ANALISIS MAJAS DALAM
PUISI RUMPUN ALANG-ALANG
KARYA W.S RENDRA
RUMPUN ALANG-ALANG
Engkau perempuan terkasih, yang sejenak ku lupakan, sayang
Karna dalam sepi yang jahat tumbuh alang-alang di hatiku yang malang
Di hatiku alang-alang menancap akar-akarnya yang gatal
Serumpun alang-alang gelap, lembut dan nakal
Gelap dan bergoyang ia
Dan ia pun berbunga dosa
Engkau tetap yang punya
Tapi alang-alang tumbuh di dada
Karya: WS Rendra
Majas adalah bahasa
kias, bahasa yang dipergunakan untuk menciptakan efek tertentu. Penggunaan majas
diciptakan untuk menimbulkan kesan imajinatif bagi penyimak atau pembicaranya.
Puisi yang berjudul “Rumpun Alang-Alang” karya W.S Rendra ini terdapat beberapa
kata kiasan, didalamnya juga terdapat banyak kata yang mengandung majas, dengan
memahami arti dibalik majas yang terdapat dalam sebuah puisi, tentu pesan atau
arti dari puisi itu sendiri dapat tersampaikan kepada pembaca, karena hal
tersebutlah saya lebih memilih majas sebagai bahan analisis saya.
Sebelumnya seorang
kritikus sastra indonesia yang terkenal yaitu Subagio Sastrowardoyo juga pernah
menganalisis puisi Rumpun Alang-Alang. Subagio berpendapat bahwa
menariknya puisi Rendra adalah dalam penggunaan lebih cenderung ke metafora-metafora
yang dramatik. Saya penasaran dan tertarik untuk menganalisis puisi Rendra karena
dalam penggunaan bahasa dan dilihat dari segi majas terutama majas metafora.
Puisi Rumpun
Alang-Alang ini dibalik majas-majasnya mempunyai arti yang sangat mendalam,
Lalu benarkah dalam puisi Rumpun Alang-Alang karya Rendra lebih banyak
terdapat majas metafora jika dibandingkan dengan majas lain? Dan juga mengapa
majas metafora ini dalam kata-katanya lebih memiliki arti yang mendalam pada
puisi rumpun alang-alang, hal inilah yang membuat saya tertarik untuk
mengadakan penelitian ini.
Pengertian Majas (figurative language)
Seperti yang telah
dikemukakan dibagian pendahuluan, majas adalah bahasa kias, bahasa yang
dipergunakan untuk menciptakan efek tertentu. Dalam penggunaannya, majas
diciptakan untuk menimbulkan kesan imajinatif bagi penyimak atau pembicaranya.
Majas (figurative language) adalah bahasa kias, bahasa yang dipergunakan
untuk menciptakan efek tertentu. Majas merupakan bentuk retoris, yang
penggunaannya antara lain untuk menimbulkan kesan imajinatif bagi penyimak atau
pembacanya. Secara garis besar, majas-majas tersebut terbagi dalam majas
perbandingan, pertentangan, pertautan, dan perulangan.
Menurut Abrams
(1981:63) bahasa figuratif (figuratif language) adalah penyimpangan
penggunaan bahasa oleh penutur dari pemahaman bahasa yang dipakai sehari-hari (ordinary),
penyimpangan dari bahasa standar, atau penyimpangan makna kata, suatu
penyimpangan rangkaian kata supaya memperoleh beberapa arti khusus.
Bahasa kias atau
figuratif menurut Abrams (1981:63-65) terdiri atas simile (perbandingan), metafora,
metonimi, sinekdoke, dan personifikasi. Sementara itu Pradopo (1994:62) membagi
bahasa kias ke dalam tujuh jenis, yaitu perbandingan, metafora, perumpamaan,
epos, personifikasi, metonimi, dan alegori.
Menurut Prof. Dr.H.G.
Tarigan bahwa majas adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara
khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis. Unsur kebahasaan
antara lain: pilihan kata, frase, klausa, dan kalimat. Menurut Goris Keraf,
sebuah majas dikatakan baik bila mengandung tiga dasar, yaitu: kejujuran, sopan
santun, dan menarik.
Majas Metafora
Metafora merupakan
salah satu jenis dari majas perbandingan. Majas Metafora adalah gaya bahasa pengungkapan berupa perbandingan
analogis dengan menghilangkan kata seperti layaknya, bagaikan,
dll. contoh majas Metafora: Waspadalah terhadap lintah darat
Aristoteles memandang
metafora sebagai satu jenis hiasan tambahan pada penggunaan bahasa dalam
kehidupan sehari-hari. Metafora dianggap sebagai alat retorik yang hanya
digunakan pada saat-saat tertentu untuk mencapai efek tertentu pula. Wujudnya
menyimpang dari bahasa yang dianggap masyarakat sebagai bahasa yang normal.
Oleh karena itu, setiap pendengar menangkap ujaran metafora, ia akan
menangkapnya sebagai bentuk ujaran yang aneh (anomalous) sehingga ia harus
berusaha sedemikian rupa untuk dapat merekonstruksi makna apa sebenarnya yang
terkandung dalam ujaran aneh itu.
Hendy (1991:69)
mengemukakan bahwa metafora berasal dari kata meta dan phoreo yang
berarti bertukar nama atau perumpamaan. Metafora adalah majas perbandingan
langsung, yaitu membandingkan sesuatu secara langsung terhadap penggantinya.
Untuk memperjelas pengertian yang diajukannya, Hendy memberikan contoh sebagai
berikut.
(1) Sang ratu malam telah muncul di ufuk timur.
(2) Jantung hatinya hilang tanpa berita.
(2) Jantung hatinya hilang tanpa berita.
Ungkapan ratu malam
pada kalimat pertama berarti bulan sedangkan ungkapan jantung hati pada kalimat
kedua berarti kekasih. Jadi, bulan secara langsung dibandingkan dengan ratu
malam atau ratu pada malam hari, sedangkan kekasih secara langsung dibandingkan
dengan jantung dan hati.
Waluyo (1987:84), dalam
bukunya yang berjudul Teori dan Apresiasi Puisi, menyatakan bahwa metafora
adalah kiasan langsung, artinya benda yang dikiaskan itu tidak disebutkan.
Metafora itu langsung berupa kiasan. Sebagai contoh klasik, yaitu litah darat,
bunga bangsa, kambing hitam, bunga sedap malam, dan sebagainya.
Aminudin (1987:143)
juga mengajukan pengertian metafora yang menekankan pada kandungan makna
kiasnya. Aminudin mengemukakan bahwa metafora merupakan bentuk pengungkapan
yang di dalamnya terdapat hubungan makna secara tersirat, mengungkapkan acuan
makna yang lain selain makna sebenarnya. Suatu kata atau frasa tidak lagi
mewakili acuan maknanya sendiri, tetapi mewakili acuan makna yang dimiliki kata
atau frasa lainnya yang dianggap sepadan. Misalnya, ”Cemara pun gugur daun”
mengungkapkan makna ”ketidakabadian kehidupan”.
Ahli lain, yakni Saeed
(2005:345-346), juga membenarkan adanya pemindahan makna (concept transference)
dalam metafora. Saeed menyatakan bahwa pada umumnya, metafora disamakan halnya
dengan simile bahwa pada keduanya terdapat identifikasi kemiripan hal-hal yang
dianalogikan. Padahal, metafora sebenarnya lebih dari itu karena dalam metafora
terdapat pemindahan konsep dari komponen yang satu pada komponen yang lainnya.
Siswantoro (2005:27-28)
menyampaikan bahwa metafora sama halnya seperti simile, motafora juga
membandingkan antara objek yang memiliki titik-titik kesamaan, tetapi tanpa
menggunakan kata-kata pembanding seperti, sebagai, bagai, dan lain-lain. Untuk
memperjelas batasan yang diajukannya, Siswantoro memaparkan kembali pendapat
Wren dan Martin bahwa,
“a metaphor is an implied simile. It does not like the simile, state one
thing is like another or acts as another, but takes that for granted and
proceeds as if the two things were one”.
Atas dasar pengertian
seperti itu, kalimat He fought like a lion, merupakan contoh bentuk simile,
tetapi kalimat He was a lion in the fight, meru-pakan contoh bentuk metafora.
Dalam penjelasan di atas, Siswantoro secara tegas mengatakan bahwa ketiadaan konjungsi komparatif sebagai piranti formal linguistik secara sintakitis merupakan keharusan dalam sebuah metafora.
Dalam penjelasan di atas, Siswantoro secara tegas mengatakan bahwa ketiadaan konjungsi komparatif sebagai piranti formal linguistik secara sintakitis merupakan keharusan dalam sebuah metafora.
Pradopo (2005:66) dan
Djajasudarma (1999:21) menjelaskan bahwa metafora adalah bahasa kiasan seperti
perbandingan, hanya tidak menggunakan kata-kata pembanding seperti, bagai,
laksana, dan sebagainya. Metafora itu melihat sesuatu dengan perantaraan benda
yang lain. Metafora menyatakan sesuatu sebagai hal yang sama atau seharga
dengan hal lain, yang sesungguhnya tidak sama. Sebagai contoh, Pradopo
memaparkan larik-larik puisi Subagio yang berjudul Dewa Telah Mati, sebabai
berikut.
Bumi ini perempuan jalang
Yang menarik laki-laki jantan dan pertapa
Ke rawa-rawa mesum ini
Yang menarik laki-laki jantan dan pertapa
Ke rawa-rawa mesum ini
Dalam penggalan puisi
di atas, hubungan bumi ini dengan perempuan jalang bersifat sepadan atau
koodinatif. Bumi disamakan (dibandingkan) dengan perempuan jalang, namun,
hubungan keduanya secara sintaksis tanpa kehadiran konjungsi komparatif
seperti, bagai, laksana, atau yang lainnya. Bumi yang dimaksudkan penyair
adalah bumi yang memiliki sifat-sifat seperti perempuan yang jalang, yakni
perempuan yang suka menarik laki-laki dan orang baik-baik ke tempat-tempat atau
kehidupan mesum yang kotor.
Griffith (1982:59-60)
menyampaikan bahwa metafora memiliki dua pengertian, yakni pengertian secara
umum (general meaning) dan pengertian secara khusus (specific meaning). Secara
umum, metafora merupakan bentuk analogi, yakni perbandingan untuk mencari
persamaan-persamaan antara dua hal yang dibandingkan. Sementara secara khusus,
metafora merupakan jenis bentuk perbandingan tersendiri yang khas, yang berbeda
dengan simile. Jika simile membandingkan dua hal yang berbeda ditandai dengan
penggunaan kata like ‘seperti’ atau as ‘bagai atau bagaikan’, maka metafora
justru menghilangkan penggunaan kata-kata pembanding seperti itu.
Dijelaskan bahwa
analogi dalam metafora terjadi secara langsung atau bersifat implisit. Artinya,
suatu hal dibandingkan secara langsung dengan hal lain sehingga makna yang
dikehendaki muncul secara tersirat dibalik perbandingan itu. Untuk memperjelas
batasan yang diajukan, Griffith memaparkan contoh larik-larik puisi Shakespare
yang berjudul Fair Is My Love sebagai berikut.
Fair is my love, but not so fair as fickle
Mild as a dove, but neither true trusty
Brighter than glass, and yet, as glass is, brittle
Softer than wax, and yet, as iron, rusty
Mild as a dove, but neither true trusty
Brighter than glass, and yet, as glass is, brittle
Softer than wax, and yet, as iron, rusty
Pada keempat larik
penggalan puisi di atas, kata-kata yang bercetak tebal merupakan bentuk simile.
Perbandingan-perbandingan tak langsung dalam larik-larik itu dijalin oleh
Shakespare dengan menggunakan kata as sebagai konjungsi komparatif.
Analisi Puisi Rumpun Alang-Alang
Dalam pengertian KBBI,
alang-alang berarti rumput yang mengerombol yang tingginya sekitar 20 cm.
Sedangkan rumpun berarti kelompok tumbuhan yang tumbuh anak-beranak seakan-akan
mempunyai akar yg sama. Namun dalam puisi Rendra yang berjudul “Rumpun
Alang-alang” kata alang-alang disini dapat dimaknai sebagai “sebuah
kejenuhan atau godaan-godaan”. Secara umum puisi rumpun alang-alang
ini bercerita tentang kebimbangan lelaki atas jalan hidupnya yang masih
panjang, yang dibayangi warna-warni lampu dunia berupa naluri pengembaraan
lelaki ataupun kehadiran wanita lain yang menyilaukan mata dan, seringkali,
membelokkan jalan.
Majas (figurative language) adalah bahasa kias, bahasa yang dipergunakan
untuk menciptakan efek tertentu. Jika dilihat dari segi majas, puisi rumpun
alang-alang lebih banyak terdapat majas metafora, berikut bait puisi yang
mengandung majas metafora.
Engkau perempuan terkasih, yang sejenak ku
lupakan, sayang
Karna dalam sepi yang jahat tumbuh alang-alang di hatiku yang malang
Di hatiku alang-alang menancap akar-akarnya yang gatal
Serumpun alang-alang gelap, lembut dan nakal
Gelap dan bergoyang ia
Dan ia pun berbunga dosa
Engkau tetap yang punya
Tapi alang-alang tumbuh di dada
Kata yang bercetak
tebal diatas merupakan majas metafora, disamping itu terdapat juga majas lain,
yaitu personifikasi. Dalam hal ini Rendra ingin mengabungkan metafora dengan
personifikasi, dimana kedua majas yang berbeda tersebut ternyata bisa
dikombinasikan dengan baik oleh Rendra.
Jelas disini bahwa dalam
puisi Rendra yang berjudul rumpun alang-alang lebih banyak terdapat
majas metafora dari pada majas lain.
Kata-kata yang
mengandung majas metafora umumnya lebih mempunyai arti yang mendalam seperti, “engkau
perempuan terkasih”, “serumpun alang-alang gelap, lembut dan nakal”, “dan ia
pun berbunga dosa”, disini terlihat jelas dimana Rendra mencoba
mengungkapkan apa yang dia rasakan. Dalam pandangan romantik, metafora
merupakan wujud integral dari bahasa dan pikiran sebagai sebuah cara pencarian
pengalaman. Sebuah bentuk metafora dipandang tidak hanya sebagai refleksi dari
bagaimana penuturnya menggunakan bahasa, tetapi juga sebagai refleksi dari
bagaimana pikiran-pikiran penuturnya.
Lebih dari itu,
sebagaimana yang disampaikan Freeborn (1996:63) bahwa George Lokaff dan Mark
Johnson, mengakui metafora bukanlah sekedar alat imajinasi puitik dan hiasan
retorik semata, tetapi meresap dalam kehidupan sehari-hari, bukan sekedar ada
dalam bahasa, namun menyatu dalam pikiran dan tindakan. Melalui metafora yang digunakan,
seseorang dapat diketahui pikiran dan perbuatannya. Metafora mencerminkan siapa
dan bagaimana pemakainya.
Ungkapan engkau
perempuan terkasih mengambarkan bahwa Rendra begitu menyayangi perempuan
tersebut dan segala kasih sayangnya hanya tercurahkan untuk dia (perempuan)
seorang. Rendra lebih memilih mengunakan kata perempuan dibandingkan wanita,
karena kata perempuan disini lebih memiliki nilai yang tinggi dari pada kata
wanita.
Ungkapan serumpun
alang-alang gelap, lembut dan nakal mengambarkan ada sesuatu hal yang
menganggu fikiran Rendra dalam hal ini bisa digambarkan seperti sebuah godaan
akan hadirnya wanita lain yang secara perlahan mengoyahkan hatinya.
Kemudian ungkapan dan
ia pun berbunga dosa, kata berbunga dosa disini digambarkan sebagai
sesuatu yang buruk yang telah terjadi. Kata bunga pada umumnya adalah sesuatu
yang indah namun oleh Rendra kata bunga disandingkan dengan kata dosa yang
berkonotasi dengan kata bunga, hal ini menimbulkan makna yang lebih mendalam.
Jadi, kata-kata mengunakan majas metafora terbukti lebih mempunyai arti yang
lebih mendalam dari pada kata yang lain.
Kesimpulan
Seorang
sastrawan menggunakan bahasa sebagai alat untuk berkomunikasi secara khas dalam
puisi. Mereka menyatakan sesuatu dengan caranya sendiri, dengan gayanya
sendiri. Dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa secara khas ini, Teeuw
(1984:70-72) mengemukakan bahwa sastrawan seringkali memakai bahasa yang aneh
atau istimewa, yang gelap atau yang menyimpang dari bahasa sehari-hari, yakni
bahasa yang oleh masyarakat pemakainya dianggap sebagai bahasa yang normal.
Tidak jarang ditemukan beberapa sastrawan mengungkap masalah yang sama, tapi
dengan cara berungkap yang berbeda, baik berasal dari angkatan yang sama maupun
dari angkatan yang berbeda. Mereka menyampaikan pikiran dan perasaan yang sama
dengan gaya yang berbeda.
Sebagaimana
yang disampaikan Sumardjo dan Saini (1986:27), jika diteliti lebih jauh,
ternyata daya ungkap gaya bahasa, yang digunakan dalam puisi (juga prosa),
seperti simile, metafora dan personifikasi itu datang dari daya ungkap citra
(imaji) dan lambang yang dipakai dalam gaya bahasa-gaya bahasa itu. Citra dan
lambang mampu memberi gerak dan memberi daya hidup. Citra dan lambang mampu
mewakili dan menyampaikan gagasan, perasaan, maupun pengalaman pengarang pada
pembaca.
Dalam
puisi rumpun alang-alang karya Rendra dimana metafora-metafora yang dipakai
begitu merasuk di setiap mana kalimatnya. Puisi ini memberikan gambaran tentang
sifat lelaki yang kadang kala masih bisa tergoda akan gemerlapnya dunia yang
kadang kala membelokan pendirian.
No comments:
Post a Comment