Analisis Puisi, merupakan sebuah wadah yang mana didalamnya banyak terdapat sebuah Contoh Analisis puisi, didalam ini menggunakan kajian Heuristik dan hermaunitik, semoga dalam postingan ini bermanfaat dalam mebuat tugas kuliah atau sekolah dan dapat dijadikan sebuah dokmentasi pribadi dalam kategori Analisis Puisi. untuk kajian yang mencangkup Chairil Anwar simak saja disini.
Ketika Masjid Menjadi Ajang Cari Pahala
A. KAJIAN HEURISTIK
Kajian heuristik ini mencoba mengkaji puisi dari
unsur-unsur bahasa yang ada dalam puisi. Maksudnya, pengkaji ingin memahami
sekaligus menikmati puisi dengan jalan menjabarkan arti atau makna kata demi
kata. Kajian ini adalah salah satu cara mengetahui makna secara tersurat atau
harfiah (actual meaning), yaitu pemahaman melalui makna kata yang telah
dikonvensikan atau ditentukan oleh bahasa yang bersangkutan dalam suatu puisi.
Hal inilah yang mendorong pengkaji untuk menggunakan pula pola pemahaman yang
mendekati cara mengapresiasikan puisi.
Maka isi atau arti puisi yang pengkaji tangkap dari
puisi “Di Mesjid” karya Chairil Anwar ini kurang lebih sebagai berikut:
DI MESJID
Kuseru saja Dia
Sehingga datang juga
Kamipun bermuka-muka
Seterusnya Ia bernyala-nyala dalam dada
Segala damba memadamkannya
Bersimbah peluh diri yang tak bisa diperkuda
Ini ruang
Gelanggang kami berperang
Binasa-membinasa
Satu menista lain gila
29 Mei 1943
Di Mesjid. Penyair
maksudkan bahwa mesjid merupakan salah satu tempat ibadah atau bersembahyang
orang-orang muslim. Penyair menggunakan mesjid sebagai salah satu wakil dari
tempat ibadah yang ada dan merupakan tempat ibadah yang banyak sekali umatnya.
Menilik bahwa di Indonesia
mayoritas muslim. Meskipun sebenarnya tidak menutup kemungkinan digunakan
gereja, vihara, pura, atau tempat ibadah agama lainnya.
Kuseru saja. Penyair memanggil pada yang tak
kasat mata, yaitu Tuhan, yang dalam pandangannya Ia memang dipercayai penyair.
“Kuseru saja” merupakan panggilan terus-menerus yang tanpa henti, memujaNya
tanpa lelah dengan berbagai hal yang dilarang maupun dianjurkan.
Dia. Yang dimaksud adalah Tuhan si
Penyair. Karena yang selalu dipuja-puji tidak lain hanyalah Tuhan. Penyair
tidak menggunakan kata “Kau” karena mungkin tidak ingin kurang ajar dengan
‘berkamu-kamu’, melainkan memakai kata “Dia” supaya terdengar lebih pribadi
sebab menimbulkan kebendaan yang tersirat maknanya.
Sehingga datang juga. Tuhan dipanggil oleh penyair
dengan berbagai seruan memujaNya tidak lantas membiarkan seruan tersebut. Tuhan
Maha besar. Ia tidak beruang atau berwaktu, tidak menempati dimensi apapun.
Tuhan bisa hadir kapan suka. Penyair percaya kalau Tuhan akan dekat bila ia
dekat, dan Tuhan akan menjauhi dirinya jika ia tidak sedikit pun menghiraukan
eksistensiNya.
Kamipun. Penyair menyebut dirinya sendiri
dan kaumnya (orang-orang yang senasib) dengan “kami” sehingga menimbulkan
citraan visual yang kolosal. Ada
yang ingin diucapkan penyair, tapi seakan-akan penyair takut bila ‘rahasianya’
diketahui oleh banyak orang yang berada di luar kaumnya. Seperti persekutuan
yang ingin mandiri tanpa ada orang yang mencoba memahami.
Bermuka-muka. Penyair dan kaumnya
memuja-muja Tuhan seperti mencari perhatian ekstra daripada orang lain. Makanya
ia tidak mau orang lain tahu apa yang menjadi ‘rahasianya’ agar orang lain
tidak mendapatkan kedudukan atau derajad yang menyamainya di hadapan Tuhan.
Penyair sepertinya
bermanis-manis agar mendapatkan pahala yang lebih banyak daripada orang lain
dengan terus melantunkan puja-puji taqwa. Lahir dan batin tidak seimbang.
Padahal sebenarnya Tuhan Maha Mengetahui mana yang benar dan salah, mana yang
baik dan buruk.
Seterusnya Ia. Maksud penyair mungkin selanjutnya Tuhan akan tetap ada di
pihaknya. Memberi tempat (surga) yang ia inginkan. Karena penyair selanjutnya
akan berdo’a tanpa putus. Hal inilah fungsi agama melenceng. Agama sebagai
‘pakem’ telah disalahartikan.
Penyair menganggap bahwa
agama adalah segalanya. Tempat beribadah merupakan simbol agama yang juga mediator
penyampai keinginan hatinya. Fungsi Tuhan menjadi tempat memohon. Tidak ubahnya
seseorang yang mendatangi tempat keramat seperti kuburan untuk mengalap berkah
alias pesugihan.
Padahal yang seharusnya
diingat oleh penyair hanya Tuhan semata. Bukan apa yang telah ia lakukan,
semisal dzikir dan shalat, tapi ia melakukan semua itu demi ridla Tuhan.
Sedangkan Tuhan tidak bisa dipaksa-paksa untuk memberikan pahala, apalagi
didikte.
Bernyala-nyala. Anehnya, penyair tetap menggunakan mediator ibadahnya di
tempat ibadah sebagai sarana mencari berkah. Perbuatan yang jelas-jelas
melanggar tetap dilakukannya terus dengan cara menutup-nutupi melalui
ibadah-ibadah yang ia lakukan. Bahkan semakin menjadi-jadi.
Dalam dada. Apa yang dilakukan penyair telah sampai pada taraf yang
begitu tinggi. Mendarah daging dalam urat kehidupannya. Tidak dapat diingkari
maupun dihapuskan dari kesehariannya. Hingga penyair tidak sadar bahwa yang
dilakukannya semakin jauh dari yang sewajarnya.
Segala daya
memadamkannya.
Semua usaha ataupun kekuatan yang dihimpun
senakin hari tidak semakin surut. Penyair telah mengerahkan segala upaya demi
menjalani kehidupan yang telah digariskan Tuhan melalui ‘aturan’ agama yang ia
yakini.
Sikap religius yang telah mendarah daging tidak
dapat dihapuskan begitu saja. Apa yang menjadi keyakinannya itulah yang
merupakan kehidupannya. Tak ada satu kekuatan pun yang dapat membuatnya menjadi
rusak kecuali dirinya sendiri.
Bersimbah
peluh diri. Suatu kerja keras dan berat jika ingin melawan arus nurani
sendiri. Apalagi arus itu menuju kepadaNya. Seolah ada ketakutan yang
menderanya kelak. Seperti takut akan termakan janji bakti kepada Tuhan bila
mengingkarinya.
Penyair menggunakan ungkapan ‘bersimbah peluh
diri’ demi untuk mendapatkan citra visual yang mendalam kerasnya usaha yang
telah dilakukan. Penyair menggunakan hiperbola yang akhirnya mendapatkan effect
yang sarat makna.
Yang tak bisa
diperkuda. Bahwa keimanan penyair tak dapat dipaksa-paksa untuk
meyakini atau tidak meyakini sesuatu. Keyakinan memang bisa tumbuh kapanpun,
tapi mempertahankan keyakinan itulah yang butuh waktu relatif sangat lama.
Bahkan butuh waktu seumur hidup untuk meneguhkannya.
Bagi sebagian orang, kuda merupakan lambang
kebebasan dan keperkasaan serta kecepatan. Mungkin penyair bermaksud ingin
membebaskan diri dari keyakinan yang terlanjur diimani. Hal ini bisa disebabkan
oleh faktor kejenuhan, kehampaan dan sebagainya. Makanya penyair merasa ‘sepi’
atau ‘kosong’, terkesan kurang tulus dalam menahbiskan diri pada Tuhannya.
Penyair memang memilih tetap tinggal untuk
mengimani segala yang telah menjadi keyakinannya sedari semula (suatu agama
yang telah didogmakan kedua orang tuanya). Penyair tetap ‘perkasa’ meneguhkan
prinsip hidupnya.
Roda waktu terus maju, mustahil flashback. Di
sinilah penyair ditantang. Apakah ia akan terhanyut oleh ‘kecepatan’ mobilitas
zaman atau tetap berdiri secara konvensional dalam memeluk keyakinannya? Segala
hidupnya akan dipertaruhkan demi unjuk diri memperjuangkan Tuhan yang diimani.
Sedangkan agama apapun sebenarnya harus adaptasi dengan zamannya.
Agama itu ‘pakem’, pelaksanaannya fleksibel.
Apalagi Islam. Memang rumit dan ‘keras’ bila ditilik sepintas, tapi sebenarnya
Islam lahir sebagai ‘aturan’ yang menjawab segala pertanyaan dari agama
lainnya.
Hal ini dapat dilihat dalam ajaran Islam itu
sendiri telah disebutkan bahwa agama Islam merupakan penyempurna ajaran
keyakinan atau agama sebelumnya yang pernah ada. “Islam itu gampang, tapi
jangan sekali-kali menggampangkan Islam.” Mungkin istilah atau perumpaan demikian
dapat mewakili segala ajaran Islam khususnya, dan seluruh ajaran kebajikan pada
umumnya.
Ini ruang. Penyair bermaksud menunjukkan apa yang disebut tempat
ibadah itu mesjid dengan menggunakan kata tunjuk implisit ‘ini ruang’. Mungkin
penyair sebenarnya tidak hanya mengkhususkan syair atau puisinya bagi orang
Islam saja, tapi seluruh umat dari berbagai ajaran agama lainnya.
Untuk mendapatkan deskrpsi dari citra yang
terdekat dengan penikmat puisinya itulah penyair menggunakan kata ‘ini’. Tidak
menunjuk langsung secara tersurat atau eksplisit pada kata ‘mesjid’. Hal ini
juga menandakan bahwa penyair tengah ada di dalam mesjid sedang beribadah.
Mencari keridhoan Tuhannya dengan berbagai cara yang telah menjadi anjuran yang
ia anut dan taati.
Gelanggang kami. Yang dimaksud ialah tempat penyair mengejawantah diri agar
menjadi manusia pilihan Tuhan. Dengan semua orang, yang ‘sepaham’ dengannya
atau tidak, ia harus tetap melakukan persaingan untuk mendapatkan tempat di
sisiNya. Bagaimanapun juga, dipungkiri atau tidak, tujuan akhir manusia mencari
keridloan Tuhan melalui berbagai ibadah untuk memperoleh pahala, yang tidak
lain adalah surga.
Berperang. Di sini, ‘berperang’ identik dengan bersaing. Penyair harus
bisa menjadi yang terunggul di antara banyak orang yang unggul. Ia sebisa
mungkin mendapatkan ‘hati’ Tuhan kalau tidak mau kehidupannya berantakan.
Karena bagaimanapun penyair tampaknya menginsafi bahwa tiada kekuatan selain
kekuatan milik Tuhan.
Berperang merupakan salah satu cara untuk membuktikan bahwa eksistensi seseorang itu
benar-benar diakui. Dalam perang itulah penyair mengalami ataupun melewati
proses seleksi alam sebagai manusia. Apakah ia akan menjadi pemenang atau
sebagai pecundang?
Binasa-membinasa. Istilah ‘binasa-membinasa’ yang digunakan penyair tidak
jauh berbeda dengan ‘rusak-merusak’. Tetapi kerusakan-pengrusakan yang
benar-benar dahsyat. Hingga siapapun yang rusak maupun merusak, atau yang
binasa atau yang membinasakan sama-sama lebur dan luluh lantak.
Mungkin maksud penyair ialah kalau dalam sebuah
persaingan mendapatkan pahala dari Tuhan ada yang harus gugur dan digugurkan.
Tidak mungkin seri. Pasti salah satu orang yang bersaing akan ada yang unggul
dan ada yang masygul menelan kekalahan.
Satu menista
lain menggila.
Satu hal yang menjadi catatan bahwa semua
manusia tidak ada yang sempurna. Seputih apapun jiwa seseorang, ia pasti punya
sedikit noda hitam. Sehitam apapun seseorang pasti mempunyai warna putih meski
setitik.
Hal demikian diciptakan Tuhan sudah pada
standartnya. Biar terjadi keseimbangan. Misalnya, tidak selamanya penjahat itu
selalu melakukan kejahatan. Sedikit saja pasti ia punya rasa iba jika melihat
orang lain yang tak berdaya. Begitu pula sebaliknya, seorang kyai saja yang
disanjung karena amal perbuatan atau ibadahnya meski sedikit pasti pernah
melakukan perbuatan tercela seperti marah atau menyimpan rasa ‘kurang enak’
pada orang lain di dalam hatinya.
Tuhan menciptakan segala sesuatu
seadil-adilnya, sesuai porsi, seimbang mungkin, dan sesempurna mungkin. Tetapi
yang harus didingat adalah bahwa takaran atau ukuran adil, seimbang, dan
sempurna di hadapan Tuhan tidak bisa dirasio oleh takaran adil, seimbang dan
sempurna milik menusia. Belum tentu menurut manusia adil pula di depan Tuhan.
Jika ada seseorang yang beribadah dan tawakal
pada Tuhannya, tidak menutup kemungkinan ribuan orang tengah melanggar
laranganNya. Begitu pula sebaliknya. Penyair memilih ‘menista’ mungkin
bermaksud untuk merendahkan hati dalam beribadah, tidak mau takabur. Hal ini
disebabkan makna nista yang selama ini identik dengan hal-hal tercela berhasil
diangkat ‘statusnya’ menjadi istilah yang terpiji.
Bahwa tidak semua orang mau tunduk pada ajaran
yang telah dituntunkan oleh agama yang dipilihnya. Maka pengkaji tidak
memalingkan diri bila penyair menambahi kata ‘lain menggila’ setelah ‘satu
menista’. Ini membuktikan bahwa penyair peka dengan problematika beragama yang
terjadi antara umat yang satu paham dengannya maupun di luar kelompok orang
yang sepaham dengannya.
Arti ‘menggila’ bisa saja ‘menjadi-jadi’.
Karena ada orang yang awalnya tidak agamis, setelah melalui likuan hidup
menjadi orang yang sangat agamis. Begitu pula ada orang yang sedari kecil
dididik secara agamis, besar-besar menjadi seorang yang atheis.
►Puisi “Di Mesjid” pada dasarnya membicarakan tabiat-tabiat
pemeluk agama Islam khususnya dan pemeluk ajaran agama lain pada umumnya yang
tidak lagi mementingkan eksistensi Tuhan. Melainkan seluruh ibadah atau amal
perbuatan bail mereka dikondisikan demi meraih surga dan takut pada neraka.
Apa yang dihasilkan atas hal tersebut tidak
lain hanyalah kemunafikan. Bagaimana tidak, jika tempat peribadatan mulai
digunakan sebagai topeng seseorang ingin dikatakan atau disanjung orang dengan
sebutan: taat atau murtad.
Tempat ibadah yang seharusnya hanaylah
diketahui oleh kedua pihak. Yaitu manusia dan sang Khaliknya. Bukan malah
digembar-gemborkan atau dipublikasikan secara luas. Dengan berdirinya tempat
ibadah yang megah, justru kini menjadi tolok ukur seseorang atau umat pemeluk
suatu agama tertentu dari kalangan berada atau tiada. Tidak menekankan apakah
amal kebaikan yang dilakukan dengan atau tanpa tempat ibadah itu ditujukan
untuk siapa.
Pengkaji malah mensinyalir bahwa tempat
sembahyang itu dujadikan ajang mencari ajang berebut pahala demi menggapai
surga yang barangkali, menurut pengkaji, belum tentu bisa menandingi keabadian
Tuhan. Karena bagaimanapun, Tuhan tempat segala perbuatan karena Ia pencipta
segala sesuatunya.
Belum tentu dengan seseorang itu mengenal
ajaran agama mulai dini, ia akan menjadi manusia mulia. Agama tidak mencetak
seratus persen manusia menjadi baik. Tapi yang perlu diingat adalah agama dan
aturan-aturan yang dikandungnya bisa dijadikan sarana penekan atau pencegah
timbulnya kekacauan yang ditimbulkan seseorang.
Semua ajaran agama pasti baik dan benar bagi
orang yang mengimaninya, tapi belum tentu baik dan benar pula bagi pemeluk yang
berlainan paham. Hanya saja perlu diwaspadai bahwa agama juga dapat menjadikan
seseorang tidak tambah taat tapi tambah murtad jika terlalu menelan
mentah-mentah akidah yang tidak cocok dengan zamannya.
Bagaimanapun juga, menurut pendapat pengkaji,
agama itu harus fleksibel dan jangan sampai lupa pada ‘pakem’. Karena ‘aturan
pokok’ akan membantu sekali dalam kefleksibelan dalam hidup beragama. Apalagi
kehidupan antar umat beragama yang majemuk semacam bangsa Indonesia.
B. KAJIAN HERMENEUTIK
Ada
banyak hal yang ingin dibicarakan penyair dalam puisinya yang bertitel “Di
Mesjid” ini. Apalagi jika menilik latar belakang si Binatang Jalang yang dalam
kehidupannya masih dihantui bayang-bayang ‘setan’ agama ini. Pengkaji berkata
demikian karena suatu ketika pengkaji pernah membaca sebuah karya dari teman
penyair yang secara spesial membuat novel dan menggunakan setting kehidupan
penyair. Terutama kehidupan religinya.
Dalam buku tersebut (yang tidak
ingin pengkaji sebutkan judul dan pengarangnya), penyair menjadi tokoh sentral
yang sedari kecil dididik secara agamis. Kemudian beranjak dewasa (pada saat
mengalami pendewasaan jasmani maupun rohani) ia telah melakukan pelencengan
dari jalan semula. Ia memilih menjadi seorang atheis, tanpa mengakui adanya
Tuhan dan menolak menyembah apapun yang dituhankan.
Dilematis sekaligus menantang. Hanya
orang-orang tertentu saja yang mempunyai pikiran demikian. Entah karena sangat
sempitnya pengetahuan atau karena sangat banyaknya pengetahuan yang ‘on’ di
otak mereka, terutama penyair. Yang pasti, pengkaji sangat ‘welcome’ atas
segala pemikiran tersebut.
Hal ini pengkaji sampaikan bukan untuk mendukung atau membela keatheisan
penyair. Melainkan pengkaji hanya salut pada orang-orang yang ‘melampaui batas’
seperti penyair. Karena sejauh ini, pengkaji hanayalah manusia yang masih
ber-IQ dan ber-SQ ‘mini’ sekali daripada penyair yang dipuja-puji penggemarnya.
Menurut hemat pengkaji, puisi “Di Mesjid” ini adalah salah satu bukti
bahwa sebenarnya penyair mengatheiskan diri karena ia ingin dituhankan secara
langsung maupun tidak langsung. Secara tersurat memang tidak, mungkin secara
tersirat boleh jadi dugaan pengkaji adalah fakta yang perlu dicari kebenarannya
agar menjadi experience bagi semua manusia dari segala umat beragama.
Bagi pengkaji, tidak harus sebuah pelajaran itu diambil dari pengalaman
pribsdi. Bisa juga kita ambil pelajaran dari pengalaman orang lain. Bahkan cara
ini pengkaji anggap lebih efektif dan efisien. Jika pengalaman itu buruk tidak
usah ikut merasakan kepahitan, begitu pula sebaliknya.
Penyair yang spektakuler di masanya ini mencoba mendobrak pemikiran konvensional dari segala segi
kehidupan. Melalui puisinya ini ia membuat orang lain membuka leba-lebar mata
hati selebar-lebarnya. Bagaimana selama ini seluruh umat dari berbagai agama
melakukan ibadahnya, sejauh mana melaksanakan perintah dan menjauhi
laranganNya, implementasi kehidupan agama dengan sesama, dan yang terpenting
ialah apakah ikhlas serta tanpa pamrih ketika beramal kebaikan.
Masalah moral, akhlak dan ketuhanan memang menjadi hak asasi manusia yang
paling asasi, tapi janganlah hak tersebut digunakan untuk memaksakan kehendak
pada orang lain. Jika hal itu terjadi, maka sample yang di mata kita sekarang
adalah munculnya teroris, saling bunuh, saling tuduh dan akhirnya tercipta
rusuh.
Oleh karena itulah penyair sanksi atas segala ajaran agama beserta simbol
agama yang berupa tempat ibadah dengan segala umat yang mengimani sekaligus
mengamininya. Bagi penyair, lebih baik berada di pihak netral, sebagai
pengamat, daripada terjun langsung menjadi tokoh protagonis maupun antagonis
dalam skenario buatan Tuhan.
Masjid yang selama ini dibangun megah, menelan dana triliunan rupiah,
luasnya na’udzubillah ternyata digunakan sebagai sarana pamer dengan kedok
sebagai tempat ibadah. Entah dengan titel masjid terbesar di Asia Tenggaralah,
masjid termegah di dunialah, tereksotislah atau apalah yang tujuannya
membanggakan diri.
Kalau sudah demikian, nilai moral sebuah bangsa tidak dinilai dari akhlak
bangsanya yang merupakan umat ciptaan Tuhan. Melainkan dinilai dari kulit
luarnya saja, dalam hal ini simbol-simbol agama berupa tempat ibadah. Padahal
tempat ibadah bukanlah cerminan seseorang itu kuat imannya atau tidak.
Hal inilah yang disesalkan oleh penyair. Mengapa bangsanya, bahkan
dirinya tampak tidak tulus mengabdikan diri pada Tuhan. Jikalaupun ada,
jumlahnya bisa dihitung dengan jari.
Pesan moral yang ingin disampaikan penyair dalam puisi (yang bagi penulis
puisi penyair ini termasuk puisi prismatis) sangat banyak dan manusiawi sekali.
Mengingat bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Maka dalam beribadah pun
seseorang tidak mungkin banyak sekali kekurangannya.
Nabi saja mempunyai khilaf dan kesalahan karena ia dari golongan manusia.
Bedanya, dosa atas kesalahan itu ditutupi dengan amal kebaikan yang
diperbuatnya. Nabi dicetak sebagai manusia pilihan, teladan, dan sudah barang tentu
masuk ke ‘tempat’ yang sudah dijanjikan, yaitu: surga. Sedangkan manusia?
Belum tentu orang yang tiap hari mendatangi masjid, mendanai pembangunan
masjid, ibadah di masjid, dan memberi santunan pada pengemis yang mangkal di
masjid itu akan masuk surga. Jangan kira Tuhan tidak mengetahui bahwa niat
orang tersebut tulus karenaNya atau tidak. Yang terlihat mata telanjang manusia
itu madu, belum tentu di hadapan Tuhan juga begitu.
Jadi, penyair sebenarnya lebih menyadari bahwa ‘orang
yang taat itu di atasnya masih ada yang lebih taat lagi’. Puncak ketaatan itu
milik Tuhan Yang Maha Kuasa. Tiada daya yang dapat menandinginya hanya sekedar
untuk menilai ketaatan tersebut
No comments:
Post a Comment