Enaknya
Sekolah Tanpa Jer Basuki Mawa Bea
Pada Sabtu 23 Juni lalu, kira-kira
pukul 11 siang, terlihat ibu-ibu yang baru saja pulang mengambil rapor anak
mereka. Seorang di antara mereka nyeletuk, “Kalau saja sekolah itu mudah
dijangkau oleh orang tua macam saya ini ya, Bu? Pasti saya akan menyekolahkan
mereka sekolah setinggi mungkin dan memilihkan sekolah yang paling bagus dan.
Tapi apa yang bisa dibuat dari orang tua tukang tambal ompreng keliling
ini untuk anaknya?”
Seorang yang lain di antara mereka
menimpali, “Ya apa boleh buat sih, Bu. Orang-orang seperti kita ini, ya Bu,
harusnya bersyukur. Sudah bejo namanya kalau kita dapat menyekolahkan
mereka sampai tamat SMP. Lainnya malah hanya bisa sampai SD atau tidak sekolah
sama sekali.”
Mendengarkan sepotong percakapan
tadi pasti akan membuat nggrentes hati orang-orang yang peduli akan
kualitas cikal bakal dan masa depan penerus-penerus bangsa Indonesia tercinta
ini. Meskipun pendidikan di sekolah formal bukan ukuran mutlak untuk mengetahui
seberapa kualitas. Tetapi paling tidak dunia pendidikan itulah yang selama ini
memberikan kontribusi terhadap pembangunan negara di berbagai sektor.
Hanya saja mendapatkan pendidikan di
sekolah seperti yang diinginkan bukanlah hal yang mudah dan murah. Perlu banyak
biaya. Sedangkan kemampuan ekonomi orang tua peserta didik tidaklah berbanding
lurus dengan kebutuhan dalam mendapatkan pendidikan yang bermutu.
Lantas jadi teringat kata salah
seorang profesor dari UGM Jogja, “Kalau kalian ingin sekolah tinggi, kalian ya
juga harus tahu konsekuensinya. Sekolah itu tidak murah, memerlukan biaya yang
besar. Jadi kalian juga harus jer basuki mawa bea. Semua butuh biaya,
termasuk sekolah untuk meraih cita-cita kalian.”
Tentunya tanggapan dari perkataan
tersebut akan beragam. Ada yang setuju, bahwa biaya untuk bersekolah dan
mendapatkan ilmu membutuhkan ongkos yang tidak sedikit. Tetapi juga akan banyak
menuai kontra dari mereka yang tidak berkemampuan untuk memenuhi biaya tersebut.
Yakni mereka yang ada di dalam
golongan ekonomi lemah. Mereka yang menginginkan anak-anaknya bersekolah setara
dalam mendapatkan ilmu dengan anak-anak lain; dari golongan ekonomi menengah ke
atas tetapi tidak mempunyai biaya yang besar yang memadai.
Memang selama ini ada solusi melalui
program beasiswa dan orang tua asuh untuk meringankan besarnya biaya sekolah,
tetapi ternyata itu tidak cukup menekan angka anak-anak yang putus sekolah. Hal
itu disebabkan pertama-tama oleh kurangnya managemen pemberian beasiswa dan yang
kedua oleh minimnya dana yang ada untuk beasiswa.
Kurang managemen karena ternyata
tidak sedikit beasiswa diberikan secara membabi buta. Ada peserta didik yang tidak
berhak menerimanya tetapi tetap saja dapat menerima. Di antara mereka adalah
peserta didik yang berasal dari kalangan menengah ke atas yang mempunyai ‘link’
dari pihak-pihak tertentu yang mengurus sirkulasi beasiswa.
Adalagi dari mereka yang
berkecukupan tetapi dapat menerima beasiswa dengan syarat meminta surat rekomendasi
pernyataan tidak mampu yang ditandatangani kepala desa dari balai desa. Padahal
prestasinya mbuh-mbuhan, tidak jelas atau bahkan tidak berprestasi sedikit
pun di dalam maupun di luar sekolah.
Pihak yang kedua tentunya adalah
pihak yang tidak tahu malu. Sebab beasiswa tersebut ternyata digunakan untuk
foya-foya, traktir teman sana-sini, beli pakaian, kosmetik, dan shopping
kesana kemari. Padahal di sisi lain besiswa tersebut dibutuhkan banyak peserta
didik. Meskipun mereka tidak berprestasi tetapi mempunyai keinginan untuk
bersekolah karena mereka dari keluarga ekonomi lemah.
Golongan ini harus diberi kesempatan
untuk berprestasi dan mengenyam pendidikan sama dengan yang lainnya. Daripada
beasiswa tersebut digunakan untuk foya-foya mereka yang mampu merekomendasikan
diri dengan surat keterangan tidak mampu, lebih baik digunakan oleh peserta
didik yang tidak mampu, tidak berprestasi, tetapi berkeinginan tetap terus
bersekolah.
Kedua, untuk mengatasi sedikitnya ketersediaan
dana perlu ditangani secepatnya. Sebab tidak mungkin mengandalkan subsidi
pemerintah, dan pemberi sumbangan yang selama ini digembar-gemborkan sebagai
program orang tua asuh secara terus-menerus.
Harus dipikirkan solusi lain demi
terkucurnya dana untuk beasiswa. Misalnya saja mengambil sedikit dari
presentase pajak yang ternyata jumlahnya tidak sedikit. Pajak yang paling besar
tentunya akan menolong keterbatasan dana yang selama ini masih kurang jika
dialokasikan untuk beasiswa. Sebab tidak menutup kemungkinan jika sekolah
mereka bisa saja tidak membayar alias gratis dengan sedikit presentase dari
pajak tersebut.
Contohnya pajak dari barang mewah,
reklame, hadiah, hiburan, makanan dan minuman, rokok, dan sebagainya yang
nilainya besar dan implementasi dari pajak-pajak tersebut selama ini dipandang
‘kurang jelas’. Pajak-pajak tersebut tidak diambil seutuhnya atau setengahnya,
tetapi sedikit presentase dari uang yang harus dibayar oleh wajib pajak untuk
membantu peserta didik yang orangtuanya tidak ber-jer basuki mawa bea.
Lantas, bagaimana nasib peserta
didik yang ber-orang tua hanya seorang tukang tambal panci bocor, dengan
penghasilan tidak menentu, ber-jer basuki mawa bea?
Apakah mereka harus memaksakan diri
untuk menikmati enaknya sekolah tanpa jer basuki mawa bea?
Hal-hal yang demikianlah, yang tidak
jarang dianggap kecil, yang harus ditinjau kembali sedini dan sebijak mungkin!
No comments:
Post a Comment