3 Zaman Skolastik
Egoo eimi ho oon.
Sum qui sum.
I am who I am.
Aku adalah Aku.
(Keluaran 3:14)
Saya membagi
zaman skolastik dalam 2 tahapan (1) zaman skolastik timur, yang diwarnai
situasi dalam komunitas Islam di Timur Tengah, abad 8 s/d 12 M, dan (2) zaman
skolastik barat, abad 12 s/d 15 M, yang diwarnai oleh perkembangan di Eropa
(termasuk jazirah Spanyol).
Secara
sederhana, dalam zaman Patristik, "filsafat teologi", dengan tanda dapat dibaca sebagai "identik
dengan", "sama sebangun dengan", "praktis tidak berbeda
dengan". Sementara dalam periode
skolastik timur, terdapat berbagai interpretasi atas simbul dalam rumusan "filsafat teologi", dalam periode skolastik barat
tidak ada keraguan tentang makna simbul dalam rumusan
"filsafat teologi".
3.1. Periode skolastik timur
Abad ke-5 s/d
abad ke-9 Eropa penuh kericuhan oleh perpindahan suku-suku bangsa dari utara.
Pemikiran filsafati praktis tidak ada.
Sebaliknya di Timur Tengah. Sejak
hadirnya agama Islam dan munculnya peradaban baru yang bercorak Islam, ada
perhatian besar kepada karya-karya filsuf Yunani. Itu bukan tanpa alasan. Pada
awal abad 8 krisis kepemimpinan melanda Timur Tengah; amanat Nabi seperti
terancam untuk menjadi pudar dan dalam situasi tak menentu itu dikalangan pada
mukmin muncullah deretan panjang ahli pikir yang ingin berbuat sesuatu,
berpangkal pada penggunaan akal dan azas-azas rasional, dan menyelamatkan
Islam.
(1) Mashab Mu'tazila (725 - 850 - 1025
M) meminjam konsep-konsep pemikiran
Yunani dan melihat akal sebagai pendukung iman. Pengakuan akal sebagai sumber pengetahuan
(selain sumber wahyu) mendorong penelitian tentang manusia (kodrat, martabat
dan tabiatnya). Mengikuti etika Aristoteles, karena akal membuat manusia mampu
membedakan baik dan buruk, maka berbuat baik adalah wajib. Pemimpin harus
mewajibkan umatnya berbuat baik, masing-masing warga menjauhkan diri dari
perbuatan tercela. Daripadanya dijabarkan hubungan antar-manusia dan
antar-bangsa, dan hak azasi (kemauan bebas) manusia. Pandangan ini cocok dengan Al Qur'an (Surah 3
ayat 110): "amr bil-a'ruf wa'l nahy an'al-munkar".
Mashab
Mu'tazila ada pada pendapat bahwa Al Qur'an tercipta, artinya "dirumuskan
oleh manusia, dengan latar belakang tempat dan zaman yang khusus". Maka para Mu'tazila membaca Al Qur'an dengan
kacamata rasionalis.
(2) Mashab falsafah pertama (830 - 1037
M), berhaluan neoplatonis dan aristoteles.
Kata "falsafah" dipakai untuk mengartikan filsafat hellenis
dalam kosakata bahasa Arab, ahli fikirnya disebut "faylasuf"
("falasifa - jamak). Empat tokol
besar : al-Kindi (800-870 M), al-Razi (865 - 925 M), al-Farabi (872 - 950
M) dan Ibn-Sina (980 - 1037 M).
Menggumuli masalah klasik "perbedaan antara dhat dan wujud"
("distinctio realis inter essentiam et existentiam"). Mereka ada pada pendapat, bahwa akal adalah pendamping iman.
Al-Razi menolak ijazu'l Qur'an. Tulis al-Razi:
"Tuhan memberi kepada manusia akal sebagai anugerah terbesar. Dengan akal kita mengetahui segala apa yang
bermanfaat bagi kita dan yang dapat memperbaiki hidup kita. Berkat akal itu kita mengetahui hal yang
tersembunyi dan apa yang akan terjadi. Dengan akal kita mengenal Tuhan, ilmu
tertinggi bagi manusia. Akal itu
menghakimi segala-galanya, dan tidak boleh dihakimi oleh sesuatu yang
lain. Kelakuan kita harus ditentukan
oleh akal semata-mata".
(3) Mashab pemikiran ketiga disebut pula Kalam
Ashari, berpusat di Bagdad, dan bercorak atomisme (yang dicetuskan pertama
kali oleh Democritus, 370 sM), dan bergumul dengan soal sebab-musabab,
kebebasan manusia, dan keesaan Tuhan.
Para tokohnya: al-Ash'ari (873-935 M), al-Baqillani (?-1035), dan al-Ghazali
(1065-1111 M).
Pandangan yang
bercorak atomistis berpangkal pada pendapat bahwa peristiwa alam dan perbuatan
manusia tidak lain daripada kesempatan atau tanda penciptaan langsung dari
Tuhan. Daya alami serta hubungan wajib
sebab-akibat dalam penciptaan itu tidak ada. Segala sesuatu terjadi oleh campur
tangan al-Khaliq, "tiada yang tersembunyi daripadaNya seberat
dharahpun" (Al-Qur'an Surat 34 ayat
4). Tiap
kejadian terdiri atas deretan terputus-putus atom-atom, tanpa ada hubungan
kausal. "Kami menyangkal bahwa makan dan minum menyebabkan kenyang".
Yang ada hanya monokausalitas mutlak illahi.
Apabila tampak sesuatu akibat dari suatu tindakan, maka itu hanya semu,
karena Allah menghendaki hal itu. Tuhan
mahakuasa dan mendalangi setiap kegiatan insani. Manusia tidak memiliki
kehendak bebas, yang bebas itu hanya semua saja. Manusia hanya boneka atau
wayang dalam pergelaran semalam suntuk. "Bila manusia bertindak baik,
itulah ditentukan Allah sesuai rahmatNya; bila dia berbuat jahat itu
dikehendaki Allah sesuai keadilanNya".
Dalam
"Al-Tahafut al-filasifah" al-Ghazali membuat sistematisasi atas
filsafat dalam 20 dalil dan membuat kajian
dan bantahan yang keras atas tiap-tiap dalil itu. Empat dari 20 dalil
diberi nilai kufurat. Ilmu sebagai
pengetahuan sesuatu melalui sebab-sebabnya dimungkiri; seluruh pengetahuan
ilmiah adalah sia-sia. Secara singkat "al-aql laysa lahu fi'l-shar'
majal" -- untuk akal tiada tempat dalam agama.
(5) Jauh dari pusat khilafat Abbasiyah di Timur
Tengah, di kawasan yang dikenal sebagi Maghrib al-Aqsa (Barat jauh: Afrika
barat laut, jazirah Andalusia, yaitu Spanyol sekarang) berkembanglah pusat
Islam dalam kesenian, ilmu pengetahuan dan filsafat. Ibn Bajjah (1100-1138 M), Ibn Tufail (? -
1185), dan Ibn Rushd ("Averroes") (1126-1198 M) merupakan 3 filsuf
utama dalam perioda Filsafat Kedua (1100 - 1195 M) ini.
Ciri para
filsuf ini pada umumnya menolak haluan anti-rasional Al Ghazali. Ibn Bajjah
menegaskan adalah tugas seorang filsuf untuk meningkatkan martabat hidupnya
dengan merenungkan kenyataan rohani sampai akhir hayat. Akal adalah hal yang paling berharga yang
dikaruniakan Tuhan kepada abdiNya yang setia.
Ibn Tufayl
terkenal oleh buku roman filsafi yang berjudul Risalat HAYY IBN YAQZAN fi
asrar al -himah al-mashiriyyah.
Ibn Rushd
dikenal oleh 3 kelompok karyanya: tafsir atas Aristoteles, karangan polemis
(tentang karya-karya filsafat di kawasan timur) dan karangan apologetis (yang
membela Islam dari ancaman dari dalam). Tahafut
al-tahafut merupakan serangan
frontal atas al-Tahafut al-filasifah al-Ghazali. Menolak pandangan al-Ghazali, ditegaskannya
bahwa ilmu secara esensial adalah pengetahuan sesuatu berdasarkan
sebabnya. Kita menanggapi hubungan
sebab-akibat dengan pancaindera, dan memahaminya sebagai nyata dengan akal. Dengan akibat atau setiap perubahan diciptakan
secara langsung oleh iradat ilahi tanpa pengantaraan sebab tercipta (wasa'ith),
seluruh dunia dimerosotkan menjadi kaos dan irasional, tanpa tata-tertib, tanpa
nizam atau inayah. Itu bertentangan
dengan akal sehat dan menentang wahyu Qur'an, yang melukiskan dunia sebagai
karya teratur Allah yang maha bijaksana.
Karya
apologetisnya (2 buku yang ditulis pada tahun 1179 M) juga membela hak hidup
filsafat dalam Islam, baik sebagai ilmu otonom, maupun sebagai ilmu bantu dalam
teologi. Rushd melihat filsafat sebagai
"sahabat al-shari'at w'ahat al-ruzdat", teman teologi ibarat saudari
sesusuan. Filsafat diwajibkan oleh
al-Qur'an, agar manusia dapat memuji karya Tuhan di dunia ini (antara lain
Surah 3 ayat 188, Surah 6 ayat 78, Surah 7 ayat 184, Surah 59 ayat 2, dan Surah
88 ayat 17) . Bila studi hukum (fiqh)
tidak disertai studi filsafat, fiqh membuat budi sempit dan memalsukan agama.
Pengaruh Ibn
Rushd sang filsuf dari Cordova itu terhadap alam pikiran Islam selanjutnya
mungkin tidak seberapa, dia bahkan dikatakan hanya mewariskan "sekeranjang
buku seberat sosok mayatnya".
Tetapi naskahnya populer di Eropa, khususnya di lingkungan kampus
Universitas Paris, dan menyebar dari sana.
Dengan karyanya, Aristoteles yang
dijuluki "Sang Filsuf" diperkenalkan mutiara pemikirannya oleh Ibn
Rushd yang oleh karena itu mendapat julukan "Sang Komentator". Sebagai akibatnya, obor perenungan filsafati
Yunani, seperti diarak melalui Timur Tengah ke Barat Jauh oleh para filsuf
muslim (yang sering hidup menderita), dan dengan itu diestafetkan kepada para
filsuf Eropa (Barat) dan ke seluruh dunia.
Itulah sumbangan berharga para filsuf muslim dalam khazanah perenungan
tak kunjung henti manusia dalam menemukan jati diri dan realitas di
sekelilingnya.
3.2 Perioda skolastik Barat
Awal abad 13
ditandai dengan 3 hal penting: (1) berdirinya universitas-universitas, (2)
munculnya ordo-ordo kebiaraan baru (Fransiskan dan Dominikan), dan (3)
diketemukannya filsafat Yunani, melalui komentar Ibn Rushd, yang dipelajari dan
dikritik dan diteliti dengan cermat oleh Thomas Aquinas (1225 - 1274 M). Tema filsafat perioda ini adalah hubungan
akal budi dan iman, adanya dan hakekat Tuhan, antropologi, etika dan politik.
Otonomi
filsafat yang bertumpu pada akal, yang merupakan salah satu kodrat manusia,
dipertahankan. Menurut Thomas Aquinas,
akal memampukan manusia mengenali kebenaran dalam kawasannya yang alamiah. Sebaliknya teologi memerlukan wahyu
adikodrati. Berkat wahyu adikodrati itu
teologi dapat mencapai kebenaran yang bersifat misteri dalam arti ketat
(misalnya misteri tentang trinitas, inkarnasi, sakramen). Karena itu teologi memerlukan iman, karena
hanya dapat dijelaskan dan diterima dalam iman.
Dengan iman yang merupakan sikap penerimaan total manusia atas wibawa
Allah, manusia mampu mencapai pengetahuan yang mengatasi akal. Meski akal tidak dapat menemukan (menguak)
misteri, akal dapat meratakan jalan menuju misteri ("prae-ambulum
fidei").
No comments:
Post a Comment