Mengenang dan Meninjau
Rakyat mengeluh bekerja keras
Rakyat menjerit minta beras
Rakyat menggigil di sarung karung
Ekonomi kurat karit
Suruh menghemat
Suruh semangat
Ah, Bung, manakah Pemimpin
Yang akan mengatur
Negara Makmur?
Begitu keluh Rakyat Jajahan
Harap cemas, putus asa
Hingga gemuntur pekikan sadar:
Bersatu, Kawan, Kaum Terlantar
Bersatu, Kawan, Kaum Yang Lapar
Dengan jumlah kita berjuta-juta
Kita bersatu, kita membanjir
Merebut Hak Hidup Merdeka
Membangun negara ber-Daulat Rakyat
Kini merdeka
Abadi, adil, dan makmur
Bergantung Rakyat yang mesti mengatur!
Momeye
Kini kita
sudah merdeka
Tentara pulang
dari medan laga
Tujuh belas
delapan tahun empat lima
Dinyanyikan di
mana-mana
Kita sudah
merdeka
Tiada lagi
yang dapat patah
Kecuali hati
manusia
Dan hati kita
patah dari hari ke hari
Kendati kita
sudah merdeka
Hati kita
menyimpan luka
Yang segera
menganga
Justru ketika
kini kita berteriak: mereka!
Memang
kemerdekaan mudah membuka luka
Bila
penderitaan masih menganga
Dan padamu
Momeye, kemerdekaan itu terluka
Memang
kemerdekaan tidak hanya direbut
Dengan darah
dan bambu runcing
Tapi juga
dengan penderitaanmu
Dan keperawananmu,
Momeye
Yang dirobek
dengan paksa
Ketika kau
dirodapaksa jadi jugun ianfu
Wanita pemuas
nafsu
Kau diantre di
loket dengan harga tiga yen
Sehari kau
harus melayani lima belas tamu
Pagi pegawai
sipil, malam serdadu
Momeye, kita
memang belum sampai ke tanah merdeka
Sejauh kau
selalu meneteskan airmata
Kemerdekaan
masih berluka, Momeye
Dalam gemuruh
jalanan Malioboro
Menyengatmu
dengan susah payah harianmu
Tidak hanya
kau Momeye, di tanah merdeka ini
Banyak anak
gelandangan menjerit seperti Rinjani
Keringat dan
asap rokok
Berbau di
tubuhnya
Bulan melompat
tanpa cinta menggoda lelaki
Untuk menista
tubuhnya
Kemerdekaan
menjerit sakit
Dalam tubuh
Rinjani yang tertindih
Celana hitam
kaos biru
Robek tanah di
tanah merdeka
Luka hati
Rinjani makin menganga
Di gelap malam
gerbong kereta
Bercinta dalam
bulan tanpa cinta
Luka
kemerdekaan pun menganga
Menjadi mulut
yang menyanyi
Mulut Iyus,
anak gelandangan Yogya
Yang
merindukan kasih sayang ibunya:
Aku pingin
tidur di samping dipeluk ibu seperti aku masih bayi
Walaupun aku
tidak tahu tapi aku rasa ibu pernah memanjakanku
Menggendongku
membopongku juga menyayangiku
Kemerdekaan
juga menorehkan luka
Pada Marsudi,
anak gelandangan
Yang ke Bonbin
Gembira Loka menengok ibunya
Ia bercerita,
di sana ia bertemu
Ibu, kakak dan
adiknya
Ibunya sedang
bermain-main
Lalu Marsudi
memberinya kacang dan roti
Ia gembira,
karena ia juga sempat menengok tetangganya
Kanguru dan
macan, serta adiknya, si amang
Ia pulang, tak
lupa diberinya lagi ibu dan adiknya makan
Marsudi
bilang, aku anak gorila
Ibuku pun
hanya gorila
Serigala akan tinggal bersama domba
Dan macan tutul akan berbaring di sambaing kambing
Anak lembu dan anak singa akan makan rumput bersama-sama
Dan seorang anak kecil akan menggiringnya
Anak yang menyusu akan bermain-main dekat liang ular
tedung
Dan anak yang cerai susu akan mengulurkan tangannya
Ke sarang ular beludak
Bila tak terluka, firdaus itu tersimpan dalam
kemerdekaan
Karena terluka, kemerdekaan menghempaskan
Firdaus itu menjadi kebun binatang
Di mana binatang-binatang bercanda dengan kaumnya:
Anak-anak gelandangan
Kemerdekaan yang terluka adalah doa dan tanya:
Tuhan di manakah Engkau?
Mengapa Engkau meninggalkan kami?
Di mana-mana teriak merdeka
Langit penat karena suara merdeka
Bidadari menutup telinga-telinga mereka
Memadu suara dalam bunyi
Tuhan tak ada dalam teriakan merdeka
Ia terluka di salib hina
Momeye dan Rinjani
Iyus dan Marsudi
Naik ke langit dengan sayap bidadari
Membawa luka Tuhannya
Empat lubang empat permata
Bekas paku dosa
Di kedua kaki dan tangannya
Kemerdekaan ternyata menyimpan salib
Sia-sialah kita berteriak merdeka
Jika kita mengingkari salib-salib penderitaan
Yang ada di sekitar kita. Merdeka!
Perbandingan Puisi Indonesia Angkatan 1945 dan Angkatan 2000
Mengenang dan Meninjau Karya Purwa
Atmadja
dengan Momeye Karya Sindhunata
Puisi merupakan salah satu media seseorang untuk menyalurkan apa
yang dirasakan, dipikirkan, dilihat, didengar dan tertangkap melalui alat
indria yang dimilikinya. Puisi juga bagian dari sastra, di samping prosa dan
drama. Kekhasan puisi disbanding kedua bagian yang lain dari sastra terletak
pada penggunaan kata-kata yang lebih padat makna, adanya persajakan, rima dan
ritma tentunya, citraan, tipografi, dan gaya bahasa yang digunakan pengarang.
Untuk itulah penulis mengambil puisi yang berjudul Mengenang dan
Meninjau Karya Purwa Atmadja dan Momeye Karya Sindhunata untuk
dibandingkan unsur-unsur instrinsiknya (yang telah penulis sebutkan di atas).
Hal ini penulis lakukan untuk mengetahui persamaan dan perbedaan selain yang
ada pada kedua puisi tersebut, tentunya, juga pada angkatan kedua puisi
tersebut (paling tidak secara sederhana terlebih dahulu).
Dapat dilihat bahwa secara garis besar substansi dari kedua puisi
tersebut berbicara mengenai kritik sosial, yaitu di dalam kemerdekaan ternyata
manusia itu masih saja dijajah. Di dalam
Mengenang dan Meninjau karya Purwa Atmadja (yang bernama asli
Anwar Isnudikarta) kemerdekaan masih diperjuangkan, ada harapan untuk hidup
selayak mungkin di dalam negara yang merdeka jika mau berusaha. Meskipun hidup
di tengah pemerintahan yang carut-marut dan politik ekonomi yang amburadul,
rakyat dmasih dapat bekerja keras untuk hidup lebih baik dan tercukupi
kebutuhan-kebutuhannya.
Tetapi di dalam Momeye karya Sindhunata (yang bernama lengkap
Gabriel Poessanti Sindhunata) kemerdekaan justru menjadi bumerang bagi banyak
orang. Di satu sisi kemerdekaan untuk diperjuangkan, diraih dan dipertahankan.
Di sisi lain kemerdekaan itu sendiri banyak merampas segala yang dimiliki
(hilangnya harta benda, pengorbanan nyawa, robeknya keperawanan, dan
sebagainya).
Kedua puisi yang ditulis lempeng (bertipografi sejajar dan
lurus ke bawah seperti menulis sajak pada umumnya) ternyata mempunyai diksi
yang berbeda. Purwa Atmadja menggunakan kata-kata yang padat makna, sedangkan
Sindhunata lebih pada penggunaan kata-kata yang mampu bercerita secara naratif.
Pilihan kata yang digunakan di dalam Mengenang dan Meninjau karya Purwa
Atmadja lebih pada kata-kata yang padat kata dan padat makna. Hal tersebut
dapat dilihat pada kutipan berikut:
…
Ekonomi kurat karit
Suruh menghemat
Suruh semangat
Ah, Bung, manakah Pemimpin
Yang akan mengatur
Negara Makmur?
Sementara itu, di dalam Momeye karya Sindhunata digunakan
kata-kata yang mampu bercerita secara naratif. Maksudnya tidak habis pada satu
baris saja, melainkan bersambung pada baris-baris di bawahnya. Hal demikian
dapat dilihat pada kutipan berikut:
…
Memang kemerdekaan tidak hanya direbut
dengan darah dan bambu runcing
tapi juga dengan penderitaanmu
dan keperawananmu, Momeye
yang dirobek dengan paksa
ketika kau dirodapaksa jadi jugun ianfu
wanita pemuas nafsu
Kau diantre di loket dengan harga tiga yen
sehari kau harus melayani lima belas tamu
pagi pegawai sipil, malam serdadu
…
Kedua puisi di atas mempunyai persajakan yang bebas, tidak terikat
pada pola penulisan persajakan yang telah ada dan dikenal secara konvensional.
Hal demikian itulah yang memberi kekhasan tersendiri bahwa angkatan 1945 dan
angkatan 2000 mempunyai persajakan yang lebih bebas, diksinya pun lebih bebas
dari angkatan sebelumnya. Meskipun tidak dapat dipungkiri masih ada puisi yang
ditulis dengan menggunakan pola-pola konvensional. Tetapi pola tersebut hanya
dicomot sebagai referensi saja, tidak seutuhnya digunakan.
Pada puisi Mengenang dan Meninjau terdapat persamaan bunyi
pada kata keras-beras, sarung-karung, menghemat-semangat, mengatur-makmur,
telantar-lapar sehingga menimbulkan bunyi berirama yang harmonis dan liris.
Apalagi kata rakyat, merdeka, makmur, bersatu, dan kawan yang diulang
dalam puisi tersebut juga dapat menimbulkan irama yang padu dan mempertegas
suasana, yaitu citraan pandang atau penglihatan terhadap semangat rakyat yang
berkobar.
Sementara itu citraan pada puisi di dalam Momeye ada banyak sekali
citraan penglihatan, misalnya saja dalam: Tentara pulang dari medan laga dan
Keringat dan asap rokok. Selain itu juga didapatkan citraan lain seperti:
citraan pendengaran (Banyak anak gelandangan menjerit seperti Rinjani dan
Di mana-mana teriak merdeka), dan citraan penciuman (Berbau di
tubuhnya).
Gaya bahasa yang digunakan kedua pengarang jauh dari kesan-kesan
konotatif dan bermajas. Tidak ada kata yang sulit dipahami. Istilah seperti jugun
ianfu yang digunakan pun sudah memasyarakat. Hal ini membuat pembaca tidak
mengalai kesulitan dalam menikmati dan memahami kedua puisi tersebut. Inilah
yang menjadi ciri keduanya, yaitu diksi yang digunakan langsung menuju pada
sasaran, pada apa yang dimaksudkan.
Pada Mengenang dan Meninjau karya Purwa Atmadja berisi
mengenai keadaan masyarakat yang terhimpit beban hidup, rakyat masih tidak tahu
bagaimana caranya memenuhi kebutuhan hidup seperti sandang, pangan, dan papan.
Rakyat mengharapkan adanya pemimpin yang dapat membawa pada perbaikan agar
mereka menjadi rakyat adil makmur dan sejahtera.
Oleh karena itulah mereka bersemangat untuk bersatu memperjuangkan
kemerdekaan mereka. Merdeka untuk apa saja; terutama untuk hidup layak secara
manusiawi. Sebab tidak ada kemerdekaan yang bisa dicapai secara instant. Harus
ada semanat persatuan, kerja keras dan saling menolong.
Sedangkan Momeye lebih banyak berbicara tentang kemerdekaan
yang ternyata membuat sengsara. Di dalam kemerdekaan pun ternyata banyak orang
yang masih hidup sengsara, menderita. Tidak ada kemerdekaan yang mutlak. Tidak
ada merdeka yang benar-benar merdeka.
Tidak ada kemerdekaan yang dapat dicapai tanpa pengorbanan.
Jelasnya, kedua puisi tersebut bertendensi untuk mengingatkan banyak orang
untuk tidak melupakan sejarah dan membangkitkan semangat patriotisme, semangat
mencapai dan mempertahankan kemerdekaan dengan mengetengahkan permasalahan
mengenai kemerdekaan yang dicapai tidak dengan mudah diraih. Perlu adanya
pengorbanan!
No comments:
Post a Comment