About

Film ANNE VAN JOGJA


Pernikahan yang ditentang orang tua. Suatu tindakan yang banyak sekali dilakukan. Tidak hanya pada masa “Anne Van Jogja”, tetapi jauh sebelum itu pun ada. Sekarang ada, nanti pun kemungkinan semakin banyak dilakukan. Dengan berbagai dalil tentunya.
Saya masih sangat mempercayai bahwa segala sesuatu tanpa restu orang tua tidak baik untuk kelanjutan hidup kita bila hal tersebut terus dilakukan. Ending yang akan kita terima banyak tidak manfaatnya ketimbang manfaatnya. Bagaimanapun juga, orang tua dalam pandangan saya adalah penentu jarja kita. Merah hitam ada di dalam restu mereka. Kepercayaan sekaligus prinsip saya memang.
Bagi saya, orang tua tetap nomor satu. Orang-orang yang ada di sekitar saya hanyalah individu-individu nomor sekian dari orang tua saya. Betapa cintanya saya dengan seseorang, saya tetap bisa melepaskannya bila kedua orang tua tidak menyetujuinya. Saya tahu betul karakter mereka, keinginan mereka, letak kebahagiaan mereka, dan kasih sayang mereka terhadap saya. Makanya saya lebih ‘ngeboti’ orang tua daripada mereka-mereka yang hadir belakangan. Sekalipun orang itu sangat saya cintai.
Bagi saya, cinta bisa saya atur. Saya mungkin adalah sekian kecil dari mayoritas perempuan yang tidak mau dijodohkan. Tetapi saya justru sebaliknya. Masalah cinta, perkawinan, atau apalah namanya itu, saya tidak terlalu ‘ngotot’ untuk menentukannya sendiri. Perjodohan bukan hal yang dosa. Di saat perempuan lain tidak mau dijodohkan, saya malah ingin meminta kedua orang tua mencarikan jodoh. Bukan karena saya tak mampu mendapatkannya. Hanya karena karakter dan keinginan saya yang lebih mereka mengetahuinya dibanding orang lain, atau bahkan saya sendiri. Saya percayakan itu semua pada mereka. Meskipun mereka tidak mau dan menyerahkannya pada saya sendiri.

Bagi saya pernikahan bukan hanya hubungan untuk dua orang saja. Kita menikah juga menikahkan dua kubu, dua keluarga yang sama-sama mempunyai perbedaan latar belakang kehidupan “IPOLEKSOSBUDHANKAM” sendiri-sendiri. Jadi, saya lebih mementingkan hubungan yang besar (orang tua kedua belah pihak) dibanding keluarga kecil (yang dijalani suami istri) atau bahkan individu (suami atau istri).
Jika banyak pernikahan yang dijodohkan gagal, sebenarnya bukan salah orang tua. Saya memandangnya disebabkan oleh kitanya sendiri yang kurang pandai menata hati, menata perasaan dan pikiran untuk mengikhlaskan ego kita dan melebur dengan keluarga baru yang dibina. Tidak sedikit pernikahan karena perjodohan yang langgeng-langgeng saja kok. Sebaliknya juga, tidak banyak hubungan bukan karena perjodohan ‘modal-madil’ di tengah jalan.
Semua tergantung cara menyikapinya, belajar tulus mencintai orang lain yang mungkin karakter dan perilakunya belum kita ketahui sedikit pun. Jika ada kekerasan dalam rumah tangga, sebenarnya itu masalah lain. Asal kita dapat meracik komunikasi, itu semua akan bisa ditanggulangi. Dengan catatan suami atau istri yang suka ‘main tangan’ tidak mengalami gangguan kejiwaan. Sebagai perempuan, jika ada kekerasan dalam rumah tangga, hendaknya bisa bersikap tegas, kalau tidak mau tertindas.
*
Dalam film ‘Anne Van Jogja’ ini pemain-pemainnya sudah lumayan bagus sekalii. Rachel Maryam menurut saya sudah berusaha bermain sebagus mungkin. Wajahnya yang bisa ‘cute’, naif, dan childis bisa membuat periodisasi tokoh masa remaja, masa dewasa, dan masa di mana dia menjadi seorang perempuan karier. Karakternya memang tidak mencolok, tetapi berkat pemain pendukung lainnya, kehadirannya menjadi sangat diperhatikan.
Pemain yang memerankan tokoh IBU sangat saya favoritkan. Dari pemain lainnya, saya lebih senang menikmati penokohan dan cara pembawaan yang pemain perankan. Luwes, ‘mriyayi’, suka seni, ‘nJawani’, ramah, tahu posisinya sebagai seorang ibu sekaligus seorang istri yang tidak mau berat sebelah, bahkan mungkin tidak bisa berat sebelah.
Film berhawa Jawa yang saya sukai, setelah kehadiran sinetron “Canting” yang dimainkan Ria Irawan dan Umar Kayam, yang juga bernuansa Jawa plus keraton—priyayi atau bangsawan. Saya juga suka dengan sinetron yang dimainkan Inneke Koesherawati dan Rico Tampatty yang berjudul “Jangan Ada Dusta” yang berheroik senada dengan cerita kedua tayangan tersebut.
Impian-impian saya banyak dipantulkan dari sana, sebab cerita-cerita di dalamnya membuat saya bercermin. Bahwa karakter saya ada di sana. Berkarier, berbakti, dan berusaha berjiwa besar ketika kehilangan. Menyimpan segala perasaan hanya untuk diri sendiri, sampai mati. Karena menurut saya, harus ada yang paling privacy, yang orang lain tak perlu mengetahuinya.
Anne…selamat jalan, karena engkau pergi meninggalkan bekas tapak kasih yang yang keras sekali kau lawan sebab tak ingin merelakannya. Perempuan karier yang selalu berusaha untuk maju, bersusila, tidak ‘nerak’ aturan, sebab mempunyai prinsip: “tidak akan pernah ingin mengulangi sejarah kehidupan orang tuamu”, yang dengan ‘legowo’ mencoba memberikan kekasihnya untuk orang lain.
*
Prasetyo Yuwantoro dan Marie Van Okstaal menikah. Lahirlah Anne, buah cinta dari pernikahan yang ditentang keluarga Yuwantoro. Karena cinta yang besar, mereka rela terbuang dari keluarga besar.
Marie berpaling dari Belanda ke Indonesia, Jogja. Sedangkan ayahnya Anne lebih memilih anak dan istrinya. Keluarga bahagia yang terbangun tetap saja masih kurang, mengingat pernikahan mereka yang selalu dianggap sebagai sebuah pernikahan yang salah.
Salahnya, pernikahan itu tidak minta izin lebih dulu.
Kalimat di atas memang datang dari seorang abdi, pembantu rumah tangga yang setia dengan keluarga Yuwantoro, juga pada keluarga Anne. Tetapi jika diresapi, sebenarnya tidak ada pernikahan yang salah naupun benar. Semua ada porsinya. Tinggal sudut pandang apa yang kita gunakan untuk menilainya.
Saya sangat percaya, apapun yang datangnya tanpa restu akan berakhir lebih banyak bencananya daripada ketentramannya. Apalagi masalah pernikahan, sangat rawaan sekali akan tipu daya, goda, ketidakmenentuan dan aral bahaya.
Jadi, kita bisa bercermin dengan apa yang ayah dan ibu Anne lakukan. Tidak menuai kedamaian, meskipun tampak damai. Ya…meski juga banyak pernikahan yang terestui tapi gagal belum seberapa lama bertahan. Tapi rasanya berbeda, menikmati kebahagiaannya sangat berbeda bagi saya. Meski saya belum menikah, tetapi melihat pernikahan-pernikahan mereka, orang-orang di sekitar saya, saya sangat bisa merasakan pancaran kebahagiaan—juga ketidakbahagiaan mereka, serta cara mersakan itu semua.
Pernikahan—kawin atau tidak kawin adalah masalah pribadi individu, tetapi setiap individu hidup di tengah komunitas sosial, hal ini haruslah diingat dan perlu sekali dicamkan! Sepribadi apapun akan tetap berdampak sosial ketika problematika tersebut menyangkut aturan atau norma yang sudah dikonvensikan.
Seseorang akan dikatakan melanggar aturan jika perbuatan, pemikiran dan perasaannya menyimpang dari kebiasaan—adat istiadat suatu komunitas sosial yang di dalamnya telah ditetapkan berbagai disiplin hidup untuk kepentingan bersama.
Pernikahan Yuwantoro dengan Marie dianggap salah karena tidak minta izin dan restu orang tua. Kalau di Barat hal ini dipandang sah-sah saja, tidak di dunia Timur seperti Indonesia. Kedudukan orang tua layaknya sebanding dengan ‘Yang Mbaurekso’ alam jagad raya seisinya ini. Bagaimanapun juga, tetap sangat dihormati dan dijunjung tinggi keberadaannya.
Apalagi masalah pernikahan, yang dianggap sakral. Orang tua seolah sudah ‘jamaknya’ menjadi sesembahan yang dimintai restunya, yang tinggi dan dimuliakan keberadaannya. Tidak bisa diabaikan begitu saja.
*
Sudah, ilang-ilangan ndog siji.
Kalimat ini diucapkan oleh kakek Anne yang geram dengan tindakan anaknya yang menikah tanpa meminta izin—restu dari beliau terlebih dulu, dengan orang Belanda yang berbeda agama lagi. Dalam bahasa Jawa, kalimat tersebut tidak hanya umpatan, ungkapan kekesalan hati, tetapi juga sebuah kutukan yang ‘tua’ bagi yang menerimanya, anak. Tidak apa-apa kehilangan anak satu, seperti tulah jika diartikan seharfiah mungkin.
Kalimat tersebut juga berarti bahwa orang tua tega melepaskan anaknya, tidak mau mengakui bahwa itu anaknya, trah keturunannya. Bukankah sudah sangat menyakitkannya hati kedua orang tua jika ada orang tua beranggapan atau bicara demikian?
*
Mama    : Anne, ini eyang putri Satrio
Anne      : Siapa eyang putri, Ma? (dalam bahasa Belanda)
Mama    :Eyang putri adalah Oma (jawab Mamanya dengan bahasa Belanda juga)
Anne      : Mama, Mama. Kok Anne nggak punya eyang putri?
Dari dialog di atas, dapat kita tangkap ‘curiousity’ anak kecil yang bernama Anne begitu besarnya. Apakah kita mau memberikan pada anak-anak kita kerumpangan keluarga? Ya, sebuah keluarga yang tidak lengkap. Hal ini bisa saja membebani pikiran dan perasaan anak kecil. Memang hidup tidak selamanya mulus, tapi berusaha memberikan yang terbaik apakah salah?
Hendaknya kita berusaha memberikan yang terbaik bagi anak-anak kita. Saya sendiri, meskipun belum yakin ingin mempunyai anak kandung sendiri, ingin sekali membuat anak-anak bahagia. Jangan sampai kepahitan masa lalu saya dengan segala kekurangan ekonomi dialami pula oleh anak-anak kelak. Cukup saya saja yang merasakannya. Memberikan kemewahan bukan berarti memanjakan mereka, tetapi kemewahan itu harus kita ‘manage’ sebaik mungkin hingga memunculkan sebuah tanggungjawab plus sebuah ‘kehidupan yang lebih lux’ dari kehidupan kita yang kemarin waktu.
Pertanyaan Anne di atas sama saja dengan: “Apa itu bapak (atau mungkin ibu)? Kok aku nggak punya bapak (atau mungkin ibu)?”Rumpang bukan? Hebat penderitaannnya, bukan? Psikis anak bisa terganggu, terbebani!
*
Darah seni Jawa menurun ke cucuku.
Bagaimanapun juga, anak adalah percampuran genetis dari bapak maupun ibu. Sifat, sikap, pemikiran dan perasaan yang kedua orang tua miliki sedikit banyak menurun pada anak, menjadi kolaborasi yang sangat padu dalam darah dan daging si Anak. Maka sebelum menentukan akan menikah, kita harus tahu latar belakang keluarga calon pasangan hidup kita. Bagaimana karakternya, dan sebagainya.
Saya masih bisa kompromi dengan ‘bobot, bibit, dan bebet’ orang Jawa. Terdengar sadis untuk kawula muda yang modern memang, bahkan sangat kuno, tidak jamannya lagi, dan berbagai tentangan datang dari para cendekia dengan berbagai dalil humanistisnya pasti. Tetapi buat saya, ketiga tolok ukur tersebut sangat penting sekali. Tidak ada hubungannya dengan orang tua atau hubungan kemasyarakatan secara intens bagi saya, tetapi bagi anak keturunan kita, para penerus bangsa, kita harus memperhatikan tiga point itu.
Memang ketiga hal tersebut tidak menentukan baik-buruk, maju-mundur sebuah bangsa, paling tidak kita sudah berusaha mencari cara, alternatif sebaiknya, agar pemimpin bangsa kita kelak lebih baik dan lebih mempunyai sifat kepemimpinan.
Saya juga tahu betul anak dari kalangan ‘pidak pedarakan’ belum tentu seperti orang tuanya. Belum tentu anak Kyai akan lebih baik akhlaknya dibanding dengan anak perampok, ‘kecu’, ‘begal’, maupun pembunuh sekalipun. Tetapi ketiga hal tersebut setidaknya membuat kita menjadi manusia yang berfikir lebih dewasa untuk tidak selalu memperturutkan emosi-emosi yang sifatnya sesaat.
Ayah Anne yang Jawa membuatnya menyukai batik, tari, dan ber-unggah-ungguh secara nJawani. Sedangkan dari ibunya, Anne mewarisi wajahnya yang ‘indo’, tetapi juga ada unsur Indonesianya sekaligus logat atau dialek ibunya yang sedikit cadel dan sedikit sengau. Bagaimanapun juga, gen orang tua menurun pada keturunannya.
Hal ini membuat saya untuk berfikir panjang bahwa ternyata usaha mencari ‘bobot, bibit, bebet’sangat penting. Paling tidak tiga hal tersebut mempengaruhi kualitas generasi-generasi penerus bangsa. Meskipun tidak dapat dipungkiri tiga hal itu belum tentu valid kebenarannya, tidak mesti anaknya seorang Kyai akan memiliki akhlak mulia—ibaratnya demikian, tapi setidaknya sudah ada usaha untuk membuat kualitas penerus kita baik.
Keturunan bangsawan memang belum tentu dapat dijamin moralnya akan mulia. Mengingat banyak sekali keturunan ningrat yang moralnya bejat. Tetapi setidaknya ada sedikit saja pemikiran adiluhung dari sana, banyak pemikirannya yang cerdas. Begitu pula anak seorang ustadz, belum tentu perilakunya baik, tetapi paling tidak sedikit saja pasti mempunyai pemikiran yang baik.
Dari orang tua ‘pidak pedarakan’ belum tentu anaknya tidak bisa menjadi seorang raja, ratu, atau pemimpin. Tetapi sekarang saya bicara tentang kuantitas, belum kualitas. Kebanyakan anak orang baik-baik gen sifat tersebut yang baik-baik menurun pada anaknya.
Meskipun demikian saya pun mempunyai anggapan bahwa sebenarnya di dunia tidak ada yang baik dan yang benar, tidak ada yang ‘lebih’ atau yang ‘kurang’. Semua hadir sesuai ‘porsinya’. Sebab ternyata kebaikan dan keburukan mempunyai porsi yang sama kehadirannya di dunia ini, berjalan sejajar—beriringan.
Kalau hitam biasa digunakan untuk memberi tanda perilaku, akhlak yang ‘bergender’ keburukan, sedangkan putih kebaikan—saya lebih suka dengan ‘abu-abu’ untuk mewarnainya. Sebab orang yang ‘hitam’ selamanya tidak hitam, pasti ada putihnya. Sedangkan orang yang ‘putih’ tidak selamanya putih, pasti ada hitamnya juga.
Misal maling, tidak akan selamanya menjadi maling dan berfikiran—merancang fikiran sebagai maling. Begitu pula ulama, pasti sedikitnya mempunyai sifat ‘ke-malinga-an’. Entah itu licik, curiga, ingin mengambil milik orang lain—berupa materi maupun non materi 9seperti menarik simpati agar perkataannya diikuti—padahal tahu memaksakan agama terhadap orang lain, mempengaruhi iman kepercayaan pemeluk yang sebelumnya telah dipelukorang lain agar berpindah kepercayaan itu tidak boleh), langsung maupun tidak langsung.
*
Eyang datang, papa sudah tidak ada. Untuk apalagi?
Adegan inilah yang memberitahukan pada kita bahwa ketidakhadiran kakek—nenek membuat Anne benci, dendam. Hingga abdinya yang memberitahukan bahwa sebenarnya kakek dan nenek Anne sangat menyayangi mereka. Hanya saja kasih sayang kakek dan nenek terbentur oleh tembok tradisi sekaligus harga diri priyayi—bangsawan.
Ya, untuk apalagi? Untuk apalagi?
Semua sudah terlanjur terjadi. Saya tidak menyalahkan siapapun, sebab tidak ada yang bisa dipersalahkan. Semua tetap pada porsinya. Prasetyo Yuwantoro berporsi sebagai lelaki yang menggebu cintanya hingga ia lupa akan posisinya sebagai keturunan ningrat dan melakukan kesalahan sebagai orang timur, putra bangsawan yang mempunyai adat-istiadat yang harus dipatuhi—menikah tanpa izin.
Sedangkan orang tua Prasetyo berporsi sebagai penanggung kecewa atas perbuatan anaknya yang tidak bisa berjalan di atas garis normanya. Bapak dan ibunya ‘kisinan’—malu, terhadap kenekatan anaknya yang melenceng dari jalur yang telah digariskan.
Untuk apalagi? Ya, untuk apalagi?
Anne seperti ingin bicara: apakah harus mati lebih dulu, baru kakek dan  nenek akan datang, memaafkan papa dan mamanya?
*
Sakdawa-dawane burung ya tetep dawa lurung. Cinta seorang anak hanya sepanjang galah, cinta orang tua sepanjang jalan.
Ya, saya setuju. Makanya kini saya ingin membuat ungkapan itu sedikit terbalik. Sudah ada masanya emansipasi cinta anak terhadap orang tua. Tidak melulu orang tua yang selalu berkorban demi anaknya. Sejahat apapun anak pada orang tua, tetap saja orang tua memaklumi. Mungkin anak-anak mereka belum dewasa. Tolong resapi kalimat di ats dengan pemaknaan yang lebih mendalam dari biasanya.
Apa yang sudah kita berikan pada kedua orang tua?
Sedangkan orang tua banyak sekali memberikan kita segalanya agar tetap hidup, bertahan hidup sampai pada detik ini. Mengapa kita tak berusaha memberikan apa-apa yang membuat mereka bahagia?
Orang tua memang tidak meminta balas budi, tetapi sebagai seorang manusia apakah kita tidak mau membalas perbuatan baik mereka? Paling tidak melakukan apa-apa yang membuat mereka gembira, bangga. Kita boleh menentang apa keinginan orang tua yang tidak baik—menjadi gembong rampok misalnya—tetapi menuruti kemauan bapak atau ibu yang menginginkan anaknya masuk ke Kedokteran padahal kita sukanya di Seni Rupa apa salahnya?
Anak yang baik dan yang saya acungi jempol adalah mereka yang mau menyimpan kemauan sendiri—kemudian mewujudkan cita-cita tersebut belakangan hari—adalah lebih tertata emosinya daripada mereka yang lari dari rumah dan mewujudkan keinginan itu. Meskipun berhasil, pasti merasa ada yang kurang karena mengecewakan orang tua.

Saya akan memilih sekolah di Kedokteran dulu, setelah lulus bisa saja kita sekolah di Seni rupa, atau kalau tidak, kita bisa mempelajari Seni rupa ketika kita menempuh studi di Kedokteran. Bukankah kesenangan pada seni akan tetap terasa senang menjalani dan mempelajarinya meski harus lain waktu?
Spesifikasi atau konsentrasi bidang tertentu tidak menjamin seseorang akan menekuni pula konsentrasi tersebut—sebab terbentur oleh realita. Sarjana ekonomi bisa saja menguasai ilmu politik dan menjadi pengacara karenanya—karena permasalahan terdesaknya ekonomi contohnya. Tapi apakah salah bila seorang dokter bisa juga menjadi seorang perupa, pelukis?
Justru kita mempunyai keahlian dan kepuasan tersendiri ketika tahu-tahu kita lulus kedokteran sekaligus bisa menguasai seni rupa dengan belajar otodidak (dan kita lebih menguasai prakteknya dibanding dengan orang yang studi sendiri di bidang tersebut). Ya, ketika itu kita tidak bisa menyalahkan siapa-siapa lagi. Kita juga bisa menjadi orang yang berhasil menata emosi saat menyadari bahwa kemarin-kemarin jika tetap memaksakan kehendak, mungkin akan berhasil, tapi tidak menguasai dua bidang sekaligus dan paling tidak kedua orang tua sudah kita buat sakit hati, kecewa, dan sebagainya.
Hal ini terdengar ‘sok’, tapi ketika menjalaninya sendiri, kita akan tahu rahasia apa yang ada di balik ketidaksukaan tersebut dengan cara berkompromi—menjalaninya. Meskipun hal tersebut tidak bisa kita bandingkan dengan pernikahan, kita tidak boleh ‘mendua’ seperti kita juga mendua belajar kedokteran sekaligus seni rupa. Itu hanya sebuah per-mi-sa-lan!
*
Dalam hidup, kita harus saling memberi dan menerima. Dengan begitu akan terjadi suatu ikatan.
Manusia adalah makhluk sosial, tidak dapat hidup sendiri tanpa orang lain. Tidak ada penjelasan apapun mengenai kalimat di atas, karena sangat jelas. Intinya memang satu: memberi dan menerima, tetapi pengejawantahannya dalam hidup begitu kompleksnya. Bisa diartikan sebagai tolong-menolong, hormat-menghormati, bersikap adil dan sebagainya.
Jika kita tak mau diganggu orang lain, maka kita pun jangan mengganggu orang lain. Jika kita menginginkan hidup tentram bertetangga, kita jangan membuat kebisingan yang mengganggu jam tidur siang agar kita tidak dilabrak karena membuat kebisingan tersebut. Jangan menginginkan kebiasaan diri, rutinitas keluarga juga diterima dalam kebiasaan dan rutinitas tersebut ke dalam kebiasaan dan rutinitas sosialisasi di luar keluarga dan diri sendiri.
*
Saya tidak akan mengambil apa yang telah saya berikan. Begitu pula dengan apa yang sudah terjadi selama ini.
Kedengaran ‘gentle’ dan saya sangat suka itu. Seperti kalimat di atas, kalimat ini tidak usah dengan susah payah memaknainya kita pun sudah tahu apa maksudnya. Orang yang berfikiran demikian adalah seseorang yang prinsipil, segala yang diperbuatnya harus dapat juga ia pertanggungjawabkan.
Bukankah demikian seorang ksatria yang tidak gagah-gagahan dengan adu otot dan otak saja, tetapi juga adu rasa—perasaannya?
Benar kata Anne, bahwa apa yang telah terjadi tidak dapat diulangi. Bisa diulangi, kecuali dalam benak dan hati masing-masing individu. Itu pun tidak sepenuhnya, hanya terbatas pada siluet-nya saja.
Kalau tidak mau kecewa, ya harus berusaha semaksimal mungkin. Jika akhirnya kecewa juga, berusahalah untuk kembali ke keadaan normal lagi. Tapi jangan pernah menyesal. Kecewa boleh, tapi jangan sampai menyesal. Mengapa harus menyesal jika masa lalu yang indah-indah terlewat begitu saja? Mengapa harus menyesal pada masa lalu kita yang kelam?
Semua sudah diskenario memang. Tetapi berusaha memperbaiki skenario apa salah? Tidak, bahkan wajib. Sebab saya tidak suka ada orang yang terlarut dalam dunia-dunia yang ia ciptakan sendiri. Boleh terlarut, tapi segera bangkit lagi saja. Hal ini saya anggap sangat manusiawi.
Kenangan memang tak terhapuskan, bahkan yang paling pahit sekalipun. Kenangan adalah milik manusia yang tidak bisa diambil, dicuri atau direbut oleh phak lain. Manusia bisa dikurung atau dipenjarakan, tetapi kenangan tak dapat dibelenggu. Di mana pun manusia berada, kenangannya akan bersamanya. Selalu. Miliknya pribadi yang tak dapat dipisahkan.
*
Kalau membatik, bukan hanya melukiskan malam pada kain. Tapi apa yang ada dalam pikiran dan perasaan—kita tumpahkan dengan sepenuh hati.
Tidak hanya membatik. Tetapi di segala bidang penciptaan, pekerjaan, dan hubungan antar manusia. Seperti juga sastrawan—penulis hampir sama seperti seorang pembatik. Tidak hanya sekedar menulis, tetapi menulis yang berdasarkan pikiran, perasaan, dan kemanusiaannya sebagai manusia.
Kalau menulis hanya menulis, namanya mesin penulisan. Hal itu bisa dilakukan oleh percetakan, mesin foto copy misalnya. Begitu pula dengan batik. Batik yang hanya membatik dan hasilannya adalah berupa batikan saja, tidak usah membuat batik tulis, tetapi ada yang disebut batik cap, bukan? Begitu pula seorang penulis—plagiat namanya jika seseorang anya menulis, bisa juga menyalin, bukan?
*
Sudah cukup saya tahu kamu mencintai saya, Satrio. Kita tidak perlu mengulangi sejarah. Seperti papa, kamu pun bisa terbuang dari keluarga. Sejarah itu tidak perlu terulang.
Saya sangat menyukai pendirian Anne. Seorang perempuan karier yang berprinsip, meskipun fisiknya lemah, mampu bertahan hidup dengan semampunya dia. Meski akhirnya meninggal dunia karena kanker, tetapi sisa kehidupannya tidak sia-sia begitu saja. Tetapi ia gunakan untuk membahagiakan orang-orang yang ingin bahagia.

Cinta segitiga antara Anne, Satrio, dan Ratih (gadis yang pilihan orang tua Satrio) memang harus ada yang mengalah. Hubungan perasaan hanya ‘hak’ atau dibenarkan jika dijalani oleh dua hati saja. Jika ada pihak lain datang, maka harus ada salah satu di antara mereka yang harus hengkang. Meskipun ada poligami, tetapi hubungan normal adalah tetap hubungan dua insan yang saling memiliki.
Menurut saya, bukan cinta namanya jika bukan saling memiliki. Hubungan Anne endingnya pun bukan cinta menurut saya, tetapi perasaan kasih yang terbangun sejak kecil, juga cinta mereka saling berjauhan. Mencintai dari jauh saja.
Anne tahu diri dan tahu posisi. Apa yang terjadi pada orang tua mereka tidak mau ia ulangi. Meski dengan cara yang berbeda dalam menjalani hubungan, tapi dasarnya tetap sama: perkawinan antar budaya yang berbeda yang saat itu baru konflik. Kaum keturunan Belanda tidak diterima kehadirannya oleh pribumi. Jika hal ini dilanggar, maka mereka akan diasingkan, tersingkirkan oleh keluarga dan masyarakatnya. Seperti halnya papa Anne—Prasetyo Yuwantoro yang tersingkir dari keluarga besar Yuwantoro dan papa Anne tersebut tidak memakai gelar kebangsawanan ayah kandungnya tetapi gelar kebangsawanan kakeknya: Brotodiningrat.
Anne sudah puas dengan ia mengetahui bahwa cintanya tidak bertepuk sebelah tangan. Perasaan kasihnya itu tidak mampu menolak permintaan Satrio untuk memberikan izin padanya untuk menikahi Ratih, saat Anne bilang tak bisa mencintainya meski sangat cinta padanya. Lagipula Anne sadar kalau hidupnya sudah tak lama lagi. Remuk hatinya itu berklimaks ketika Satrio menikahi Ratih. Bersamaan dengan hari perayaan pernikahannya tersebut, Anne meninggal karena penyakitnya semakin parah.
*
Film ini membuat saya belajar sangat banyak dari peristiwa di dalamnya. Kehidupan di dalam cerita tersebut patut saya ambil suri teladannya. Apalah arti sebuah peristiwa jika setelahnya tidak dipelajari dan menjadi cermin evaluasi?

No comments: