1. PENDAHULUAN
Secara
tradisional keterampilan dasar berbahasa memang dibagi ke dalam empat kategori
yaitu (1) listening comprehension – mendengarkan dan mengerti; (2) speaking
- berbicara; (3) reading comprehension – membaca dan mengerti; dan (4) writing
- menulis. Pembagian seperti ini meskipun telah lama dikenal tetapi
tampaknya kurang diapresiasi bahkan oleh pencetus TOEFL sekali pun karena pada
PBT Speaking ternyata sama sekali tidak dimasukkan ke dalam materi test
dan baru pada CBT dan IBT keterampilan dasar yang satu ini memperoleh apresiasi
nyata.
Penggunaan
istilah comprehension atau ‘mengerti dan memahami’ penting karena jika
seseorang belajar mendengarkan atau membaca (bahasa asing, tentunya) dan dia
tidak mengerti atau tidak memahami apa yang didengar dan dibaca dan tidak
melakukan tindakan atau usaha yang tepat untuk memperoleh pemahaman maka dari
sudut pandang bahasa orang ini dapat dikatakan tidak sedang belajar. Muara
akhir belajar adalah pemahaman, jika tidak paham dan tidak melakukan usaha
untuk memperoleh pemahaman maka dapat dikatakan kegiatan belajar yang dilakukan
sia-sia atau paling tidak dapat dikatakan tidak banyak manfaat yang dapat
dipetik dari usaha belajar tersebut.
Berdasarkan
fakta inilah perbincangan berikut difokuskan dengan mengacu pada sejumlah
pendapat para pakar seperti David Nunan, Fraida Dubin dan Elite Olshtain.
II
PEMBAHASAN
A. LISTENING COMPREHENSION
Nunan
(1989: 23) yang mengutip Anderson
dan Lynch (1988) sepakat membedakan kegiatan mendengarkan menjadi dua kategori
yaitu (1) reciprocal listening; dan (2) non-recriprocal listening.
Pada kegiatan yang pertama peluang bagi pendengar yang sedang belajar untuk
berinteraksi dengan pembicara, termasuk menegosiasikan isi komunikasi, ada.
Tetapi pada kegiatan yang kedua peluang tersebut tidak ada. Mendengarkan radio,
melihat televisi, mendengarkan pidato, bahkan mengikuti kuliah yang sangat
formal, adalah contoh-contoh yang termasuk dalam kegiatan kategori kedua ini.
Lebih
jauh, masih mengutip Anderson dan Lynch, Nunan mengatakan bahwa dalam kategori
yang mana saja tetap saja seorang pendengar harus secara simultan
mengintegrasikan sejumlah keterampilan dasar pada saat ia ingin mendengarkan
dan mengerti, yaitu (1) mengidentifikasi suara inti di antara suara-suara
lainnya; (2) memilah-milah ujaran menjadi kata; (3) menangkap sintaksis ujaran;
dan (4) memformulasikan respon yang tepat, khususnya pada kegiatan mendengarkan
secara interaktif.
Keempat
keterampilan ini termasuk dalam apa yang dinamakan keterampilan linguistik. Dan
keempat keterampilan linguistik harus juga dipadukan dengan sejumlah
pengetahuan dan keterampilan non-linguistik seperti (a) mempunyai tujuan yang
sesuai; (b) mempunyai pengetahuan dan keterampilan sosial dan kultural; dan (c)
mempunyai latar belakang pengetahuan yang memadai.
Proses mendengarkan pada manusia tidak
sama dengan proses mendengarkan (dan kemudian merekamnya) pada alat perekam.
Manusia mendengarkan, menafsirkan apa yang didengar berdasarkan tujuan dan
latar belakang pengetahuan yang dimiliki. Makna pesanlah yang kemudian disimpan
dan bukannya bentuk-bentuk yang mempunyai makna seperti yang dilakukan oleh
alat perekam. Bahkan struktur gramatikal dapat menghilang dengan cepat,
demikian dikatakan oleh Nunan (1989: 23). Sebaliknya, mampu mengingat kata-kata
yang dipakai dalam sebuah ujaran tidak harus selalu bermakna bahwa pesannya
dipahami.
Untuk memperjelas pernyataan ini,
yaitu betapa pentingnya pengetahuan latar belakang, Nunan mengutip sebuah
anekdot yang pernah disampaikan oleh Anderson
dan Lynch. Isi anekdot dan penjelasannya seperti berikut:
Seorang
wanita tua berpapasan dengan seseorang di jalanan. Wanita tua ini berkata: “Itu
universitas. Besok akan hujan.” Pada awalnya orang yang diajak bicara tidak
mampu menafsirkan makna ujaran ini. Hanya setelah sang wanita tua mengulangi
kembali dan menarik perhatian sang pendengar terhadap lonceng yang sedang berbunyi di kejauhan, orang ini mampu
menangkap makna di balik kata-kata itu.
Untuk
melakukan ini, memahami ujaran si wanita tua, si pendengar perlu memperoleh informasi-informasi berikut:
1. Informasi
Faktual Umum:
(a) suara lebih mudah didengar jika searah dengan arah angin dibandingkan
dengan jika harus menentang arah angin; (b) arah angin dapat mempengaruhi
kondisi cuaca;
2. Pengetahuan Faktual Lokal: (c) Universitas Glasgow
mempunyai menara dengan lonceng di dalamnya;
3. Pengetahuan Sosio-Kultural: (d) orang yang tidak
saling kenal di Inggris biasanya menggunakan ‘cuaca’ untuk membuka percakapan; (e) sebuah komentar
yang sopan, meskipun dari orang yang tidak dikenal, biasanya harus diberi
tanggapan;
4. Pengetahuan Konteks: (f) percakapan ini terjadi
di sebuah tempat yang berjarak setengah mil dari Universitas Glasgow; dan (g)
bel pada lonceng di menara universitas baru saja berbunyi. (Anderson and Lynch
1988: 12-13 dalam Nunan 1989: 24).
Jika
informasi ini berhasil diperoleh dari beragam sumber pengetahuan, maka si
pendengar dapat menyimpulkan bahwa seorang wanita tua sedang mencoba menarik
perhatiannya terhadap fakta bahwa angin sedang bertiup dari sebuah arah yang
kemungkinan besar akan membawa hujan (hari ini atau besok). Perubahan arah angin
ditunjukkan oleh fakta bahwa lonceng di menara universitas dapat didengar.
Wanita ini sendiri, dalam kenyataannya, sedang memberi komentar yang secara
sosial dapat diterima oleh orang yang tidak dikenalnya, yaitu berbicara tentang
cuaca, meskipun dia memilih cara yang sedikit lebih bersifat idiosinkretik
dalam melakukannya.
Berikutnya
Nunan (1989: 24), mengutip Richards (1987a), membedakan antara mendengarkan
percakapan (mendengarkan percakapan yang tidak formal) dan mendengarkan secara
akademis (mendengarkan ceramah atau kuliah dan paparan akademis lainnya dalam
konteks akademis).
Mendengarkan percakapan tidak formal melibatkan kemampuan
untuk:
1. mengusai bahasa
dalam periode yang singkat.
2. membedakan bunyi yang berbeda pada bahasa
sasaran.
3. mengenali pola tekanan pada kata-kata
4. mengenali struktur ritmis bahasa Inggris
5. mengenali fungsi tekanan dan intonasi untuk
menandai struktur informasi pada ujaran
6. mengidentifikasi kata dalam posisi memperoleh
tekanan atau tidak
7. mengenali bentuk-bentuk kata yang berubah
8. membedakan batasan kata
9. mengenali tipe pola kata dalam bahasa sasaran
10. mengenali kosa kata yang digunakan dalam topik
percakapan inti
11. mendeteksi kata-kata kunci (yaitu kata-kata
yang menunjukkan topik dan proposisi)
12. menebak makna kata dari konteksnya
B. SPEAKING
Kemampuan dan keterampilan berbicara
mungkin merupakan keterampilan dasar berbahasa yang paling tidak mudah
dimanipulasi jika konsep ‘unjuk kerja’ yang dijadikan tolok ukur. Seseorang
tidak mungkin memoles kemampuan berbicaranya, khususnya bahasa asing, dalam
semalam saja seandainya besok ia harus mengikuti tes berbicara. Kemampuan
berbicara seseorang diperoleh dalam jangka waktu lama dan dengan usaha yang
tidak kenal lelah.
Berbicara satu sama lain, yang adalah
salah satu bentuk komunikasi paling mudah yang dapat dilakukan oleh manusia
melalui media bahasa, menurut Brown dan Yule (1983) seperti yang dikutip oleh
Nunan (1989: 27) ternyata menimbulkan implikasi pembagian fungsi bahasa ke
dalam 2 (dua) kategori yaitu (1) kategori fungsi transaksional; dan (2)
kategori fungsi interaksional. Fungsi transaksional mementingkan transfer
informasi sedangkan fungsi interaksional
mementingkan fakta bahwa kegunaan utama ujaran adalah mempertahankan
hubungan sosial.
Nunan sendiri berpendapat bahwa
pengembangan keterampilan berbicara harus dibedakan antara kegiatan yang
bersifat monolog atau dialog. Keterampilan yang harus dimiliki dalam kegiatan
yang bersifat monolog ternyata memang berbeda jika dibandingkan dengan keterampilan
dalam kegiatan yang bersifat dialog. Dalam kegiatan berbicara yang bersifat
monolog, interupsi dari luar dapat dikatakan tidak ada, sedangkan pada kegiatan
yang bersifat dialog, dalam artian kegiatan berinteraksi dengan satu atau lebih
pembicara untuk kepentingan yang bersifat transaksional maupun interaksional,
peluang terjadinya interupsi sangatlah besar dan keterampilan untuk melakukan
hal seperti ini, seperti yang dikatakan oleh Brown dan Yule dan kemudian
dikutip oleh Nunan (1989: 27), tidak dapat diperoleh secara begitu saja
melainkan harus ‘dipelajari’ dan ‘dilatih’.
Dua istilah ini, ‘dipelajari’ dan
‘dilatih’, mungkin merupakan istilah dan elemen kunci yang tidak memungkinkan
seseorang memanipulasi dan memoles keterampilan berbicaranya dalam ‘waktu
semalam’. Pernyataan ini tidak jauh berbeda dengan apa yang disarankan oleh
Brown dan Yule (dalam Nunan, 1989: 27) bahwa pengajaran bahasa untuk ranah
‘keterampilan berbicara’ sebaiknya memfokuskan perhatiannya pada pengembangan
keterampilan melakukan dialog yang memang saling mempertukarkan kegiatan
interaksional.
Salah satu ciri yang dapat ditunjukkan
oleh seseorang yang menguasai keterampilan interaksional, seperti yang
dinyatakan oleh Wells (dalam Nunan, 1989: 29), adalah ketika orang ini mampu
mengetahui kapan dia harus mendengarkan dan kapan harus berbicara serta, ini
mungkin yang paling penting, mampu menghubungkan secara sistematis
elemen-elemen atau satuan-satuan percakapan dan dialog yang dilakukan.
Sementara itu Bygate (1987) yang dikutip
oleh Nunan (1989: 30) menyatakan bahwa hendaknya dibedakan antara keterampilan motor-perceptive
dan keterampilan interactional. Keterampilan motor-perceptive
adalah keterampilan yang memungkinkan seseorang secara benar menggunakan bunyi
dan struktur bahasa. Keterampilan ini dapat diperoleh di kelas-kelas bahasa
melalui kegiatan-kegiatan latihan kebahasaan seperti latihan dialog, latihan
pola kalimat, latihan berbicara, dsb. Sedangkan keterampilan interactional adalah
keterampilan menggunakan keterampilan motor-perceptive
untuk keperluan komunikasi.
Pattison (1987) yang juga dikutip oleh
Nunan (1989: 30-31) memperhatikan betapa kurangnya transfer informasi dari
keterampilan motor-perceptive ke interaksi komunikasi yang alami.
Sebagai akibatnya muncullah kontras yang sangat nyata antara bahasa dalam
kelas-kelas dengan bahasa di dalam dunia nyata. Kontras yang dimaksud meliputi
isi, alasan, hasil, partisipan dan sarana komunikasi. Berdasarkan konsep ini
Pattison mengembangkan kontras yang dimaksud dalam Nunan (1989: 30-32).
Sebagai penutup penjelasannya, Nunan
(1989: 32) menyatakan bahwa komunikasi lisan yang berhasil tentulah melibatkan
pengembangan hal-hal berikut: (1) kemampuan mengartikulasikan elemen-elemen
bahasa secara memadai; (2) menguasai pola tekanan, ritme, dan intonasi; (3)
tingkat kelancaran yang dapat diterima; (4) keterampilan transaksional dan
interaksional; (5) keterampilan dalam menegosiasikan makna; (6) keterampilan
mendengarkan – karena percakapan yang berhasil tentu memerlukan kehadiran
pendengar yang baik di samping keberadaan pembicara yang baik; (7) keterampilan
untuk mengetahui tujuan dan kemudian menegosiasikannya bagi sebuah percakapan;
dan (8) menggunakan formula dan isi percakapan yang sesuai.
C. READING COMPREHENSION
Kegiatan membaca yang oleh Richards et
al. (1985: 238) didefinisikan sebagai perceiving a written text in order
to understand its contents dapat dilakukan tanpa bersuara, dikenal dengan
nama silent reading dan hasilnya dinamakan reading comprehension;
dapat juga dilakukan dengan bersuara, dikenal dengan nama oral reading dan
hasilnya tidak selalu berupa pemahaman. Tipe-tipe reading comprehension
sendiri paling tidak ada 4 (empat) yaitu: (1) literal comprehension –
dilakukan untuk memahami semua informasi yang secara eksplisit tertulis; (2) inferential
comprehension – dilakukan untuk memahami informasi yang tidak secara
eksplisit tertulis dengan memanfaatkan pengalaman dan intuisi pembaca; (3) critical
or evaluative comprehension – digunakan untuk membandingkan informasi dalam
sebuah teks tertulis dengan pengetahuan dan nilai-nilai yang diyakini oleh sang
pembaca; dan (4) appreciative comprehension – digunakan untuk memperoleh
nilai-nilai secara emosional dari sebuah bacaan.
Kecepatan membaca pada dasarnya sangat
ditentukan oleh jenis bahan yang dibaca, tujuan membaca, tingkat pemahaman yang
dipersyaratkan, dan keterampilan membaca si pembaca.
Rivers dan Temperley (1978: 187-188), seperti
yang dikutip oleh Nunan (1989: 33-34), menyatakan bahwa tujuan seseorang membaca
sebuah teks tertulis paling tidak termasuk dalam salah satu atau kombinasi dari 7 (tujuh)
kriteria tujuan yaitu (1) untuk memperoleh informasi atau karena rasa ingin
tahu terhadap sejumlah topik; (2) untuk memahami instruksi; (3) untuk ikut
mengambil bagian dalam drama, permainan, atau memecahkan teka-teki; (4) untuk
berhubungan dengan orang lain melalui surat atau memahami surat-surat bisnis;
(5) untuk mengetahui kapan dan di mana sesuatu terjadi atau apakah sesuatu itu
tersedia atau tidak; (6) untuk mengetahui apa yang sedang terjadi atau telah
terjadi (seperti yang biasa dilaporkan dalam majalah atau surat kabar); dan (7)
untuk kesenangan.
Sedangkan Brosnan et al. (1984)
yang dikutip oleh Nunan (1989: 35) menjelaskan bahwa dalam menyelesaikan tugas
membaca seseorang akan terlibat dalam gabungan banyak hal seperti (a) mengenali
dan memahami tulisan dan formatnya; (b) mengenali dan memahami kata-kata dan
frasa-frasa kunci; (c) membaca cepat untuk memahami isi atau substansi; (d)
mengidentifikasi poin-poin utama dalam teks; dan (e) membaca secara rinci.
Maka dari itu kegiatan membaca dapat
dikatakan berhasil jika melibatkan dan memanfaatkan sejumlah kemampuan. Dalam
kata-kata Nunan (1989: 35) membaca yang berhasil tentu melibatkan kegiatan yang
(1) memanfaatkan keterampilan untuk mengidentifikasi bunyi dan simbol-simbol
yang saling berkaitan; (2) memanfaatkan pengetahuan gramatikal untuk mengungkap
makna – sebagai contohnya untuk menafsirkan klausa non-finite; (3)
memanfatkan teknik-teknik yang berbeda untuk kepentingan yang juga berbeda –
sebagai contohnya penggunaan teknik skimming atau scanning untuk
menemukan kata-kata atau informasi kunci; (4) mengaitkan isi teks dengan
pengetahuan yang dimiliki seseorang; dan (5) mengidentifikasi elemen retorika
atau fungsi pada masing-masing kalimat atau segmen tertentu sebuah teks –
sebagai contohnya mengenali ketika seorang penulis sedang menawarkan sebuah
definisi atau sebuah rangkuman bahkan ketika hal ini tidak secara eksplisit
ditunjukkan oleh frase seperti ‘X’ dapat didefenisikan sebagai ‘Y’.
D. WRITING
Dalam satu seminar beberapa tahun yang
lalu, seorang redaktur senior sebuah harian di Surabaya mengatakan bahwa ada tiga kunci
penting yang harus dipegang dan kemudian dilakukan oleh seseorang yang ingin
berhasil dalam menulis. Yang pertama adalah menulis, yang kedua menulis dan
yang ketiga menulis. Pendapat yang sedikit bernada ‘main-main’ ini tentu saja
ada benarnya jika melihat betapa ‘susahnya’ untuk mulai menulis. Tetapi
pernyataan ini hendaknya tidak diartikan bahwa setelah seseorang berhasil mulai
menulis maka ia pasti mampu melahirkan tulisan yang ‘enak dibaca’, ‘ekspresif’,
dan ‘bermanfaat’. Mengapa? Karena seperti yang dikatakan Nunan (1989: 35) bahwa
to write fluently and expressively is the most difficult of the macroskills
for all language users regardless of whether the languge in question is a
first, second or foreign language – menulis yang enak dibaca dan ekspresif
jelas bukan pekerjaan yang mudah.
Dari
empat keterampilan dasar berbahasa mungkin ‘menulis’ adalah kegiatan yang
paling tidak alami bagi manusia. Nunan (1989: 36) mengutip pendapat White
(1981: 2) untuk memperkuat argument ini. Dalam kata-kata White dikatakan bahwa writing
is not a natural activiety; all physically and mentally normal people learn to
speak a language; yet all people have to be taught how to write; this is a
crucial difference between the spoken and written forms of language.
Bell dan Burnaby (1984) yang juga dikutip oleh Nunan
(1989: 36) mengatakan bahwa ‘menulis adalah sebuah kegiatan yang benar-benar
sangat kompleks dari sudut pandang kognisi. Pada level kalimat seseorang harus
mampu mengendalikan isi, format, struktur, kosa kata, tanda baca, ejaan, dan
bahkan formasi huruf; sedangkan pada tingkatan di atas kalimat, seorang penulis
harus mampu menstrukturkan dan mengintegrasikan informasi/pesan yang hendak
disampaikan ke dalam sebuah paragraf dan teks yang koheren dan kohesif.
Menulis
sebagai sebuah kegiatan dapat didekati dari dua titik pendekatan yang berbeda,
yaitu product approach dan process approach. Pendekatan yang
pertama memfokuskan perhatiannya pada apakah hasil akhirnya, yang dapat
berbentuk surat,
esai, cerita, dsb. memenuhi atau tidak memenuhi kriteria berikut: (1) enak
dibaca; (2) kalimat-kalimatnya secara gramatikal benar; dan (3) mematuhi
konvensi wacana yang berkaitan dengan topik utama, rincian pendukung, dsb.
Sedangkan
pendekatan yang kedua (pendekatan proses) lebih memfokuskan perhatian pada
sarana, komponen, dan latar belakang dalam proses kelahiran sebuah tulisan.
Bagaimana sebuah gagasan diperbaiki, dikembangkan, dan kemudian
ditransformasikan ke dalam sebuah tulisan sebelum akhirnya tulisan tersebut
diperbaiki kembali dan bahkan kalau perlu ditulis ulang adalah hal yang paling
penting untuk diperhatikan dalam pendekatan ini.
Para
ahli, seperti Sommers dan Perl yang dikutip oleh Zamel (1982) dan kemudian
dikutip kembali oleh Nunan (1989: 37) menemukan bahwa ada perbedaan mendasar
antara penulis yang terampil dan penulis yang kurang terampil. Penulis yang
kurang terampil (a) melihat menulis sebagai sesuatu yang bersifat mekanis dan
didasarkan pada formula tertentu; (b) lebih memperhatikan masalah bentuk
dan benar atau tidaknya tulisan yang
dibuat; sehingga mereka kurang mampu (c) mengantisipasi keperluan dan harapan
para pembaca.
Lebih jauh dikatakan bahwa penulis yang
kurang terampil (d) jika harus melakukan revisi maka revisi yang dilakukan
hanyalah revisi yang sangat terbatas; (e) hanya memperhatikan masalah yang
berkaitan dengan komponen leksikal atau aturan-aturan yang pernah diajarkan;
sehingga jarang melakukan (f) revisi yang dimaksudkan untuk merevisi gagasan
yang telah terlanjur ditulis.
Sedangkan
penulis yang lebih terampil melihat tulisannya dari perspektif yang lebih menyeluruh.
Dalam proses untuk menemukan makna, penulis yang terampil akan mengubah seluruh
wacana dan masing-masing perubahan yang dibuat akan menunjukkan penyusunan
kembali seluruh gagasan yang telah dituangkan.
Berdasarkan pemikiran di atas, Nunan
(1989: 37) menyimpulkan bahwa kegiatan menulis yang dianggap menghasilkan
sesuatu yang baik melibatkan sejumlah kegiatan, yaitu: (1) menguasai mekanisme
pembentukan formasi kata; (2) menguasai dan mematuhi konvensi ejaan dan
penggunaan tanda baca; (3) menggunakan sistem gramatikal untuk menyampaikan
makna yang dikehendaki; (4) mengatur isi pada tingkatan paragraf dan teks untuk
menunjukkan informasi yang ingin diberikan atau baru dan topik atau komentar yang terstruktur dengan baik; (5)
merevisi dan membenahi tulisan awal; dan (6) memilih gaya yang cocok untuk
kelompok pembaca tertentu.
Sebagai catatan akhir mungkin ada baiknya
dilihat kembali apa yang pernah dicatat oleh Axelrod dan Cooper (1985:
xxii-xxiii) tentang sejumlah masalah dalam ‘menulis’ (terutama menulis dengan
menggunakan bahasa Inggris) khususnya yang berkaitan dengan penggunaan elemen
bahasa, gaya,
mekanik, dan (bahkan) tanda baca. Masalah yang berkaitan dengan penggunaan
elemen bahasa meliputi (1) end-stop errors; (2) sentence fragments; (3)
dangling modifiers; (4) misplaced modifiers; (5) faulty
parallelism; (6) shifts in verb tense; (7) mixed constructions; (8)
faulty predication; (9) incomplete predication; (10) lack of
subject-verb agreement; (11) unclear pronoun reference; dan (11)
wrong words of phrases.
Masalah
yang berkaitan dengan gaya meliputi (a) wordy phrases; (b)
redundancy; (c) unnecessary intensifiers or hedges; (d) strings
of prepositional phrases; (e) overuse of be; (f)
overnominalization; (g) compound-noun phrases; (h) overuse of the
passive voice; dan (i) cliches.
Masalah yang berkaitan dengan mekanik
meliputi: abbreviations, capitalization, hyphenation, numbers, dan spelling.
Masalah yang berkaitan dengan tanda baca biasanya berkaitan dengan
penggunaan tanda-tanda baca berikut: periods, question marks, exclamation
points, ellipses, commas, semicolons, colons, dashes, parentheses, brackets,
apostrophes, underlining, quotation marks
E. RANCANGAN TUGAS-TUGAS
YANG DAPAT DIBERIKAN
Ada
perbedaan mendasar antara pendekatan top-down dan bottom-up dalam
produksi dan pemahaman bahasa (Nunan, 1989: 37-38). Pendekatan top-down
memanfaatkan pengetahuan the larger picture untuk membantu usaha
memahami atau menggunakan elemen-elemen yang lebih kecil; sedangkan pendekatan bottom-up
memfokuskan perhatian pada beragam komponen bahasa dan kemudian mentautkan
komponen-komponen ini dalam pemahaman dan pemakaian bahasa. Dua pendekatan ini
pada gilirannya nanti memunculkan dua kelompok ahli yang berbeda pandangan.
Yang pertama lebih memperhatikan bentuk – dinamakan form-focused, yang
kedua lebih memperhatikan makna – dinamakan meaning-focused. Tugas-tugas
yang diyakini berguna pun terpilah ke dalam dua kategori ini dan dikenal
sebagai form-focused tasks dan meaning-focused tasks. Perbedaan ini kemudian
dipertajam oleh kelompok yang percaya bahwa tugas-tugas yang diberikan
hendaknya mereplikasikan dunia nyata, dan cara terbaik untuk memperoleh ini
adalah dengan melakukannya secara langsung; sedangkan kelompok yang lain
mengatakan bahwa tindakan seperti ini tidak diperlukan (Nunan, 1989: 38).
Bagan yang dibuat oleh Nunan (1989: 40)
dapat memperjelas perbedaan dua kubu ini, meskipun harus tetap diingat bahwa
ada tugas-tugas yang tidak termasuk ke dalam salah satu kategori di atas. Tugas
yang dimaksud bercirikan mengulang, mengganti, atau mentranformasikan.
Sementara
itu Prabhu (1987: 138-143) seperti yang dikutip oleh Nunan (1989: 40-44)
memberikan sudut pandang dan tipe dan contoh-contoh tugas yang menarik untuk
diperhatikan. Pendapat dan pandangan para ahli lainnya, seperti Long et al. (1976), Duff (1986),
Varonis and Gass (1983), dan Chaudron (1988), seperti yang disebutkan oleh
Nunan (1989: 44), juga penting diperhatikan, meskipun pada intinya mereka semua
hampir sepakat bahwa keterampilan dasar bahasa haruslah terintegrasi, langsung
atau tidak langsung, dan rancangan tugas-tugas.
No comments:
Post a Comment