A. KAJIAN HEURISTIK
Pengkaji tertarik dengan diksi yang digunakan penyair
dalam setiap puisinya. Kemudian pengkaji malakukan kajian pada puisi Chairi
Anwar “Yang Terampas dan Yang Putus” kurang lebih sebagai berikut:
Yang Terampas dan Yang
terputus
Kelam dan angin lalu mempesiang diriku,
Menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
Malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu
Di karet, di karet (daerahku y.a.d.) sampai juga deru angin
Aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang
Dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu,
Tapi kini tangan yang bergerak lantang
Tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku
Kelam. Berarti agak gelap, suram. Penyair mengumpamakan semua
kejadian atau peristiwa menyedihkan yang dialaminya dilambangkan dengan
‘kelam’. Kalau diibaratkan hari, maka hari itu dipenuhi dengan berbagai
kekecewaan, yang sulit diperbaiki di hari berikutnya.
Sebuah peristiwa tragis nampaknya
dialami penyair. Hingga sangat mempengaruhi kehidupannya. Luka yang sepertinya
susah diobati, karena penyair sepertinya putus asa mencari penawar buat
lukanya.
Dan angin lalu. Segala yang telah terjadi penyair anggap sebagai
‘angin lalu’ saja. Tidak begitu digubris, sebab hidup terus berlanjut. Sedang
apa yang telah terjadi cukup pantas untuk dikenang. Apa yang bakal terjadi
merupakan masa datang yang ‘wajib’ dijelang. Biarlah duka yang pernah dirasakan
dikubur dan yang menjadi pokok soal dijadikan pelajaran. Supaya kehidupan ke
depan tidak mengalami kegagalan yang sama seperti kemarin.
Mempesiang diriku. Mungkin dengan pengalaman penyair kemarin yang mengalami
kegagalan, dijadikannya sesuatu yang berarti sebagai bahan pertimbangan untuk
menuju hal yang lebih baik di masa mendatang. Pengalaman yang kemarin penyair
alami bisa lebih menegarkannya.
Sebentuk luka yang mendalam itu
ternyata malah menjadi senjata terkuat, penyair menjadikannya sebuah motivasi
paling berharga. Kelihatannya penyair adalah orang yang tabah. Meskipun
‘menangis’, tangisan itu sebentar saja. Tidak akan lama, sebab ia harus cepat
bangun lagi demi menata masa depan yang ada di hadapannya.
Menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin. Pengganti kata ‘gigir’ yang lain adalah dingin. Sedangkan ‘ruang’ yang
dimaksud penyair mungkin ialah hatinya. Kalbunya, yang terisi oleh hal-hal
spesial, termasuk suka atau duka yang kemarin pernah dikecapnya, dan kini telah
menjadi kenangan pribadinya yang asasi.
Gigir atau dingin bisa berarti
membeku, dan tak tersentuh. Bahkan terkesan introvert atau menutup diri.
Mungkin setelah penyair mengalami banyak cobaan ia tambah lebih waspada. Sikap
mawas dirinya bisa jadi terlalu berlebihan. Hatinya tidak seperti dulu lagi,
bahkan dalam menghadapi segala permasalahan penyair lebih banyak menggunakan
logika atau pikiran daripada perasaannya.
Sedangkan yang penyair maksud dengan
“dia yang kuingin” mungkin adalah sebuah cita-cita, impian atau bahkan seorang
kekasih yang tak dapat ia raih lagi. Karena ia tidak mempunyai kesempatan
menggapainya atau justru membuang sama sekali kesempatan yang ada.
Malam tambah merasuk. Penyair
merasa bahwa usianya tidak makin menjadi muda, tapi sebaliknya. Usia tersebut
dilambangkan dengan suasana “malam’, yang bisa juga melambangkan kesedihan yang
sangat. Kehidupan yang tidak tambah baik, melainkan memburuk.
Penyair merasakan ketakutan yang
menjadi-jadi, dengan dibubuhi kata ‘merasuk’ yang identik dengan keadaan
mencekam. Di sinilah ujian bagi penyair. Jika ia melampaui kesedihan dan bisa
mengobati luka-lukanya, berarti ia lulus sebagai seorang ‘manusia’ yang
merupakan makhluk dengan kodrat bisa merasakan baik-buruk dan susah-senang.
Begitu pun kebalikannya.
Rimba jadi semati tugu. Pendeskripsian
‘rimba’ biasanya hutan, yang berisi beraneka ragam flora, fauna, dan gegap
gempita kehidupannya. Sedangkan ‘tugu’ malah kebalikan dari semua itu, karena
berupa patung yang nama lainnya hanya benda mati.
Penyair mungkin ingin menyampaikan
bahwa kini kehidupannya yang semula bahagia menjadi sepi dan sangat sunyi.
Perasaannya sedikit demi sedikit memati. Tidak bergairah, bahkan terkesan
tertekan. Tidak bervariasi.
Di Karet.
Pengkaji punya anggapan kalau
‘Karet’ merupakan nama sebuah tempat, bisa juga tempat kejadian peristiwa.
Apalagi ada akronim ‘y. a. d.’ yang menurut pendapat pengkaji merupakan
singkatan dari ‘yang akan dikenang’.
Kisah penyair begitu unik dan
romantis, hingga dalam puisinya penulis menangkap kesan bahwa penyair sungguh
seorang yang cermat, perhatian sekaligus pengertian.
Sampai juga deru angin. Penyair
menganggap bahwa umurnya tidak akan lama lagi. Seperti ia telah mengetahui
bahwa usianya tidak lama lagi. Karena ‘angin’ bisa juga diartikan sebagai
penyakit. Keadaan penyair dalam kondisi yang kurang baik, dan sering
sakit-sakitan. Bukan hanya fisik, tapi juga hatinya ikut luka parah.
Aku berbenah. Karena
itulah penyair bersiap diri, ‘berbenah’ atau siaga agar kelak tidak begitu
merasa kecewa atau menyesali apa yang telah terjadi. Dia bersiaga jika nanti
maut menjemputnya.
Namun, ‘berbenah’ bisa diartikan
siap sedia menanggulangi kalau saja peristiwa serupa datang, ia bisa
menghancurkan segala yang pernah membuatnya kecewa. Bahkan dia sudah
mensenjatai dan membentengi dirinya dengan kekuatan penuh.
Dalam kamar, dalam diriku. Sesuatu
yang paling pribadi biasanya ada di kamar. Sebuah ruangan yang dapat menjadi
cermin kepribadian pemiliknya. Tetapi pengkaji berpendapat bahwa ‘kamar’ yang
dimaksud penyair adalah hatinya sendiri. Perasaannya, kalbunya yang polos dan
naif. Hal ini diperkuat dengan kata ‘dalam diriku’ yang mengikuti kata ‘dalam
kamar’.
Sesuatu dam diri manusia tidak lain
adalah hati kecilnya sendiri, yang tak bisa diajak kompromi untuk
bohong-membohongi. Lisan kerap kali bisa tidak jujur, tapi hati kecil tidak
dapat melawan kebenaran yang ada untuk menggantinya dengan kamuflase.
Jika kau datang. Sungguh suatu
hal yang mendebarkan. Sebuah dendam rindu dan pengharapan yang belum tentu akan
terbalaskan. Kata ‘kau’ bisa saja diibaratkan penyair sebagai Tuhan yang akan
memanggil penyair ke sisiNya. Karena usianya dicukupkan sampai sekian, dengan
berbagai penderitaan yang telah ia lalui, mungkin Tuhan yang maha penyayang
mengambilnya dengan kasih sayang pula.
Namun, tidak menutup kemungkinan
kalau yang dimaksud penyair dengan ‘kau’ itu sebenarnya adalah kekasih yang
sangat dicintainya, yang dinantinya sampai mati. Karena kekasihnya itu tidak
tahu kalau dia dianggap sebagai true love
si Penyair.
Aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu. Sebenarnya penyair ingin menjalani kehidupan normal dengan kekasihnya
tanpa rintangan yang berarti. Harapannya juga ingin diberi kesempatan hidup
lebih lama lagi, agar dapat menyaksikan kekasih yang dinantinya itu kembali.
Keinginan penyair yang sederhana, tapi begitu sulit terwujudnya.
Kemudian pengharapan tinggallah
sebuah pengharapan. Penyair tampak tak bergairah lagi, dan sangat antusias
menyambut datangnya kematian. Dengan begitu, penyair dapat membuat ‘kisah baru’
pada yang ditinggalkannya yang masih ada dan hidup. Mungkin penyair bisa
menjadi ‘dongeng’ yang akan hidup di hati orang-orang yang sempat mengenal dan
mengaguminya. Ia akan menjadi sebuah kenangan yang sayang untuk dilupakan.
Tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang. Maksud penyair dengan ‘tangan’ mungkin adalah kekuasaan. Sedangkan
‘bergerak lantang’ bisa berarti sewenang-wenang. Penyair dalam meraih impiannya
banyak yang menghalangi. Salah satunya adalah kesewenang-wenangan dari
orang-orang yang berkuasa. Entah pejabat, orang tua kekasihnya, orang lain yang
mungkin dicintai atau mencitai kekasihnya, dan tidak menutup kemungkinan Tuhan,
sebab Tuhan yang memegang kekuasaan tertinggi di semesta alam.
Tubuhku diam dan sendiri. Penyair
telah kalah dalam pertarungan aral melintang yang mengahambatnya menggapai
cita-cita dan mimpinya. Penyair merasakan kehampaan hidup. Kata ‘diam dan beku’
bisa diartikan sebagai tubuh seseorang yang telah mati.
Kemungkinan besar kalau penyair tidak
mati secara harfiah, berhenti bernafas, ia ‘mati asa’ dalam memandang masa
depannya. Tidak ada yang diperjuankan lagi, karena semuanya sudah jelas tak
dapat diperjuangkan. Bahkan keinginan dan dirinya sendiri secara pribadi tak
dapat diperjuangkan, apalagi mempertahankannya.
Cerita dan peristiwa berlalu beku. Kini penyair benar-benar mati, dan menjadi kenangan dengan kematian yang
juga menanggung sebuah bingkai potret impian yang tak pernah akan terwujud.
Semuanya ‘berlalu beku’ karena penyair ingin menjalani kehidupan ke depan
dengan damai yang susah sekali ia dapatkan di hari kemarin. Yaitu kekekalan
hidup damai dan penuh kasih di sisiNya.
♠ Dari puisi “Yang Terampas dan Yang Terputus” ini, pengkaji mendapati
sisi gelap hidup penyair. Kehidupannya tidak semulus yang diharapkan. Bahwa
penyair awalnya sangat optimis, tapi akhirnya penyair harus menelan kegagalan
dalam mewujudkan impian.
Puisi ini berbicara banyak tentang
bagaimana seseorang seharusnya memperjuangkan impian dan cita-cita. Jangan
sampai meniru sikap pesimistis penyair, jika segala asa tidak mau terbang pula.
Siapapun yang mempunyai keinginan harus siap jatuh bangun mencapainya demi
hasil yang diharapkan. Apaun cita-cita itu (mengenai kehidupan percintaan,
karier, keluarga, dan sebagainya).
Kalau ingin memperbaiki hidup,
menjalani kehidupan ke depan dengan tersenyum, seseorang harus mati-matian
mengusahakannya. Tapi jangan sampai lupa memperhatikan segi kemanusiaan. Jangan
sampai terjadi karusi. Yaitu penyakit hidup yang ditandai dengan hidup
hanya untuk bekerja seperti robot, dan akhirnya depresi atau tertekan jika
keinginannya tidak kesampaian.
B. KAJIAN HERMENEUTIK
Kehidupan cinta penyair ternyata tidak semulus yang
diharapkannya. Tidak pula setenar namanya di jagad sastra, terutama bidang
kepuisian. Sebab sebenarnya puisi ini mengacu pada kegagalan cinta sang
Penyair.
Rasa cinta Chairil
Anwar pada Sri Ayati yang kandas merupakan pukulan terbesarnya. Wanita yang ia
impikan akhirnya meninggalkannya tanpa Chairil tahu apa penyebabnya. Yang
jelas, saat itu Chairil tidak bisa diharapkan. Sedangkan Sri Ayati sudah
menjadi milik orang lain.
Bagaimanapun juga, Chairil tetap menganggap Sri sebagai kekasih
abadi yang akan dibawanya sampai mati, meskipun Chairil selanjutnya menikahi
wanita lain dan memperoleh anak dari wanita itu. Cinta Chairil yang tak sampai
pada Sri itulah salah satu motivasi yang membuatnya sebagai seorang penyair ternama.
Cinta terdalamnya itu secara tidak langsung membangkitkan keterpurukannya
dengan kata-kata dalam puisi.
Seperti seorang pencipta lirik lagu yang putus cinta
kemudian lagu tersebut dinikmati serta meledak di pasara. Begitu pula tampaknya
yang telah dilakukan oleh Chairil. Meskipun pada akhirnya ia tetap merasa
menjadi orang yang gagal dalam memperjuangkan dan mempertahankan Sri menjadi soulmate dalam hidupnya secara
realistis. Ya, Chairil tetap mencintai dan menyimpan cintanya itu sampai mati.
Karena dia sadar benar bahwa penyakit yang selama ini menggerogoti tubuhnya,
akan lekas memisahkannya dengan dunia.
Janji setianya pada Sri Ayati yang hanya diketahui dan
diamini dalam hati saja sendirian itu ternyata ditepatinya juga. Chairil bisa
membuktikan bahwa Sri Ayati bukanlah segalanya dalam kehidupannya. Tetapi
rupanya rasa cinta lebih kuat hingga dia sendiri tidak bisa menutup-nutupi
bahwa Sri sangat berarti untuknya. Sehingga benteng pertahanan untuk menutupi
perasaan itu akhirnya jebol juga.
Setiap orang tahu kalau Chairil menulis puisi-puisinya
hanya untuk sri, tapi ia membiarkan begitu saja. Membiarkan penikmat puisinya
leluasa dan bebas menginterpretasikan atau mengapresiasikan puisi-puisinya
tersebut. Baginya, puisi yang tepat untuk Sri itu tidak ada, karena puisi itu
adalah Sri sendiri yang tertulis lekat-lekat dalam sanubari terdalamnya.
Mungkin inilah yang namanya cinta ala Chairil Anwar.
Penyair kondang yang diselimuti misteri. Ia menggarap puisi “Yang Terampas dan
Yang Terputus” ini di saat tahu kondisi tubuhnya memburuk. Terampas karena Sri
yang ia cintai telah dimiliki orang lain. Terputus disebabkan hubungannya
dengan kekasih sejatinya dipisahkan oleh keadaan. Justru cinta inilah yang
memperkuat ungkapan bahwa “cinta tak harus memiliki”.
Meskipun demikian, Chairil Anwar tetap harus diacungi
jempol demi menunjukkan eksistensinya di dunia sastra maupun di dunia nyata,
yang normal dan terus melaju tanpa berbelok lagi ini. Ia mampu merubah patah
hatinya dengan cara bekerja keras mencari jati diri supaya mendapat tempat. Ia
memang tidak sempat mendapatkan tempat di sisi Sri, tapi dia tidak ingin
tersingkir lagi. Maka ia membuktikan dirinya bisa diterima di segala masa.
Meski ia disebut pengidap karusi.
Hingga sampai detik kematiannya, ia belum sekali pun
mendapatkan kemewahan. Tapi setelah kematiannya, nama dan karyanya
diagung-agungkan dan dimuliakan. Inilah eksistensinya yang tak akan mati dengan
begitu mudahnya. Chairil pula orang atau salah seorang sastrawan yang ‘sedikit
menang’ bertarung melawan waktu. Meski karyanya musnah, proses penciptaan karya
itu sendiri akan seabadi yang membuatnya. Chairil Anwarlah yang menang bersama
cintanya yang bagaimanapun tetap abadi untuk dirinya sendiri, sebab ia yang
merasai dan insafi.
No comments:
Post a Comment