ANALISIS SEMIOTIK PUISI “7 ALASAN MENCELA DIRIKU” KARYA KAHLIL GIBRAN
7 ALASAN MENCELA DIRIKU
Oleh kahlil
Gibran
Tujuh kali
aku pernah mencela jiwaku,
pertama kali ketika aku melihatnya lemah,
padahal seharusnya ia bisa kuat.
Kedua kali ketika melihatnya berjalan terjongket-jongket
dihadapan orang yang lumpuh
Ketiga kali ketika berhadapan dengan pilihan yang sulit dan mudah
ia memilih yang mudah
Keempat kalinya, ketika ia melakukan kesalahan dan cuba menghibur diri
dengan mengatakan bahawa semua orang juga melakukan kesalahan
Kelima kali, ia menghindar kerana takut, lalu mengatakannya sebagai sabar
Keenam kali, ketika ia mengejek kepada seraut wajah buruk
padahal ia tahu, bahawa wajah itu adalah salah satu topeng yang sering ia pakai
Dan ketujuh, ketika ia menyanyikan lagu pujian dan menganggap itu sebagai suatu yang bermanfaat
pertama kali ketika aku melihatnya lemah,
padahal seharusnya ia bisa kuat.
Kedua kali ketika melihatnya berjalan terjongket-jongket
dihadapan orang yang lumpuh
Ketiga kali ketika berhadapan dengan pilihan yang sulit dan mudah
ia memilih yang mudah
Keempat kalinya, ketika ia melakukan kesalahan dan cuba menghibur diri
dengan mengatakan bahawa semua orang juga melakukan kesalahan
Kelima kali, ia menghindar kerana takut, lalu mengatakannya sebagai sabar
Keenam kali, ketika ia mengejek kepada seraut wajah buruk
padahal ia tahu, bahawa wajah itu adalah salah satu topeng yang sering ia pakai
Dan ketujuh, ketika ia menyanyikan lagu pujian dan menganggap itu sebagai suatu yang bermanfaat
1.
Parafrase
Tujuh kali pengarang pernah
mencela dirinya sendiri sebagai introspeksi terhadap apa yang pernah dilakukan.
Pertama kali ketika ia merasa lemah tak berdaya padahal jikalau ia mau berusaha
ia dapat kuat melebihi apa yang ia punyai.
Hal kedua ketika ia berjalan
terjongket-jongket dan pincang menjalani hidup ini dihadapan orang yang lumpuh.
Ketiga kalinya ketika ia
berhadapan menemui sebuah pilihan antara yang sulit dan yang mudah dan ia pun
memilih yang mudah. Dia beranggapan yang mudah itu tidak akan ada tantangan
yang menghadangnya padahal kalau ia mau memilih yang sulit tentu akan lebih
banyak pengalaman yang akan ia hadapi dalam hidupnya dan tentu itu akan lebih
dapat mendapatkan pengalaman yang lebih banyak dibandingkan kalau hanya memilih
pilihan yang mudah.
Keempat kalinya ketika ia
melakukan kesalahan dan coba menghibur diri dengan mengatakan bahwa semua orang
pernah melakukan kesalahan. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa semua orang
pernah melakukan kesalahan tetapi orang yang baik adalah orang yang dapat
meminimalisir kesalahan dalam menghadapi hidup.
Kelima kalinya ketika ia
merasa takut menjalani hidup di dunia ini lalu mengatakan sabagai kesabaran.
Kenam kali, ketika ia
mengejek kepada seraut wajah buruk padahal ia tahu, bahwa wajah itu adalah
topeng yang sering ia pakai setiap harinya. Ia tidak sadar akan kekurangan diri
sendiri. memang lebih sulit menilai diri sendiri dari pada mencela orang lain.
Dan ketujuh sekaligus yang
terakhir, ketika ia menyanyikan lagu pujian dan menganggap itu berguna tapi
tidak sama sekali.
2.
Majas
a.
Litotes
Pada
puisi “7 alasan mencela diru” karya kahlil Gibran banyak ditemukan gaya bahasa
litotes. Hampir setiap bait pada puisi ini terdapat gaya bahasa atau majas
litotes, yang pertama:
“Pertama kali ketika aku melihatnya lemah”
Sesuai
dengan pengertian majas litotes yakni bertujuan untuk merendahkan diri berarti
pengarang menganggap bahwa dirinya lemah padahal dirinya bias untuk kuat.
“Kedua kali ketika melihatnya
berjalan terjongket-jongket”
Pada larik
puisi diatas pengarang menggunakan kata berjalan terjongket-jongket menandakan
bahwa ia merendahkan diri dalam berjalan, padahal sebenarnya ia tidak pincang.
b.
Paradoks
Gaya bahasa
paradoks juga terdapat, hanya yang menjadi perbedaan antara gaya bahasa litotes
dengan paradoks memang berbada. Perbedaannya terletak pada bukti konkret pada
tiap larik puisi.
“Kedua kali ketika melihatnya
berjalan terjongket-jongket
dihadapan orang yang lumpuh”
dihadapan orang yang lumpuh”
Pengarang
menyatakan bahwa dirinya tidak dapat berjalan dihadapan orang yang lumpuh
menandakan sebenarnya ia dapat berjalan namun tidak punya keberanian atau
keprcayaan diri untuk melangkah melawan persaingan hidup yang semkin hari
semakin kuat.
c.
Sinekdoke
Sinekdoke
adalah semacam gaya figurative yang mempergunakan sebagian dari sesuatu hal
untuk menyatakan keseluruhan (pars pro toto) atau
mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian (totem pro parte).
1)
Sinekdoke pars
pro toto
“Tujuh kali
aku pernah mencela jiwaku,”
Sebenarnya jiwaku disini menggambarkan keseluruhan dari sebagian tubuh yang
dimiliki pengarang.
2)
Sinekdoke pars
pro toto
“Keenam kali,
ketika ia mengejek kepada seraut wajah buruk”
Pada kata seraut wajah buruk menggantikan seluruh jiwa atau seluruh tubuh
yang digambarkan oleh pengarang.
d.
Hiperbola
Majas yang mengandung
suatu pernyataan yang berlebihan, dengan membesar-besarkan sesuatu hal
“Kedua kali ketika melihatnya
berjalan terjongket-jongket”
Yang menggambarkan majas hiperbola adalah pada
kata “terjongket-jongket”. Kata tersebut sangat berlebihan jika dipakai dalam
kehidupan sehari-hari, karena kata itu dipergunakan dalam karya fiksi jadi
malah lebih menambah keindahan pada sebuah larik puisi.
3.
Citraan
Citraan adalah gambaran dalam pikiran dan bahasa yang
menggambarkan gambaran. Gambaran pikiran ini adalahsebuah efek dalam pikiran
yang sangat menyerupai (gambaran) yang dihasilkan oleh penangkapan kita terhadap
sebiah objek yang dapat dilihat oleh mata, saraf penglihatan dan daerah-daerah
yang berhubungan dengan imaji penglihatan, pendengaran, perabaan dan gerak.
a.
Citraan
penglihatan
Citraan
penglihatan ditimbulkan oleh indra penglihatan (mata) citraan ini merupakan
jenis yang paling sering digunakan penyair. Citraan ini mampu memberikan
rangsangan kepada indra penglihatan sehingga hal-hal yang tidak terlihat
menjadi seolah-olah terlihat.
“seraut wajah buruk”
Pada
cuplikan puisi diatas kata “seraut wajah buruk merupakan salah satu citraan
penglihatan, karena kata seraut wajah dapat memberikan rangsangan kepada indera
panglihatan.
“padahal ia tahu, bahawa wajah itu
adalah salah satu topeng yang sering ia pakai”
Pada larik
puisi diatas yang termasuk ke dalam citraan penglihatan adalah kata”topeng”. Kata
topeng dapat memberikan rangsakan kepada indera penglilhatan yaitu mata.
b.
Citraan pendengaran
Citraan
pendengaran berhubugan dengan kesan dan gambaran yang diperoleh melalui indra
pendengaran. Citraan ini dihasilkan dengan menyebutkan atau menguraikan bunyi
suara, misalnya dengan munculnya diksi tembang, dendang,s uara mengiang,
berdentum-dentum,
“Dan ketujuh,
ketika ia menyanyikan lagu pujian dan menganggap itu sebagai suatu yang
bermanfaat”
Pada cuplikan larik puisi diatas yang termasuk dalam
citraan pendengaran adalah kata “ lagu pujian”. Kata “lagu pujian” dapat
ditangkap melalui imaji dengar yakni telinga.
c.
Citraan gerak
Citraan
Gerak adalah citraan yang ditimbulkan oleh gerak tubuh /otot yang menyebabkan
kita merasakan atau melihat gerakan tersebut.
“Kedua kali ketika melihatnya
berjalan terjongket-jongket”
Pada
cuplikan larik puisi tersebut yang tergolong kedalam citraan gerak adalah kata
“ berjalan terjongket-jongket”. Setelah membaca kata tersebut kita akan
merasakan gerakan terjongket-jongket.
4.
Gaya bahasa
Susunan
perkataan yang terjadi karena perasaan yang timbul atau hidup dalam hati
penulis, yang menimbulkan suatu perasaan tertentu dalam hati pembaca.
“Kedua kali
ketika melihatnya berjalan terjongket-jongket
dihadapan orang yang lumpuh”
dihadapan orang yang lumpuh”
Gaya bahasa yang dapat ditemukan oleh pembaca salah
satunya pada cuplikan larik puisi di atas yakni pada kata “berjalan
terjongket-jongket dihadapan orang yang lumpuh”. Setelah membaca larik puisi
tersebut pembaca merasa ikut merasakan bagaimana rasanya berjalan dengan
terjongket-jongket dan merasakan ada kesenjangan pada kata “berjalan
terjongket-jongket dihadapan orang yang lumpuh”
5.
Sarana retorika
Pada puisi “7 alasan mencela diriku” karya kahlil
Gibran ditemukan jenis sarana retorika paradoks yakni pada cuplikan puisi yang
berbunyi “Kedua kali ketika
melihatnya berjalan terjongket-jongket dihadapan
orang yang lumpuh” . pada cuplikan puisi
tersebut menyatakan suatu yang berlawanan tetapi sesungguhnya tidak bila
dipikir secara sungguh-sungguh.
No comments:
Post a Comment