Masalah penafsiran
dalam menggeluti karya sastra adalah masalah dasar dalam khasanah
teori dan kritik sastra. Kehadiran berbagai pendekatan untuk pemahaman
karya sastra seperti Semiotik; Strukturalisme; Sosiologi Sastra; Estetika
Resepsi; Fenomenologi; Hermeunetik, dan sebagainya dapat membantu juru
tafsir untuk menelaah dan menafsirkan arti/makna karya
sastra.
Penafsiran merupakan
bekal utama untuk apresiasi, kririk, dan pengajaran karya-karya
sastra sehingga pembaca mampu menginternalisasikan
nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Jadi, di satu sisi dituntut pemahaman tentang cara penafsiran yang cukup
komprehensif, di sisi lainnya dituntut pembacaan
karya sastra sebanyak dan semendalam mungkin. Tumbuh dan
berkembangnya wawasan sastra hanya bisa dicapai
dengan menumbuhkembangkan strategi penafsiran dan pembacaan karya
sastra secara terus menerus.Berbagai teori dan pendekatan dalam upaya
penafsiran sebuah karya sastra agar menjadi lebih jelas maknanya bagi
pembaca dalam menginternalisasikan nilai-nilai yang terkandung dalam
sebuah karya sastra pernah dikembangkan oleh antara
lain: T.S. Kuhn; Roman Jakobson; Gerald Prince; Edmund Huserl
dan Roman Ingarden; Wolfgang Iser, Hans Robert Jauss, Stanley Fish,
Riffaterre, Jonathan Culler, dll.
Soal pembaca bagi sebuah Teori Ahli filsafat, T.S. Kuhn memperkuat
keraguan kepada teori Relativitas Einstein yang mengungkapkan
bahwa pengetahuan objektif secara sederhana adalah sebuah
penumpukan fakta yang keras dan progresif. Kuhn berpendapat
bahwa apa yang muncul sebagai fakta dalam ilmu
pengetahuan tergantung pada rangka referensi yang
dibawa pengamat ilmu pengetahuan terhadap objek pemahaman. Memakai analog
Psikologi Gestalt dan model komunikasi Teka-teki
Bebek-Kelinci dan Komunikasi Linguistik Roman Jakobson, ia yakin
bahwa pengamat adalah berperan aktif dalam rangka pemahaman suatu karya
sastra. Artinya, hanya pengamatlah yang mampu memutuskan dan mengambil
simpulan paling tepat atas suatu teks maupun berbagai kode yang ada dalam
suatu karya sastra. Ahli sastra lain, Gerald Prince, bahkan lebih rumit
lagi membedakan posisi pembaca dengan naratee. Ia menginginkan sang
naratee(si diceritai) berdiri secara khusus berdasarkan jenis kelamin, kelas, situasi,
ras bahkan umur. Akibatnya, efek teori Prince adalah
menyoroti dimensi penceritaan yang telah dimengerti secara intuitif
oleh para pembaca, tetapi masih tetap kabur dan tidak pasti. Ia
menekankan pada cara yang ditempuh pencerita(sang naratif)
untuk menghasilkan pembaca atau pendengarnya sendiri, yang mungkin atau tidak
mungkin bersamaan dengan pembaca nyata.
A Teeuw dalam buku Sastra dan Ilmu Sastra (1984:43)
menelaaah berbagai pendekatan dalam apresiasi sastra uintuk
memahami karya sastra," Sastra sebagai model semiotik tidak
dapat diteliti dan dipahami secara ilmiah tanpa
mengikutsertakan aspek kemasyarakatannya, yakni sebagai
tindak komunikasi." Ia menyebut berbagai model
pendekatan dalam mengapresiasi karya sastra sehingga turut memperkuat
fakta bahwa karya sastra merupakan sesuatu yang kaya akan makna, sehingga
tidak mudah didekati hanya dengan satu pendekatan saja.
Beberapa pendekatan yang dibutuhkan dalam apresiasi sastra seperti yang
dijelaskan Teeuw untuk para pembaca di antaranya yang sudah dikembangkan Umar Junus dalam pendekatan Pragmatik adalah pendekatan Resepsi sastra dari teori Iser (pembaca implisit) dan Hans Robert Jauss (horison harapan).Jauss menitikberatkan perhatiannya kepada bagaimana karya sastra diterima pada suatu masa tertentu berdasarkan horison penerimaan tertentu atau berdasarkan horison yang diharapkan. Karya sastra dapat hidup jika pembaca berpartisipasi dan dengan partisipasi pembaca itu, konteks sejarah terciptanya karya sastra bukan merupakan sesuatu yang faktual, tetapi hanya merupakan rangkaian peristiwa yang berdiri sendiri yang ujudnya terpisah dari embaca. Karya yang telah dipahami pembaca menjadi modal bagi resepsi. Proses resepsi menjadi perluasan semiotik yang timbul dalam
pengembangan dan perbaikan suatu sistem. Horison penerimaan mungkin
berubah (bahkan berkali-kali).
dijelaskan Teeuw untuk para pembaca di antaranya yang sudah dikembangkan Umar Junus dalam pendekatan Pragmatik adalah pendekatan Resepsi sastra dari teori Iser (pembaca implisit) dan Hans Robert Jauss (horison harapan).Jauss menitikberatkan perhatiannya kepada bagaimana karya sastra diterima pada suatu masa tertentu berdasarkan horison penerimaan tertentu atau berdasarkan horison yang diharapkan. Karya sastra dapat hidup jika pembaca berpartisipasi dan dengan partisipasi pembaca itu, konteks sejarah terciptanya karya sastra bukan merupakan sesuatu yang faktual, tetapi hanya merupakan rangkaian peristiwa yang berdiri sendiri yang ujudnya terpisah dari embaca. Karya yang telah dipahami pembaca menjadi modal bagi resepsi. Proses resepsi menjadi perluasan semiotik yang timbul dalam
pengembangan dan perbaikan suatu sistem. Horison penerimaan mungkin
berubah (bahkan berkali-kali).
Selanjutnya Jauss menyatakan bahwa pendekatannya bersifat parsial, tidak
menyeluruh karena hanya melakukan hubungan hari ini dengan "virtue"
sejarah. Resepsi hanya berklaitan dengan saat karya itu dibaca sehingga
terdapat konvergensi antara teks dan resepsi yang berupa dialog
antara subjek hari ini dengan subjek masa lampau. Tradisi
berperan penting dalam hal ini. Tradisi yang dimaksud
adalah wawasan yang mendasari resepsi yang dilakukan
pada saat tertentu.Jika resepsi Jauss mementingkan sejarah pada suatu
saat tertentu, maka Resepsi Iser bertitik tolak pada kesan(sebenarnya
pada tahap akhir teori Jauss juga disebut-sebut tentang kesan).
Iser mempermasalahkan konkretisasi karya sastra, yakni reaksi
pembaca terhadap teks yang diresepsi. Dalam resepsi
Iser, terdapat dinamika pembaca. Ia akan memilih satu
di antara berbagai kemungkinan realisasi, sehingga
tugas kritikus dalam pandangan Iser bukan menerangkan teks
sebagai objek, tetapi menerapkan efeknya kepada pembaca. Kodrat teks
itulah yang mengizinkan beraneka ragam kemungkinan pembacaan, sehingga
lahir pembaca implisit(pembaca yang diciptakan sendiri oleh teks
dirinya dan menjadi jaringan kerja struktur yang mengundang
jawaban, yang mempengaruhi kita untuk membaca dalam cara tertentu)
dan pembaca nyata (yang menerima citra mental tertentu dalam proses
pembacaan yang diwarnai oleh persediaan pengalaman yang ada). Dalam
resepsi Iser, ada hubungan teks dan pembaca. Hubungan itu
melalui tiga langkah, yakni 1. sketsa tentang suatu
teks yang membedakan dengan teks-teks sebelumnya; 2. pengenalan dan
analisis terhadap kesan dasar teks; dan 3. mencari kemungkinan
yang ada tentang makna karya satra. Karya sastra selanjutnya
memberi kesan kepada pembaca, sehingga teori Resepsi sastra Jauss dan
Iser tampaknya mendapat pengaruh Hermeunetika dari
Schleiermacher dan Gadamer.
Jika Jauss dan Iser berperan dalam resepsi sastra
yang memberi kesan kepada pembaca, Edmund Husserl, seorang ahli filsafat
modern terkenal dengan teori Fenomenologi-nya dalam kaitan antara karya
sastra dengan pembacanya. Teori fenomenologi menuntut untuk menunjukkan kepada
kita alam yang mengarisbawahi, baik kesadaran manusia maupun kesadaran
fenomena.Teori ini adalah usaha untuk menghidupkan ide(setelah zaman Romantik)
bahwa pikiran manusia individual adalah pusat dan asal semua arti.
Teori ini tidak mendorong keterlibatan subjektif secara murni untuk struktur
mental kritikus karena menggunakan berbagai lapis norma karya, tetapi
tipe kritik sastra yang mencoba masuk ke dalam dunia karya seorang
penulis dan sampai pada suatu pengertian tentang alam dasar atau intisari
tulisan sebagaimanatampak dalam kesadaran kritikus.
Ahli satra lain, kritikus Amerika yang bernama Stanley Fish menyodorkan
teori Stilistika Efektif yang memusatkan penyesuaian harapan yang dibuat pembaca ketika membaca teks, tetapi ia lebih menekankan pada rangkaian kalimatnya. Fish berpendapat bahwa pembaca adalah seseorang yang memiliki kompetensi linguistik yang telah memasukan pengetahuan sintaktik dan semantik yang diperlukan untuk membaca selain penguasaan kompetensi sastra secara khusus(konvensi bahasa dan konvensi sastra). Namun,Jonathan Culler, salah seorang murid Fish justru selain mendukung juga memberikan kritik atas pendapat Fish karena ia dianggap gagal meneorikan konvensi-jkonvensi pembacaan, yaitu ia gagal mengajukan pertanyaan,"konvensi-konvensi apa yang diikuti pembaca?" Selain itu, ia dianggap gagal pada tuntutannya atas pembaca kalimat perkataan demi perkataan dalam suatu pengurutan waktu itu menyesatkan( tidak ada alasan mempercayai bahwa para pembaca secara nyata membaca kalimat dan memecahkannya serta melakukannya sedikit demi sedikit secara bertahap).
teori Stilistika Efektif yang memusatkan penyesuaian harapan yang dibuat pembaca ketika membaca teks, tetapi ia lebih menekankan pada rangkaian kalimatnya. Fish berpendapat bahwa pembaca adalah seseorang yang memiliki kompetensi linguistik yang telah memasukan pengetahuan sintaktik dan semantik yang diperlukan untuk membaca selain penguasaan kompetensi sastra secara khusus(konvensi bahasa dan konvensi sastra). Namun,Jonathan Culler, salah seorang murid Fish justru selain mendukung juga memberikan kritik atas pendapat Fish karena ia dianggap gagal meneorikan konvensi-jkonvensi pembacaan, yaitu ia gagal mengajukan pertanyaan,"konvensi-konvensi apa yang diikuti pembaca?" Selain itu, ia dianggap gagal pada tuntutannya atas pembaca kalimat perkataan demi perkataan dalam suatu pengurutan waktu itu menyesatkan( tidak ada alasan mempercayai bahwa para pembaca secara nyata membaca kalimat dan memecahkannya serta melakukannya sedikit demi sedikit secara bertahap).
Selanjutnya Culler membuat teori pembacaan yang harus
mengungkap operasi penafsiran yang dipergunakan pembaca karena pembaca
yang berbeda akan menghasilkan tafsiran yang berbeda pula. Jadi,
menurutnya bermacam-macam penafsiran inilah yang harus
diterangkan sebuah teori meskipun hasil pembacaan akan berbeda artinya,
walaupun mengikuti perangkat konvensi penafsiran yang sama. Dampaknya, Culler
memberikan pendekatan yang mengizinkan suatu prospek sejati kemajuan teoritis.
Sedangkan Fish memberikan metode yang berguna, tetapi menutup
persoalan teori yang mendasar atau pendekatan Rifartere yang
menghasilkan sebuah baju pengikat yang teoritis. Rifartere memberikan
baju pengikat yang teoritis terutama pada bukunya Semiotics of
Poetry(1978), yang di dalamnya ia mengatakan bahwa pembaca yang
berkompeten melampaui arti permukaan. Ia penganut Formalis Rusia dalam
memandang puisi sebagai sebuah penggunaan bahasa yang khusus. Menurutnya,
diperlukan kompetensi linguistik biasa untuk memahami arti sebuah puisi,
tetapi pembaca juga memerlukan kompetensi sastra untuk menghadapi
ketidakgramatikalan yang sering dijumpai di dalam
pembacaan sebuah sajak. Sehingga ia mengajukan matrik
strutural/hipogram sebagai salah satu upaya pengujian
sebuah sajak sebagai satu kesatuan.
Sayangnya teori
Rifarterre ini memiliki banyak kesukaran bagi para
pembacanya, misalnya teori ini tidak mengizinkan beberapa jenis pembacaan yang kita pikirkan sepenuhnya secara "lurus saja.
pembacanya, misalnya teori ini tidak mengizinkan beberapa jenis pembacaan yang kita pikirkan sepenuhnya secara "lurus saja.
Sedangkan ahli lain dari dunia psikologi, yakni Norman Holland dan David
Bleich, yang telah menderevasi pendekatan teori pembacaan dari sisi
psikologi, memandang bahwa pembacaan sebagai suatu
proses yang memuaskan atau paling sedikit tergantung kepeda keperluan
psikologis pembaca. Buku Kritik Sastra Subjektif(1978) karya David
Bleich adalah satu bukti pendukung bahwa dalam pembacaan telah
terjadi pergeseran dari paradigma objektif ke paradigma
subjektif. Hal yang juga menjadi legitimasi atas teori khusus
Norman Holland bahwa setiap anak menerima kesan"identitas
pertama" dan orang dewasa menerima "identitas
tema".Artinya, ketika kita membaca suatu teks kita
memprosesnya sesuai dengan tema identitas secara
stabil. Jadi, kita mempergunakan karya sastra untuk melambangkan
dan akhirnya meniru kita sendiri. Kita menyusun kembali karya itu untuk
menemukan ciri strategi kita untuk menguasai ketakutan yang dalam dan
keingintahuan yang membentuk kehidupan psikis kita.
Ending
Teori yang berorientasi kepada pembaca, tidak mempunyai titik tolak filosofis yang tunggal atau utama. Para penulis teori di atas berasal dari tradisi pemikiran yang bermacam-macam. Jauss dan Iser serta Edmund Huserl tertarik pada Resepsi, Fenomenologi dan Hermeunetik dalam usahanya untuk menerangkan proses pembacaan dan hubungannya dengan kesadaran pembaca.
Teori yang berorientasi kepada pembaca, tidak mempunyai titik tolak filosofis yang tunggal atau utama. Para penulis teori di atas berasal dari tradisi pemikiran yang bermacam-macam. Jauss dan Iser serta Edmund Huserl tertarik pada Resepsi, Fenomenologi dan Hermeunetik dalam usahanya untuk menerangkan proses pembacaan dan hubungannya dengan kesadaran pembaca.
Rifartere
mensyaratkan pembaca yang memiliki kompetensi sastra yangkhusus.
Stanley Fish percaya bahwa para pembaca memberi respon pada pergurutan
perkataan dalam kalimat, apakah kalimat itu bersifat sastra atau tidak.
Jonathan Culler mencoba menetapkan penafsiran menurut teori Strukturalis yang
berusaha menyingkap kebiasaan-kebiasaan dalam strategi pembaca dan diakui
strategi yang sama dapat pula menghasilkan tafsiran yang berbeda. Norman
Holland dan David Bleich memandang pembacaan sebagai suatu proses yang
memuaskan atau paling sedikit tergantung kepada kepercayaan psikologis pembaca.
Umumnya teori-teori sastra yang berorientasi kepada pembaca menentang
keunggulan teori Kritik Sastra Baru dan Formalisme Rusia yang berorientasi
kepada teks karena tidak bisa berbicara tentang arti sebuah teks tanpa
memandang sumbangan pembaca kepadanya.Usaha pemahaman dan penafsiran
karya sastra adalah usaha konkretisasi karya sastra oleh pembaca.
Wawasan sastra yang dimiliki akan memungkinkanpemilihan metode yang
tepat untuk karya tertentu yang bersifat khas. Ada karya yang dapat ditelaah
dengan pendekatan tertentu dan ada juga yang melalui pendekatan
lainnya. Teori, metode, dan pendekatan itu dapat dipergunakan
secara komprehensif karena proses dari konkretisasi apresiasi karya
sastra berlangsung secara kemoprehensif pula, sehingga pembaca diusahakan agar
se
No comments:
Post a Comment