About

kutukan Asu "Sindhunatha"

KUTUKAN ASU
Aku ini bukan binatang jalang
Aku ini hanya kewan omahan
Aku ini asu. Asu, Su!

Tak ada peluru menembus kulitku
tapi cerca dan nista setiap hari mengirisi hatiku:
Asu kowe! Tak ada hari berlalu
tanpa makian itu.

Aku ini bukan binatang jalang
Aku ini hanya binatang sembelihan
Tak mungkin aku hidup seribu tahun lagi
Hari ini pun mungkin saja aku mati: di-Erwe!

Aku ini asu. Asu, Su!
Pada manusia, Su itu baik
Sukarno, artinya Karno yang baik
Suharto, artinya Harto yang baik
Sutanto, artinya Tanto yang baik
Mengapa padaku yang asu ini
Su itu artinya jelek?
Apakah hanya karena kata Su itu
bukan terletak di depan tapi di belakang namaku
maka padaku Su itu lalu berarti:
bajingan, maling, gentho, bangsat, kecu
biadab, durhaka, terkutuk, jahat, dan penipu?
Cobalah kalau begitu,
baliklah Sutanto jadi Tanto Su,
tidakkah artinya lalu bukan lagi Sutanto itu
tapi Tanto, provokator seni dari Mendhut itu?
Boleh saja kau balik Sutanto jadi Tanto Su
tapi jangan coba lakukan itu untuk Sukarno atau Suharto
berani kaulakukan itu
kau akan di-kolo seperti asu.

Aku ini bukan binatang jalang
Aku hanya asu kampungan
namun dariku, Gunung Tangkuban Perahu berasal.
Dayang Sumbi, apakah hanya karena aku asu
maka bagimu Sangkuriang jadi Oedipus
anakmu yang sekaligus suamimu?
Bukan aku, tapi kesepianmu yang mengundang aku
yang asu ini menjadi kekasihmu
yang melahirkan Sangkuriang anakmu dan suamimu.
Bukan aku tapi kesepianmu yang salah.
Mengapa kesalahan itu lalu menjadi kesalahanku?

Aku ini bukan binatang jalang
Aku hanya asu kampungan
Namun aku juga punya hak meradang menerjang
maneges di hadapan Allah Gusti Pangeran:
Dhuh Allah, mesti senista itukah aku yang asu ini?

Mring rama sang dwijawara
piteking tyas sang mahayekti
wus nyipta yen putranira
antuk pangojokireki
kang emban babu kalih
marma sanalika linut
ngandika lir nupata
heh sira Purnamasidi
lan ban inya dhandhang
lir ambeking sona.

Tan aning tyas tan nyana sayekti
sang bagawan lamun wuwusira
sing ganupateng sutane
sabdaning wiku luhung
sinambadan ing Hyang Pramesti
marma ing sanalika
emban inya sunu
katri wus warna srenggala
Dyah Purnama dadya sona ules kuning
anjing lanking banira.

Babunira sona ules abrit
Dyah Purnama lan kalih baninya
tumungkul miyat sukune
kagyat wus nyipta tuhu
lamun dadya srenggala sami
Dyah jrit mungkemi rama
sambat layu-layu
dhuh rama nuwun apura
ge ruwaten aywa kesuwen wak mami
dumadya srengalarda.

Dyah Purnamasidhi jadi anjing
kuning ules-nya
emban dan inangnya juga kena serapah
jadi anjing hitam dan merah
Hyang Pramesthi, mengapa kau tega
mengutuk manusia menjadi sona
sampai aku, meski aku bukan binatang jalang
makin terkutuk ke dalam kumpulan yang terbuang?

Aku ini bukan binatang jalang
aku ini hanya kewan omahan
teman manusia dalam kesepian.

Aku adalah asu. Asu, Su!
Tapi pada Lek Juri kubuktikan kesetiaanku.
Lek Juri majikanku
tak berumah ia,
di Panti Gelandangan Cipta Mulyo tinggalnya
di Jokteng daging asu jualannya.
Lama aku menemani kemiskinannya
tiap hari kulihat Lek Juri merebus daging sesamaku.
Hatiku teriris pilu, kulitku bagai ditembus peluru
melihat sesamaku asu meradang menerjang
karena dicincang dan dirajang,
meski mereka bukan binatang jalang.
Aku tak marah pada majikanku, mau apa lagi
hanya dari daging sesamaku asu
Lek Juri bisa menyambung hidupnya.
Tibalah hari, di mana Lek Juri tiada mampu
membeli lagi asu.
Akulah asu yang ia punya satu-satunya.
Ia tak tega menyembelihku
maklum, bertahun-tahun aku adalah teman kemiskinannya.
Ditukarkannya aku dengan asu lain.
Aku tak mau pergi
tapi mau tak mau aku harus meninggalkan Lek Juri
Mengiringi kepergianku Lek Juri bilang,
“jangan asuku disembelih, sayang,”
Aku dibawa ke Klaten,
Di sana beberapa hari aku tinggal.
Aku rindu Lek Juri, meski aku hanya asu.
Akhirnya, aku tak tahan, aku minggat
mencari kembali Lek Juri.
Kuketemukan dia lagi Jokteng, jualan daging asu
ia memeluk aku yang dimakan rindu
meski aku juga masih asu.
Sejak itu Lek Juri tak mau lagi
jualan daging asu sesamaku asu

Aku ini bukan bunatang jalang
aku ini kewan omahan
teman manusia dalam kesepian

Aku adalah asu. Asu, Su!
Tapi dengarlah bagaimana seorang penulis Cina,
bercerita tentang kesetiaanku pada seorang lelaki tua:
Lelaki tua yang sepi dan sepi itu namanya Xiang Tua.
Karena kemiskinan dan bencana kelaparan
Xiang Tua terpaksa berpisah dengan istrinya tercinta.
Akulah yang jadi penggantinya.
Baginya, aku bukan seekor anjing tapi teman karibnya.
Di musim dingin, aku digendongnya, sehingga aku dan dia
dapat saling berbagi kehangatan.
Pada malam yang panjang, sepi dan sunyi
seolah hanya aku dan dia yang ada di dunia ini.
Tak pernah terbayang olehnya: aku harus berpisah dari dia.
Tiba-tibalah perintah negara:
Semua anjing kampung harus disingkirkan dalam tiga hari.
Tidak menaati perintah ini berarti menyembunyikan musuh kelas.
Di balik perintah ini adalah cita-cita radikal revolusi kebudayaan:
Semua kekuatan reaksioner dan liberal harus dikikis habis
demi tegaknya diktator proletariat.
Lao Tzu dan konfusius adalah musuh masyarakat tanpa kelas
padahal mereka mengajar: belajarlah dari kuda untuk taat,
dari domba untuk bakti, dari harimau untuk jujur,
dan dari anjing untuk setia.
Maka anjing-anjing harus dibunuh,
bukan supaya binatang-binatang itu musnah,
melainkan supaya sisa-sisa ajaran reaksioner yang antirevolusi
yang tersembunyi dalam kesayangan terhadap binatang-binatang itu
habis disikat sampai ke akar-akarnya.
Xiang Tua tak menaati perintah itu.
Lelaki itu berfikir dengan logika petani sederhana, katanya:
Aku tak pernah mendengar tentang suatu negara menjadi miskin
karena memelihara anjing. Dalam masyarakat lama bahkan
para pengemis pun memiliki anjing.
Dan sambil mengayak dan menampi
gandum dengan geram ia mengajari teman-temannya:
Betapapun miskin kita, tidak bisa kita menimpakan
kesalahan pada anjing-anjing untuk kemiskinan kita.
Siapa di desa kita yang pernah memberi makan anjing?
Bukankah mereka berkeliaran mencari makan sendiri?
Anjingku pun tak pernah mengurangi jatah makan manusia.
Tak pernah merengek ia meminta makan,
ia selalu mencari makannya sendiri.
Betapa Xiang Tua sayang padaku, ia gigih membela aku.
Namun aku tahu, tak mungkin ia bertahan terhadap tekanan
milisi
yang bertugas membunuh aku.
Malam itu, dengan manja aku membaringkan kepalaku di atas
pahanya.
Xiang Tua mengelus-elus buluku yang mengkilat seperti sutra.
Ia mengira, aku yang anjing ini tidak tahu,
malam ini adalah malam terakhir aku bersamanya.
Esok pagi, ia hanya melihat sekumpulan anak-anak
berkerumun melihat aku rebah telentang miring
dan dari bawah perutku menyembur darah.
Aku sudah mati tertembak.
Mataku memandang miring ke arah langit biru, ketakutan dan
gelisah.
Persis seperti ekspresi perempuan yang dulu pernah mengemis
pada Xiang Tua di saat bencana kekeringan melanda
perempuan malang yang lalu menjadi istrinya yang tercinta
yang kemudian terpaksa meninggalkannya
karena tak diperkenankan aturan negara.

Aku ini bukan bunatang jalang
aku ini kewan omahan
teman manusia dalam kesepian

Aku adalah asu. Asu, Su!
telah kutunjukkan kesetiaanku
kenapa manusia kejam padaku.
Dayun, aku Menak Jingga, Ratu Blambangan.
tahukah kau, mengapa aku berwajah asu?
Dulu aku kesatria tampan, namaku Joko Umbaran
putra Adipati Menak sobali
bawahan Majapahit yang setia setengah mati.
Waktu itu bupati Lumajang, Kebo Marcuet memberontak
pada Brawijaya, Raja Majapahit
dan menginginkan putri kedaton
Dyah Suba Siti Kencanawungu, Dayun.
Brawijaya membuat sayembara, siapa bisa
membunuh Kebo Marcuet, dia akan diangkat jadi ratu
dan memperoleh Kencanawungu.
Dayun, kupegang tanduk musuhku yang berkepala kerbau itu
Kupintir kepalanya, krak-krak-krak.
Kebo Marcuet kalah, menyerah dan palastra.
Namun Dayun, dalam pertarunganku itu
Kebo Marcuet sempat menginjak-injak wajahku
sampai rupaku rusak jadi seperti asu.
Kebo Marcuet sudah terbunuh binasa,
aku telah memenangkan sayembara, tapi nyatanya
tak kuperoleh Dyah Suba Siti Kencanawungu
karena putri cantik itu tak menemui aku, malu
karena aku telah berupa asu, meski dulu
ketika aku masih kesatria Jaka Umbaran
wajahku tak kalah tampan dengan Damarwulan.
Dayun, setelah kau dengar kisah sedihku
katakanlah siapakah sebenarnya yang asu?
Aku yang asu ini atau penguasa yang manusia itu?

Menak Jingga, kenapa kau kecewa menjadi asu?
Lebih baik menjadi asu daripada menjadi manusia
Asu itu setia, dan berani berkorban.
Namun begitu asu menjadi manusia: ia menjadi gentho, kecu
bajingan, koruptor, predator, maling, penjahat dan penipu.
Maka yang jelek dan jahat itu bukan asunya tapi manusia asunya
karena itu Menak Jingga, tinggallah jadi asu saja.

Iya Dayun, tak ingin aku menjelma jadi manusia lagi
kalau aku jadi manusia, aku akan dikhianati sekali lagi
oleh kekasihku, Wahita dan Puyengan yang tergila-gila
pada kesatria tampan Damarwulan.
Dayun, lebih baik aku tinggal menjadi Asu, Su!
yang jalang yang meradang menerjang
yang dengan luka berlari membawa pedih peri
supaya aku bisa hidup seribu tahun lagi
dan hidupku pun akan leluasa jadi puisi
yang jalang dan liar seperti roh Chairil Anwar

No comments: