Pohon Tua
Sebuah pohon tua
di tengah rimba
masih saja
tegak berdiri
Sementara pohon-pohon tua
daun-daun hijau
berkali tumbuh
runtuh dan tumbang
Seorang filolog tua
bekas serdadu nazi
pada sebuah gesellschaft
pada batang kayu
ia terkenang masa lalu
kanon
tubuh yang hancur
Ia tersenyum:
sahabatku
kita telah sama-sama tua
marilah berlomba
dalam waktu
siapa rebah dulu
Puisi di atas terdiri dari empat bait yang terlihat
sangat padat penuh makna. Dari bentuknya jelas ini merupakan puisi yang
berbentuk bebas. Penulis salut atas ketajaman pengarang dalam membuat simbol
atas pohon tua untuk menyebut Filolog tua. Tidak dipungkiri lagi bahwa
benar-benar ada kesaamaan antara puisi Jika
Hari Rembang Petang dengan puisi Pohon
Tua terutama dapat dilihat dari bait terakhir masing-masing puisi.
Persamaan tersebut penulis perjelas dengan bait tersebut sebagai berikut:
Di antara kita berdua, kekasih Siapa dulu akan terkapar?
Ia tersenyum:
sahabatku
kita telah sama-sama tua
marilah berlomba
dalam waktu
siapa rebah dulu
Jelaslah terlihat persamaan tersebut. Sama-sama diakhiri
dengan suatu pertanyaan. Jika di dalam Jika
Hari Rembang Petang pertanyaan diajukan pada ‘kekasih’, dalam Pohon Tua pertanyaan malah diperuntukkan
untuk sahabat. Inilah yang mungkin menjadi perbedaan. Perbedaan yang bagi
penulis bukanlah perbedaan yang kurang berarti.
Untuk lebih konkret intertekstual yang ada di antara
kedua puisi tersebut, penulis membuat analisa tafsiran dari Pohon Tua sebagai berikut:
Bait I
Sebuah pohon tua
di tengah rimba
masih saja
tegak berdiri
Pohon tua digunakan pengarang dalam puisinya untuk
menyebut Filolog yang sudah tua. Meskipun ia sudah tua, ia masih terlihat
sehat. Dia masih dapat hidup di tengah-tengah masyarakat dengan sebaik-baik ia
memperjuangkan hidup.
Bait II
Sementara pohon-pohon tua
daun-daun hijau
berkali tumbuh
runtuh dan tumbang
Pengarang menggunakan lambang pohon-pohon tua untuk menyebut orang-orang tua yang sebaya dengan
Filolog tua atau bisa juga disebut sahabat-sahabat seperjuangan Filolog
tersebut, dan menyebut anak-anak muda dengan daun-daun hijau. Di saat mereka, Filolog dan sahabat-sahabatnya
yang sama-sama telah tua, mereka melihat banyak sekali generasi muda yang baru
dilahirkan, kemudian tumbuh besar, dan akhirnya juga menjadi tua seperti dia
dan sahabat-sahabatnya.
Bait III
Seorang filolog tua
bekas serdadu nazi
pada sebuah gesellschaft
pada batang kayu
ia terkenang masa lalu
kanon
tubuh yang hancur
bau darah dan mesiu
Ternyata Filolog tua tersebut merupakan bekas serdadu
Nazi yang sedang berada di tengah-tengah perkampungan penduduk proletar,
penduduk miskin, mengenang masa lalunya. Mengingat peristiwa apa yang telah
terjadi di masa silam di tempat di mana tempatnya berpijak sekarang itu.
Ia menemukan pohon tua yang dulu menyaksikan peristiwa
yang terjadi dahulu. Pada sebuah batang pohon tua ia masih bisa melihat ada
peluru-peluru yang bersarang di batangnya. Ingatannya pun mengembara ke masa
yang telah lalu.
Siluet kanon, senjata mirip senapan itu, tubuh yang
hancur karena mesiu, darah yang mengalir dan terus mengucur deras karena
tembakan, terangkum jelas dalam benaknya. Hal tersebut mengingatkannya pada
tempat di sekitar pohon itu pernah terjadi pertempuran yang banyak sekali
memakan korban. Nyawa dari teman-teman seperjuangannya sendiri yang sama-sama
serdadu Nazi.
Bait VI
Ia tersenyum:
sahabatku
kita telah sama-sama tua
marilah berlomba
dalam waktu
siapa rebah dulu
Kenangan memang tak terhapuskan. Bahkan yang paling
pahit sekalipun. Kenangan adalah milik manusia yang tak dapat diambil, dicuri
atau direbut pihak lain. Manusia bisa dikurung atau dipenjarakan, tetapi
kenangan tak dapat dibelenggu. Ke manapun manusia pergi, kenangannya akan
selalu bersamanya. Selalu. Miliknya pribadi yang tak dapat dipisahkan.
Semua yang telah terjadi sudah dianggap oleh Filolog tua
itu sebagai sesuatu hal yang tidak perlu lagi disesali. Dalam pertempuran itu
ia berhasil selamat. Di masa tuanya itu, ia mensyukuri apa yang telah ia
dapatkan.
Di dalam hatinya ia seperti ingin berkata pada
sahabat-sahabat seperjuangannya yang telah sama-sama menjadi tua: “Sahabatku, sekarang adalah giliran kita yang
berperang dalam melawan waktu, pertempuran kita adalah usaha kita untuk
mempertahankan hidup diri kita sendiri. Marilah kita bersaing, berjuang untuk
mempertahankan hidup, pemenangnya adalah dia yang lebih lama mempertahankan
hidup. Kita akan lihat siapa yang akan mati lebih dulu.”
*
Hubungan kedekatan puisi Jika Hari Rembang Petang dan Pohon
Tua ada pada kesamaan tema, yaitu religi. Ada pertalian gagasan yang bila dirunut itu
akan mendapatkan kesamaan. Meskipun dalam meramu dan menyajikan tulisan
berbeda, justru hal inilah yang menunjukkan kekhasan karakteristik dalam
berpuisi dari masing-masing pengarang.
Dari kedua puisi di atas penulis dapat memberi
kesimpulan bahwa puisi-puisi tersebut bertemakan religi. Bahwa kehidupan
manusia itu tak ubahnya perkawinan antara jiwa dan raga yang hanya sementara.
Sebab akan tiba masanya ada perceraian di pengadilan maut melalui kematian.
Kedua puisi di atas memberikan ‘keinsafan’ dan
mengingatkan pada setiap manusia yang masih bernyawa, terutama bagi yang masih
muda, untuk selalu ‘eling’ bahwa hidup itu singkat, maka isi dan lewatilah
dengan hal-hal yang berarti. Kita sedang ditunggu Tuhan untuk kembali dengan
segala ‘hasil’ yang kita petik di dunia. Sedangkan kita pun mempersiapkan diri
untuk dipanggil Tuhan dengan apa yang kita ‘hasilkan’ di dunia.
No comments:
Post a Comment