara berbeda; dengan latar kebudayaan yang tentunya berbeda pula.
Hal tersebut juga terjadi pada kedua novel Perempuan Di Titik Nol karya Nawal el-Saadawi berlatar kebudayaan Mesir dan Novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari bercorak khas kebudayaan Indonesia. Dua karya ini sama-sama diakui sebagai sastra dunia, yang banyak dibaca dan dibicarakan oleh warga dunia. Masing-masing novel memang membicarakan tentang dunia kepelacuran, tetapi tentu saja akan ditemukan perbedaannya. Terutama teknik cerita pengarang, kultur masyarakat, penokohan, dan unsur-unsur yang lain.
Analisis berdasarkan unsur yang ada di dalam cerita kedua novel mengenai persamaan dan perbedaan tersebut dapat disimpulkan dengan tabel berikut:

No.
Unsur
Perempuan Di Titik Nol
Ronggeng Dukuh Paruk
1.
Cara melepas keperawanan
Firdaus saat masih kecil telah ‘bermain’ dengan teman sepermainannya. Sedari kecil ia mempunyai pengalaman nikmat dalam menikmati hubungan pesetubuhan.
Srintil menyerahkan keperawanannya ketika ia masih belia, sekitar 12 tahunan kepada Rasus sebelum malam bukak klambu dengan alasan cinta, upacara lelang keperawanan sebelum menjadi ronggeng.
2.
Cara yang digunakan untuk melacur (menjajakan diri)
Firdaus sering berjalan di sepanjang jalan agar orang terhenti untuk menawarnya. Belakangan ia dipegang oleh seorang mucikari perempuan yang telah mengajarinya cara menjadi pelacur berkelas.
Sebelum melayani lelaki biasanya Srintil menari ronggeng dulu. Ia juga pernah menjadi gowok, yaitu seorang perempuan yang disewa seorang ayah bagi anak lelakinya yang menginjak dewasa, dan menjelang kawin. Seorang gowok bertugas mengajari anak lelaki mengenai perikehidupan berumahtangga.
3.
Perantara pelacur (germo/
mucikari)
Firdaus mulanya berjalan tanpa arah dan berhenti ketika ada lelaki yang mengencaninya, kemudian ia dipegang oleh germo.
Seorang dukun ronggeng, yang merupakan anggota dari sebuah kelompok ronggeng (biasanya seorang perempuan, dan ia juga pernah menjadi ronggeng)
4.
Seting sosial budaya dan agama
Berbicara kepelacuran di Mesir. Di suatu negara Islam yang kental, ternyata dunia prostitusi juga mengalami satu sisi tingkatan yang bisa disebut sebagai virus fertilisasi.
Mencoba menampilkan pojok lain dari budaya Indonesia. Secara khusus terjadi di Dukuh Paruk. Cerita ini mampu membawa wajah dan vokal Indonesia ke permukaan. Terlihat juga agama Islam ikut andil memberi warna, meski tidak secara mayoritas dianut.
5.
Penokohan
Firdaus merupakan tokoh utama yang merupakan gadis dari desa, tetapi pendidikan yang sempat ia dapatkan membuatnya jauh lebih berkelas dan terhormat. Ia wanita cerdas, lemah lembut dan cantik.
Tokoh utama Srintil; kehidupannya disoroti dari awal sampai akhir. Ia cantik, anggun, warna hidupnya khas pedesaan; lugu, belum tersentuh modernisasi (kehidupan modern yang terjadi ketika itu), belum mengenal sekolah (tidak bisa baca), dan terbiasa hidup dalam keadaan miskin.
6.
Puncak konflik yang merubah kehidupan tokoh
Pembunuhan yang telah dilakukan oleh Firdaus kepada germo sekaligus suaminya yang selalu memanfaatkan tubuhnya demi mendapatkan harta.
Terbakarnya Dukuh Paruk karena dianggap mendukung pergerakan propaganda komunis. Banyak rumah hangus dan pertumpahan darah di Dukuh Paruk dan sekitarnya. Srintil sendiri pun akhirnya ditahan.
7.
Konsekuensi yang diterima tokoh
Vonis mati dari pengadilan karena telah membunuh dan melakukan kekerasan, yaitu menampar Kepala Negara yang sedang menidurinya.
Menderita jasmani dan rohani. Berpisah dengan Rasus yang dicintainya. Srintil juga dipenjara beberapa tahun, menjadi bulan-bulanan di sel tahanan, dan akhirnya ia menjadi gila.
8.
Ukuran kewibawaan
Jika Firdaus mengatakan ‘tidak’ maka siapapun lelaki itu tidak akan membawanya.
Tidak lelaki yang berani mendekati dan mengajaknya tidur jika Srintil  sudah berkata ‘tidak’.
9.
Penyesalan tokoh
Firdaus tidak menyesali kepelacurannya. Sebaliknya, ia berpendapat bahwa lebih baik menjadi seorang pelacur daripada seorang istri. Karema menurutnya istri juga termasuk ‘pelacur’ dalam ‘bentuk’ berbeda.
Srintil menyesal dan menyadari bahwa keronggengannya itu ternyata ‘salah’ di dalam pandangan norma masyarakat. Hanya Dukuh Paruk saja yang membenarkan adanya ronggeng. Tetapi masyarakat di luar Dukuh Paruk mengartikan ronggeng tidak lebih dari seorang lonte, pelacur.
10.
Percintaan
Di sepanjang hidupnya, Firdaus tidak pernah dengan serius mencintai seorang lelaki pun. Meski ia pernah punya ‘rasa’ pada pamannya
Sejak kecil Srintil mencintai Rasus. Hanya saja Dukuh Paruk memisahkan keduanya dengan alasan Srintil mendapat indang ronggeng yang dianugerahkan pepunden mereka; Ki Secamenggala.
11.
Alasan melacur
Terdorong faktor memenuhi kebutuhan hidup. Ia juga mempunyai kekecewaan pada laki-laki. Sebagai perempuan, ia mendapatkan ketidakadilan dari lelaki, di dalam peng-‘lihat’-annya, mengapa lelaki lebih tinggi ‘martabatnya’ dibandingkan dengan perempuan.
Awalnya Srintil tidak mengerti apa itu ronggeng, ia hanya tahu bahwa dirinya suka menari. Tetapi Dukuh Paruk mengatakan bahwa ia telah mendapat indang ronggeng dan harus segera ditahbiskan sebagai ronggeng yang benar-benar nyata. Kemiskinan dan kebodohan juga menjadi faktor pendorong ia melacur; memenuhi kebutuhan hidup.

Penulis sertakan kutipan yang mendukung analisis penulis mengenai persamaan dan perbedaan Ronggeng Dukuh Paruk (RDP) dan Perempuan Di Titik Nol (PDTN) sesuai nomor urut di dalam kolom sebagai berikut:
1.      Cara melepas keperawanan
a)      PDTN     : …Ia menyuruh saya tiduran di atas tumpukan jerami, dan mengangkat galabeya saya. Kami bermain-main menjadi ‘pengantin perempuan dan pengantin laki-laki’. Dari bagian tertentu tubuh saya, di bagian mana saya tidak tahu pasti, timbul suatu perasaan nikmat luat biasa…(hal. 19)
b)      RDP       : …Dan sebuah perilaku primitif memang terjadi kemudian antara aku dan Srintil. Ilusi akan hadirnya Emak saat itu tak muncul di hatiku. Segalanya terjadi. Alam sendiri yang turun tangan mengguruiku dan Srintil boleh jadi Srintil merasakan sesuatu yang menyenangkan. Tetapi entahlah, aku hanya merasa telah memperoleh sebuah pengalaman yang aneh (hal. 76).
2.      Cara yang digunakan untuk melacur (menjajakan diri)
a)      PDTN     : Ketika saya telah tiba pada salah satu jalan utama, hujan masih tetap turun di atas kepala saya(hal 90-91) Kemudian seorang lelaki ke luar dan dengan cepatnya memutari mobil, membuka pintu pada sisi dekat saya, sambil membungkuk sedikit kemudian dengan sangat sopan berkata: “Silakan masuk ke dalam supaya tidak kehujanan(hal. 91)
b)      RDP       : …Srintil merasa sedang mnari di hadapan satu orang…(hal. 216, par. 3) …Tepat ketika tangan Waras menempel di pipi Srintil, mulut Sakum meruncing: “ciusssss” (hal. 216, par. 4).
3.      Perantara pelacur (germo/mucikari)
a)      PDTN     : Menjadi orang baru di tangan Sharifa. Dia membuka mata saya menghadapi kehidupan, menghadapi peristiwa-peristiwa di masa lalu, dalam masa kecil saya, yang tetap tersembunyi bagi pikiran saya (hal. 78-79).
b)      RDP       : Sementara itu suami-istri Kartareja adalah dukun ronggeng. Merekalah yang paling banyak tahu segala tetek-bengek dunia peronggengan dan mereka menggunakan pengetahuan serta statusnya sebagai dasar mata pencaharian. Dari ongkos pentas mereka mengambil bagian yang kadang-kadang lebih besar daripada bagian yang diterima Srintil. Dan keuntungan lebih besar lagi diterima oleh suami-istri Kartareja manakala mereka sebagai mucikari. Seorang laki-laki yang mabuk kepayang terhadap Srintil dan ingin tidur bersamanya barang satu-dua malam harus melalui perantara Nyai Kartareja…(hal. 140)
4.      Seting sosial budaya dan agama
a)      PDTN     : Setiap Jumat pagi ia akan mengenakan sebuah galabeya yang bersih san menuju mesjid untuk menghadiri shalat berjemaah mingguan(hal. 17).
b)      RDP       : …Dukuh Paruk hanya lengkap bila di sana ada keramat Ki Secamenggala, ada seloroh cabul, ada sumpah-serapah, dan ada ronggeng bersama perangkat calungnya…(hal. 15).
5.      Penokohan
a)      PDTN     : …Saya selalu merawat rambut saya di tempat penata rambut yang biasanya melayani para wanita dari kalangan atas masyarakat. Warna lipstick yang saya pilih selalu yang ‘alamiah dan serius’ sedemikian rupa sehingga tidak menyembunyikan ataupun menitikberatkan daya tarik yang menggiurkan dari bibir saya. Garis-garis yang dibuat dengan keahlian cermat sekitar mata saya memperlihatkan suatu kombinasi tepat dari daya tarik dan penolakan, yang biasa disukai para isteri kaum pria berkedudukan tinggi dari kalangan penguasa(hal. 17)
b)      RDP       : Lima atau enam bulan sejak kepulangannya dari keterasingan mata Srintil mulai hidup, kulitnya mulai hidup, dan wajahnya mulai hidup…(hal. 284).
c)       
6.      Puncak konflik yang merubah kehidupan tokoh
a)      PDTN     : …Saya angkat pisau itu dan menancapkannya dalam-dalam di lehernya, lalu mencabutnya kembali, dan menusukkannya dalam-dalam ke dadanya, emncabutnya ke luar dan menusukkannya ke perutnya. Saya tusukkan pisau itu ke hampir semua tubuhnya(hal. 139).
b)      RDP       : …Dini hari ketika langit timur berhias kejayaan lintang kemukus, Dukuh Paruk menyala, menyala. Api menggunung membakar Dikuh Paruk…(hal. 242).
7.      Konsekuensi yang diterima tokoh
a)      PDTN     : Dokter penjara, seorang laki-laki, menceritakan kepada saya bahwa wanita ini telah dijatuhi hukuman mati karena telah membunuh seorang laki-laki(hal. 3)Mereka mengenakan borgol baja pada pergelangan tangan saya, dan membawa saya ke penjara. Dalam penjara mereka memasukkan saya ke dalam sebuah kamar yang pintu dan jendelanya selalu tertutup(hal. 146).
b)      RDP       : …Srintil kami papah masuk, langsung ke bangsal perawatan penyakit jiwa…(hal. 402).
8.      Ukuran kewibawaan
a)      PDTN     : Saya bertahan dan berkata “Tidak” … (hal. 142). “Kau tidak dapat membayar hargaku, terlalu tinggi(hal. 143).
b)      RDP       :
 “Jadi sampean sekarang tidak meronggeng lagi?”
“Tidak.”
“Ah, kenapa?”
“Tidak. Tidak.”
“ya, tetapi mengapa?”
“Pokoknya tidak” (hal. 317)
Ti..dak. kata-kata itu berulang-ulang dalam hati Tamir. Tidak. Menurut pengalaman anak Jakarta itu, bila perempuan sudah berkata tidak, dan hanya tidak, maka susah…(hal. 318).
9.      Penyesalan tokoh
a)      PDTN     : …Saya tahu sekarang bahwa kita semua adalah pelacur yang menjual diri dengan bermacam-macam harga, dan bahwa seorang pelacur yang mahal jauh lebih baik daripada seorang pelacur yang murahan. Saya pun tahu, bahwa apabila saya kehilangan pekerjaan, apa yang hilang itu hanyalah gaji iyang kecilnya menyebalkan, hukuman yang sanksiny saya dapat baca tiap hari(hal. 110-111).
b)      RDP       : “Oalah, Nyai. Mereka tidak salah. Semua orang tidak salah. Akulah tempat segala kesalahan hidup. Jadi akulah yang harus tahu diri. Semua orang menuntut aku tidak banyak tingkah karena hal itu tidak mereka sukai. Berbuat sesuatu yang tidak mereka sukai samalah artinya dengan melakukan kesalahan. Nyai tahu apa yang akan kutanggung bila aku dianggap kembali berbuat salah?” (hal. 288)


10.  Percintaan
a)      PDTN     : Menyadari kenyataan bahwa sebenarnya saya membenci lelaki, tetapi bertahun-tahun lamanya telah menyembunyikan rahasia ini dengan sangat hati-hati. Lelaki yang paling saya benci adalah mereka yang berusaha menasihati atau yang berkata kepada saya bahwa mereka ingin menyelamatkan saya dari kehidupan yang saya jalani(hal. 128-129).
b)      RDP       : …Mereka hanya tahu Srintil jatuh hati kepada Rasus dan bertepuk  sebelah tangan…(hal. 141).
11.  Alasan melacur
a)      PDTN     : …Saya tidak mau kembali kepada kehidupann yang lalu bagaimanapun beratnya siksaan dan penderitaan yang harus saya alami, sekalipun saya tahu lapar dingin, serta kemelaratan luar biasa(hal. 105).
b)            RDP    : …Kehidupan di sana terpelihara secara lestari karena kebodohan dan kemalasan penghuninya. Mereka puas hanya menjadi buruh tani. Atau berladang singkong kecil-kecilan. Bila ada sedikit panen, minuman keras memasuki setiap pintu rumah. Suara calung dan tembang ronggeng meninabobokan Dukuh Paruk…(hal. 86).
Kedua novel ini mempunyai alur yang sama-sama flashback. Pengarang menampilkan sosok ke-akua-an yang kental. Di awal cerita ‘aku’ memaparkan pengalamannya dengan tokoh sentral, kemudian ‘aku’ menceritakan kehidupan tokoh sentral dan pada akhir cerita ‘aku’ menutup ceritanya dengan kesimpulan apa yang akan dilakukannya, serta tokoh ‘aku’ mengenang apa yang telah terjadi dengan kehidupan tokoh sentral.
Misalnya saja Rasus yang mengenang kejadian masa lalu mengenai keronggengan Srintil. Kemudian ia meyadari ‘lamunan’nya tersebut dan bertindak sesuai dengan masa kini. Tetapi Rasus tetap saja memaparkan slide-slide ingatannya itu sebagai suatu ingatan dalam kenangan. Cerita yang dibagi untuk semua orang yang ingin mendengarkan ceritanya. Seperti pendongeng yang sedang berdongeng.
Tokoh ‘aku’ yang berprofesi sebagai dokter pun sama seperti Rasus. Ia menceritakan kejadian yang dialami oleh seorang narapidana mati bernama Firdaus. Suatu kejadian yang ditemui dan dialaminya itu dibagi dan diceritakan kepada setiap orang yang tertarik menikmati lika-liku ceritanya. Penulis menyimpulkan bahwa kedua novel tersebut dapat juga dikatakan sebagai novel yang ingin ‘berbicara’ kepada banyak orang mengenai pengalaman dan realitas kehidupan.
Penulis juga mendapatkan ke-aku-an yang digunakan pengarang untuk mempermudah seseorang memahami tokoh dan penokohan serta ‘lakon’ apa yang sedang dimainkan. Hanya saja di beberapa penggal cerita (tapi cukup banyak juga) dijumpai ‘aku’ seperti sedang berada di luar cerita dan berperan sebagai tukang dongeng saja, seakan tidak terlibat di dalam cerita.
Mengenai teknik penceritaan, Ahmad Tohari dan Nawal el-Saadawi cenderung ke arah deskriptif-naratif. Hanya saja Ahmad Tohari lebih bernuansa pedesaan yang khas, yang lebih dekat akan suasana alam dan kehidupan tradisionalnya; termasuk kepelacuran yang berada di dalamnya. Sedangkan Nawal el-Saadawi banyak sekali mengungkap segi-segi pribadi personal maupun sosial mengenai pelacur itu sendiri.

No comments: