About

Kajian Drum


KAJIAN:
Agastya           : Drum
Lola Amaria    : Air Sun Yi (Air Sunyi)

  1. Ibu Drum bernama Sun Yi (Sunyi), terbunuh karena ‘geger’ antargolongan di tepi pantai.
Tidak ditunjukkan secara real dan lebih mendetail dari awal hingga akhir, tidak pula saat adegan-adegan selanjutnya, padahal ibunya menurut penulis adalah pencetak ‘jarja’ film ini. Dengan dibuktikannya peran-peran atau penokohan drum yangbanayk flashback pada adegan ini.

  1. Tergeletaknya Drum dan bapaknya.{Daeng Badar} di tepi pantai.
Penulis memprediksi Drum berusia kira-kira delapan tahun. Karena sebutan DAENG inilah penulis bisa mengidentifikasi bahwa settingnya kemungkinan besar di daerah atau etnis Bugis. Tetapi pantai yang ditampilkan justru sangat mengecewakan penulis, sebab jauh dari jangkauan daerah pantai secara real.

  1. Adegan Drum di pantai untuk mengenang apa yang telah terjadi (konflik antargolongan yang merenggut ibunya) tampaknya telah menjadi ‘ritual’nya, hingga adegan bapaknya yang bersembahyang pada Tuhan Yesus (Kristiani) dengan cara yang jarang sekali dilakukan oleh pemeluk Kristen pada umumnya.
Juga Talang, saudara angkat Drum, yang kedua tuna wicara dan kedua orang tuanya meninggal saat terjadi konflik antar golongan. Dilanjutkan dengan siaran-siaran berita di radio yang menjadi sound effect, diulang-ulang dan sangat mempengaruhi nuansa latar serta batin tokoh.
Mengantarkan ingatan penulis untuk kembali meninjau ke masa lalu. Sebab dalam ingatan penulis memang ada sembahyang yang demikian ‘merasuknya’. Mungkin boleh diibaratkan Islam yang banyak aliran, begitupun Kristen. Ada yang ortodok, ada pula yang ‘penembahan ing Gusti merga raga kang pesti’. Islam ada putih, abangan atau bahkan “Mejikuhibiniu”.
Inilah kenyataan. Agama ada banyak. Tapi ‘sejatining Gusti mung ana siji’. Di sinilah film ini melintasi kehidupan agamis beserta ritual-ritualnya, sekaligus menyentuh ‘kans’ humanistis. Dimana seseorang dituntut untuk toleransi terhadap apa yang dianut oleh orang lain. Meskipun yang terlihat justru adegan yang ‘nyinyir, tapi inilah hubungan ‘vertikal’ yang memang penuh dengan ‘kenyinyiran’.
Seperti juga Talang yang menyembah bulan, selayak pemuja matahari yang disebut dengan Seikerei. Mustahil dan konyol untuk orang lain, tetapi sangat ‘resap’ di jiwa masing-masing orang yang meyakini.

  1. Adegan di tempat penjagalan sapi.
Setting yang unik, membunuh/menyembelih dengan semestinya menyembelih. Ini juga bisa diartikan dengan homohominilupus, manusia membunuh manusia lainnya. Dari sini pula rupanya ‘gangguan’ hidup Drum mendapatkan basic kompeten untuk menderita ‘neuronisasi’ atau gangguan saraf alias jiwanya sakit. Drum sebentar jadi Schizophrenia, sebentar jadi autisme yang melingkupi jarja kepribadiannya. Pemulis lebih cenderung membuat opini bahwa Drum adalah seorang psikopat.  
Namun di  sisi lain, adegan ini mewakili salah satu pekerjaan rakyat Indonesia. Dari segi financial, tidak menutup kemungkinan bahwa Indonesia akan mendapatkan devisa dari penjagalan ini. Sebuah profesi yang jarang sekali Penulis temui di wilayah geografis pantai, yang biasanya cenderung melaut. Ini adalah setting film yang penuh pengecualian tapi sangat realistis. Berani tampil beda, dan beda yang tidak asal-asalan saja.

  1. Adegan saat Drum beranjak dewasa. Di tepi pantai waktu Drum kecil (± 13 tahun) berubah menjadi Drum yang sudah besar (usia anak SMA Kelas 3).
Dilanjutkan dengan adegan pemagaran tanah di tepi pantai. Daeng Badar berusaha mempertahankannya dengan berkata: “Pemerintah yang mana? Di sini yang memerintah adalah saya!”.
Kejanggalan yang bisa diterima. Demikianlah Penulis menyebut pergantian pemain Drum kecil dengan Drum besar (Agastya). Perubahan tersebut seperti terjadi dalam teater, saat pemain masa lalu mau diganti, ia tetap ada di stage, barulah pemain baru, pemain masa kini muncul. Kemusian pemain masa lalau pergi sesukanya.
Kolaborasi teater, film, dan kenyataan yang janggal tetapi masih bisa dicerna oleh penontonnya. Untuk itulah Penulis berpendapat ternyata film ini termasuk film yang ‘berat’. Sebab Penulis juga mengadakan survei pada 20 mahasiswa dari jurusan dan fakultas yang berbeda di Universitas Negeri Semarang yang menghasilkan sebuah catatan opini bahwa dari 20 mahasiswa tersebut yang mengerti substansi, alur, dan maksud film Novel Tanpa Huruf R hanya 3 orang. Itu pun memang dari Fakultas Bahasa dan Seni jurusan Sastra Inggris, seni Tari dan Pendidikan Bahasa Jawa.
Mahasiswa dari Biologi, Kimia, Ekonomi Management, Matematika, dan Ekonomi Pembangunan rata-rata akan mengatakan: “Sebenere aku ra mudeng karo critane kok. Tapi pas ning resto sarkrm, karo ning tendo aku mudeng. Mungkin Drum iku wong edan sing pinter”. Cukup itu saja. Ujung-ujungnya mereka tertawa membahas cewek lesbi dan adegan Talang yang ada di tenda bersama Cewek Chinese.
Menjadi bukti bahwa film ini telah melintasi dimensi, ideologi, politik, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan yang kentara. Tidak ada tangan pemerintah yang bisa menyentuh rakyat meskipun ada demokrasi Pancasila dari, oleh dan untuk rakyat.
Dan ternyata benar, semua kembali ke rakyat, pejabat hanya digunakan sebagai simbol politik yang tidak becus memerintah. Sebuah instansi yang dijadikan kedok berdirinya sebuah negara saja. Hukum masyarakat, hukum rimbanya rakyat masih berlaku dengan kuat.
Inilah yang terjadi, meskipun banyak diisolasi oleh pihak-pihak yang berkekuatan uang. Effect suara yang timbul tenggelam membuat adegan di tepi pantai ini semakin terasa real dan ‘heroik’nya. Pertahanan dan keamanan hanya sebuah kamuflase dan promosi elite politik.
Film ini juga membuka wacana, bahwa masih banyak pula orang-orang yang tidak silau dengan uang suap yang banyak yang dalam film ini diwakili oleh Daeng Badar. Ia punya prinsip, meskipun ia rakyat kecil, ia tidak gentar dengan kekuasaan pemerintah. Baginya, pemerintah adalah sampah yang tidak becus memerintah!
Kita boleh saja membayangkan apa jadinya bila ada seribu Daeng Badar yang bernafas di Indonesia dan membuat komunitas? Damaikah negara? Atau malah sebaliknya? Hubungan kausatif dalam kehidupan, ada positif tentu ada negatif!

  1. Drum mendapatkan tustel. Ia menyadari bahwa bapaknya ternyata sangat memperhatikannya.
Sesuatu yang lumrah dalam sebuah hubungan antara bapak dan anak. Biasanya ada orang tua yang tidak terlalu mau menunjukkan perhatian dan kasihnya terhadap anak. Inilah yang terjadi pada Drum. Tetapi justru hal inilah bahan pembelajaran. Drum yang kurang dekat dengan orang tuanya mencari, membentuk, dan membangun kepribadiannya yang ‘rumpang’ dengan belajar pada alam. Meski alam membawanya pada kepribadian yang ‘khusus’.
Kemudian dia dewasa dan menjalani kehidupannya pun dengan perilaku yang ‘rumpang’ dari sudut pandang orang-orang di dekatnya. Bahkan akan tertangkap pula dari manik matanya bahwa ia seperti mempunyai dendam kesumat pada kehidupan. Meskipun ia mencoba dan selalu berusaha menjalani kehidupannya dengan acuh tak acuh, mengalir seperti adanya.
Faktor psikologis Drum ‘acakadul’. Satu sisi ia ingin diperhatikan, di sisi lain ia justru kurang perhatian. Ia berlari dari satu hati ke hati lain, satu pencapaian ke pencapaian lain. Hingga ia tidak menemukan apapun selain kesadaran bahwa ia terus saja kehilangan orang-orang yang ia sayangi.

  1. Adegan di gereja, ketika bapaknya dan Talang (yang juga mengagungkan bulan purnama) mendengarkan khotbah: “Berbahagialah orang yang mendengarkan sabda Tuhan…”
Tampak Drum di luar pagar gereja dengan pandangan tajam yang ‘menggugat’ seperti ingin berteriak:
“Tuhan tidak adil! Yang dikatakan dalam khotbah itu hanya sebuah kebohongan! Mereka bodoh dengan berkumpul di sini! Tuhan tidak butuh dikunjungi! Tidak perlu ada agama, yang penting ada Tuhan. Itu saja! Karena ternyata agama membuat hidup tidak tambah lebih baik, tetapi tambah sengsara! Perang masih berkobar! Ibuku saja direnggut karena perbedaan agama dan golongan yang dianggap tidak sama!”
Tidak ada komentar. Sebab inilah yang terjadi. Bangsa kita telah termakan adanya agama yang sudah menjadi lembaga. Agama menjadi sebuah kewajiban, dan menjalankan perintah agama telah menjadi kegiatan mekanis yang terstruktur. Bukan atas keinginan jiwa. Makanya perang di man-mana.
Bangsa kita memang luar biasa senangnya mau didogma dengan stigma-stigma yang menurut mereka juga luar biasa. Tetapi menurut penulis, semua berpokrol masalah pada ‘bahasa’. Jika kita bisa mengolah bahasa, tidak urung kita pun akan jadi penguasa bila kita mau.
Film ini mengantarkan kita pada sebuah kesadaran. Bahwa ternyata bangsa kita, bahkan kita sendiri yang termasuk dalam sebuah bangsa itu sendiri termasuk yang berkesadaran rendah. Terpedaya. Kita mengalami penyakit ‘goblok’ dan paceklik mental sebagai seorang manusia. Sebab mau saja robot. Ironisnya, robot dari sesuatu istilah yang abstrak, yang dinamakan agama!
Ada benarnya pula khotbah: “Berbahagialah orang yang bisa mendengarkan sabda Tuhan…”. Ini menunjukkan bahwa tidak semua orang peka mendengarkan titah Illahi. Kalau firman Tuhan dalam kitab suci itu mah udah biasa atuh!” Tetapi tidak semua orang bisa mendengarkan sense yang disampaikan Tuhannya. Sebab kebanyakan manusia sudah hilang ‘jiwa’nya dalam menjalin hubungan dengan sang Khalik.

  1. Adegan Drum dan bapaknya mandi di pantai, tampak ia sangat bahagia. Sebab Drum sebelumnya tidak merasakan kebahagiaan seperti itu. Kemudian dilanjutkan dengan foto-foto di sepanjang jalan. Talang, Drum dan bapaknya. Drum tidak mau memotret Talang bersama bapaknya. Tiba-tiba bapaknya tertabrak mobil dan meninggal dunia. Mobil yang menabrak melarikan diri. Mamang, teman bapaknya Drum, Talang, dan Drum sendiri berdiri di pemakaman.
Inilah perputaran. Siklus. Kelahiran-kematian. Terjadi dalam hidup Drum, atau hidup setiap manusia. Karena inilah yang dinamakan sebuah perjalanan. Setiap manusia diciptakan untuk menjalankan tugas, kalau sudah selesai maka ia harus siap dipanggil oleh yang memberi tugas.
Segi humanistis muncul, kemanusiaan yang benar-benar kemanusiaan. Secara pribadi dan sosial. Seseorang yang kita kasihi meninggal, otomatis kesedihan kita rasakan. Inilah gunanya hati, untuk menjalankan tugas humanis-nya.
Pada adegan ini bagi penulis ada ketidakwajaran yang mungkin diakibatkan oleh sensor, proses editing. Banyak sekali. Pertama saat Drum dan bapaknya mandi di pantai. Talang tidak ada. Mengapa saat di tepi jalan waktu foto-foto tiba-tiba Talang muncul?
Kemudian adegan tabrakan. Mengapa terjadi sangat cepat dan di luar dugaan? Meskipun ada sound effect deru mobil dari kejauhan, mengapa masih saja tabrakannya terasa ‘lucu’ bila dilogikakan?
Satu lagi, suasana pemakaman. Mengapa tidak ada prosesi pemakaman dengan banyak pelayat, mengingat bapaknya Drum mempunyai rekan kerja banyak, dan pula Daeng salah satu orang yang cukup dipandang oleh orang-orang sekitarnya?

  1. Beberapa tahun kemudian. Kamar kerja sekaligus ruang kerja Drum, dengan sound background siaran berita tentang tindak kriminal. Di antaranya ialah: siaran kematian wanita di Makassar dengan 32 tusukan, dan seorang pemuda tewas di Jakarta.
Banyak sekali penyensoran. Film ini akan lebih komunikatif dan tendensius bila dapat dinikmati secara utuh tanpa ‘sunatan’ sana-sini. Hal-hal atau peristiwa yang disensor bisa jadi sangat tendensius, berisi hal-hal yang penting dan merupakan pokok penentu tema film tersebut. Sebab film ini temanya terpecah-pecah.
Peristiwa siaran berita tindak kriminal dapat mempengaruhi seseorang. Efeknya bisa langsung dan tidak langsung. Seseorang yang mempunyai kejiwaan seperti Drum bisa jadi sangat terpengaruh dengan adanya kabar berita sekecil apapun, sebab dari kecilnya ia peka dan terbiasa dengan suasana demikian.
Bagi penulis, Drum adalah tipikal orang yang ‘bermasalah’ atau trauma dengan apapun yang namanya ‘kehilangan’ dan kekerasan. Tetapi dengan bergumul sangat dekat dengan masalah, kehilangan dan kekerasan itulah Drum memilih ‘metode’ penyembuhan dirinya. Meski akhirnya ia tak kuasa melawan kekerasan yang terjadi, tetap saja merasa kehilangan, dan masalah yang ia hadapi bertambah banyak.
Hingga keadaan pasar, ketika Drum melewatinya. Ada penjual obat yang berseru: “Obat pusing, Dwi Fungsi!”.
Hal ini membuat Penulis tertawa, dan Penulis yakin bahwa adegan ini dapat membuat siapa saja yang melihatnya pun akan tertawa. Asonansi atau pengulangan bunyi terasa ada, tetapi sebenarnya tidak ada. Hal tersebut terjadi pada kata: PUSING dengan FUNGSI. Jika diucapkan dengan cepat dan dengan intonasi yang Penulis dengarkan di film terbukti menimbulkan irama yang enak dan elegan untuk didengarkan. Apalagi adegan yang ditayangkan tersebut juga mendukung seorang penonton untuk tertawa.
Obat yang dijual ada di pinggir jalan, dipromosikan seperti tak ada yang membelinya. Asumsi obat mahal masih melekat di benak rakyat yang hidupnya masih hidup dalam kekurangan. Bahkan obat-obatan yang diecer ditebar ke jalanan saja masih tak berpembeli.
Inikah yang namanya kritikan? Atau hanya sekedar menunjukkan bahwa Indonesia negara bajakan, yang di dalamnya juga hidup orang-orang yang membajak obat-obatan sampai pada jalan-jalan keramaiannya?
Juga seseorang yang menawarkan asuransi pakai sepeda motor seperti pedagang ice cream keliling. Membawa motor roda dua, dengan box seperti box ice cream, di box tersebut ditulis kata ‘asuransi’ dengan penggalan kata ASU (di atas) yang terpisah dengan RANSI (di bawah).
Inilah sepenggal potret orang Indonesia. Asu dan ransi bisa dijadikan lambang atau simbol dari PJ (Perusahaan Jasa) di Indonesia. Saat ditelaah lebuh lanjut, kedua penggalan dari asuransi tersebut puitis sekali, kata-katanya padat dan menimbulkan interpretasi yang beragam.
Asu adalah binatang yang biasanya diidentikkan dengan rasa ‘jijik’, ketakutan, kesetiaan dan sebagainya. Jasa asuransi kini bukan hanya sekedar mempunyai misi menolong sesama dengan untung sedikit, tetapi berubah menjadi perusahaan yang ‘jor-joran’, yang mengeruk untung sebesar-besarnya dengan memeras atau menipu klien-kliennya.
Kata-kata asuransi yang dipenggal itulah justru yang menjadi kritikan bagi pihak atau oknum-oknum yang bersangkutan dan melakukan penipuan. Hal ini sangat penting mengingat Indonesia yang sekarang banyak sekali bertebaran jasa-jasa asuransi dengan berbagai penawaran yang menjulang tinggi, tetapi pada kenyataannya…prekk! Omong kosong, dan janji-janji yang menjulang tersebut adalah modus penipuan kelas wahid, bersangkutan dengan mental dan ilmu atau kepandaian bangsa Indonesia yang kurang bisa menjangkaunya.
Menyambung pada setting di kantor Drum, ia berdebat dengan atasannya tentang foto hasil jepretannya yang ‘sadis’ dalam sebuah pembunuhan.
 Seseorang tidak dapat dipaksa untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Perdebatan Drum dengan atasannya tentang hasil jepretannya membuka wacana, bahwa mental bisnis yang menekan pencipta karya hidup sepanjang waktu tetapi sedikit yang mau mengerti, mengubah, apalagi menyingkap dan menemukan cara pencegahannya.
Drum istilahnya pegawai baru. Maka ia tidak begitu ingin berdebat terlalu jauh yang mengakibatkan kariernya berantakan. Ia tidak menjawab iya atau tidak, tetapi dengan jawaban diplomatis yang membuat atasannya memutuskan  jawaban atas pertanyaannya sendiri.
Sebuah karya dalam proses penciptaannya hingga karya tersebut selesai dibuat adalah milik pribadi penciptanya. Tetapi ketika karya tersebut telah selesai dibuat, maka karya tersebut adalah milik penikmatnya. Pencipta sudah tidak mempunyai hak apapun untuk tendensi, interpretasi dan penikmatan. Hal itu juka dipublikasikan.
Bagaimana jika tidak ingin dipublikasikan?
Itu juga hak penciptanya. Sebab pemaksaan hanyalah akan mengurangi nilai estetis murni dari pencipta, karya, dan sesuatu yang ingin disampaikan yang penulis namai ‘nyawa’. Yang dimaksud nyawa adalah ketika hasil karya ditunjukkan pada orang lain maka karya tersebut dapat mewakili apa yang ada dan terjadi pada ‘kealaman’ peradaban dari penulis, zaman yang melingkupi penulis, IPOLEKSOSBUDHANKAM penulis.
Begitu pula film Novel Tanpa Huruf R ini, ia akan menjadi nyawa dari sebuah zaman dan peradabannya sekaligus penciptanya. Nyawa ini bersifat spontanitas, bisa langsung dapat diketahui tetapi ada pula yang pemaknaannya membutuhkan perenungan dan pemikiran dalam jangka waktu yang lama.

  1. Setting open cafe, seorang istri melabrak wanita dengan memukulkan duren ke wajah wanita tersebut karena istrinya tidak terima wanita itu merebut suaminya.
Hal ini pun merupakan kritik sosial. Sesuatu yang terjadi masyarakat kita, di sekitar kita, dekat sekali dengan kita, tetapi biasanya tidak begitu kita hiraukan. Atau mungkin bisa terjadi pada diri kita sendiri.
Asumsi menjadi orang ketiga masih berpredikat negatif untuk pandangan bangsa kita. Meskipun tidak hanya terjadi pada bangsa kita, setidaknya adegan ini mewakili apa yang sedang terjadi. Hal ini menjadi sebuah cermin bahwa mental perempuan Indonesia masih saja senang mengganggu pagar ayu rumah tangga orang dengan sengaja ataupun tidak sengaja.
Kerapkali kita dihadapkan pada pilihan tersulit, tetapi jika difikirkan secara rasional dan mengesampingkan perasaan terlebih dahulu, mungkin istilah ‘orang ketiga’ bisa diminimalisasikan. Tidak dapat dipungkiri, bahwa kejadian tersebut tidak mutlak di tangan perempuan, tetapi seorang perempuan jika tidak memberi kesempatan, lelaki pun akan berkali-kali memikirkan keputusan untuk berselingkuh (entah  nikah di bawah tangan atau yang tanpa pernikaan).
Masalah rumah tangga adalah permasalahan riskan dari berbagai masalah yang riskan lainnya. Keadaan rumah tangga yang hancur akan mengakibatkan pondasi kepribadian seseorang goyah atau labil. Apalagi jika dalam rumah tangga tersebut lahir anak. Maka jiwa anak tersebutlah yang akan menjadi pertaruhan sebuah zaman akan gagal atau berhasil. Sebab anak adalah generasi penerus yang akan memegang makmur tidaknya suatu bangsa.
Jika kepribadian masing-masing individu labil, maka tidak dapat dihindari lagi keambrukan bangsa mendekati pasti. Apalagi perempuan yang diharapkan menjadi tiang negara  sudah tidak dapat mengendalikan diri, lalu bagaimana ia akan mengendalikan diri anak-anak bangsa?
Maka sakitlah bangsa dan generasi penerus bangsa kita!
Adegan pemukulan dengan duren bisa menjadi hal negatif ketika dilihat oleh anak-anak. Seperti mengajarkan kekerasan dengan berbagai cara. Inilah sebenarnya yang Penulis risaukan. Tidak hanya pada film ini saja, tetapi pada tayangan yang lainnya.
Hal ni bisa menjadi fenomena buruk bagi anak-anak. Mengingat anak-anak masih dalam keadaan psikis yang suka meniru perbuatan orang lain, suka berpetualang, rasa tahunya sangat tinggi, ingin meniru apa saja yang ada di sekitar, dan lain sebagainya. Tidak menutup kemungkinan bila kekerasan tersebut dilakukan pada teman-temannya, padahal dengan alasan yang sangat sepele. Maka dari itu, kita harus selektif dalam berkreatifitas. Jangan sampai melupakan untuk siapa karya itu dibuat dengan segala substansi di dalamnya.
Drum bersama seorang cewek yang ternyata pacarnya,  ada di tempat kejadian dan ia langsung mengambil gambar wanita yang berdarah-darah dan kejet-kejet kena duren.  Drum baru tahu bahwa pacarnya seorang lesbi, saat melihatnya ‘centil’ dengan cewek yang sedang makan duren di cafe.
“Ungkapan cinta dengan wajah berlumuran darah” dari Drum untuk judul tulisannya.
Suka dengan sejenis. Penyimpangan seksual setua peradaban manusia itu sendiri. Tetapi apa yang terjadi dengan bangsa ini jika banyak sekali yang melanggar norma tak tertulis dan  tertulinya?
Kritik sosial ini dapat mempengaruhi perikehidupan seluruh bangsa. Mengingat bangsa kita adalah bangsa yang religius. Dibutuhkan toleransi tinggi untuk mendapat kedamaian dalam hidup.
Permasalahan muncul ketika pelaku penyimpangan seksual mendapatkan perlakuan intimidasi dan penghakima dari masyarakat? Dari perlakuan tersebut bisa saja mereka mengadakan aliansi untuk mengadakan pertentangan, kemusian terjadilah ‘kepruk-keprukan’. Masalah menjadi runyam, perang dan kocar-kacirlah kehidupan bangsa yang diharapkan makmur damai.
Para pelaku penyimpangan seksual tidak dapat ditolak kehadirannya. Mereka juga ciptaan Tuhan yang harus dihargai hak, kewajiban dan pilihan hidup yang ditempuh. Adegan dalam film ini sangat penting, sebagai sebuah masukan pada orang-orang yang sok benar dan sok suci,  mengingat kekacauan yang terjadi hanya karena mereka ‘berbeda’.
Kalau kita tak punya keinginan yang mengarah ke ‘komunitas’ mereka, kita pun tak akan terjerumus. Hal terpenting adalah cara kita mengendalikan diri sendiri dan menyikapi atau menghargai dengan menganggapbahwa  mereka tidak berbeda dengan kita. Sebab kita juga mempunyai BHINEKA TUNGGAL IKA yang kelihatannya dibius hingga mati suri dalam jangka waktu yang sudah terlalu lama.
Ucapan cinta dengan berlumuran darah, tampaknya memang sesuai diucapkan pada oknum perusak rumah tangga orang. Ketika rasa cinta itu adalah kerakusan seseorang untuk memiliki lebih banyak lagi apa yang sudah didapatkannya sekaligus menuruti nafsu yang bila diperturut terus, tak ada surut-surutnya.
Setting berlanjut di pasar yang sering dilalui Drum lagi. Di sana muncul kalimat:
(1) Tuhan diperjualbelikan seperti barang dagangan.
Agama telah menjadi sebuah lembaga, bukan menjadi pedoman hidup seperti kodrat awalnya diturunkan Tuhan ke dunia. Banyak orang yang mengira dan menganggap bahwa agama mampu membawa mereka ke surga, menuju jalanNya.
Kalau menuju jalanNya, itu masih logis, berterima dan yang ingin dimaksud sebenarnya. Tetapi kedudukan agama tampaknya lebih tinggi daripada kedudukan Tuhan itu sendiri. Akibatnya, agama yang dipertuhankan, banyak yang menganggap diri mereka lebih baik dan lebih benar dengan agama yang dianutnya. Terjadilah kekacauan, bentrok, perang dan penyiksaan.
Padahal inti agama adalah mengajarkan tata cara hidup yang baik demi terciptanya sebuah kedamaian. Masalah benar dan salah sudah ada jurinya, yaitu Tuhan, yang tidak dapat diganggu gugat. Apa yang di mata kita salah belum tentu juga salah di mata pandangan Tuhan.
Agama bukan menjadi titik langkah seseorang menuju ke jalanNya. Melainkan sebuah kewajiban yang terstruktural dan beribadah adalah sistem mekanis, tak berjiwa. Inilah pelencengan yang benar-benar nyata.
Tuhan diperjual belikan seperti barang dagangan, sebab agama juga dilembagakan guna merekrut umat sebanyak-banyaknya dengan cara halus-kasarnya. Islamisasi, Kristenisasi, Hinduisasi, Katolisasi, Budhanisasi, dan apalah sebutannya. Yang jelas, jika hal tersebut dilakukan terus, siap-siap saja menanggung akibat terburuknya!
(2) Ganti Presiden rakyat tetap miskin!
Kemiskinan, keterbelakangan, peperangan dan keterkoyakan pribadi bangsa yang menyedihkan masih saja melingkupi bangsa kita. Penulis menyadari bahwa kejahatan dan kebaikan tidak pernah lebih rendah atau lebih tinggi kadarnya. Tetapi setidaknya mampu ditekan dengan berbagai pengendalian yang datangnya dari kans-kans pribadi individu/per personal dan pihak yang dijadikan simbol seperti seorang raja atau presiden.
Namun tampaknya, bangsa kita tidak membutuhkan apa yang dinamakan pemimpin. Sebab masing-masing kita ingin menjadi seorang pemimpin sendiri, memimpin diri sendiri dengan aturan dan keinginan dari diri sendiri untuk diri sendiri pula, tanpa mengindahkan bahawa orang lain mempunyai keinginan yang sama. Kalau sudah demikian, negara sebenarnya tidak lagi diperlukan.
Mati tidaknya sebuah negara, bergantung pada pemimpinnya. Jika pimpinannya dusta, apalagi rakyatnya?
Bangsa kita lelah dengan sekian orang yang telah memimpinnya. Sebab perubahan yang ada justru diangga sebagai seksaan. Tidak berubah menjadi sedikit layak tetapi dibuat terpuruk dari satu pemimpin ke pemimpin lainnya.
Ini bukan sekedar kritikan, tetapi kenyataan yang begitu saja terabaikan sebab tak berani diucapkan oleh lidah-leidah kerdil yang pada dirinya telah diberi stempel rakyat jelata yang tertindas. Wong cilik. Inilah mentalitas bangsa yang harus segera dirajam kemudian dimasukkan ke dalam kantong lastik masa lalu.
Sudah saatnya bangkit. Tidak hanya menuntut apa yang diberikan negara pada kita, tetapi bercermin pada diri sendiri: apa yang telah kita berikan dan kita perbuat untuk negara kita sendiri?
(3) Di Indonesia, ruang kebebasan untuk hidup semakin sempit.
Berita penggusuran masih merebak di media massa. Adu jotos di tayangan televisi memuramkan opini kalau tanah air kita gemah ripah loh jinawe. Pemukulan antara aparat keamanan dan rakyat menghiasi stasiun-stasiun televisi. Tidak hanya ditonton negara sendiri, juga bangsa lain.
Di Indonesia, semua perilaku, semua tata cara untuk hidup dalam kehidupan diatur. Saking diaturnya, aturannya pun kebablasan. Ada istilah yang berkembang di antara kelompok minoritas bahwa: aturan dibuat untuk dilanggar. Sehingga kebebasan dan belenggu tak ada jeda yang jelas.
Sekarang yang menjadi pertanyaannya adalah masalah perumahan: mengapa mendapatkan sepetak tanah untuk bernaung saja sangat sulit? Dan kenapa lagi nunggu dipukuli, dipermalukan di depan layar gelas hanya menempati tanah airnya sendiri gara-gara pemerintah punya proyek taman kota?
Belum lagi penggelapan dana untuk membangun proyek-proyek pemerintah yang diatasnamakan untuk kepentingan rakyat. Semakin hitamnya bangsa kita, sebab tak bisa membedakan mana yang perlu diberi kesempatan dan yang tidak. Dalam artian ruang berekspresi ditutup serapat mungkin, jika ada kesempatan maka yang menggunakan kesempatan adalah oknum-oknum tertentu saja.

  1. Setting kamar mandi. Drum mandi, ia tampak sangat tertekan dan seperti orang yang mengalami gangguan kestabilan.
Dalam kamar mandi, Drum biasanya melihat wajahnya di cermin, sambil mengguyur sekujur tubuhnya, terutama kepalanya. Dari pengalaman, kepala merupakan sistem penggerak alat-alat indra dan sistem tubuh yang lainnya. Jika kepala terasa pusing, aktifitas apapun dapat dikesampingkan.
Kepala yang panas perlu didinginkan. Biasanya pula orang-orang memilih mandi, untuk meluruhkan kepenatan tersebut. Hal ini banyak dilakukan oleh sebagian penulis-penulis ketika ide yang ingin dicurahkan ‘mandeg’. Drum ketika itu juga bercermin selain mandi.
Cermin dipercaya dapat menjadi tempat introspeksi diri, bertanya apa yang sudah ia lakukan sepanjang hari ini atau apa saja yang ingin diluapkan untuk mengurangi amarahnya. Cermin akan menjadi media penyembuh terbaik ketika seseorang mau mengevaluasi diri dengan melihat sosoknya sendiri di cermin. Kebanyakan orang belajar berbicara, pidato atau menghadapi audience berbasic dengan latihan di depan cermin. Hal ini juga bisa menumbuhkan rasa percaya diri pada seseorang untuk dapat menghadapi kehidupannya di depan.

  1. Ia bermain dengan anjing, kemudian memainkan alat musik tiup favoritnya setelah ceweknya yang lesbi itu mendatanginya. Cewek tersebut ingin kembali pada Drum, dan menganggap apa yang telah dilakukannya, yaitu bercinta dengan sejenis adalah sebuah game, permainan. Just having fun!
Tapi ia menolak cewek tersebut. Drum mengatakan:
“Ternyata kamu bukan seperti di dalam pikiranku. Jika kamu tidak merubah pemikiranmu”.
Alat musik, boneka, pet animal seperti anjing adalah media seseorang untuk mencurahkan hati seseorang, menyalurkan apa yang ingin ia ceritakan kepada orang lain ketika ia benar-benar tidak bisa mempercayai orang lain. Hal-hal semacam itu paling tidak bisa mengurangi beban perasaan orang. Sebabmedia  penyembuhan depresi atau stress orang satu dengan orang lain sungguh sangat berbeda.
Apalagi Drum saat itu baru saja kecewa dengan penilaiannya terhadap cewek yang selama ini ia pikirkan ternyata tidak sama dengan apa yang ia pikirkan. Kenyataan yang terjadi tidak sama dengan apa yang ia pikirkan dan ia rasakan. Jauh sekali. Karena kekontrasan itulah maka terjadi sebuah benturan atau gesekan, jika terus-terusan terjadi, akan menjadi sebuah luka.
Bagaimana mengobati luka tersebut?
Inilah yang selalu digali oleh para Ahli Psikologi. Sebab semakin maju peradaban dan semakin bertambah tahun, maka frekuensi orang yang akan masuk RSJ (Rumah Sakit Jiwa) juga sangat banyak. Hal ini dikarenakan banyaknya permasalahan hidup yang tidak diiringi dengan kesiapan  mental. Penyimpangan  hidup yang semakin beragam juga salah satu pemicu terkuat dalam memperburuk keadaan psikis seseorang.
Mungkin seseorang menganggap lesbi adalah kewajaran dengan berbagai alasannya, tetapi ada pula yang menganggap hal tersebut adalah penyimpangan yang sangat mendasar dan perlu dimusnahkan. Jika kedua pendapat tersebut terus diperturutkan tanpa ada solusi untuk mencari jalan tengahnya, maka yang terjadi adalah bentrokan emosi yang menjadikan seseorang depresi, kurang percaya diri, dan sebagainya. Terjadilah saling mengintimidasi, merasa tidak diperlakukan dengan adil, buntutnya kedamaian bangsa tenggelam dalam arus peperangan.
Ungkapan Drum: “Ternyata kamu bukan seperti di dalam pikiranku. Jika kamu tidak merubah pemikiranmu, kau tidak akan pernah tahu bahwa kau telah berubah”.
Penulis sangat setuju dengan perkataan tersebut. Hal ini membuka mata kita bahwa apa yang ada dan tampak dari luar seseorang tidak menjamin apa yang menjadi pemikiran dalam diri orang tersebut.
Seharusnya setiap orang tidak menilai seseorang hanya cover yang membungkus ‘pemikirannya’. Dengan begitu kita telah menjadi orang yang mempunyai kewasadaan tinggi untuk setiap kemungkinan yang bisa saja terjadi.
“Jika kamu tidak merubah pemikiranmu, kau tidak akan pernah tahu bahwa kau telah berubah”.  Sebab apa yang kita lakukan sebenarnya kita sadari sepenuhnya. Apa yang menjadi pemikiran, prinsip, kemenangan, kekalahan, kelebihan, atau kekeurangan yang ada pada diri kita sebenarnya sangat kita sadari. Hal tersebut dikarenakan yang menguasai diri kita adalah kita sendiri. Orang lain tidak tahu banyak, bahkan sama sekali tidak mengetahui apapun atas kita dan pemikiran apa yang ada pada diri kita.

  1. Talang berlari menemui Mamang. Ia mengadu bahwa ‘tukang pathok’ yang dulu memagari tanah datang lagi. Terjadi kerusuhan, Mamang dan Talang ditangkap. Mamang dipenjara, sedangkan Talang akhirnya dilepaskan.
Drum datang setelah mendengarkan pesan di mesin penjawab telepon. Ada 3 pesan, dari kantor, dari Air Sun Yi (Lola Amaria), dan dari desa. Drum cepat-cepat mendatangi penjara.
Ini potret dari kehidupan masyarakat bangsa kita. Kurangnya musyawarah bisa berdampak buruk. Segala yang diomongka saja bisa menimbulkan salah paham, apalagi hal yang tidak diomongkan?
Mengambil dari adegan tersebut, kita bisa belajar, jika masalah tanah tersebut dimusyawarahkan, maka keributan tidak terjadi sengit antara pihak rakyat dan pemerintah. Lagipula Pancasila juga berisi musyawarah mufakat.
Penjara pun mudah saja dihindari. Rakyat awam dan tidak tahu soal hukum pasti mendapatkan perlakuan yang kurang baik. Sebab banyak sekali aparat yang berwenang memperlakukan mereka secara kejam, tidak seharusnya. Keputusan untuk memvonis pun seenaknya sendiri. Bahkan ada yang main uang.
Kalau demikian fenomenanya, IPOLEKSOSBUDHANKAM kita seperti rempeyek kehujanan dan basi. Tidak ada sesuatu pun yang bisa kita bangun, apalagi untuk diperlihatkan ke dunia luar bahwa bangsa kita tetap dalam keadaan’ baik-baik’ saja.

  1. Setting klenteng. Pertemuan dengan Angel ‘malaikat’.
“Drum tidak lari dari Angel, dan tidak lari dari hukum. Tapi Drum terjun ke dunia realitas hukum yang keras dan sadis”.
Pelajaran bagi siapa pun yang ingin menemukan pasangan rohaninya.
Pasangan biologis, belum tentu merupakan pasangan rohani kita. Jika ribut terus, bertengkar terus, maka ibaratnya akan menjadi anjing dan kucing. Keributan yang berlangsung terus-menerus, anjing akan mencari anjing, dan kucing pun akan mencari kucing.
Soulmate tidak harus memiliki pemikiran atau duplikat dari diri kita, tapi yang bisa mengisi kehampaan kita. Orang yang bisa mengasihi kita dengan kelebihan dan kekurangan kita. Ia akan selalu ada, berbagi suka-duka bersama.
Hal ini bertolak dari pasangan jasmani (fisik). Soulmate tidak ada ketergantungan secara seksual. Jika kehilangan dia, maka kita akan terhantui siang dan malam. Ia tidak bisa digantikan oleh siapapun, karena Tuhan menciptakannya hanya satu saja.
Tidak semua orang diberi kesempatan untuk menemukan soulmatenya. Akibatnya, kita hanya mendapatkan pasangan biologis saja. Soulmate tidak membutuhkan materi, tapi kesetiaan, kebersamaan, perhatian dan pengertian.

  1. Setting rumah Drum yang porak-poranda karena orang-orang melempari rumah tersebut dengan batu, mungkin karena konflik yang sama. Konflik antargolongan. Drum datang bersama Angel.
Kejadiannya terlalu cepat dari segi waktu, dan kurang mendetail, tidak ada kekomparatifannya. Ketidaklogisan yang ditunjukkan oleh pemain adalah tanpa adanya ekspresi terkejut, khawatir dan rasa penyesalan. Padahal rumah Drum itu merupakan rumah kenangan dari orang tuanya.
Tidak ada alasan yang kuat kenapa warga tiba-tiba melempari dan menghancurkan rumah Drum. Apakah karena Drum dianggap melanggar norma, apakah karena Talang? Apa yang dilakukannya? Apakah karena tanah warga yang selalu diperebutkan dan menuai konflik?
Masih sangat simpang siur!

  1. Setting di dalam mobil. Percakapan antara Mamang, Drum, dan Angel mengenai perbandingan kitab duniawi dan akhirat.
Perbedaan pendapat yang dari zaman dahulu hingga kini masih saja menimbulkan polemik. Agama langit, agama bumi, sebenarnya sama-sama mengajarkan kebaikan. Memang ada kitab tertentu (yang berisi mantra jahat) yang dianggap menyalahi norma kehidupan. Tetapi tetap saja kitab adalah kitab, hanya pedomann hidup, alat pelurus ketika umat yang meyakini kebenaran isi kitab tersebut melakukan penyimpangan seperti yang dicantumkan.
Dialog yang elegan memang. Tidak ada yang saling menyalahkan, tetapi saling mendukung. Hanya mulanya saja terdengar ada kesenjangan antara pendapat Angel dengan Mamang. Tetapi Angel kemudian menengahi dengan kata-kata yang diplomatis.
Potongan pendapat percakapan mereka ialah:
(a) manusia memisahkan antara kehidupan dengan ajaran agama. Apa yang telah diyakini seseorang seharusnya menjadi prinsip hidup yang harus ditaati. Banyak sekali yang mengaku Islam, tapi tidak melakukan ajaran agama ibadah yang digariskan. Ada pula yang sangat Islam, ekstrem sekali hingga seluruh kehidupannya tidak mau menerima pendapat bahwa agama orang lain pun benar menurut mereka sendiri.
Istilah agamamu ya agamamu, agamaku adalah agamaku adalah benar. Tetapi ketika keyakinan atau istilah tersebut dijejalkan pada orang lain, penulis yakin akan menimbulkan perdebatan yang hingga kiamat pun tidak akan terselesaikan. Sebab kita melihatnya hanya dari kaca mata kemanusiaan.
Penulis tidak menuding siapapun. Hanya saja ingin membuka wacana, bahwa kehidupan tidak hanya disibukkan atau dipadati oleh masalah ketuhanan. Justru Tuhan itu kurang berkenan pada orang yang hanya mengurusi urusan vertikal dibanding horizontal, hendaknya kita harus membuat balance, seimbang kehidupan kita.
Kitab suci saja yang menjabarkan delapan puluh persen urusan antara manusia membutuhkan pelengkap hadist untuk menjelaskannya. Itu pun masih sangat kurang.
(b) manusia memberhalakan agama. Seperti uraian di atas, bahwa agama sudah menjadi lembaga yang harus ditaati. Ibadah hanya sebagai kewajiban mekanisme manusia yang harus dijalani dengan konsekuensi-konsekusnsi tertentu yang telah disepakati. Tidak menghiraukan Tuhan, tetapi menuhankan Tuhan baru yaitu: AGAMA.
Agama dijadikan sarana merekrut umat sebanyak-banyaknya dengan promosi yang aduhai dan terkesan munafik sekali. Kehidupan tidak selamanya putih dan lurus, tapi juga berbelok, terjal, abu-abu dan gulita. Inilah yang sebenarnya terjadi. Tidak ada relatifitas untuk kata: LEBIH DARI.
(c) kekacauan bersumber pada ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan berkembang begitu pesat dan cepat, dan sangat dirasakan pengaruhnya bagi kehidupan. Pengetahuan memang bisa menjadi sumber kekacauan ketika ilmu pengetahuan itu disalahgunakan. Tengok saja peristiwa BOM BALI dan pengeboman lainnya yang pernah terjadi di negara kita. Segala seuatu yang digunakan lebih dari dosisnya, akan menimbulkan efek yang kurang bagus.
Di tengah perjalanan, Drum turun, ia bersimpuh, mendongak, dan merentangkan tangan di sebuah batu besar di tepi pantai.
Penulis merasa janggal ketika melihat Drum sudah dalam keadaan sendirian dan sudah berada di tepi pantai. Ke mana ketiga orang (Angel, Mamang, dan Talang) yang dari tadi satu mobil dengannya?

  1. Drum kembali ke tower yang biasa ia kunjungi hanya untuk melihat lingkungan sekitar dekat pantai dari ketinggian.
Penulis berpendapat bahwa ketinggian bisa memberikan efek luar biasa bagi seseorang untuk sedikit mengurangi kejengahannya menempuh perjalanan hidupnya. Seperti refreshing ke puncak gunung, tower pun bisa dijadikan media untuk melihat betapa alam sekitar kita itu sangat kaya, Tuhan Maha Besar dan Kuasa.
Rasa syukur kita pada Tuhan dapat menjadi terapi termujarab ketika kita menganggap tidak sayu pun yang bisa mengerti kita. Itu pun kalau orang tersebut adanya sang Pencipta, yaitu: Tuhan!

  1. Drum membuat sketsa atau lukisan wajah Angel.
Sketsa, lukisan dan coretan macam apapun bisa menjadi media seseorang mencurahkan perasaannya. Entah itu rindu, dendam, benci, senang, dan sebagainya. Sketsa bisa juga menjadikan karakter dan keinginan seseorang bisa diketahui. Hal ini penting bagi siapapun, sebab ternyata coretan atau sketsa sesepele apapun bisa menerapi keadaan psikis seseorang yang sedang mengalami gangguan.

  1. Drum berdialog dengan anjing yang ia namai Sahid III, sesuai nama yang ia tulis di dinding.
Drum mengucapkan pada anjing itu: “Sahid mati atau kamu mati sahid?”
Pola kalimat yang bila dikembalikan pada struktur DM (diterangkan menerangkan), pola kalimat bahasa Indonesia, akan mendapatkan makna rasa yang berbeda. Yang pertama, SAHID adalah nama orang, yang benar-benar bisa meninggal dunia, mati.
Yang kedua adalah SAHID yang merupakan istilah lain untuk menggantikankata meninggal. Tetapi meninggal di jalan Tuhan, demi membela kebenaran.

  1. Air diskusi dengan dosen pembimbing skripsinya yang seorang bule. Dosen tersebut mengatakan bahwa “Masyarakat kita ini memang sedang kejet-kejet”.
Saya setuju dengan kata-kata dosen tersebut, sebab itulah yang terjadi pada masyarakat kita. Bangsa kita tidak pernah hidup dalam air yang benar-benar air, tidak pernah hidup di darat yang benar-benar darat. Hidupnya sekarat, seperti seekor ikan lele yang hidup dan terjebak di musim kemarau. Ketika air telah mengering, tanah masih berlumpur, sedang matahari sangat teriknya. Kehidupan bangsa kita memang demikian, seperti ikan lele yang hidup di lumpur yang hampir sangat mengering.
Air pun mengatakan, mengomentari bahwa “Novel ‘Kejet-Kejet’ merupakan novel menjijikkan tapi realis”.
Menurut Penulis, tidak ada sastra yang menjijikkan, memalukan atau melanggar norma yang ada. Sebaiknya kita memisahkan sudut pandang sastra, seni dengan apa yang disebut norma. Tetapi pemisahan tersebut hanya berupa sisi sudut pandangnya saja. Entah agama, ideologi bangsa, dan apa namanya. Sebab sastra tidak bisa dikekang. Bisa saja dibakar, tetapi proses dan pemikirannya tidak dapat disentuh sedikit pun apalagi dilumpuhkan.
Dengan demikian, kita tidak terlihat bodoh. Sebab sastra dan seni menjadi tolok ukur kecerdasan dan kedewasaan kita ketika mengupas segi-segi kehidupan yang ada pada saat itu. Mengapa tidak ada yang menganggap bahwa sastra itu bisa dijadikan media didaktis?
Kita bisa belajar apa yang  menjadi pengalaman orang lain, menengok perjalanan seseorang yang ternyata berbeda dari kita, menepiskan apa yang orang-orang mengatakan sesuatu itu tabu menjadi hal yang wajar dan lumrah saja. Meskipun demikian, tidak ada hubungannya dengan rasa malu yang selalu disangkutpautkan dengan kepribadian luhur bangsa. Tidak sama sekali. Rasa malu tidak menjadikan orang berbuat lebih baik, tetapi kadang dan kerap sekali menjadikan seseorang itu munafik. Menipu diri sendiri. Ingin dikatakan baik, padahal yang terjadi sebenarnya busuk!
Mendustai diri sendiri!

  1. Setting pasar. Ada seseorang yang membawa kotak amal meminta uang kepada Drum, tetapi Drum langsung tergeletak—terjatuh. Kemudian Drum masuk ke kamar. Mendengarkan pesan yang ada di mesin penjawab telepon. Yang pertama dari Angel (mengabari bahwa ia ada di Klenteng), yang kedua Air (ia ingin bertemu Drum dan wawancara mengenai tulisannya) dan yang ketiga adalah seseorang lelaki yang memberitahukan bahwa di Klenteng ada tragedi pembantaian.
Adegan yang rumpang. Drum jatuh karena apa? Kenapa Drum tiba-tiba sudah ada di kamarnya? Ada apa sebenarnya antara peminta amal tersebut dengan Drum? Kalau ada pemukulan, mengapa Drum terlihat baik-baik saja dan bergegas mendengarkan message di pesawat penerima pesan?

  1. Setting Klenteng. Kematian Angel dan orang-orang yang sedang bersembahyang dibantai secara sadis dan tidak berperikemanusiaan. Diiringi oleh sound siaran berita, pembantaian ini dipicu oleh konflik antaretnis yang masih saja bergejolak di tubuh masyarakat. Ada kata-kata: “Negara Kesatuan Republik Indonesia mengenal lima agama, tapi bangsa ini adalah bangsa yang sakit”.
Bhineka Tunggal Ika diciptakan untuk dirusak oleh orang-orang yang ingin mendapati kedamaian itu sendiri. Bangsa kita dalam kehancuran yang diciptakannya sendiri. Solusi terbaik adalah lebih baik tidak melakukan apapun daripada melakukan sesuatu yang menimbulkan perpecahan.
Kita bertitel NKRI yang religius, tetapi tampaknya tidak dewasa memilih keyakinan dan kepercayaannya serta melakukan ibadah atas keyakinan tersebut. Pola pikir tendensius dari seseorang masih saja menjadi keterpaksaan yang harus dilakukan oleh orang lain. Tidak ada kesepakatan yang benar-benar disepakati.
Tidak hanya di negara kita, negara luar pun demikian. Hanya saja mereka sedikit pandai dari kita, yaitu menyerahkan semua urusan kehidupannya, mau hancur atau sukses adalah di tangan mereka sendiri. Tidak mau ikut campur dengan urusan orang lain. Keterlibatan mereka secara emosional hanya berkisar pada keluarga, itupun ada kebebasan yang sangat demokratis di antara anggota keluarga untuk menentukan nasibnya sendiri.
Orang gosip di negara kita adalah hal lumrah. Tetapi bergosip di sebagian negara lain yang sudah maju, adalah perbuatan yang membuang-buang waktu dan terkesan kelihatan sekali kebodohannya!
  1. Drum ada di depan Patung Yesus. Dalam dialognya ia sangat dendam pada Tuhan karena orang yang disayangi mati.
Sepengetahuan Penulis, dan berdasarkan pengalaman yang Penulis dapat, kita bisa berdialog apapun pada Tuhan seperti yang Drum lakukan pada Tuhannya. Mau marah, jengkel, tidak diperlakukan adil, bersyukur, dan sebagainya itu terserah kita. Tidak ada yang menghalangi. Inilah  yang Penulis amini. Sebab tidak ada yang bisa mengganggu gugat hubungan vertikal antara Tuhan dan manusia. Inilah hak asasi yang paling asasi.
Tidak ada istilah yang hina-menghina, sebab istilah itu hanya ada dalam konsep pemikiran kita saja. Padahal apa yang terjadi antara sang Khalik dan ciptaanNya hanya diketahui berdua saja. Orang lain bukan siapa-siapa dan tidaka ada hak untuk mengatakan atau berpendapat apapun!

  1. Drum pergi ke tempat hiburan di tepi pantai ketika itu ada pertunjukan band. Talang marah, ada adegan lucu ketika Talang ingin memesan wanita untuk dapat diajaknya bercinta.
Fungsi band itu apa?
Tidak bisa masuk nalar, ketika Penulis mengkaji bahwa setting tersebut adalah pantai. Mayoritas orang pantai suka sekali dengan musik dangdut, musik yang dikukuhkan menjadi musik marginal, bagaimanapun bungkusannya. Tetapi kalau musik pop, rock, atau poprock?
Penulis tidak janji apakah hal ini sudah difikirkan crew sebaik mungkin?
Apakah pekerja seni yang terlibat di dalamnya ingin menghapus bahwa masyarakat pantai tidak hanya suka dangdut tetapi juga sejenis musik pop, rock, atau poprock?
Kalau demikian yang terjadi, tidak apa-apa. Selama karya mereka bisa dipertanggungjawabkan. Dan apakah umur mereka (orang-orang yang ada di setting tersebut) cocok dengan selera musik yang demikian?
  1. Diskusi Air dengan dosen pembimbingnya membicarakan hubungan antara pikiran pengarang dengan novel atau karyanya.
Menurut pandangan penulis, apapun yang namanya karya adalah milik pribadi penciptanya, ketika proses kretif tersebut berlangsung, dan sebelum ciptaan tersebut selesai diciptakan. Setelah ciptaannya selesai, maka pencipta tidak mempunyai hak apapun. Meskipun ia yang menciptakannya. Sebab ciptaan tersebut sudah menjadi milik dunia di luar diri penciptanya.
 Karya dibuat oleh Pengarang janganlah dihubungkan dengan kehidupan pribadinya. Meskipun pada kenyataannya sedikit banyak mengenai kehidupan pribadinya. Tetapi mengapa kita tidak berfikir bahwa kehidupan pribadi itu sudah menjadi kehidupan yang baru saat dikemas dengan bahasa sastra?

  1. Air Sunyi pulang. Drum kembali flashback pada masa lalu lagi, ketika ia kehilangan orang-orang yang ia sayangi.
Trauma. Sebuah kata yang tepat, terjadi berulang-ulang ketika melihat sesuatu yang hampir sama. Seperti fobia. Ketakutan.
Drum mungkin merasa ketakutan untuk kehilangan lagi. Makanya semua kejadian masa lalu yang terpotong-potong itu masih saja menghantuinya.
Kenangan adalah milik manusia yang tidak dapat diambil, dicuri, atau direbut pihak lain. Manusia bisa dikurubng atau dipenjarakan, tetapi kenangan tidak dapat dibelenggu. Ke mana pun manusia berada, kenangannya akan bersamanya. Selalu. Miliknya pribadi yang tidak dapat dipisahkan.
  1. Lukisan di dinding yang banyak, buku tercecer di mana-mana. Drum terlihat sekali menjadi orang yang sedang menderita psikisnya. Sebab sketsa-sketsa tersebut hampir senada objeknya: perempuan. Traumatis sekali. Karakternya mudah sekali ditebak, dibaca dan disimpulkan bahwa ia mengalami kelainan.
Air Sunyi datang dan berdialog dengan Drum. Air mengatakan bahwa tulisan-tulisan Drum dapat merusak moral bangsa.
Drum mengatakan bahwa “…yang membuat kerusakan adalah manusia, yang merupakan binatang berakal”.
            Benar sekali, tidak ada yang merusak moral bangsa kita. Yang merusak adalah pemikiran dan pemahaman diri kita sendiri mengenai sesuatu hal. Hakikatnya Penulis bisa membenarkan dengan homohominilupus. Manusia bisa memakan manusia lainnya jika pertahanan satu-satunya dan yang terakhir memang itu.
Drum juga mengatakan pada Air, jika ingin tidak terjadi keributan maka harus ada dimensi nilai mutlak yang bebas dari dunia empiris yang terus berubah. Kamu akan mengerti semua jika pikiranmu tidak terkotak-kotak”.
Kemudian Air membela dengan berkata: “Apa kamu pikir moral bangsa ini sudah rusak semua?”
Drum mengelak dengan mengatakan: “Moral bangsa yang mana yang bisa dirusak?”
Tidak ada yang merusak moral bangsa, apalagi karya sastra, sebab definisi moral sendiri pun sebanarnya masih kabur, samar dan tidak ada transparansi yang bisa dipegang. Dunia empiris pun sebenarnya tidak seempiris pada kenyatannya, sebab masih bisa ditumbangkan dengan keempirisan lainnya.
Pikiran terkotak-kotak membuat kita menguasai segala sesuatunya hanya setengah-setengah. Tidak menguasai benar, dan inilah sebenarnya perusak yang paling masuk akal. Penguasaan pemahaman yang hanya setenah-setengah.

  1. Drum flashback lagi ke masa lalunya, dengan setting tepi pantai ketika orang berlarian dan ia kehilangan ibunya. Kemudian ia menjerit histeris.
Jeritan adalah sebuah cara yang efektif dan efisien untuk mengurangi beban perasaan kita. Dalam ilmu kejiwaan, apa yang kita rasakan berasal dari diri sendiri, yang harus mengatasi segala resikonya pun diri sendiri. Dengan menjerit kita mungkin bisa sedikit menekan luapan emosi agar tidak berdampak buruk bagi orang lain maupun pada kesehatan jiwa kita sendiri.

  1.  Talang membunuh wanita kencannya. Ia ditangkap polisi. Ketika di kantor polisi, ada tulisan “STABILLITAS” yang sekaligus ada tanda “X” (silang).
Ternyata tidak hanya Drum yang mengalami gangguan stabilitas, tetapi juga Talang. Dampak konflik tidak hanya pada satu orang, tetapi sangat banyak. Orang yang tidak kita kira akan melakukan kejahatan justru dia melakukan hal-hal di luar dugaan kita. Di sini kita dibukakan cakrawala kita untuk tetap waspada pada setiap yang ada dan terjadi di depan—sekeliling kita.
Tempat orang-orang yang mengalami ketidakstabilan jiwa dan perilaku adalah penjara. Mungkin dengan dipenjara mereka menjadi insaf dan menyadari bahwa perbuatan mereka merugikan orang lain. Tetapi yang menjadi pertanyaan apakah harus dipenjara?

  1. Adegan flashback lagi. Drum merasa tertekan. Ia tergeletak di lantai. Air Sunyi datang, kemudian Drum menyerang (sensor) tahu-tahu Air sudah disekap. Dua tangannya diikat. Datangnya perempuan (Yatty Rahman) ke rumah Drum, kemudian pergi begitu saja setelah melihat Air diikat.
Apakah Drum melepaskan kepenatan yang sudah tidak tertahankan dengan menyerang Air?
Apakah benar karena traumatik masa lalunya? Hal ini tidak dapat didefinisikan dengan baik, tidak ada penyambung adegan yang baik.
Benar-benar adegan yang janggal. Meskipun begitu, intinya masih bisa ditangkap bahwa Drum menyerang Air dan menyekapnya. Tapi tidak tahu apa alasannya. Apakah benar hanya karena namanya saja yang AIR SUNYI?

  1. Air memberontak, ketika Drum mendekat jarinya digigit oleh Air. Kemudian ia pergi ke luar. Sesaat kemudian Drum datang dengan membawa potongan jari telunjuknya yang ada di dalam toples berisi air.
Di sini terjadi kekacauan waktu. Adegan yang tidak runtut menurut kronologinya. Pergantian pagi-siang-petang-malam kurang jelas, acak-acakan sehingga tidak diketahui berapa lama Air disekap. Mengapa serasa lama sekali?

  1. Drum membuat tangkai sendok dari bambu (kayu) untuk menyuapi Air. Air berkata: “Kita berkomunikasi layaknya manusia lainnya… tidak seperti binatang…” ketika ia sudah putus asa untuk lepas dari ikatan Drum. Tetapi Drum membalas: “Barangkali kita adalah bagian dari binatang…”
Drum tipikal orang yang mudah sekali fobia, tapi karena ia tak mau dibilang fobia, makanya ia menentang ketakutan itu dengan caranya sendiri. Tentang hidupnya, tetang hatinya, tentang keinginannya, dan tentang Air.
Ia tidak mau mengatakan apa yang ia rasakan pasa Air. De ja vu-kah? Cintakah? Rasa bersalahkah? Kecewakah?
Makanya Drum sering berbuat arogan, sisi kehewanannya muncul di saat ia tak dapat menyampaikan perasaan-perasaan secara manusiawi. Tetapi dia sadar betul bahwa apa yang telah dilakukannya tidak baik menurut kaca mata publik.
  1. Drum berdiskusi dengan patung Yesus dengan kata-kata mengadu sekaligus menggugat.
Seperti yang Penulis uraikan di atas, bahwa hubungan manusia dengan Tuhannya adalah sangat rahasia, dan privacy. Tetapi manusia, seperti juga Drum, selalu menggugat Tuhan ketika apa yang ia fikirkan, apa yang ia inginkan berbeda dengan kenyataan?
Mengapa tidak mengguagat pada diri sendiri saja: apa yang telah saya perbuat untuk Tuhan sebagai rasa syukur?

  1. Drum melukis Air Sunyi ketika ia tidur pulas.
Sketsa Air memunculkan dugaan dari Penulis bahwa Drum mempunyai dendam rindu yang tidak terobatkan, ada rasa sesal, cinta, dan pengingkaran. Rasa cinta yang bila diteruskan akan merusak segala tatanan yang sudah dikemas dan disetujui.
Air dilukis sangat natural dan mengalir apa adanya. Hingga kesadaran pelukisnya, Drum, ikut tersapu oleh aliran Air tersebut. Rona wajahnya mengaharapkan kebebasa, sesuatu yang ingin didapatkan drum dari kehidupannya. Sebab ia merasa tidak pernah sangat bebas menjalani kehidupannya.

  1. Drum di depan komputer, mengetik dengan jari telunjuk diperban. Alas mouse-nya yang berupa buku berjudul FASISME ia baca, kemudian ia buang. Lalu ia membuang seluruh barang yang ada di kamarnya ke dalam tempat sampah dan membakarnya. Drum melepaskan ikatan Air Sunyi. Terjadilah pemukulan (sensor).
Di sini semuanya mengalami penurunan. Anti klimaks didapatkan ketika Drum menyadari bahwa apa yang ia perbuat pada Air dan apa yang ia jalani selama ini kurang normal dan kurang bermanfaat, tetapi dia berhasil menjebol anggapan-anggapan yang selama ini dikukuhkan.
Kesadaran Drum ternyata dari seorang perempuan, yang juga mengawali ketidaksadarannya, yang menjadikannya ‘sakit’.
Sensor yang terlalu banyak membuat penikmat film ini jengkel pastinya. Sebab tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Apakah Drum dan Air melakukan hal-hal yang membuat mereka sangat dekat, dan apa yang telah dilakukan Air sehingga Drum menginsafi apa yang telah ia lakukan ytu merupakan hal yang salah?

  1. Drum ke gereja, mengakui dosa. Ia mengadu bahwa ibu, bapak, kekasih, dan anjingnya…itu semua diambil darinya. “Seumur hidup saya, saya tidak mengganggu orang lain… Tapi Tuhan ambil kebahagiaan saya…”
Adegan menuju ending ini sangat janggal. Tahu-tahu Drum sudah ada di gereja melakukan pengakuan dosa. Adegan terakhir saat Drum dipukul Air tidak berkelanjutan. Apakah Drum terluka? Bagaimana keadaan  Air
Lepas dari mekanisme perfilman di atas, ternyata semua tendensi berangkat dari rasa kehilangan, yang menyebabkan kestabilitasan jiwa Drum goyah. Apa yang menjadikannya sakit adalah ketidakadilan dari Tuhan. Drum menganggap bahwa Tuhan merebut kebahagiaannya dengan mengambil orang-orang terdekatnya.
Kalau kita mau belajar dari adegan ini maka sebenarnya kita akan sadar bahwa apa yang kita miliki sebenarnya bukan milik kita secara pribadi. Sebab semuanya milik penciptanya, yaitu Tuhan. Kapan suka dan di mana suka bisa diambil sewaktu-waktu. Kita hanya dipinjami, yang suatu hari harus dikembalikan. Kehilangan bukan akhir segalanya, sebab dalam kehilangan tersebut sebenarnya kita bisa belajar menjadi lebih dewasa dan berterimakasih pada Tuhan yang telah meminjamkan kebahagiaan dan kedukaan tersebut untuk kita nikmati agar kita tahu rasanya.
Semua ada waktunya. Kehilangan sebenarnya tidak ada, yang ada hanyalah siklus pertukaran, ada yang datang dan ada yang harus pergi. Semua hadir menurut kerja dan manfaat yang telah diitetapkan oleh sang Panitia, yakni Tuhan sang Maha Pencipta.

  1. Air Sunyi dikirimi bingkisan berisi kalung berliontin potongan jari telunjuk Drum, dan sebuah novel bergambar sketsa wajah dan namanya, serta gambar sampul kalung berliontin jari telunjuk tersebut.
Ending ini terkesan imajinatif jika dirunut dari kronologi adegan sebelumnya. Tiba-tiba saja Air mendapatkan bingkisan tersebut. Apakah tidak sebaiknya tayangan pemukulan yang ada dalam adegan sebelumnya digamblangkan saja biar semua tahu inti cerita yang sebenarnya?
Drum di sini terlihat benar-benar sakit. Penulis naturalis yang kehabisan dunianya dalam membuat realitas pada dunia kecilnya (dunia imaji). Sesuatu yang sering dialami oleh orang-orang yang suka menulis: ‘sakit’ bila pikiran dan keinginannya gagal dituangkan.
Secara keseluruhan, masih simpang siur sebenarnya apa yang ingin disampaikan dalam film ini. Hanya saja Penulis masih bisa berkompromi dengan keadaan psikis Drum yang mendasari pembuatan film ini. Sebab tokohnya pun menurut Penulis lebih ditekankan pada penulis buku Novel Tanpa Huruf R, yakni Drum.
Masalah IPOLEKSOSBUDHANKAM adalah kondisi kealaman yang menjadi background dari setiap manusia. Tetapi pengemasan pada akhir cerita seperti lenyap tak bersisa. Yang ada tinggallah ketidakmengertian, keterkejutan, dan penginsafan yang benar-benar harus mendapatkan bantuan dari orang lain.

No comments: