SURPRISE!!!
NOVEL TANPA HURUF
R milik Lola
Amaria yang jenius, tendensius, jeli, merakyat, pedas, satire, sadis, politis,
lintas agamis, dan kompleksitas yang manis serta patut diberi acungan jempol!
Hal ini disebabkan oleh kelihaian dan keluwesan crew (terlebih Lola Amaria)
membuat ramuan ‘mujarab’ pada film ini.
Lola (excutive producer, producer, pemeran, sekaligus
dalang film ini) yang pernah dinobatkan sebagai sutradara wanita kompeten selain
Mira Lesmana (saat itu Lola masih
merintis karier, baru mengambah ke dunia film) oleh Almarhum Teguh Karya,
akhirnya menunjukkan kompetensi sekaligus eksistensinya di dunia seni sastra,
peran dan alam pita hitam.
Gerakannya yang luwes dalam mengolah cerita membuahkan
karya yang perlu diperhitungkan. Tokoh “Drum” yang dilakonkan oleh Agastya
begitu hidup, tidak hanya karena pemainnya itu sendiri, tetapi pemilihan peran
dan peranannya. Konkrit, tapi cukup mencekam ketika diaduk menjadi satu dalam
ramuan ‘teatris’ ala Lola.
Setting yang sederhana, percakapan yang cukup ringan dan
penuh guyonan (satire) cukup bisa diterima (berterima di masyarakat film). Hal
ini disebabkan lintas dimensi yang benar-benar ada dalam tubuh masyarakat,
dalam hal ini adalah: INDONESIA !
Namun, penulis masih belum bisa mengerti mengenai
setting yang disuguhkan. Serealis apapun, tetap saja ada rasa “tidak setuju’
dan penulis belum bisa ‘berkompromi’ dengan latar yang ditampilkan. Menurut
penulis, setting dan alur yang diperlihatkan sangat ‘mix’ (campur). Alur
campuran yang penuh dengan ke-flashback-an sekaligus setting yang ‘acakadul’
(amburadul).
Amburadul yang penulis maksud adalah tidak begitu
relevan dengan apa yang umumnya penulis dapatkan baik dalam dunia keseharian
maupun dunia pertunjukan (pentas). Meskipun hal tersebut sangat sah dalam
sebuah karya sastra berbentuk apapun.
Penulis hanya ingin memberikan sumbangsih berupa saran,
yaitu mengenai setting (yang menjadi prioritas utama). Penulis beranggapan
latar yang diambil dalam film Novel Tanpa Huruf R tidak relevan.
Ketidakrelevanan tersebut muncul saat latar yang disajikan berupa pantai tidak
sinkron dengan kehidupan pantai yang sebenarnya, yang umumnya daerah nelayan.
Justru di sini saling tumpang tindih kebenaran sastra dengan kenyataannya saat
dihadirkan pula setting tempat penjagalan sapi.
Lagipula, menurut sebutan “Daeng”, penulis mengira
cerita ini berlatar belakang pada daerah Bugis. Padahal Bugis terkenal dengan
kapal layar yang teguh meskipun diterjang badai, mayoritas penduduknya pun
nelayan jika itu memang benar-benar di daerah pantai.
Pantai dalam film ini juga tidak begitu terlihat: apakah
pantai yang dimaksudkan adalah pantai wisata, pantai biasa yang belum terjamah
modernisasi, atau pantai yang biasa dihuni oleh nelayan. Sangat absurd, seperti
latar atau setting ketika kita membaca sebuah buku (novel, cerpen, ensiklopedi,
dsb), membayangkan saja tanpa tahu di mana letak keberadaan serta kebenarannya.
Meskipun demikian, penulis tetap sangat salut mengenai
‘kans-kans’ atau tempat-tempat yang jarang sekali disentuh oleh para sineas
atau pekerja film laiknya. Justru di film inilah keberanian crew atau tim
kreatif ditantang. Mereka dapat memberitahukan kepada kita seberapa beraninya
mengeksplore lintas dimensi kehidupan bangsanya sendiri, yang selama ini masih
ditutupi oleh kabut tebal pekat. Hal ini dibuktikan pula dengan banyaknya
adegan-adegan yang disensor. Bukan masalah porno atau tidak, tetapi lebih
masalah “mirror” dari sebuah kehidupan!
Mengenai lighting dan kostum, penulis tidak begitu ambil
pusing. Sebab penulis memprediksi bahwa kejadian ini berlangsung sudah beberapa
tahun silam, dengan ditandai oleh konflik antargolongan. Lightingnya bagus,
meskipun kadang terpendar. Yang penulis maksud dengan terpendar adalah
ketidaksesuaian bukan dikarenakan oleh penggarapan, melainkan perbuatan programnya
orang sensor.
Demikian pula dengan kostum. Malahan penulis mempunyai
pendapat: elegan, realis, dan humanistis dengan kostum yang dikenakan. Memang
itulah adanya dan yang seharusnya memang ada, yang dimiliki bangsa kita, serta
yang benar-benar nyata ada. Tidak ‘neko-neko’ (tidak macam-macam). Dan tampaknya
sang Editor, Aria Kusumadewa, kesulitan dalam menampilkan adegan-adegan mana
saja yang perlu diperlihatkan.
No comments:
Post a Comment