Film yang belum usai saya
terjemahkan dengan ‘sense’ yang saya miliki. Pasir Berbisik bukan film yang
mudah saya rasakan di mana letak kenikmatannya. Jika dibilang tidak ada
tendensinya, kurang tepat. Justru film ini menyimpan pesan yang tidak sekali
menonton sudah mengetahuinya. Melainkan harus berulangkali dan dengan
penikmatan yang pelan-pelan saja.
Jika dalam sastra ada karya sastra
berbentuk puisi, maka saya berpendapat bahwa “Pasir Berbisik” merupakan puisi-nya
dunia perfilman. Potongan-potongan adegannya menyambung, merangkai menjadi
sebuah tontonan, tetapi alur ceritanya yang runtut justru menyamarkan pesan apa
yang dibawa film tersebut.
Daya (Dian Sastro) seorang gadis
yang belum sedikit pun tersentuh oleh kehidupan kota menjadi gadis yang terbelakang dalam
segala hal (pemikiran, life style, pengalaman hidup, pengenalan mengenai
karakter orang, pendidikan, dan keadaan). Kemudian ia sangat terpukul dengan
tindakan tidak senonoh lelaki—justru karena diamini oleh ayah kandungnya yang
kedatangannya diharpkan siang dan malam.
Ibu (Christine Hakim) adalah ibu
yang tidak begitu suka bicara, tampaknya sangat kuat mempengaruhi kehidupan
Daya—yang lebih suka dipanggil ‘Anak’ daripada namanya: Daya. Sebenarnya ia
tahu segala yang terjadi dengan anaknya, tetapi ia memilih untuk diam. Bahkan
ia hanya diam—menangis ketika Daya pergi ke kota bersama ayahnya. Tampaknya wajahnya
sangat keras, judes dan dingin. Tetapi di balik itu semua saya tahu kasihnya
begitu besar. Hanya saja keterbatasannya ‘memanage’ diri, keluarga dan anaknya
yang membuatnya tidak dapat berbuat banyak.
Bapak (Slamet Rahardjo Djarot) tampaknya
seseorang yang tidak dapat menunjukkan tanggungjawabnya sebagai kepala rumah
tangga, apalagi memberikan kasih sayangnya kepada anaknya. Malah dia
menyerahkan anaknya kepada lelaki (Didi Petet) tidak senonoh dengan
memanfaatkan kenaifan, keluguan anaknya.
Terus terang, film ini membuat saya
mencari kesejatian pada realita kehidupan. Setting yang kering, lahan tandus,
pantai yang anyir, debu yang membadai, matahari yang tak bisa berkompromi,
hujan yang tidak akan lagi diharapkan sebab tidak akan datang, dan
keterisolasian yang sangat. Adakah itu di Indonesia? Di Jawa, sebab ada
penggalan dialognya berbahasa Jawa? Di mana berada? Bromo? Ujung atau celah
Jawa yang mana? Gunung Kidul? Banyumas? Atau Dukuh Paruk seperti dunia ronggeng
milik Ahmad Tohari?
Kalau kehidupan terisolir, saya
masih bisa menemuinya di sudut-sudut tengah perumahan manapun di Jawa. Bahkan
berada sangat rekat dengan kehidupan saya. Tetapi kehidupan Daya? Belum!
Mengapa justru pasirnya yang
berbisik—dan menjadi Pasir Berbisik, bukannya angin yang berbisik—kemudian
menjadi Angin Berbisik?
Jika Pasirnya yang berbisik, mengapa
dalam cerita justru hanya Daya yang mendengarnya?
Inikah puisi yang difilkan?
Ataukah ini yang merupakan film
berpuisi?
Berpuisikah jika semuanya
diceritakan per adegan dengan tokoh, settimg dan karakter yang diramu dalam
alur apik semacam itu?
Mungkin di sinilah letak
keimplisitan tendensi dari Pasir Berbisik.
Tampaknya banyak kata dan pesan yang
ingin disampaikan, tetapi sepertinya ada semacam fobia, kemudian kata dan pesan
dielipskan. Bukankah puisi juga merupakan pemadatan kata dan pesan?
No comments:
Post a Comment