Saya masih sangat mempercayai bahwa
segala sesuatu tanpa restu orang tua tidak baik untuk kelanjutan hidup kita
bila hal tersebut terus dilakukan. Ending yang akan kita terima banyak tidak
manfaatnya ketimbang manfaatnya. Bagaimanapun juga, orang tua dalam pandangan
saya adalah penentu jarja kita. Merah hitam ada di dalam restu mereka.
Kepercayaan sekaligus prinsip saya memang.
Bagi saya, orang tua tetap nomor
satu. Orang-orang yang ada di sekitar saya hanyalah individu-individu nomor
sekian dari orang tua saya. Betapa cintanya saya dengan seseorang, saya tetap
bisa melepaskannya bila kedua orang tua tidak menyetujuinya. Saya tahu betul
karakter mereka, keinginan mereka, letak kebahagiaan mereka, dan kasih sayang
mereka terhadap saya. Makanya saya lebih ‘ngeboti’ orang tua daripada
mereka-mereka yang hadir belakangan. Sekalipun orang itu sangat saya cintai.
Bagi saya, cinta bisa saya atur.
Saya mungkin adalah sekian kecil dari mayoritas perempuan yang tidak mau
dijodohkan. Tetapi saya justru sebaliknya. Masalah cinta, perkawinan, atau
apalah namanya itu, saya tidak terlalu ‘ngotot’ untuk menentukannya sendiri.
Perjodohan bukan hal yang dosa. Di saat perempuan lain tidak mau dijodohkan,
saya malah ingin meminta kedua orang tua mencarikan jodoh. Bukan karena saya
tak mampu mendapatkannya. Hanya karena karakter dan keinginan saya yang lebih
mereka mengetahuinya dibanding orang lain, atau bahkan saya sendiri. Saya percayakan
itu semua pada mereka. Meskipun mereka tidak mau dan menyerahkannya pada saya
sendiri.
Bagi saya pernikahan bukan hanya
hubungan untuk dua orang saja. Kita menikah juga menikahkan dua kubu, dua
keluarga yang sama-sama mempunyai perbedaan latar belakang kehidupan
“IPOLEKSOSBUDHANKAM” sendiri-sendiri. Jadi, saya lebih mementingkan hubungan
yang besar (orang tua kedua belah pihak) dibanding keluarga kecil (yang
dijalani suami istri) atau bahkan individu (suami atau istri).
Jika banyak pernikahan yang
dijodohkan gagal, sebenarnya bukan salah orang tua. Saya memandangnya
disebabkan oleh kitanya sendiri yang kurang pandai menata hati, menata perasaan
dan pikiran untuk mengikhlaskan ego kita dan melebur dengan keluarga baru yang
dibina. Tidak sedikit pernikahan karena perjodohan yang langgeng-langgeng saja
kok. Sebaliknya juga, tidak banyak hubungan bukan karena perjodohan
‘modal-madil’ di tengah jalan.
Semua tergantung cara menyikapinya,
belajar tulus mencintai orang lain yang mungkin karakter dan perilakunya belum
kita ketahui sedikit pun. Jika ada kekerasan dalam rumah tangga, sebenarnya itu
masalah lain. Asal kita dapat meracik komunikasi, itu semua akan bisa
ditanggulangi. Dengan catatan suami atau istri yang suka ‘main tangan’ tidak
mengalami gangguan kejiwaan. Sebagai perempuan, jika ada kekerasan dalam rumah
tangga, hendaknya bisa bersikap tegas, kalau tidak mau tertindas.
*
Dalam film ‘Anne Van Jogja’ ini
pemain-pemainnya sudah lumayan bagus sekalii. Rachel Maryam menurut saya sudah
berusaha bermain sebagus mungkin. Wajahnya yang bisa ‘cute’, naif, dan childis
bisa membuat periodisasi tokoh masa remaja, masa dewasa, dan masa di mana dia
menjadi seorang perempuan karier. Karakternya memang tidak mencolok, tetapi
berkat pemain pendukung lainnya, kehadirannya menjadi sangat diperhatikan.
Pemain yang memerankan tokoh IBU
sangat saya favoritkan. Dari pemain lainnya, saya lebih senang menikmati
penokohan dan cara pembawaan yang pemain perankan. Luwes, ‘mriyayi’, suka seni,
‘nJawani’, ramah, tahu posisinya sebagai seorang ibu sekaligus seorang istri
yang tidak mau berat sebelah, bahkan mungkin tidak bisa berat sebelah.
Film berhawa Jawa yang saya sukai,
setelah kehadiran sinetron “Canting” yang dimainkan Ria Irawan dan Umar Kayam,
yang juga bernuansa Jawa plus keraton—priyayi atau bangsawan. Saya juga suka
dengan sinetron yang dimainkan Inneke Koesherawati dan Rico Tampatty yang
berjudul “Jangan Ada Dusta” yang berheroik senada dengan cerita kedua tayangan
tersebut.
Impian-impian saya banyak
dipantulkan dari sana ,
sebab cerita-cerita di dalamnya membuat saya bercermin. Bahwa karakter saya ada
di sana .
Berkarier, berbakti, dan berusaha berjiwa besar ketika kehilangan. Menyimpan
segala perasaan hanya untuk diri sendiri, sampai mati. Karena menurut saya,
harus ada yang paling privacy, yang orang lain tak perlu mengetahuinya.
Anne…selamat jalan, karena engkau pergi meninggalkan bekas tapak
kasih yang yang keras sekali kau lawan sebab tak ingin merelakannya. Perempuan
karier yang selalu berusaha untuk maju, bersusila, tidak ‘nerak’ aturan, sebab
mempunyai prinsip: “tidak akan pernah ingin mengulangi sejarah kehidupan orang
tuamu”, yang dengan ‘legowo’ mencoba memberikan kekasihnya untuk orang lain.
*
Prasetyo Yuwantoro dan Marie Van
Okstaal menikah. Lahirlah Anne, buah cinta dari pernikahan yang ditentang
keluarga Yuwantoro. Karena cinta yang besar, mereka rela terbuang dari keluarga
besar.
Marie berpaling dari Belanda ke Indonesia ,
Jogja. Sedangkan ayahnya Anne lebih memilih anak dan istrinya. Keluarga bahagia
yang terbangun tetap saja masih kurang, mengingat pernikahan mereka yang selalu
dianggap sebagai sebuah pernikahan yang salah.
Salahnya,
pernikahan itu tidak minta izin lebih dulu.
Kalimat di atas memang datang dari
seorang abdi, pembantu rumah tangga yang setia dengan keluarga Yuwantoro, juga
pada keluarga Anne. Tetapi jika diresapi, sebenarnya tidak ada pernikahan yang
salah naupun benar. Semua ada porsinya. Tinggal sudut pandang apa yang kita
gunakan untuk menilainya.
Saya sangat percaya, apapun yang
datangnya tanpa restu akan berakhir lebih banyak bencananya daripada
ketentramannya. Apalagi masalah pernikahan, sangat rawaan sekali akan tipu
daya, goda, ketidakmenentuan dan aral bahaya.
Jadi, kita bisa bercermin dengan apa
yang ayah dan ibu Anne lakukan. Tidak menuai kedamaian, meskipun tampak damai.
Ya…meski juga banyak pernikahan yang terestui tapi gagal belum seberapa lama
bertahan. Tapi rasanya berbeda, menikmati kebahagiaannya sangat berbeda bagi
saya. Meski saya belum menikah, tetapi melihat pernikahan-pernikahan mereka,
orang-orang di sekitar saya, saya sangat bisa merasakan pancaran
kebahagiaan—juga ketidakbahagiaan mereka, serta cara mersakan itu semua.
Pernikahan—kawin atau tidak kawin
adalah masalah pribadi individu, tetapi setiap individu hidup di tengah
komunitas sosial, hal ini haruslah diingat dan perlu sekali dicamkan! Sepribadi
apapun akan tetap berdampak sosial ketika problematika tersebut menyangkut
aturan atau norma yang sudah dikonvensikan.
Seseorang akan dikatakan melanggar
aturan jika perbuatan, pemikiran dan perasaannya menyimpang dari kebiasaan—adat
istiadat suatu komunitas sosial yang di dalamnya telah ditetapkan berbagai
disiplin hidup untuk kepentingan bersama.
Pernikahan Yuwantoro dengan Marie
dianggap salah karena tidak minta izin dan restu orang tua. Kalau di Barat hal
ini dipandang sah-sah saja, tidak di dunia Timur seperti Indonesia .
Kedudukan orang tua layaknya sebanding dengan ‘Yang Mbaurekso’ alam jagad raya
seisinya ini. Bagaimanapun juga, tetap sangat dihormati dan dijunjung tinggi
keberadaannya.
Apalagi masalah pernikahan, yang
dianggap sakral. Orang tua seolah sudah ‘jamaknya’ menjadi sesembahan yang
dimintai restunya, yang tinggi dan dimuliakan keberadaannya. Tidak bisa
diabaikan begitu saja.
*
Sudah,
ilang-ilangan ndog siji.
Kalimat ini diucapkan oleh kakek
Anne yang geram dengan tindakan anaknya yang menikah tanpa meminta izin—restu
dari beliau terlebih dulu, dengan orang Belanda yang berbeda agama lagi. Dalam
bahasa Jawa, kalimat tersebut tidak hanya umpatan, ungkapan kekesalan hati,
tetapi juga sebuah kutukan yang ‘tua’ bagi yang menerimanya, anak. Tidak
apa-apa kehilangan anak satu, seperti tulah jika diartikan seharfiah mungkin.
Kalimat tersebut juga berarti bahwa
orang tua tega melepaskan anaknya, tidak mau mengakui bahwa itu anaknya, trah
keturunannya. Bukankah sudah sangat menyakitkannya hati kedua orang tua jika
ada orang tua beranggapan atau bicara demikian?
*
Mama :
Anne, ini eyang putri Satrio
Anne : Siapa eyang putri,
Ma? (dalam bahasa Belanda)
Mama :Eyang putri adalah Oma (jawab Mamanya dengan bahasa Belanda juga)
Anne : Mama, Mama. Kok Anne
nggak punya eyang putri?
Dari dialog di atas, dapat kita
tangkap ‘curiousity’ anak kecil yang bernama Anne begitu besarnya. Apakah kita
mau memberikan pada anak-anak kita kerumpangan keluarga? Ya, sebuah keluarga
yang tidak lengkap. Hal ini bisa saja membebani pikiran dan perasaan anak
kecil. Memang hidup tidak selamanya mulus, tapi berusaha memberikan yang
terbaik apakah salah?
Hendaknya kita berusaha memberikan
yang terbaik bagi anak-anak kita. Saya sendiri, meskipun belum yakin ingin
mempunyai anak kandung sendiri, ingin sekali membuat anak-anak bahagia. Jangan
sampai kepahitan masa lalu saya dengan segala kekurangan ekonomi dialami pula
oleh anak-anak kelak. Cukup saya saja yang merasakannya. Memberikan kemewahan
bukan berarti memanjakan mereka, tetapi kemewahan itu harus kita ‘manage’
sebaik mungkin hingga memunculkan sebuah tanggungjawab plus sebuah ‘kehidupan
yang lebih lux’ dari kehidupan kita yang kemarin waktu.
Pertanyaan
Anne di atas sama saja dengan: “Apa itu bapak (atau mungkin ibu)? Kok aku nggak
punya bapak (atau mungkin ibu)?”Rumpang
bukan? Hebat penderitaannnya, bukan?
Psikis anak bisa terganggu, terbebani!
*
Darah seni Jawa menurun ke cucuku.
Bagaimanapun juga, anak adalah
percampuran genetis dari bapak maupun ibu. Sifat, sikap, pemikiran dan perasaan
yang kedua orang tua miliki sedikit banyak menurun pada anak, menjadi
kolaborasi yang sangat padu dalam darah dan daging si Anak. Maka sebelum
menentukan akan menikah, kita harus tahu latar belakang keluarga calon pasangan
hidup kita. Bagaimana karakternya, dan sebagainya.
Saya masih bisa kompromi dengan
‘bobot, bibit, dan bebet’ orang Jawa. Terdengar sadis untuk kawula muda yang
modern memang, bahkan sangat kuno, tidak jamannya lagi, dan berbagai tentangan
datang dari para cendekia dengan berbagai dalil humanistisnya pasti. Tetapi
buat saya, ketiga tolok ukur tersebut sangat penting sekali. Tidak ada
hubungannya dengan orang tua atau hubungan kemasyarakatan secara intens bagi
saya, tetapi bagi anak keturunan kita, para penerus bangsa, kita harus
memperhatikan tiga point itu.
Memang ketiga hal tersebut tidak
menentukan baik-buruk, maju-mundur sebuah bangsa, paling tidak kita sudah
berusaha mencari cara, alternatif sebaiknya, agar pemimpin bangsa kita kelak
lebih baik dan lebih mempunyai sifat kepemimpinan.
Saya juga tahu betul anak dari kalangan
‘pidak pedarakan’ belum tentu seperti orang tuanya. Belum tentu anak Kyai akan
lebih baik akhlaknya dibanding dengan anak perampok, ‘kecu’, ‘begal’, maupun
pembunuh sekalipun. Tetapi ketiga hal tersebut setidaknya membuat kita menjadi
manusia yang berfikir lebih dewasa untuk tidak selalu memperturutkan
emosi-emosi yang sifatnya sesaat.
Ayah Anne yang Jawa membuatnya
menyukai batik, tari, dan ber-unggah-ungguh secara nJawani. Sedangkan dari
ibunya, Anne mewarisi wajahnya yang ‘indo’, tetapi juga ada unsur Indonesianya
sekaligus logat atau dialek ibunya yang sedikit cadel dan sedikit sengau.
Bagaimanapun juga, gen orang tua menurun pada keturunannya.
Hal ini membuat saya untuk berfikir
panjang bahwa ternyata usaha mencari ‘bobot, bibit, bebet’sangat penting.
Paling tidak tiga hal tersebut mempengaruhi kualitas generasi-generasi penerus
bangsa. Meskipun tidak dapat dipungkiri tiga hal itu belum tentu valid
kebenarannya, tidak mesti anaknya seorang Kyai akan memiliki akhlak
mulia—ibaratnya demikian, tapi setidaknya sudah ada usaha untuk membuat
kualitas penerus kita baik.
Keturunan bangsawan memang belum
tentu dapat dijamin moralnya akan mulia. Mengingat banyak sekali keturunan
ningrat yang moralnya bejat. Tetapi setidaknya ada sedikit saja pemikiran adiluhung
dari sana ,
banyak pemikirannya yang cerdas. Begitu pula anak seorang ustadz, belum tentu
perilakunya baik, tetapi paling tidak sedikit saja pasti mempunyai pemikiran
yang baik.
Dari orang tua ‘pidak pedarakan’
belum tentu anaknya tidak bisa menjadi seorang raja, ratu, atau pemimpin. Tetapi
sekarang saya bicara tentang kuantitas, belum kualitas. Kebanyakan anak orang
baik-baik gen sifat tersebut yang baik-baik menurun pada anaknya.
Meskipun demikian saya pun mempunyai
anggapan bahwa sebenarnya di dunia tidak ada yang baik dan yang benar, tidak
ada yang ‘lebih’ atau yang ‘kurang’. Semua hadir sesuai ‘porsinya’. Sebab
ternyata kebaikan dan keburukan mempunyai porsi yang sama kehadirannya di dunia
ini, berjalan sejajar—beriringan.
Kalau hitam biasa digunakan untuk
memberi tanda perilaku, akhlak yang ‘bergender’ keburukan, sedangkan putih
kebaikan—saya lebih suka dengan ‘abu-abu’ untuk mewarnainya. Sebab orang yang
‘hitam’ selamanya tidak hitam, pasti ada putihnya. Sedangkan orang yang ‘putih’
tidak selamanya putih, pasti ada hitamnya juga.
Misal maling, tidak akan selamanya
menjadi maling dan berfikiran—merancang fikiran sebagai maling. Begitu pula
ulama, pasti sedikitnya mempunyai sifat ‘ke-malinga-an’. Entah itu licik,
curiga, ingin mengambil milik orang lain—berupa materi maupun non materi
9seperti menarik simpati agar perkataannya diikuti—padahal tahu memaksakan
agama terhadap orang lain, mempengaruhi iman kepercayaan pemeluk yang
sebelumnya telah dipelukorang lain agar berpindah kepercayaan itu tidak boleh),
langsung maupun tidak langsung.
*
Eyang datang, papa sudah tidak ada. Untuk
apalagi?
Adegan inilah yang memberitahukan
pada kita bahwa ketidakhadiran kakek—nenek membuat Anne benci, dendam. Hingga
abdinya yang memberitahukan bahwa sebenarnya kakek dan nenek Anne sangat
menyayangi mereka. Hanya saja kasih sayang kakek dan nenek terbentur oleh
tembok tradisi sekaligus harga diri priyayi—bangsawan.
Ya, untuk apalagi? Untuk apalagi?
Semua sudah terlanjur terjadi. Saya
tidak menyalahkan siapapun, sebab tidak ada yang bisa dipersalahkan. Semua
tetap pada porsinya. Prasetyo Yuwantoro berporsi sebagai lelaki yang menggebu
cintanya hingga ia lupa akan posisinya sebagai keturunan ningrat dan melakukan
kesalahan sebagai orang timur, putra bangsawan yang mempunyai adat-istiadat
yang harus dipatuhi—menikah tanpa izin.
Sedangkan orang tua Prasetyo
berporsi sebagai penanggung kecewa atas perbuatan anaknya yang tidak bisa
berjalan di atas garis normanya. Bapak dan ibunya ‘kisinan’—malu, terhadap
kenekatan anaknya yang melenceng dari jalur yang telah digariskan.
Untuk apalagi? Ya, untuk apalagi?
Anne seperti ingin bicara: apakah
harus mati lebih dulu, baru kakek dan
nenek akan datang, memaafkan papa dan mamanya?
*
Sakdawa-dawane burung ya tetep dawa lurung.
Cinta seorang anak hanya sepanjang galah, cinta orang tua sepanjang jalan.
Ya, saya setuju. Makanya kini saya
ingin membuat ungkapan itu sedikit terbalik. Sudah ada masanya emansipasi cinta
anak terhadap orang tua. Tidak melulu orang tua yang selalu berkorban demi
anaknya. Sejahat apapun anak pada orang tua, tetap saja orang tua memaklumi.
Mungkin anak-anak mereka belum dewasa. Tolong resapi kalimat di ats dengan
pemaknaan yang lebih mendalam dari biasanya.
Apa yang sudah kita berikan pada
kedua orang tua?
Sedangkan orang tua banyak sekali
memberikan kita segalanya agar tetap hidup, bertahan hidup sampai pada detik
ini. Mengapa kita tak berusaha memberikan apa-apa yang membuat mereka bahagia?
Orang tua memang tidak meminta balas
budi, tetapi sebagai seorang manusia apakah kita tidak mau membalas perbuatan
baik mereka? Paling tidak melakukan apa-apa yang membuat mereka gembira,
bangga. Kita boleh menentang apa keinginan orang tua yang tidak baik—menjadi
gembong rampok misalnya—tetapi menuruti kemauan bapak atau ibu yang menginginkan
anaknya masuk ke Kedokteran padahal kita sukanya di Seni Rupa apa salahnya?
Anak yang baik dan yang saya acungi
jempol adalah mereka yang mau menyimpan kemauan sendiri—kemudian mewujudkan
cita-cita tersebut belakangan hari—adalah lebih tertata emosinya daripada
mereka yang lari dari rumah dan mewujudkan keinginan itu. Meskipun berhasil,
pasti merasa ada yang kurang karena mengecewakan orang tua.
Saya akan memilih sekolah di
Kedokteran dulu, setelah lulus bisa saja kita sekolah di Seni rupa, atau kalau
tidak, kita bisa mempelajari Seni rupa ketika kita menempuh studi di
Kedokteran. Bukankah kesenangan pada seni akan tetap terasa senang menjalani
dan mempelajarinya meski harus lain waktu?
Spesifikasi atau konsentrasi bidang
tertentu tidak menjamin seseorang akan menekuni pula konsentrasi tersebut—sebab
terbentur oleh realita. Sarjana ekonomi bisa saja menguasai ilmu politik dan
menjadi pengacara karenanya—karena permasalahan terdesaknya ekonomi contohnya.
Tapi apakah salah bila seorang dokter bisa juga menjadi seorang perupa,
pelukis?
Justru kita mempunyai keahlian dan
kepuasan tersendiri ketika tahu-tahu kita lulus kedokteran sekaligus bisa
menguasai seni rupa dengan belajar otodidak (dan kita lebih menguasai
prakteknya dibanding dengan orang yang studi sendiri di bidang tersebut). Ya,
ketika itu kita tidak bisa menyalahkan siapa-siapa lagi. Kita juga bisa menjadi
orang yang berhasil menata emosi saat menyadari bahwa kemarin-kemarin jika
tetap memaksakan kehendak, mungkin akan berhasil, tapi tidak menguasai dua
bidang sekaligus dan paling tidak kedua orang tua sudah kita buat sakit hati,
kecewa, dan sebagainya.
Hal ini terdengar ‘sok’, tapi ketika
menjalaninya sendiri, kita akan tahu rahasia apa yang ada di balik
ketidaksukaan tersebut dengan cara berkompromi—menjalaninya. Meskipun hal
tersebut tidak bisa kita bandingkan dengan pernikahan, kita tidak boleh
‘mendua’ seperti kita juga mendua belajar kedokteran sekaligus seni rupa. Itu
hanya sebuah per-mi-sa-lan!
*
Dalam hidup, kita harus saling memberi dan
menerima. Dengan begitu akan terjadi suatu ikatan.
Manusia adalah makhluk sosial, tidak
dapat hidup sendiri tanpa orang lain. Tidak ada penjelasan apapun mengenai kalimat
di atas, karena sangat jelas. Intinya memang satu: memberi dan menerima, tetapi
pengejawantahannya dalam hidup begitu kompleksnya. Bisa diartikan sebagai
tolong-menolong, hormat-menghormati, bersikap adil dan sebagainya.
Jika kita tak mau diganggu orang
lain, maka kita pun jangan mengganggu orang lain. Jika kita menginginkan hidup
tentram bertetangga, kita jangan membuat kebisingan yang mengganggu jam tidur
siang agar kita tidak dilabrak karena membuat kebisingan tersebut. Jangan
menginginkan kebiasaan diri, rutinitas keluarga juga diterima dalam kebiasaan
dan rutinitas tersebut ke dalam kebiasaan dan rutinitas sosialisasi di luar
keluarga dan diri sendiri.
*
Saya tidak akan mengambil apa yang telah saya
berikan. Begitu pula dengan apa yang sudah terjadi selama ini.
Kedengaran ‘gentle’ dan saya sangat
suka itu. Seperti kalimat di atas, kalimat ini tidak usah dengan susah payah
memaknainya kita pun sudah tahu apa maksudnya. Orang yang berfikiran demikian adalah
seseorang yang prinsipil, segala yang diperbuatnya harus dapat juga ia
pertanggungjawabkan.
Bukankah demikian seorang ksatria
yang tidak gagah-gagahan dengan adu otot dan otak saja, tetapi juga adu
rasa—perasaannya?
Benar kata Anne, bahwa apa yang
telah terjadi tidak dapat diulangi. Bisa diulangi, kecuali dalam benak dan hati
masing-masing individu. Itu pun tidak sepenuhnya, hanya terbatas pada
siluet-nya saja.
Kalau tidak mau kecewa, ya harus
berusaha semaksimal mungkin. Jika akhirnya kecewa juga, berusahalah untuk
kembali ke keadaan normal lagi. Tapi jangan pernah menyesal. Kecewa boleh, tapi
jangan sampai menyesal. Mengapa harus menyesal jika masa lalu yang indah-indah
terlewat begitu saja? Mengapa harus menyesal pada masa lalu kita yang kelam?
Semua sudah diskenario memang.
Tetapi berusaha memperbaiki skenario apa salah? Tidak, bahkan wajib. Sebab saya
tidak suka ada orang yang terlarut dalam dunia-dunia yang ia ciptakan sendiri.
Boleh terlarut, tapi segera bangkit lagi saja. Hal ini saya anggap sangat
manusiawi.
Kenangan memang tak terhapuskan,
bahkan yang paling pahit sekalipun. Kenangan adalah milik manusia yang tidak
bisa diambil, dicuri atau direbut oleh phak lain. Manusia bisa dikurung atau
dipenjarakan, tetapi kenangan tak dapat dibelenggu. Di mana pun manusia berada,
kenangannya akan bersamanya. Selalu. Miliknya pribadi yang tak dapat
dipisahkan.
*
Kalau membatik, bukan hanya melukiskan malam
pada kain. Tapi apa yang ada dalam pikiran dan perasaan—kita tumpahkan dengan
sepenuh hati.
Tidak hanya membatik. Tetapi di
segala bidang penciptaan, pekerjaan, dan hubungan antar manusia. Seperti juga
sastrawan—penulis hampir sama seperti seorang pembatik. Tidak hanya sekedar
menulis, tetapi menulis yang berdasarkan pikiran, perasaan, dan kemanusiaannya
sebagai manusia.
Kalau menulis hanya menulis, namanya
mesin penulisan. Hal itu bisa dilakukan oleh percetakan, mesin foto copy
misalnya. Begitu pula dengan batik. Batik yang hanya membatik dan hasilannya
adalah berupa batikan saja, tidak usah membuat batik tulis, tetapi ada yang
disebut batik cap, bukan? Begitu pula seorang penulis—plagiat namanya jika
seseorang anya menulis, bisa juga menyalin, bukan?
*
Sudah cukup saya tahu kamu mencintai saya,
Satrio. Kita tidak perlu mengulangi sejarah. Seperti papa, kamu pun bisa
terbuang dari keluarga. Sejarah itu tidak perlu terulang.
Saya sangat menyukai pendirian Anne.
Seorang perempuan karier yang berprinsip, meskipun fisiknya lemah, mampu
bertahan hidup dengan semampunya dia. Meski akhirnya meninggal dunia karena
kanker, tetapi sisa kehidupannya tidak sia-sia begitu saja. Tetapi ia gunakan
untuk membahagiakan orang-orang yang ingin bahagia.
Cinta segitiga antara Anne, Satrio,
dan Ratih (gadis yang pilihan orang tua Satrio) memang harus ada yang mengalah.
Hubungan perasaan hanya ‘hak’ atau dibenarkan jika dijalani oleh dua hati saja.
Jika ada pihak lain datang, maka harus ada salah satu di antara mereka yang
harus hengkang. Meskipun ada poligami, tetapi hubungan normal adalah tetap
hubungan dua insan yang saling memiliki.
Menurut saya, bukan cinta namanya
jika bukan saling memiliki. Hubungan Anne endingnya pun bukan cinta menurut
saya, tetapi perasaan kasih yang terbangun sejak kecil, juga cinta mereka
saling berjauhan. Mencintai dari jauh saja.
Anne tahu diri dan tahu posisi. Apa
yang terjadi pada orang tua mereka tidak mau ia ulangi. Meski dengan cara yang
berbeda dalam menjalani hubungan, tapi dasarnya tetap sama: perkawinan antar
budaya yang berbeda yang saat itu baru konflik. Kaum keturunan Belanda tidak
diterima kehadirannya oleh pribumi. Jika hal ini dilanggar, maka mereka akan
diasingkan, tersingkirkan oleh keluarga dan masyarakatnya. Seperti halnya papa
Anne—Prasetyo Yuwantoro yang tersingkir dari keluarga besar Yuwantoro dan papa
Anne tersebut tidak memakai gelar kebangsawanan ayah kandungnya tetapi gelar
kebangsawanan kakeknya: Brotodiningrat.
Anne sudah puas dengan ia mengetahui
bahwa cintanya tidak bertepuk sebelah tangan. Perasaan kasihnya itu tidak mampu
menolak permintaan Satrio untuk memberikan izin padanya untuk menikahi Ratih, saat
Anne bilang tak bisa mencintainya meski sangat cinta padanya. Lagipula Anne
sadar kalau hidupnya sudah tak lama lagi. Remuk hatinya itu berklimaks ketika
Satrio menikahi Ratih. Bersamaan dengan hari perayaan pernikahannya tersebut,
Anne meninggal karena penyakitnya semakin parah.
*
Film ini membuat saya belajar sangat
banyak dari peristiwa di dalamnya. Kehidupan di dalam cerita tersebut patut
saya ambil suri teladannya. Apalah arti sebuah peristiwa jika setelahnya tidak
dipelajari dan menjadi cermin evaluasi?
No comments:
Post a Comment