Di dalam dunia yang patriarki ini
mau tidak mau perempuan duduk di kursi ‘dingklek’
di dalam bumi lelaki. Tidak hanya kadang, tetapi sangatlah sering; perempuan diperlakukan
seperti binatang dan dijadikan umpan lelaki untuk meraih segala sesuatu yang
dikehendakinya.
Perempuan diekplorasi tidak hanya fisik, tetapi juga
psikisnya. Mau tidak mau mereka harus tunduk terhadap norma yang sebenarnya
dibuat untuk mengungkung keinginan dan pemikiran mereka. Yang membuat aturan
demikian tentunya pihak yang kuat, yaitu lelaki. Ironisnya, kaum perempuan
sendiri mengamini hal tersebut.
Masalah-masalah keperempuanan memang banyak diangkat ke
dunia fiksi menurut takaran peradaban yang melatarbelakangi kehidupan ketika
karya tersebut diciptakan. Takaran tersebut tentunya mengenai dunia
keperempuanan. Tetapi hanya beberapa dari karya-karya tersebut yang berhasil
mengangkat wajah-wajah perempuan beserta kehidupannya itu.
Di dalam prosa lirik Pengakuan
Pariyem; Dunia Batin Seorang Wanita
Jawa karya Linus Suryadi dan karya Okot p’Bitek yang berjudul Afrika yang Resah; Nyanyian Lawino dan
Nyanyian Ocol pun lagi-lagi dimunculkan bagaimana uprak-uprek kehidupan perempuan. Kedua karya tersebut dikemas dan ditampilkan
dalam bentuk tipografi nyanyian atau syair (puisi). Oleh karena itulah disebut
prosa liri(k)s.
Di dalam Pengakuan
Pariyem; Dunia Batin Seorang Wanita
Jawa Linus Suryadi berbicara tentang kekhasan wanita Jawa. Sebagai
perempuan Jawa Pariyem bersikap legowo
terhadap segala sesuatunya yang ia anggap sebagai takdir, nrimo ing pandum pada setiap yang ditakdirkan Tuhan itu sebagai
rezeki hidupnya. Meskipun ia hanya diposisikan sebagai abdi dalem kelas ‘mbek’
sekalipun, ia tetap ikhlas menjalankan peranannya tersebut.
Di dalam Pengakuan
Pariyem, jelas sekali adanya hegemoni majikan terhadap bawahannya. Tetapi
bawahan tersebut tidak menyadari apa yang telah dilakukan atasannya tersebutnya.
Inilah corak patrilineal yang turun-temurun hinggap hampir pada seluruh
peradaban manusia, dan perempuan kebanyakan dibuat tidak berdaya oleh hal
demikian.
Kebersahajaan dan kelas sosial Pariyem di dalam tulisan
Linus akan dapat memberikan gambaran mengenai setting peradaban masyarakat yang
melatarbelakangi terciptanya Pengakuan
Pariyem dapat diketahui dari kutipan-kutipan cerita berikut:
1. Saya bocah
gunung, melarat pula/badan dan jiwa harta karun saya/penghidupan anugerah Sang
Hyang Wisesa Jagad (hal, 4)
2. Adapun
kepercayaan saya: mistik Jawa/tapi dalam kartu penduduk/ oleh pak Lurah
dituliskan saya beragama Katolik…/jadi jelasnya saya Katolik mistik/alias Katolik
Kejawen (13)
3. Saya
suka serba luwes—lembut/bagaikan putri Ngayogyakarta (hal. 20)
4. Ya, ya,
Pariyem saya/”Iyem” panggilan sehari-harinya/dari Wonosari Gunung Kidul/sebagai
babu nDoro Kanjeng Cokro Sentono/di nDalem Suryomentaraman Ngayogyakarta/saya
sudah trima, kok/saya lege lila/kalau memang sudah nasib saya/sebagai babu, apa
ta repotnya?/Gusti Allah Maha Adil, kok/saya nrima ing pandum (hal. 29)
5. Gamelan
Kyai Guntur Madu/ditabuh oleh para punggawa keraton/suara kemlonthang bergema (hal.122)
6. Saya
tak menyesal. Saya ikhlas/saya lega lila/O, Allah, Gusti nyuwun ngapura/orang
meteng mana ada aibnya?/tak ada aib bagi orang meteng (176)
7. Sebagai
babu nDoro Kanjeng Cokro Sentono/di nDalem Suryomentaraman Ngayogyakarta/tapi
dengan putra sulungnya main asmara/dan kini meteng sebagai buahnya/O, saya
takmenaruh keberatan/pernikahan bukan dambaan saya/yang saya damba adalah anak (hal. 181)
Linus menggambarkan kekhasan keperempuanan Pariyem
sebagai wanita Indonesia
yang hidup di buminya lelaki Ngayogyakarta, Jawa. Bertingkah laku dengan baik
layaknya perempuan Jawa pada umumnya, solah
bowo dirinya pun harus mentaati pola aturan dan tradisi yang diterapkan di
tempat ia tinggal yaitu adat istiadat keraton Jawa.
Bahasa dan penyampaian yang halus Linus benar-benar
mengangkat Indonesia
lewat perempuan yang bernama Pariyem. Mulai dari pilihan namanya, pilihan
setting ceritanya yang khas (desa) di Jawa, kepriyayian yang menandai adanya
hegemoni lelaki terhadap perempuan dan juga kultur yang melingkupi kehidupannya
sebagai seorang perempuan yang benar-benar perempuan dengan khas keperempuanannya.
Di dalam pandangan mata khalayak, apa yang dilakukan
oleh Pariyem itu adalah hal yang bodoh. Terutama bagi mereka yang mendapatkan
pendidikan dan pengaruh modern yang menjunjung feminisme. Tetapi bagi Pariyem
sendiri, semua yang ia lakukan semata-mata karena kesetiaannya mengabdi pada
atasannya. Ia benar menurut kemampuan dan pandangan hidup yang terpola dalam pemikiran
dan hatinya.
Baginya, semua yang ia lakukan adalah benar karena
dengan berlaku demikian ia beranggapan telah menjadi abdi dalem yang tinggi kesetiaannya, yang luhur dan perlu dihormati.
Dengan patuh menjadi abdi dalem,
apalagi yang telah melahirkan seorang anak/putra dari bendoro-nya itu, maka ia telah ketut
pula menjadi priyayi—bangsawan. Oleh karena itulah mereka berlomba-lomba
menjadi pelahir anak majikannya meskipun mereka itu tidak dikawin.
Di dalam Pengakuan
Pariyem, Linus mengetengahkan sosok Pariyem yang bicara tentang keakuannya
kepada orang lain (Mas Paiman yang wartawan, dan para pembaca), begitu pula di Nyanyian Lawino. Tokoh Lawino bicara dan
menggugat suaminya yang orang lain (pembaca) mengetahui cekcok di antara
mereka.
Di dalam Afrika yang Resah: Nyanyian Lawino dan Nyanyian Ocol juga terdapat
permasalahan yang melibatkan kehidupan perempuan. Bedanya jika di Pengakuan Pariyem perempuan dilukiskan
sangat legowo, maka di Nyanyian Lawino perempuan memperdengarkan
suara dan permasalahan hidupnya dengan penuh keluhan serta sakit hati kepada
suaminya.
Keduanya sama-sama berbicara dari
sisi myself (aku yang aku) yang datang
dari lubuk hati dan pemikiran mereka yang tentunya dengan atmosfir kebudayaan
masing-masing. Pariyem dengan kosmik Indonesia suku Jawa, sedangkan
Lawino dengan Afrika suku Acoli-nya. Kedua atmosfir tersebut sama-sama
diselimuti oleh kentalnya patrilineal yang tentu membelenggu keinginan dan
pemikiran mereka sebagai manusia.
Keduanya mengalami bias gender. Mereka
(dalam pandangan kita yang terutama menjunjung feminisme) telah mengalami siksaaan
psikis, kejahatan mental. Tetapi di dalam Pengakuan
Pariyem sosok Pariyem sendiri justru tidak menyadari dan menganggap semua
itu cara seorang babu mengabdi pada
majikannya.
Tetapi di dalam Nyanyian Lawino perlakuan yang menyakitkan hati dan menekan
psikisnya berani ia tentang, argumentasinya berani ia ungkapkan pada suaminya
lewat ‘nyanyian’nya. Begitu pula si Ocol, ia membuat perlawanan sikap dan
pandangannya terhadap Lawino sebagai pembelaan melalui Nyanyian Ocol.
Seteru keduanya di dalam Afrika yang Resah: Nyanyian Lawino dan
Nyanyian Ocol tersebut dapat diketahui dari kutipan-kutipan cerita berikut:
1. Ia
bilang aku sampah/ia tak lagi menghendakiku/dengan kasar ia menertawakanku/ia
bilang aku primitif/sebab aku tak bisa main gitar/ia bilang mataku buta/dan aku
tak bisa membaca (hal. 2)
2. Ia
bilang ibuku tukang tenung/ia bilang kaumku dungu/lantaran suka makan tikus/ia
bilang kami ini penyembah berhala/kami tak kenal jalan Tuhan/kami tinggal di
gelap yang kelam/dan tak kenal Injil/ia bilang ibuku menyimpan jimat/ dalam
kalungnya/dan ia bilang kami semua tukang tenung (hal.3)
3. Ocol
menolak model kuno/iai jatuh cinta pada perempuan modern/ia jatuh cinta pada
seorang gadis cantik/yang bisa bicara Inggris (hal. 4)
4. Aku
bukan tak adil pada suamiku/aku tak mengeluh/lantaran ia pingin perempuan lain (hal. 9)
5. Setiap
lelaki memeluk seorang wanita/meskipun bukan istrinya (hal.14)
6. Ibuku
mengajariku/berdandan rambut Acoli/yang menyesuaikan/rambut Acoli/dengan
upacaranya (hal. 23)
7. Ia
marah padaku/lantaran aku tak tahu/cara memasak/seperti perempuan bule/dan
lantaran aku menolak/makan ayam/dan makan telor mentah/seperti perempuan bule (hal. 29)
Hal-hal di atas tersebut termasuk
tindak pelecehan secara psikis. Sakit hati seorang perempuan yang disebabkan
oleh perkataan dan perlakuan seseorang (apalagi suaminya sendiri) akan sangat
panjang daripada sikasaan fisik yang ia terima. Apalagi sakit hati karena diri
dan orang tuanya dihina oleh suami sendiri serta luka pengkhianatan karena ia
diduakan dengan perempuan lain.
Sebagai perempuan hendaknya bersikap
percaya diri akan kemampuan dan segala yang dimiliki. Secara mandiri mampu
bertumpu pada kaki sendiri agar lelaki manapun tidak dapat menghina dan
melecehkannya. Suami yang telah mengatakan demikian sudah tidak pantas disebut
suami, karena ia tidak menghargai kita sebagai istrinya. Di dalam rumah tangga
hendaknya ada kasih saying, jika hal di atas yang terjadi, maka sebagai
perempuan kita hendaknya mengambil sikap yang tegas.
Pernyataan Lawino tersebut
ditanggapi oleh suaminya, Ocol, dalam Nyanyian
Ocol seperti kutipan-ketipan berikut:
1. Apakah Afrika
bagiku?/kegelapan/kegelapan yang dalam/dalam tak terkirakan/Afrika raksasa
malas/berjemur diri di mentari/tidur, ngorok/berkedut dalam mimpi/penyakitan
kronis/tercekik kebodohan/terpancang pada karang kemelaratan (hal. 117)
2. Apa kau
ulat/bagi tawon/yang bertelor?/siapa bilang padamu/bahwa kesuburanmu/akan
bertambah/karena badanmu gemuk berlebihan?/siapa bilang kau cantik/jika
berjalan saja susah?/kau sempoyongan ke luar rumah/berlemak/tetekmu sepasang
tong/dapatkah kau lihat pusarmu?
(hal. 127)
Sebagai seorang lelaki dan suami ia telah
menghina dan memaksakan kehendaknya terhadap perempuan (istrinya). Seseorang
yang telah menghina istrinya sendiri tidak lagi patut disebut kepala rumah
tangga yang dijadikan panutan. Ia tak pantas dihormati sebagai apapun. Budaya
patrilineal telah mengajarkan padanya kesewenang-wenangan.
Oleh karena itu, menurut hemat
penulis, budaya tersebut hati-hati saja terhadap budaya matrilineal yang akan
digencarkan oleh perempuan-perempuan tertindas. Penulis selalu percaya bahwa generasi
baru akan berpaling pada moral yang baru. Sehingga tidak menutup kemungkinan
jika pada suatu masa di waktu yang akan datang budaya patrilineal hangus oleh
budaya matrilineal.
Dari kedua karya yang mengangkat
permasalahan perempuan tersebut dapat ditarik garis besar bahwa perempuan mengalami
ketidakadilan oleh budaya masyarakat yang patrilineal. Perempuan sering sekali
tidak dapat memperjuangkan haknya. Mereka yang berusaha ‘memberontak’ terhadap
budaya patrilineal biasanya dicap sebagai perempuan yang tidak baik, tidak
ideal, dan banyak lagi cemoohan.
Hal demikianlah yang biasanya
membuat seorang perempuan tidak berani menyuarakan kehendak dan pemikirannya
sendiri. Jadi, jika perempuan ingin agar suara dan pemikirannya dihargai dan
diterima orang lain dan budaya yang melingkupinya, ia harus berusaha berani mengambil
tindakan dan tangguh dalam menghadapi segala konsekuensinya. Lebih baik menanggung
akibat terburuk daripada harus ngongkloh
tidak melakukan apapun!
No comments:
Post a Comment