About

Film MENGEJAR MATAHARI



Hidup bagi saya adalah seleksi. Ada kelulusan dan kegagalan. Senang jika lulus, dan terus melanjutkan kehidupan ke tingkat seleksi yang lebih tinggi lagi. Kecewa, menyesal, atau putus asa bila mengalami kegagalan. Tetapi kehidupan itu sendiri terus berlanjut, berjalan terus tanpa berbalik lagi. Tidak juga menunggu, memberi-beri waktu pada apapun dan siapapun.
Semua berjalan membentuk lingkaran sebab-akibat, yang saya sebut sebagai siklus pasang-surut kehidupan. Begitu pula kehidupan keempat orang yang bersahabat dalam film “Mengejar Matahari” ini, mereka mengalami siklus kehidupan. Ada yang pasang, dan harus ada yang surut. Semua itu memberikan keseimbangan pada dunia ini.
Nino, Apin, Damar, Ardi. Mereka bersahabat dari kecil. Hingga semuanya beranjak dewasa, dan satu per satu mereka pergi dengan berbagai problem yang dihadapi.
Nino, dimunculkan sebagai tokoh yang kaya, tenang, tidak mempunyai masalah, tidak neko-neko. Ia sebagai penyeimbang ketika terjadi bentrokan yang ada dalam tubuh persahabatan yang mereka bangun.
Apin, digambarkan sebagai watak pecinta seni, terutama film, karena ia bercita-cita sebagai sutradara. Ia adalah orang yang banyak disukai temannya, ceria dan mencoba menengahi suasana panas yang terjadi, seperti juga Nino. Tetapi Apin yang bertubuh kecil, ringkih, menuntut untuk dilindungi oleh ketiga sahabatnya yang lain.
Ardi, anak yang terkekang oleh aturan-aturan ayahnya, ia dicetak untuk menjadi seorang polisi, kedisiplinan membuat dia menuai sukses pada akhir cerita. Sebelum bertindak ia memikirkan dulu apa akibatnya, tidak seperti Damar.
Damar, si Badung, mudah tersinggung, jago berantem, emosinya suka meledak-ledak. Ia seseorang yang membuat saya harus flashback dan bercermin sangat dekat dengannya. Sebab masa kecil saya sangat badung, pemberontak sejati yang suka sekali tawuran, mudah meledak-ledak, apalagi jika mendengar ada orang yang ngomongin bapak dan ibu saya, sebab saya menganggap itu tidak perlu. Kedua orang tua adalah urusan saya sendiri, sebab saya yang tahu dan yang merasakan apa yang terjadi di tubuh keluarga saya sendiri.
Saya bisa menempatkan diri sendiri sebagai ARDI. Diatur, dikekang, dan diberlakukan hidup disiplin (terutama pada waktu dan berbicara dengan orang yang lebih tua). Dulu saya memberontak karena keterkekangan tersebut, tetapi setelah melalui masa-masa SMP dan SMA, saya baru menginsafi bahwa kedisiplinan dan otoritas orang tua demi kebaikan saya juga.
Di saat teman-teman bermain boneka, bermain ‘pasaran’, saya harus tetap berada di rumah—menjalani perawatan intensif di rumah karena sedang sakit, memikirkan apa-apa yang akan saya lakukan ke depannya, merintis tabungan rupiah demi rupiah (sebab dulu saya sangat menginginkan sekolah di kedokteran).
Masa SMP saya habiskan untuk sekolah, tawuran, menentang aturan sekolah, membantu usaha orang tua yang baru saja dirintis, dan mencari Tuhan hingga akhirnya menetapkan pilihan di Islam. Semua warna hidup sepertinya tertuang di saat ini. Saya sudah tidak ada waktu untuk berurusan dengan yang namanya pacaran setelah Afik meninggal.
Saat SMA saya sudah terlarutkan oleh yang namanya kedisiplinan (sekolah saya bersistem semi militer), membuat tulisan kreatif (yang sekarang sudah tidak ada lagi karena ikut terbawa banjir), buku-buku pelajaran yang semakin hari semakin mahal, oleh remidi-remidi pelajaran eksakta.

Belum lagi rutinitas mading (majalah dinding) di perpustakaan, dan perjalanan Juwana-Surabaya-Madura di akhir pekan (untuk bertemu pelanggan usahanya bapak), dan mengejar ketertinggalan pelajaran dari anak IPA (karena dulu saya dianggap bodoh oleh anak IPA, maka saya membuktikannya di IPS dan ternyata saya tidak begitu bodoh—bahkan terbilang mampu, itu pun ucapan dari guru-guru saya, terutama guru Ketatanegaraan, Sosiologi-Antropologi, Bahasa Indonesia dan Kewarganegaraan saya). Saya bisa membuktikan eksistensi saya dengan pentas dan keradikalan saya berpendapat.
Hingga akhirnya dengan sangat mudah saya diterima di universitas negeri jalur SPMP atau PMDK di jurusan yang dari dulu, dari SD, sudah ada dalam benak saya: Sastra Indonesia!
Saya baru menyadari: inilah buah kedisiplinan yang mengekang, kesakitan dan kemarginalan yang kemarin saya rasakan. Indah sekali. Tidak dapat dibayangkan. Saya seperti lulus seleksi dari mereka-mereka yang dulu ‘sok’ dan ‘menyingkirkan’ saya. Kini saya dapat melihat, dari angkatan saya yang bisa mengenyam pendidikan dan pengetahuan lebih tinggi hanya beberapa saja. Mungkin saya ada di dalamnya.
Bukannya sombong, tetapi inilah yang sebenarnya terjadi. Tetapi flashback seperti ini saya baru sadar bahwa ternyata saya sendirian. Saya sangat ‘menyendiri’ menjadi orang, terkesan egois mungkin. Hingga kini, tidak ada ‘sahabat’ dalam kamus kehidupan saya. Teman atau teman dekat memang tak terhitung, tetapi yang namanya sahabat tidak ada sama sekali setelah kepergian Afik untuk selama-lamanya.
Bercermin dari film “Mengejar Matahari”, saya adalah karakter keempat sahabat tersebut. Sifat-sifat mereka ‘mix’, tercampur dalam diri saya. Tetapi kesuksesan yang Ardi raih membuat saya kompromi dengan karakternya. Seseorang yang akhirnya bisa sukses setelah melalui kesakitan sebagai pesakitan. Ardi bisa hidup setelah kematian Apin, sahabatnya yang paling dekat dengannya.
Begitu pula saya, saya mencoba menikmati, menjalani, dan mengisi kehidupan selanjutnya setelah meninggalnya Afik. Kehidupan terus berlanjut, tidak dapat lagi berbalik—menoleh ke belakang. Untuk apa saya melarutkan diri dengan hal-hal yang tidak berguna—seperti kesedihan, sedang saya tahu Afik juga tidak akan kembali lagi?
Film ini bagus sekali ditonton oleh mere-mereka—para remaja yang keadaan psikologinya belum menentu. Agar mereka mendapatkan referensi tentang kehidupan dalam pelajarannya untuk hidup.

No comments: