SOROTAN TERHADAP DIKSI
YANG DIGUNAKAN RATIH SANG
DALAM KUMPULAN PUISI SURAT UNTUK AYAH
Karya sastra merupakan karya imajinatif, menggunakan
medium bahasa yang unsur-unsurnya
dominan. Maka perlu adanya penilaian atau kritik yang menunjukkan nilai seni karya
sastra tersebut. Karya sastra juga mempunyai struktur yang dinamis melalui para
penafsirnya di sepanjang zaman. Maksudnya berubah-ubah menurut tanggapan para
pembaca yang menafsirkannya.
Karena karya sastra terjalin dari bahan-bahan dan
unsur-unsur pembentuk sebagai suatu kesatuan dan keseluruhan, maka penilaiannya
pun harus mampu memenuhi kriteria estetik dan kriteria ekstra estetik. Kriteria
estetik dikenakan pada struktur estetik yang dapat menimbulkan pengalaman
estetik. Sedangkan kriteria ekstra estetik dikenakan pada unsur atau
‘bahan-bahan’ karya sastra yang berupa kata-kata dan tingkah laku manusia yang
dikemukakan, ide atau gagasan dan sikap-sikap manusia.
Semuanya itu termasuk bahasa di luar karya sastra;
tetapi dalam suatu puisi yang baik dan berhasil, bahan-bahan tersebut terjalin
dalam hubungan-hubungan bermacam-macam oleh dinamika-dinamika tujuan estetik.
Struktur-struktur estetika itu tersusun untuk mendapatkan nilai estetik karya
sastra. Seperti pemilihan kata yang tepat, kombinasi kata atau kalimat yang
menimbulkan efek puitis, penyusunan alur, kebaruan dan kemampuan untuk membuat
pembaca terpesona.
Baru-baru ini [belum ada satu bulan] penulis menemukan
satu buku kumpulan puisi yang memuat—tidak hanya kaya akan unsur
batiniah—tetapi juga pilihan kata atau diksi yang digunakan yang begitu
sugestifnya ketika dibaca oleh pecinta sastra, khususnya puisi. Kumpulan puisi
tersebut ditulis dan baru Desember 2006 di-launching-kan
oleh penyairnya yang merupakan mantan Top Model era 90-an Ratih Sanggarwati
yang kini terkenal menekuni bidang syiar agama Islam di berbagai kesempatan.
Ternyata Ratih Sanggarwati yang lebih populer dengan nama
panggilan Ratih Sang ini menggunakan puisi sebagai salah satu media syiarnya.
Bisa ditebak, puisi-puisinya pun banyak bertema atau berisi hal-hal berbau
religi, ketaqwaan dan keimanan pada Tuhan.
Dalam kumpulan puisi Ratih Sang tersebut penulis
tertarik pada tiga puisi yang penulis anggap tidak hanya mempunyai nilai
estetis tetapi juga terdapatnya ketepatan dalam pemilihankata-kata atau diksi,
kombinasi kata atau kalimat yang menimbulkan efek puitis hingga seorang hamba
seakan-akan memiliki kedekatan jarak yang sangat tipis sekaligus terasa ada totalitas
kepasrahan seorang manusia terhadap Tuhannya. Ketiga puisi itu berjudul Imajiner Doa, Kami Ingin di Sini dan Kau
Bukan Israil yang penulis sertakan dalam tulisan ini beserta analisisnya
berikut:
Imajiner Doa
Doa yang kupanjatkan ketika aku masih gadis
“Ya Allah, beri aku calon suami yang baik, yang sholeh
beri aku suami yang dapat kujadikan imam dalam
keluargaku”
Doa yang kupanjatkan ketika selesai menikah
“Ya Allah, beri aku anak yang sholeh dan sholehah,
agar mereka dapat mendoakanku ketika nanti aku mati
dan menjadi salah satu amalanku yang tidak pernah putus”
Doa yang kupanjatkan ketika anak-anakku lahir
“Ya Allah, beri aku kesempatan menyekolahkan mereka di
sekolah Islam yang baik meskipun mahal, beri aku rizki
untuk
itu… ya Allah”
Doa yang kupanjatkan ketika anak-anakku sudah mulai sekolah
“Ya Allah, jadikan dia murid yang baik sehingga dia
dapat
bermoral Islami, agar dia bisa katham Al Quran pada usia
muda”
Doa yang kupanjatkan ketika anak-anakku sudah beranjak dewasa
“Ya Allah, jadikan anakku bukan pengikut arus
modernisasi
yang mengkhawatirkanku. Ya Allah, aku tidak ingin ia
mengumbar auratnya, karena dia ibarat buah yang sedang
ranum”
Doa yang kupanjatkan ketika anak-anakku menjadi dewasa
“Ya Allah, entengkan jodohnya, berilah jodoh yang sholeh
pada mereka, yang bibit, bebet, bobotnya baik dan sesuai
setara
dengan keluarga kami”
Doa yang kupanjatkan ketika anakku menikah
“Ya Allah, jangan kau putuskan tali ibu dan anak ini,
aku takut
kehilangan perhatiannya dan takut kehilangan dia karena
dia
akan ikut suaminya”
Doa yang kupanjatkan ketika anakku akan melahirkan
“Ya Allah, mudah-mudahan cucuku lahir dengan selamat.
Aku inginkan nama pemberianku pada cucuku, karena aku
ingin memanjangkan teritoria wibawaku sebagai ibu dari
ibunya cucuku”
Ketika kupanjatkan doa-doa itu, aku membayangkan Allah tersenyum dan
berkata,
“Engkau ingin suami yang baik dan sholeh, sudahkah
engkau
sendiri baik dan sholehah. Engkau ingin suamimu jadi
imam,
akankah engkau jadi makmum yang baik?”
“Engkau ingin anak yang sholehah, sudahkah itu ada
padamu
dan pada suamimu. Jangan egois begitu…masak engkau ingin
anak yang sholehah hanya karena engkau ingin mereka
mendoakanmu…tentu mereka menjadi sholehah utama
karenaKu, karena aturan yang harus mereka ikuti haruslah
aturanKu”
“Engkau ingin menyekolahkan anakmu di sekolah Islam, karena
apa…prestige…atau engkau tidak mau direpotkan dengan
mendidik Islam padanya”
“Engkau, juga harus belajar, engkau juga harus bermoral
Islami,
engkau harus juga belajar Al Quran dan berusaha
mengkhatamkannya”
“Bagaimana engkau dapat menahan anakmu tidak menebarkan
pesonanya dengan mengumbar aurat, kalau engkau sebagai
ibunya jengah untuk menutup aurat. Sementara engkau tahu
aku wajibkan itu untuk keselamatan dan kehormatan umatKu”
“Engkau bicara bibit, bebet, bobot untuk calon
menantumu,
seolah engkau tidak percaya ayat 3 dan 26 surat An Nur dalam
Al QuranKu. Percayalah kalau anakmu dari bibit, bebet,
bobot
Yang baik maka yang sepadanlah yang dia akan dapatkan”
“Engkau hanya mengandung, melahirkan, dan menyusuinya
Aku yang memiliki dia saja, Aku bebaskan dia dengan
Kehendaknya. Aku tetap mencintainya, meski dia berpaling
dariKu, bahkan ketika dia melupakanKu. Aku tetap
mencintainya”
“Anakmu adalah
amanahmu, cucumu adalah amanah dari
anakmu, berilah anakmu kebebasan untuk melepaskan busur
anak panahnya sendiri yang menjadi amanahnya”
Lantas…aku malu…dengan imajinasiku sendiri…
aku malu…aku malu akan tuntutanku.
Maafkan aku ya Allah…
lantas aku malu dengan imajinasiku sendiri.
Kami
Ingin di Sini
Ketika kami berthawaf-wada
Hati kami membisu…
Hanya airmata yang terus menetes
Tak hendak berhenti
Bagaimana mungkin
Kami sanggup mengucapkan selamat tinggal
Pada rumahMu, yang entah kapan…
Kami bisa datangi lagi
Bagaimana mungkin kami sanggup
Menguntai kerinduan yang menghampar
Di depan mata kami…
Kerinduan untuk bercinta denganMu
Dengan mendesahkan namaMu
Dengan merajuk padaMu
Dengan merengek memintaMu
Ah...tak sanggup rasanya…
Melangkahkan kaki menjauhi rumahMu
Tapi kami harus melangkah…
Harus melangkah
Ke tempat di mana kami harus menerapkan
Semua yang kami lakukan di rumahMu
Berthawaf, bersa’i
Mensyukuri rizki zam-zammu
Ya…kami toh tetap melangkah menjauhimu
Airmata bukan berhenti tetapi semakin menjadi
Layaknya bak hamba yang patah hati
Kami susah melukiskan kegundahan ini
Ya…kami tak ingin pulang
Kami tak ingin jauh dari rumahMu yang penuh berkah
Ya…ya…kami ingin di sini
Di sini…
Dan…
Terus di sini…
Kau Bukan Israil
Jangan kau aniaya badanmu
Selain kau mendapatkan izin
Dari yang menciptakan badanmu karena Dia
menciptakan
Badanmu selama 9 bulan 10 hari
Agar ragamu sempurna
Kesempurnaan…
Tidak hanya jari lima di satu tangan
Tidak hanya dua mata, satu hidung, satu
mulut dalam satu wajah
Tetapi lebih daripada itu
Kesempurnaan milyaran sel dan ratusan
alat-alat
Dalam ragamu yang membuat hidup
Kesempurnaan itu begitu paripurna
Tak akan pernah bisa terbayangkan
Cara membuat kesempurnaan itu
Apalagi mencoba melakukannya
Jangan kau aniaya dan coba paksa lepas dari
ruhmu
Karena ruh diciptakan olehNya
Jauh sebelum ragamu terciptakan
Ruhmu tersimpan dalam arsyNyadan hanya
Dialah yang berhak meminta keluar dari ragamu
Begitu cintanya Dia padamu
Tak tega mencabut nyawamu
Dia mengirimkan malaikat Israil untuk
mengambilnya
Jangan kau putuskan asamu
Asa itulah yang membedakanmu
Dengan makhluk lain yang juga bernyawa
Apalagi untuk alasan yang tak terlalu
berharga
Karena yang berharga adalah
Cintamu pada Allah
Yang tanpa izinNya jantangmuu tak berdenyut
Yang tanpa RahmanNya, matamu tisak bisa
berkedip
Yang tanpa RahimNya, engkau tak bisa
Memelihara anak-anakmu dalam rahimmu
Janganlah kau putus asa
Karena Allah tak pernah putus asa
Untuk mengharapkan engkau menghamba padaNya
Meski kau dalam lupa
Meski kau dalam khianat
Dia tetap mengharapkanmu
Kata-kata yang digunakan oleh Ratih Sang hanya kata-kata
biasa. Hanya saja kelihaiannya menguntai kata-kata dalam bait-bait puisinyalah
yang membuat ketiga puisi tersebut berhawa puitis, liris, dan mengandung makna
yang sufistis. Puisi-puisi tersebut juga mempunyai kekuatan untuk menarik
pembaca untuk membaca sekaligus menyela ke dalam samudra tuah, nasehat dan
amalan sholeh [seperti yang disebutkan dalam Islam] yang tiada akan berbatas
hanya sekali menyelam.
Lihat saja pada puisi Imajiner Doa. Dalam puisi tersebut kita akan mendapatkan nasehat
untuk tidak menjadi manusia yang hanya bisa menuntut untuk diberi tanpa mau
memberi, ingin terus diperhatikan dan dipahami kondisi-kondisi kekurangannya
tanpa mau mempedulikan apakah dirinya sendiri telah melakukan hal yang sama
atau tidak.
Doa-doa yang dipanjatkan dalam Imajiner Doa yang berisi keinginan-keinginan untuk dikabulkan yang
juga biasa diucapkan kita, manusia, yang juga pembaca, ditegur dan diingatkan Tuhan
dengan pertanyaan ‘balasan’ dari Tuhan melalui imajinasi ‘Aku’ lirik [aku yang
ada di dalam puisi].
Teguran tersebut dapat dilihat pada bait 9 hingga bait
16. Tuhan mengingatkan ‘aku’ atas keinginan-keinginannya. Segala sesuatu yang
dituntut haruslah ditelisik dahulu, apakah pantas untuk diminta dan benar-benar
dibutuhkan permintaan-permintaan itu sedangkan selama itu pula, ‘aku’ tidak
melakukan apapun. Puisi Imajiner Doa juga
mengajarkan bagi kita untuk menuntut hak setelah melaksanakan apa yang menjadi
kewajiban-kewajiban kita.
Puisi Imajiner Doa
seperti ingin berkata: “Kita meminta pada Tuhan, meskipun Ia tempatnya
meminta, tapi apa yang sudah kita perbuat dan berikan pada Tuhan sebagai
balasan dari curahan kasih, rahmat, berkat, serta pengabulan doa kita?”
Dapat dilihat dari puisi Imajiner Doa di atas bahwa kata-kata yang terjalin menjadi padu
menimbulkan efek puitis hingga pembaca bisa ‘masuk’ dan larut ke dalam
dendangannya. Pembaca seolah-olah mempunyai ‘hubungan’ intim dengan Tuhannya. Komunikasi
selayaknya antara anak yang sedang meminta sesuatu kepada orang tuanya.
Dari bait ke bait terasakan jalinan berkesinambungan
yang menimbulkan keengganan untuk tidak membaca puisi tersebut sekali lagi,
sekali lagi, dan terus sekali lagi. Repetisi [perulangan] kata atau bahkan
kalimat tampaknya salah satu teknik yang digunakan Ratih Sang dalam menggubah
puisinya hingga menimbulkan kelirisan seperti alunan irama yang tidak hanya
membangkitkan kepulasan mata batin, tetapi juga mengasah keinsafan yang selama
ini menumpul.
Repetisi tersebut terlihat pada kata: Doa yang kupanjatkan dan Ya Allah yang bila dibaca nyaring maupun dengan suara yang biasa saja, akan
diperoleh nuansa yang sendu, lirih, heningm penuh kekhusyukan. Sedangkan
repetisi kata tanya: sudahkah justru
menghenyakkan sekaligus membuyarkan kekhusyukan tersebut.
Repetisi yang merupakan penekanan pada kata-kata
tertentu untuk mendapatkan nuansa makna pun ada di dalam puisi Kami Ingin di Sini. Dalam puisi tersebut
kita, para pembaca, akan mendapati kepasrahan, ketafakuran, sujud simpuh penuh
syukur atas anugerah Ilahi kepada hambaNya.
Repetisi kata-kata atau diksi tersebut dapat dilihat
pada kata: air mata, bagaimana mungkin,
kami, dengan, dan di sini. Tidak
hanya efek puitis yang didapat, tetapi juga nuansa syahdu yang benar-benar
dibangkitkan dari sarangnya melalui musikalisasi alam yang merupakan ciptaan
original, asli dari tangan Tuhan.
Kita bisa membayangkan kesyahduan dan kekhidmaan
perasaan lewat doa untuk tetap tinggal di Baitullah ketika di sekeliling kita berjuta
manusia hiruk-pikuk berlalu-lalang di sekitar kita? Rasanya seperti merasakan
kesedihan dan kesepian di dalam keramaian, kita sedih tapi orang lain hanyut
dalam perasaan masing-masing yang tidak jarang bersuka cita.
Sedangkan kita akan menemukan petuah untuk tidak
berputus asa dalam hidup dan menjauhkan diri dari perbuatan menyakiti badan
sendiri serta tindakan bunuh diri dalam puisi Kau Bukan Israil. Puisi tersebut menghimbau sekaligus
memperingatkan pada manusia bahwa badan dan segala sesuatu yang dapat
membuatnya hidup itu sebenarnya bukan miliknya, bukan haknya. Tetapi merupakan
titipan Tuhan agar dijaga dan dapat dimanfaatkan untuk hal-hal kebaikan, dan
Tuhan pun berhak mengambil apa yang telah dititipkan itu sewaktu-waktu.
Tidak jauh berbeda dengan dua puisi yang telah penulis
dibahas di atas, dalam puisi Kau Bukan
Israil ini pun terdapat repetisi atau perulangan kata yang tidak hanya
menimbulkan efek puitis, tetapi juga mempunyai penyampai peringatan untuk tidak
berputus asa dan melakukan tindakan membunuh diri sendiri khususnya, dan orang
lain pada umumnya. Repetisi tersebut terutama ‘dibawa’ oleh kata: jangan kau aniaya dan asa.
Puisi ini merupakan puisi yang dapat menggugah kesadaran
kita bahwa kita, manusia, hanya secuil makhluk ciptaan di antara ciptaan Tuhan
yang lainnya. Selain itu, ada kabar gembira pada manusia bahwa ternyata nasib
itu berbeda dengan takdir. Nasib kehidupan manusia itu dapat kita tentukan
sendiri, ada di tangannya sendiri, sedangkan takdir ada mutlak di tangan Tuhan.
Hal inilah yang akan dijadikan ‘alat’ pemacu spirit atau semangat manusia untuk
terus berusaha memperbaiki diri dan berlomba menjadi insan-insan terpilih di
dunia dan di akhirat.
Hanya saja yang sedikit membuat penulis kecewa ada pada
bait terakhir dalam puisi Kau Bukan
Israil ini. Pemilihan kata yang digunakan Ratih Sang dapat saja memicu
kontra atau ‘amuk’ massa
pada sebagian pemeluk agama dan kepercayaan tertentu.
Bait terakhir yang berbunyi: Janganlah kau putus asa/Karena
Allah tak pernah putus asa/Untuk
mengharapkan engkau menghamba padaNya/Meski
kau dalam lupa/Meski kau dalam
khianat/Dia tetap mengharapkanmu bisa
saja menimbulkan salah pemahaman. Kunci kesalahpahaman itu khususnyab ada pada
kata mengharapkan.
Hal tersebut disebabkan oleh adanya anggapan di antara orang-orang
yang percaya bahwa sebenarnya Tuhan tidak mengharapkan untuk disembah, dipuja,
atau dihormati karena Tuhan sendiri itu sudah Maha Segalanya. Tuhan punya
segalanya, dan tidak membutuhkan apapun termasuk sembahan, kebaktian, atau
penghormatan dari siapapun termasuk manusia.
Tuhan mempunyai kehormatan melimpah ruah dalam ‘gudang’ karena
Ia Maha Pencipta segala sesuatunya, termasuk menciptakan kehormatan. Tuhan
tidak mengharapkan manusia menghamba padaNya, seperti yang disebutkan dalam
puisi Kau Bukan Israil, tetapi
memerintahkan manusia untuk bertakwa dan beriman kepadaNya.
Penulis menekan sekali lagi bahwa Tuhan tidak
mengharapkan menghamba, tetapi bertakwa dan beriman kepadaNya. Keimanan dan
ketaqwaan manusia itu bukan demi kepentingan pribadi Tuhan, tetapi demi
kepentingan manusia itu sendiri agar hidupnya jauh terhindar dari perbuatan
yang merugikan di dunia maupun di akhirat. Hendaknya Ratih Sang mengetahui dan
memahami hal ini, dan menyadari bahwa ada orang-orang yang mempunyai keyakinan
atau kepercayaan yang demikian sebelum memilih kata apa yang tepat untuk
puisinya tersebut.
Lepas dari permasalahan di atas ketiga puisi tersebut
mempunyai interpretasi yang ibaratnya: “tidak usah diinterpretasikan pun,
pembaca akan langsung memahami apa maksud yang dibawa oleh puisi”. Hal ini
disebabkan oleh penggunaan pilihan kata atau diksi yang mudah dipahami oleh
penyairnya. Sebagian besar tingkatan umur, dari anak-anak, dewasa, hingga orang
tua, dapat menikmati puisi ini dengan langsung tanpa membutuhkan interpretasi
yang berat dan membuat dahi berkerut.
Selain itu, puisi-puisi di atas atau puisi lain
di dalam kumpulan puisi Surat Untuk Ayah seakan-akan
menjadi salah satu media penyampai pesan dari penyairnya, Ratih Sang, yang
ingin menunjukkan bahwa kekuasaan yang dimiliki oleh Tuhan sangat hebat.
Puisi-puisi tersebut juga memberitahukan pada kita, manusia, betapa besarnya
kasih sayang yang diberikanNya pada manusia dan bagaimana cara manusia
mensyukuri serta menjaga apa yang telah dikaruniakan Tuhan kepadanya.
No comments:
Post a Comment