sangat tepat ketika anda sekalian mencari referensi mengenai sebuah Resensi Novel, karena dibawah ini merupakan Contoh Resensi Novel yang ditinjau dan diteliti dari segi permasalahan yaitu mengenai Peperangan dalam Novel Roti dan Anggur
Contoh Resensi Novel
Peperangan dalam Novel Roti dan Anggur
Karya Ignazio Silone
Karya yang hangat! Demikianlah pendapat yang
dapat penulis sampaikan usai membaca Roti
dan Anggur karya Ignazio Silone.
Karya Ignazio Silone ini seluruhnya menceritakan
mengenai murid Don Benedetto yang bernama Pietro Spina yang juga bernama
samaran Don Paolo. Ia pelarian yang dianggap musuh negara karena banyak
melaukan kejahatan politik di masa lalu.
Kurang lebih lima belas tahun yang lalu ia melarikan diri
ke luar negeri. Kemudian ia kembali ke tanah airnya dengan perasaan yang
bahagia bercampur kesedihan dan was-was karena pemerintah selalu saja memburu
dirinya di mana pun berada. Untuk itulah ia berganti nama Don Paolo dan
bergelar sebagai pastor dari keuskupan yang direkomendasikan Don Benedetto.
Kembalinya ke tanah air mempertemukannya dengan
Bianchina yang sekarat tetapi berhasil ia selamatkan dengan petuah-petuah
kepastoran yang dimilikinya. Kehadirannya di penginapan Matalena menjadikan
namanya tersohor sebagai pastor karena ia sering didatangi oleh orang-orang
yang ingin mengadakan pengakuan dosa.
Kemudian ia bertemu seorang perempuan yang
ternyata membuat hatinya tertawan, yang bernama Christina. Pietro Spina juga
mendapati tanah kelahirannya yang telah banyak mengalami perubahan di
mana-mana.
Tetapi kegelisahan Pietro Spina mengenai
kemiskinan rakyatnya tetap saja meluap-luap tiada bersurut. Hingga kegelisahan
tersebut ia salurkan melalui coretan kata-kata bernada mengecam peperangan
dengan arang di tembok-tembok rumah dan gereja. Kedatangan Pietro Spina ke
tanah air tidak luput dari rencanya yang ingin menggencarkan aksi untuk
menentang peperangan. Untuk itulah ia kembali mengadakan propaganda di kalanga
pemuda-pemuda. Tetapi aksinya diketahui dan kembali ia menjadi seorang buronan.
***
Yang tak pernah diduga dari karangan Ignazio
Silone adalah gaya
bahasanya yang runtut dalam mentransfer alam kelahirannya ke dalam novelnya. Ada nuansa kepenulisan
semi otobiografi dari diri pengarangnya di dalam Anggur dan Roti.
Meskipun yang diangkat adalah masalah mengenai
peperangan, Ignazio memaparkan pengalaman demi pengalaman dan peristiwa serta
pergolakan tokoh-tokohnya secara apik dan membumi—dekat dengan kehidupan yang
nyata, yang ada pada masanya.
Kehidupan gereja; bahwa aturan dan keputusan
gereja merupakan undang-undang yang harus dipatuhi lebih dari ucapan kepala
negara—yang dituangkan ke dalam karyanya berhasil mencerminkan apa yang terjadi
di dalam masyarakat di mana ia tinggal. Keuskupan Roma yang sangat berpengaruh
terhadap latar kehidupan masyarakat Italia. Tentunya dengan ciri khas
kepengarangan yang dimiliki oleh Ignazio Silone.
Seluruhnya sangat manis dalam kemasan sebuah
cerita yang diuraikan Ignazio Silone menggunakan bahasa yang apa adanya, wajar,
tidak ada kemuluk-mulukan sehingga dapat dijangkau maknanya oleh banyak
pembaca. Tidak memerlukan pemahaman yang dalam, tetapi sempat menyita keluasan
wawasan dan pengetahuan pembaca mengenai sejarah, politik, sosial, dan biografi
pengarang serta tempat di mana pengarang berada.
Penokohan yang disajikan tidak boleh dipandang
sebelah mata, tetapi Pietro Spina alias Don Paolo ditampilkan sebagai sosok
yang berkarakter. Pembawaannya yang tenang, berprinsip, berusaha keras dalam
menggapai mimpinya, cerdas, berwawasan luas menjaga kewibawaan serta tidak
melunturkan karismanya.
Cerita di dalam Roti dan Anggur secara runut disajikan menggunakan teknik alur yang
maju dengan memanfaatkan sudut pandang orang ketiga yang berciri ke-dia-an atau
penyebutan nama terhadap tokoh-tokoh cerita. Diawali dengan penantian Don
Benedetto terhadap mantan-mantan muridnya di hari ulang tahunnya, dilanjutkan
pada kisah-kisah muridnya: Pietro Spina, dan diakhiri dengan pencarian
Christina terhadap Pietro Spina yang tiba-tiba melarikan diri akibat kejaran
prajurit.
Tentu saja dengan ending yang terbuka dengan
maksud pembaca menentukan kejadian apa yang sebenarnya sedang dialami oleh
tokoh Pietro Spina. Demikian kutipannya:
Akhirnya, sebuah suara membalas dari jauh sekali, tetapi
bukan suara manusia. Kedengarannya seperti gonggongan anjing, tetapi lebih
tajam dan lebih lama. Chistina mungkin mengenalnya. Itu adalah gonggongan
serigala. Panggilan untuk suatu pesta. Panggilan kepada serigala-serigala lain
di gunung. Undangan untuk jamuan bersama. Di sela-sela salju dan kegelapan
malam yang segera akan tiba, Christina melihat seekor serigala menuju ke
arahnya, muncul dan menghilang, timbul dan lenyap dari tumpukan salju yang
ditiup oleh angina. Dilihatnya yang lain-lain datang dari kejauhan. Kemudian ia
jatuh menelungkup menutup matanya dan membuat salib (371).
Apa yang terjadi pada Pietro Spina dan
Christina, pembaca sendiri yang dapat menentukan!
***
Dari segi gaya
penceritaan, Pramoedya Ananta Toer mempunyai kemiripan dengan Ignazio Silone.
Dapat dilihat contohnya melalui Bukan
Pasar Malam, atau Perawan dalam
Cengkeraman Militer. Kedua pengarang mempunyai kekuatan untuk mentransfer
kehidupan masyarakat serta kebudayaan (peradaban sekaligus) dengan ramuan
biografi sendiri sebagai pemerkuat citra kepengarangan dan karyanya.
Pram suka sekali mengutarakan pemikirannya
mengenai sosial politik dan keperempuanan yang terinjak-injak di negaranya.
Apalagi warna Pulau Buru dan Jawa yang menempel di tubuhnya. Seakan telah
menjadi bau keringat yang keluar dari badannya.
Perang dan kehidupan militer kerap menjadi
bumbu pada setting ruang dan waktu di dalam karya Pram. Hal ini tidak ubahnya
dengan Ignazio yang mengangkat gegap-gempita peperangan di negaranya.
Tokoh yang ditampilkan Ignazio adalah seorang
yang lebih cinta damai daripada peperangan yang telah direstui oleh gereja dan
negaranya. Oleh karena itulah ia disebut sebagai penentang dan musuh yang harus
diburu dan dimusnahkan.
Di dalam Roti
dan Anggur Ignazio secara tersirat ingin menyampaikan kecintaannya pada
kedamaian dan melaknat peperangan. Tetapi keadaan negaranya yang memuliakan
peperangan itulah yang menjadikan seseorang tidak berdaya untuk menyampaikan
ketidakinginannya terhadap adanya peperangan. Dapat dilihat dari kutipan
berikut yang merupakan salah satu contoh pemikiran yang ditentang oleh banyak
orang:
Apakah pemberkatan bendera nasional, bendera partai yang
berkuasa, merupakan dosa terhadap hati nurani Romo?
Ya, salah satu dosa yang paling laknat, yakni penyembahan
berhala…(19)
Di dalam cerita juga disebutkan masih adanya
kepercayaan atau mitos selaiknya masyarakat Indonesia percaya pada mitos atau hal-hal
gaib yang ada di dalam lingkungan sosial sebagai warisan leluhur yang terus
(turun-temurun) melingkarinya. Hal demikian dapat dilihat dari kutipan berikut:
…Di depan setiap gubug telah dipasang tanduk kerbau, suatu
penangkal guna-guna…(83)
Baik Pram dan Ignazio tampaknya senang
berbicara mengenai perempuan masing-masing negaranya. Keperempuanan yang
Ignazio coba angkat dalam Roti dan Anggur
dapat dilihat dari kutipan-kutipan berikut:
1.
Di bawah jembatan, sekelompok wanita tua dan
muda, sedang mencuci pakaian, sambil membanting-banting cuciannya di atas batu…(87)
2.
…Pagi-pagi seorang wanita bernama Chiarina
datang ke penginapan menuntun seekor kambing. Matalena mengambil baskom dan
memerah sendiri kambing itu hingga tetes terakhir…(95)
3.
…Di antaranya terdapat seorang ibu bernama
Cesira, seorang wanita tua tak berdaya karena kelaparan dan terlalu banyak
anak…Annunziata baru saja melahirkan anak yang ke-14, Lidovina telah melahirkan
18 anak…(97-98)
Kehidupan masyarakat yang mayoritas petani
(anggur) dan suka mabuk-mabukkan untuk menghabiskan waktu juga dilukiskan Ignazio
secara apik dapat dilihat dari kutipan berikut:
…Di bawah pohon poplar, dekat jalan yang menyusuri sungai,
ada sebuah tong besar berisi anggur. Dari tong ini diisi botol setengah penuh
dan dibawa oleh sekelompok pelayan ke meja-meja. Di antara mereka, Don Paolo
mengenal beberapa orang dari Pietrasecca—Magascia, Sciatap, dan lain-lain,
sebagian sudah mabuk…(267)
***
Karya-karya pengarang Indonesia juga banyak mengangkat
tema peperangan seperti yang Ignazio Silone coba sajikan, selain Pram tentunya.
Di antaranya ada Mochtar Lubis dalam Jalan
Tak Ada Ujung yang mengetengahkan pergolakan Guru Isa yang hidupnya untuk
berperang melawan penjajah, atau Yudhistira Massardi dengan Mencoba Tidak Menyerah yang semula
berjudul Aku bukan Komunis.
Judul yang digunakan Ignazio yaitu ‘anggur dan
roti’ di dalam novel Roti dan Anggur yang
semula berjudul Wine and Bread merupakan
simbol. Sebab roti dan anggur adalah makanan pokok rakyat Italia yang juga
hasil pertanian mereka.
Anggur dan roti pula yang digunakan oleh gereja
dalam misa atau kebaktian mereka, sebagai lambang. Anggur diibaratkan darah dan
roti sebagai daging Yesus Penebus Dosa umat manusia.
Penggunaan simbol-simbol juga ada pada novel
Herlinatien dalam Malam untuk Soe Hoek Gie.
Di dalam novel Herlinatien tersebut disebutkan Tunas Merah. Yaitu kelompok komunis yang sedang mengadakan rapat di
alun-alun kota.
Ignazio di dalam Anggur dan Roti juga mengangkat kelas buruh dan petani di dalam
masyarakat, yang tidak lain dan tidak bukan merupakan kelompok masyarakat
proletar; miskin, terbelakang dan terbawah. Pengarang Indonesia,
Titis Basino dalam Jala juga
mengangkat kaum miskin (buruh dan gelandangan), yang berusaha memperjuangkan
status dan kelasnya menjadi lebih terhormat dan tinggi lagi layaknya orang lain
yang dianggap berhasil.
Di antara pengarang-pengarang Indonesia dengan karyanya yang
demikian itu, belum ada yang dapat dikatakan benar-benar mirip dengan Anggur dan Roti milik Ignazio Silone.
Sebab kepengarangan pengarang dan latar belakang sosial budaya serta peradaban tempat
tinggal sungguh berbeda. Tetapi karya-karya yang mencerminkan dan mengangkat
kemanusiaan manusia dengan penuh manusiawi yang demikian akan dapat terus hidup
lebih panjang daripada karya-karya yang mengobral mimpi yang penuh ketidaktentuan.
No comments:
Post a Comment