Puisi Jula-Juli Guru merupakan
kritik sosial dunia pendidikan sekaligus potret dari pendidikan di Indonesia. Sindhunata
mengemas tulisannya dengan sangat halus bahasanya melalui gaya bercanda tetapi
tetap tidak meninggalkan kesatiran (menyinggung dan sinis).
Gambar di bawah ini merupakan sosok seseorang dengan bercelana rapi
dengan ikat pinggang, membawa tas selempang, kepalanya miring dengan sikap
badan yang tegap. Gambar tersebut dapat diasumsikan sebagai sosok seorang guru
ataupun murid sebab tas selempangan yang dipakai dapat menunjukkan identitas akademik
atau jenjang di dalam dunia pendidikan. Penulis cenderung menyebut sosok gambar
tersebut sebagai seorang guru.
Titik-titik di atas kepala pada gambar di bawah ini dapat diartikan
sebagai pemikiran, ilmu atau malah justru keruwetan dan kebingungan. Penulis
berpendapat bahwa titik-titik tersebut tidak jauh berbeda dengan yang digunakan
kartunis untuk menunjukkan tokoh kartunnya yang sedang dalam kebingungan.
Badan yang hitam putih menunjukkan hal baik dan buruk
atau sisi positif dan negatif dari seorang guru atau pendidik di dalam dunia
pendidikan. Gambar di bawah badan dari pusar ke atas didominasi warna putih
sedangkan badan dari pusar ke bawah didominasi warna hitam.
Warna putih yang mendominasi tubuh bagian atas tersebut dapat diasumsikan
sebagai niat baik seseorang sebagai guru. Guru tidak hanya dijadikan sebagai
profesi tetapi juga sebagai pengabdian. Jadi lebih banyak ingin berbuat baik
dan berjasa bagi nusa bangsa melalui dunia pendidikan daripada memikirkan imbalan
yang diterima. Jiwa mengabdi tersebut akan tercermin oleh sikap seorang guru
dalam mendidik anak-anak didiknya.
Guru yang demikian sadar betul akan posisinya sebagai teladan yang diteladani
anak-anak didiknya. Hal demikian dapat ditunjukkan dengan kata-kata Guru ngono conto sing ditiru lan digugu (guru
itu contoh yang ditiru dan dipercaya), Mula
tingkah lakune jok ono sing keliru (maka tingkah lakunya jangan ada yang
keliru).
Di dalam teks puisi di bawah ini juga disebutkan bahwa menjadi guru
adalah tugas mulia, merupakan pahlawan tanpa tanda jasa yang tentunya
pengabdiannya luar biasa dan tanpa pamrih. Kata-kata yang menunjukkan hal
tersebut adalah Jenenge ae pahlawan tanpa
tanda jasa (namanya pahlawan tanpa tanda jasa)), Mula pengabdiane jok ngarep-ngarep diganjar lan dipuja (maka
pengabdiannya jangan mengharap-harapkan diberi imbalan dan dipuja).
Dijelaskan pula bahwa menjadi guru sangat sulit karena kewajibannya
sangat banyak dan berat. Hal tersebut dapat ditunjukkan dengan kata-kata Kesetiaane kudu total tanpa pamrih (kesiataannya
harus total tanpa pamrih), Lan rela
berkorban kanggo anak dhidhike (dan rela berkorban untuk anak didiknya).
Kata-kata yang menunjukkan bahwa tindak-tanduk atau
perilaku guru selalu menjadi sorotan adalah Urip
dadi guru iku panggilan hidup yang mulia (hidup jadi guru itu panggilan
hidup yang mulia), Mula sak tindak
tanduke kudu eling dan waspada (maka setiap tingkah lakunya harus ingat dan
waspada) dan Kesadharane kudu dibangun
sesuai Pancasila (kesadarannya harus dibangun sesuai Pancasila), Morale ditata ojok sampek melanggar norma (moralnya
ditata jangan sampai melanggar norma).
Dari potongan teks puisi di bawah ini pun dapat diketahui dengan sangat
jelas bahwa hidup menjadi guru sangat luar biasa beratnya. Tidak semua orang
sanggup menjadi guru yang benar-benar mengabdikan seluruh kemampuan yang
dipunyai di dalam kehidupannya hanya untuk dunia pendidikan.
Oleh karena itu penulis akan menunjukkan kata-kata di dalam potongan teks
puisi di bawah ini per bait (setiap bait). Ada 10 bait di dalam potongan teks
puisi di bawah ini Bait pertama diawali dengan kata ilmu dan bait terakhir diawali dengan kata sekolahku. Uraiannya sebagai berikut:
1.
Bait 1: ilmunya perlu terus
ditingkat, maka meskipun lelah harus rajin membaca
2.
Bait 2: kalau mengajari murid
jangan hanya dengan ilmu (teori saja), tetapi berusaha juga memberikan contoh
pada murid dengan tingkah laku
3.
Bait 3: sekarang pengetahuan
bertambah maju dan terus berkembang, maka gurunya tidak boleh malas supaya
tidak ketinggalan
4.
Bait 4: guru itu wakilnya orang
tua, maka dipasrahi (diberi tanggung jawab) mendidik anak agar bisa menjadi
utama (orang yang berhasil di dalam hidupnya)
5.
Bait 5: maka jadi guru harus
menjauhi godaan, hidupnya harus secukupnya (seadanya), sederhana dan bersahaja
6.
Bait 6: untuk memenuhi harapan
nusa dan bangsa, guru wajib mendidik muridnya menjadi manusia yang berguna
7.
Bait 7: maka saudara ingatlah
pepatah ini, guru kencing berdiri, murid kencing berlari
8.
Bait 8: itu artinya guru harus
senantiasa ingat dan berhati-hati, jangan sampai diri sendiri yang kencing
berlari
9.
Bait 9: aku tahu saudara guru itu
mulia tugasnya, tidak boleh kendur mendidik anak muridnya, tapi kenapa mesti
anak sendiri lapar, kurang makan setiap harinya
Bait 10: sekolahku jauh, hondaku (yang dimaksud motor)
tahun tujuh lima, distarter macet, kabulatornya menggoda (maksudnya adalah
rusak), maka kehadiranku tidak bias tepat jam tujuh kurang lima, malah sudah
tidak aneh kalau aku terlambat hadir
Dengan cara analisis yang sama seperti di atas, yaitu menunjukkan kata-kata
yang terdapat pada potongan teks puisi, untuk mengetahui kehidupan seorang guru
di dalam teks puisi di bawah ini, penulis juga akan menggunakan cara translate dari bahasa Jawa dialek Jawa
Timuran ke dalam bahasa Indonesia. Di dalam teks puisi di bawah ini terdapat 7
bait. Bait pertama diawali kata durung
dan bait terakhir diawali kata jare.
Uraiannya sebagai berikut:
1.
Bait 1: belum lagi saudara pagi
pasti banyak ributnya, giliran mandi panjang antriannya, sebab aku belum punya
kamar mandi dan WC, kalau mau mandi menumpang di rumah tetangganya
2.
Bait 2: aku wajib menagih uang
sekolah muridku, kalau sampai telat aku dimarahi pimpinanku, tapi anakku
sendiri nangis sampai kaku (menangis sejadi-jadinya), sebab uang sekolahnya
sudah tidak dibayar tiga kali (maksudnya tiga bulan)
3.
Bait 3: istriku aku suruh hutang
pada tetangga, nanti kalau sudah bayaran (menerima gaji) aku bayar, tapi bayiku
menangis perutnya lapar, uang hutangan terpaksa dipakai beli susunya
4.
Bait 4: gali lubang tutup lubang,
itu caraku menyambung kehidupan, tambah lama aku tambah paham, pandai
menjalankan managemen hutang
5.
Bait 5: malam harusnya mengoreksi
aku jadikan sambilan, jadi tukang ojek jurusan Brebah Gendhingsari, pulang
malam badannya lelah minta istirahat, PR-nya anak-anak (maksudnya adalah
muridnya) tidak jadi dikoreksi
6.
Bait 6: akhirnya terlaksana kau
bias membangun rumahku, mendadak ada maling mencuri petromaks dan burungku,
kenapa lagi mesti rumahku yang tak berdaunpintu, gara-garanya engsel pintunya
belum bisa aku beli
Bait 7: katanya menjadi guru panggilan mulia, kuterapkan
padaku, guru itu nasib yang susah, nasibnya wong
cilik (maksudnya kaum berstatus ekonomi dan sosial lemah) yang harus
menderita, tidak bisa dihindari hanya harus diterima
Gambar di bawah ini merupakan kebalikan dari gambar di atas. Dominasi
warna hitam justru ada di badan bagian pusar ke atas sedangkan warna putih
mendominasi badan bagian pusar ke bawah. Hal ini menunjukkan adanya kontras
atau hal menyimpang di dalam niat da perbuatan seseorang dengan menjadi seorang
guru.
Penyimpangan tersebut dapat dilihat dari potongan teks
puisi Jula-Juli Guru di bawah ini. Kata-kata
yang dapat dijadikan petunjuk adalah Timbang
mikir nasib lan susahe (daripada memikirkan nasib dan kesusahannya), Urip iki lak mek mampir ngombe (hidup
ini kan hanya mampir minum), Golek ciu
botole gedhe (mencari ciu botolnya besar), Trima mendem timbang luwe (lebih baik mabuk daripada lapar) dan Ilmuku ilang kesingsal-singsal (ilmuku
hilang tercecer), aku miber ndukur awang-awang
(aku terbang melayang di atas awan), leha-leha
enak-enakan (foya-foya enak-enakan), nyanyi-nyanyi
seneng-senengan (menyanyi dan bersenang-senang).
Gambar di dalam potongan teks puisi di bawah ini jika dilihat secara
seksama menyerupai seseorang sedang duduk. Tidak hanya duduk bersantai tetapi
disertai dengan perenungan. Di dalam teks puisi di bawah ini pula dapat
diketahui bahwa tidak hanya guru saja sebagai abdi negara yang melakukan
penyimpangan tetapi juga polisi.
Hal tersebut dapat diketahui dari kata-kata Aku konangan nek guru negri (aku
ketahuan kalau aku seorang guru negeri), Guru
kok mendem jare pak pulisi (guru kok mabuk kata pak polisi), Tak awur ae olehku nyauri
(mengawur/sembarangan saja aku menjawab), Sampeyan
pulisi lha kok korupsi (Anda polisi kok korupsi).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa gambar yang ada di dalam teks
puisi Jula-Juli Guru merupakan ikon
yang dapat berfungsi sebagai petunjuk dan mempermudah pembaca dalam memahami
teks puisi tersebut. Baik dari gambar maupun teks puisi dapat dijadikan
petunjuk untuk mengetahui sisi baik dan
buruk seorang guru di dalam dunia pendidikan dan ternyata tidak hanya guru
tetapi polisi sebagai abdi negara juga melakukan banyak sekali penyimpangan.
Demikian pula sebagian besar dari potret kehidupan
para abdi negara yang di mata masyarakat biasanya dianggap mulia dan berjasa tetapi
ternyata memiliki sisi negatif dengan segala perilaku menyimpang yang
dilakukannya sebab semulia apa pun seseorang dirinya tidak sempurna dan tidak
luput dari salah.
No comments:
Post a Comment