About

Perbandingan Puisi Indonesia Angkatan 1945 dan Angkatan 2000an



Mengenang dan Meninjau

Rakyat mengeluh bekerja keras
Rakyat menjerit minta beras
Rakyat menggigil di sarung karung
Ekonomi kurat karit
Suruh menghemat
Suruh semangat
Ah, Bung, manakah Pemimpin
Yang akan mengatur
Negara Makmur?

Begitu keluh Rakyat Jajahan
Harap cemas, putus asa
Hingga gemuntur pekikan sadar:

Bersatu, Kawan, Kaum Terlantar
Bersatu, Kawan, Kaum Yang Lapar
Dengan jumlah kita berjuta-juta
Kita bersatu, kita membanjir
Merebut Hak Hidup Merdeka
Membangun negara ber-Daulat Rakyat

Kini merdeka
Abadi, adil, dan makmur
Bergantung Rakyat yang mesti mengatur!

Momeye

Kini kita sudah merdeka
Tentara pulang dari medan laga
Tujuh belas delapan tahun empat lima
Dinyanyikan di mana-mana
Kita sudah merdeka
Tiada lagi yang dapat patah
Kecuali hati manusia
Dan hati kita patah dari hari ke hari
Kendati kita sudah merdeka
Hati kita menyimpan luka
Yang segera menganga
Justru ketika kini kita berteriak: mereka!

Memang kemerdekaan mudah membuka luka
Bila penderitaan masih menganga
Dan padamu Momeye, kemerdekaan itu terluka
Memang kemerdekaan tidak hanya direbut
Dengan darah dan bambu runcing
Tapi juga dengan penderitaanmu
Dan keperawananmu, Momeye
Yang dirobek dengan paksa
Ketika kau dirodapaksa jadi jugun ianfu
Wanita pemuas nafsu
Kau diantre di loket dengan harga tiga yen
Sehari kau harus melayani lima belas tamu
Pagi pegawai sipil, malam serdadu
Momeye, kita memang belum sampai ke tanah merdeka
Sejauh kau selalu meneteskan airmata
Kemerdekaan masih berluka, Momeye
Dalam gemuruh jalanan Malioboro
Menyengatmu dengan susah payah harianmu
Tidak hanya kau Momeye, di tanah merdeka ini
Banyak anak gelandangan menjerit seperti Rinjani
Keringat dan asap rokok
Berbau di tubuhnya
Bulan melompat tanpa cinta menggoda lelaki
Untuk menista tubuhnya
Kemerdekaan menjerit sakit
Dalam tubuh Rinjani yang tertindih
Celana hitam kaos biru
Robek tanah di tanah merdeka
Luka hati Rinjani makin menganga
Di gelap malam gerbong kereta
Bercinta dalam bulan tanpa cinta

Luka kemerdekaan pun menganga
Menjadi mulut yang menyanyi
Mulut Iyus, anak gelandangan Yogya
Yang merindukan kasih sayang ibunya:
Aku pingin tidur di samping dipeluk ibu seperti aku masih bayi
Walaupun aku tidak tahu tapi aku rasa ibu pernah memanjakanku
Menggendongku membopongku juga menyayangiku

Kemerdekaan juga menorehkan luka
Pada Marsudi, anak gelandangan
Yang ke Bonbin Gembira Loka menengok ibunya
Ia bercerita, di sana ia bertemu
Ibu, kakak dan adiknya
Ibunya sedang bermain-main
Lalu Marsudi memberinya kacang dan roti
Ia gembira, karena ia juga sempat menengok tetangganya
Kanguru dan macan, serta adiknya, si amang
Ia pulang, tak lupa diberinya lagi ibu dan adiknya makan
Marsudi bilang, aku anak gorila
Ibuku pun hanya gorila
Serigala akan tinggal bersama domba
Dan macan tutul akan berbaring di sambaing kambing
Anak lembu dan anak singa akan makan rumput bersama-sama
Dan seorang anak kecil akan menggiringnya
Anak yang menyusu akan bermain-main dekat liang ular tedung
Dan anak yang cerai susu akan mengulurkan tangannya
Ke sarang ular beludak

Bila tak terluka, firdaus itu tersimpan dalam kemerdekaan
Karena terluka, kemerdekaan menghempaskan
Firdaus itu menjadi kebun binatang
Di mana binatang-binatang bercanda dengan kaumnya:
Anak-anak gelandangan

Kemerdekaan yang terluka adalah doa dan tanya:
Tuhan di manakah Engkau?
Mengapa Engkau meninggalkan kami?

Di mana-mana teriak merdeka
Langit penat karena suara merdeka
Bidadari menutup telinga-telinga mereka
Memadu suara dalam bunyi
Tuhan tak ada dalam teriakan merdeka
Ia terluka di salib hina
Momeye dan Rinjani
Iyus dan Marsudi
Naik ke langit dengan sayap bidadari
Membawa luka Tuhannya
Empat lubang empat permata
Bekas paku dosa
Di kedua kaki dan tangannya

Kemerdekaan ternyata menyimpan salib
Sia-sialah kita berteriak merdeka
Jika kita mengingkari salib-salib penderitaan
Yang ada di sekitar kita. Merdeka!

 

 



 

Perbandingan Puisi Indonesia Angkatan 1945 dan Angkatan 2000
Mengenang dan Meninjau Karya Purwa Atmadja
dengan Momeye Karya Sindhunata

Puisi merupakan salah satu media seseorang untuk menyalurkan apa yang dirasakan, dipikirkan, dilihat, didengar dan tertangkap melalui alat indria yang dimilikinya. Puisi juga bagian dari sastra, di samping prosa dan drama. Kekhasan puisi disbanding kedua bagian yang lain dari sastra terletak pada penggunaan kata-kata yang lebih padat makna, adanya persajakan, rima dan ritma tentunya, citraan, tipografi, dan gaya bahasa yang digunakan pengarang.

Untuk itulah penulis mengambil puisi yang berjudul Mengenang dan Meninjau Karya Purwa Atmadja dan Momeye Karya Sindhunata untuk dibandingkan unsur-unsur instrinsiknya (yang telah penulis sebutkan di atas). Hal ini penulis lakukan untuk mengetahui persamaan dan perbedaan selain yang ada pada kedua puisi tersebut, tentunya, juga pada angkatan kedua puisi tersebut (paling tidak secara sederhana terlebih dahulu).

Dapat dilihat bahwa secara garis besar substansi dari kedua puisi tersebut berbicara mengenai kritik sosial, yaitu di dalam kemerdekaan ternyata manusia itu masih saja dijajah. Di dalam  Mengenang dan Meninjau karya Purwa Atmadja (yang bernama asli Anwar Isnudikarta) kemerdekaan masih diperjuangkan, ada harapan untuk hidup selayak mungkin di dalam negara yang merdeka jika mau berusaha. Meskipun hidup di tengah pemerintahan yang carut-marut dan politik ekonomi yang amburadul, rakyat dmasih dapat bekerja keras untuk hidup lebih baik dan tercukupi kebutuhan-kebutuhannya.


Tetapi di dalam Momeye karya Sindhunata (yang bernama lengkap Gabriel Poessanti Sindhunata) kemerdekaan justru menjadi bumerang bagi banyak orang. Di satu sisi kemerdekaan untuk diperjuangkan, diraih dan dipertahankan. Di sisi lain kemerdekaan itu sendiri banyak merampas segala yang dimiliki (hilangnya harta benda, pengorbanan nyawa, robeknya keperawanan, dan sebagainya).

Kedua puisi yang ditulis lempeng (bertipografi sejajar dan lurus ke bawah seperti menulis sajak pada umumnya) ternyata mempunyai diksi yang berbeda. Purwa Atmadja menggunakan kata-kata yang padat makna, sedangkan Sindhunata lebih pada penggunaan kata-kata yang mampu bercerita secara naratif. Pilihan kata yang digunakan di dalam Mengenang dan Meninjau karya Purwa Atmadja lebih pada kata-kata yang padat kata dan padat makna. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut:
Ekonomi kurat karit
Suruh menghemat
Suruh semangat
Ah, Bung, manakah Pemimpin
Yang akan mengatur
Negara Makmur?

Sementara itu, di dalam Momeye karya Sindhunata digunakan kata-kata yang mampu bercerita secara naratif. Maksudnya tidak habis pada satu baris saja, melainkan bersambung pada baris-baris di bawahnya. Hal demikian dapat dilihat pada kutipan berikut:
Memang kemerdekaan tidak hanya direbut
dengan darah dan bambu runcing
tapi juga dengan penderitaanmu
dan keperawananmu, Momeye
yang dirobek dengan paksa
ketika kau dirodapaksa jadi jugun ianfu
wanita pemuas nafsu
Kau diantre di loket dengan harga tiga yen
sehari kau harus melayani lima belas tamu
pagi pegawai sipil, malam serdadu

Kedua puisi di atas mempunyai persajakan yang bebas, tidak terikat pada pola penulisan persajakan yang telah ada dan dikenal secara konvensional. Hal demikian itulah yang memberi kekhasan tersendiri bahwa angkatan 1945 dan angkatan 2000 mempunyai persajakan yang lebih bebas, diksinya pun lebih bebas dari angkatan sebelumnya. Meskipun tidak dapat dipungkiri masih ada puisi yang ditulis dengan menggunakan pola-pola konvensional. Tetapi pola tersebut hanya dicomot sebagai referensi saja, tidak seutuhnya digunakan.

Pada puisi Mengenang dan Meninjau terdapat persamaan bunyi pada kata keras-beras, sarung-karung, menghemat-semangat, mengatur-makmur, telantar-lapar sehingga menimbulkan bunyi berirama yang harmonis dan liris. Apalagi kata rakyat, merdeka, makmur, bersatu, dan kawan yang diulang dalam puisi tersebut juga dapat menimbulkan irama yang padu dan mempertegas suasana, yaitu citraan pandang atau penglihatan terhadap semangat rakyat yang berkobar.

Sementara itu citraan pada puisi di dalam Momeye ada banyak sekali citraan penglihatan, misalnya saja dalam: Tentara pulang dari medan laga dan Keringat dan asap rokok. Selain itu juga didapatkan citraan lain seperti: citraan pendengaran (Banyak anak gelandangan menjerit seperti Rinjani dan Di mana-mana teriak merdeka), dan citraan penciuman (Berbau di tubuhnya).

Gaya bahasa yang digunakan kedua pengarang jauh dari kesan-kesan konotatif dan bermajas. Tidak ada kata yang sulit dipahami. Istilah seperti jugun ianfu yang digunakan pun sudah memasyarakat. Hal ini membuat pembaca tidak mengalai kesulitan dalam menikmati dan memahami kedua puisi tersebut. Inilah yang menjadi ciri keduanya, yaitu diksi yang digunakan langsung menuju pada sasaran, pada apa yang dimaksudkan.


Pada Mengenang dan Meninjau karya Purwa Atmadja berisi mengenai keadaan masyarakat yang terhimpit beban hidup, rakyat masih tidak tahu bagaimana caranya memenuhi kebutuhan hidup seperti sandang, pangan, dan papan. Rakyat mengharapkan adanya pemimpin yang dapat membawa pada perbaikan agar mereka menjadi rakyat adil makmur dan sejahtera.

Oleh karena itulah mereka bersemangat untuk bersatu memperjuangkan kemerdekaan mereka. Merdeka untuk apa saja; terutama untuk hidup layak secara manusiawi. Sebab tidak ada kemerdekaan yang bisa dicapai secara instant. Harus ada semanat persatuan, kerja keras dan saling menolong.

Sedangkan Momeye lebih banyak berbicara tentang kemerdekaan yang ternyata membuat sengsara. Di dalam kemerdekaan pun ternyata banyak orang yang masih hidup sengsara, menderita. Tidak ada kemerdekaan yang mutlak. Tidak ada merdeka yang benar-benar merdeka.

Tidak ada kemerdekaan yang dapat dicapai tanpa pengorbanan. Jelasnya, kedua puisi tersebut bertendensi untuk mengingatkan banyak orang untuk tidak melupakan sejarah dan membangkitkan semangat patriotisme, semangat mencapai dan mempertahankan kemerdekaan dengan mengetengahkan permasalahan mengenai kemerdekaan yang dicapai tidak dengan mudah diraih. Perlu adanya pengorbanan!

No comments: