Puisi Kenyang Lambang
Banyak sekali puisi yang berisi tentang simbol atau
lambang. Misalnya lambang bunyi, lambang benda, lambang suasana, dan lambang
warna. Lambang tersebut dalam puisi berfungsi sebagai mengekspresikan gagasan
atau pengejawantahan pengalaman-pengalaman yang ingin disampaikan oleh seorang
penyair.
Dalam puisinya ini, Sapardi melukiskan bagaimana suasana
musim ‘pancaroba’ dengan banyak simbol. Yaitu suatu musim peralihan antara
penghujan dan kemarau. Siklus tahunan yang rupanya sudah dihafal benar oleh
sang Penyair ini.
Musim inilah biasanya banyak pohon-pohon yang daunnya
meranggas satu-satu, burung banyak yang diam di sarang, dan banyak orang yang
menggantungkan hidup dari hasil alam lebih memilih mencari kerja di kota sebab mereka tidak
menemukan kepastian pada alam.
Puisinya ini dikemas secara apik dan romantis, karena
sebenarnya terasa ‘berat’ pada kenyataanya, tapi ‘sweet’ saat dituangkan dalam
kata. Harmonisasi yang sungguh menarik bila digolongkan dalam puisi Lanskap,
yaitu puisi mengenai pendeskripsian alam atau pemandangan. Juga sangat ‘elegan’
bila dimasukkan dalam puisi Naratif yang
tidak lain bersifat ‘talk’ atau bercerita. Menceritakan apa saja mengenai musim
pancaroba.
Musim pancaroba yang mungkin penyair maksud adalah musim
pancaroba yang menimbulkan paceklik atau bahkan musim pancaroba yang banyak
menimbulkan wabah penyakit. Sehingga penyair ingin musim pancaroba ini lekas
berakhir di ganti oleh musim yang baru lagi. Kalau panas, panas sekalian. Kalau
hujan, hujan benar-benar.
Kajian puisi “Ayat-Ayat Api” karya Sapardi Djoko Damono
berdasarkan simbol atau lambang yang digunakannya adalah sebagai berikut:
AYAT-AYAT API
Mei, bulan kita itu belum ditinggalkan penghujan
di mana gerangan kemarau, yang
malamnya dingin
yang langitnya bersih: yang siangnya
menawarkan
bunga randu alas dan kembang calung,
yang dijemput
angin
Di bukit-bukit yang tidak mudah tersinggung,
yang lebih suka menunggu sampai
penghujan,
dengan ikhlas meninggalkan
kampung-kampung
(diusir kerumunan bunga dan kawanan
burung),
di mana gerangan kemarau, yang senantiasa dahaga
yang suka menggemaskan, yang
dirindukan penghujan.
(Sapardi Djoko
Damono)
A. Penggunaan Lambang
Suasana
Yang malamnya dingin. Penulis memilih kata ‘yang malamnya dingin’
sebagai kata yang melambangkan suasana karena kata tersebut mengacu pada kata
di depannya ‘kemarau’ sebagai hal yang dibendakan. Melukiskan bagaimana suasana
kemarau saat malam hari. Sebab kemarau malam hari diceritakan penyair dengan
hawa dingin.
Yang langitnya bersih. Kata ini merupakan lambang suasana karena
penyair sepertinya ingin memberitahukan pada pembaca bahwa pada siang hari di
musim kemarau langitnya tidak mendung. Melainkan biru bersih, tanpa ada awan
yang menghiasinya dan terkesan sangat cerah.
Yang siangnya menawarkan bunga
randu alas dan kembang calung. Di
saat kemarau, dilukiskan penyair dengan banyaknya pohon randu
alas dan kembang calung yang tampaknya tumbuh subur. Memberi
kesan tidak terlalu ikut-ikutan panas, tapi teduh meski udaranya panas saat
siang hari.
Pohon ini bisa menjadi alternatif
orang-orang berteduh dari panasnya matahari musim panas. Sedangkan kembang
calung bisa jadi penyair menggunakannya sebagai lambang keceriaan. Bahwa
kemarau tidak identik dengan panas matahari yang menyengat saja, tapi juga
penuh rerimbunan bunga calung yang memberi kesan menenteramkan.
Yang dijemput angin. Penyair memberi gambaran bahwa pada musim
kemarau bunga randu alas dan kembang calung akhirnya meranggas satu-satu
kemudian berguguran tertiup angin. Seperti musim gugur di ‘west earth’.
Yang tidak mudah tersinggung. Penilis memilih kata ini sebagai lambang suasana
karena mempertegas keadaan ‘bukit-bukit’ yang merupakan kata yang dijelaskan di
depannya. Menggambarkan perbukitan yang sulit sekali mendapatkan curah hujan
teratur dan mungkin penyair ingin menyampaikan bahwa kehidupan di bukit dalam
pandangannya tidak begitu baik.
Yang lebih suka menunggu sampai
penghujan. Kata ini memberi
keterangan pada bukit dan melukiskan bahwa suasana di bukit tersebut semua
jenis kehidupan menggantungkan pada musim hujan. Apalagi ketika kemarau,
penduduk dan semua makhluk hidup di sana
mengharapkan agar lekas turun hujan.
Dengan ikhlas meninggalkan
kampung-kampung. Penulis memilih
kata-kata ini sebagai lambang suasana dengan alasan kata-kata ini merupakan
penggambaran keadaan ketika kemarau hampir berakhir dan penghujan sebentar lagi
akan disongsong. Maksud penyair tidak lain adalah musim pancaroba, karena musim
ini ada dua jenis. Yaitu musim pancaroba sebelum penghujan (kemarau hampir
berakhir) dan pancaroba setelah penghujan (musim kemarau awal-awal).
Diusir kerumunan bunga dan kawanan
burung. Musim kemarau identik
dengan kekeringan, maka ia akan berakhir tatkala penghujan. Musim hujan membuat
binatang-binatang dan tumbuh-tumbuhan menjalani kehidupan makmur sebab bahan
pangan mereka tercukupi. Makanya penulis memilih kata-kata ini sebagai lambang
suasana karena melukiskan musim kemarau yang hampir berakhir. Dan bulan Mei
merupakan bulan di saat bulan ke depannya menjelang musim pancaroba yang
mengawali musim kemarau.
Yang senantiasa dahaga. Pelukisan musim kemarau diwakili oleh kata-kata
ini. Karena pada musim kemarau identik dengan panas matahari yang menyengat
bahkan terjadi kekeringan. Maka di saat kemarau banyak orang yang mengharapkan
agar hujan cepat turun untuk menghapus kekeringan.
Yang suka menggemaskan. Meskipun kemarau mendatangkan kekeringan, tetap
saja orang-orang mengharapkannya ketika melalui musim hujan. Biasanya karena
hujan bisa menghadirkan banjir dan tanah longsor, apalagi jemuran pakaian yang
tidak pernah kering dengan tuntas. Kata-kata ini pula yang memberi keterangan
pada kata-kata di depannya.
Yang dirindukan penghujan. Bagaimanapun juga, kemarau tetap harus berlalui
dan diganti musim hujan. Sudah menjadi siklus kehidupan dan kedua musim
tersebut merupakan media seleksi alam yang diciptakan dengan segala
kebesaranNya. Lambang suasana dari kata-kata ini mengandung pengertian bahwa
musim kemarau yang terlambat begitu diharap-harapkan oleh penyair dan seluruh
orang.
B. Penggunaan Lambang Benda
Mei. Sebagai salah satu nama bulan kelima dalam perhitungan
kalender. Penulis memilih kata ini sebagai lambang benda karena penyair
seolah-olah berbicara dengan “Mei” berkenaan dengan kerinduannya pada musim
kemarau. Sebab bulan Mei merupakan bulan yang menandai musim tersebut akan
segera datang. Makanya penyair memakai bulan ini sebagai hal atau lambang yang
dibendakan. Agar kesannya lebih hidup dan indah dinikmati.
Bulan kita itu. Kata-kata ini menunjuk pada musim di saat
kemarau akan datang. makanya penulis mengambil kata-kata ini dengan alasan
bahwa kata-kata ini merupakan lambang benda yang berfungsi sebagai penegas hal
yang dibendakan yang ada di depannya.
Penghujan dan kemarau. Jelas sekali menunjuk hal-hal yang bersifat
benda maupun hal-hal yang bisa dibendakan. Sebab hujan dan kemarau kehadirannya
bisa dinikmati maupun dirasakan oleh semua orang.
Malamnya dingin, langitnya bersih
dan siangnya. Penulis memilih
kata-kata ini sebagai lambang benda sebab “nya” di sini menunjuk pada hal-hal
yang dimiliki oleh musim kemarau. Apalagi diperjelas dengan kata-kata yang
memperjelas di belakangnya, yang merupakan kata sifat dan hal ini bisa
menimbulkan citraan penglihatan (visual).
Bunga randu alas dan
kembang calung, angin, di bukit-bukit, kampung-kampung, serta kerumunan bunga
dan kawanan burung. Semua
kata-kata ini menunjukkan benda. Makanya penulis golongkan pada lambang benda.
Karena kata-kata ini juga memberi penjelasan benda atau hal yang dibendakan
secara konkret atau bisa dilihat mata secara langsung serta menimbulkan citraan
penglihatan.
No comments:
Post a Comment