puisi merupakan karya sastra yang mempunyai makna didalam setiap katanya, pembabakannya juga bermacam-macm, dari Angkatan 45 sampai angkatan sekarang, namun dalam Analisis Puisi ini mencoba membandingkan antara Angkatan 45 DENGAN Angkatan 2000.dari postingan ini dapat dijadikan bahan pembelajaran mengenai Perbandingan Sastra. maaf apabila dalam Sastra bandingan ini masih memiliki banyak kekurangan. selain itu puisi momeye sendiri sudah dianalisis pada postingan sebelumnya,...disini
Perbandingan Puisi Indonesia Angkatan
1945 dan Angkatan 2000
Mengenang
dan Meninjau Karya Purwa Atmadja
dengan Momeye
Karya Sindhunata
Puisi merupakan
salah satu media seseorang untuk menyalurkan apa yang dirasakan, dipikirkan, dilihat,
didengar dan tertangkap melalui alat indria yang dimilikinya. Puisi juga bagian
dari sastra, di samping prosa dan drama. Kekhasan puisi disbanding kedua bagian
yang lain dari sastra terletak pada penggunaan kata-kata yang lebih padat
makna, adanya persajakan, rima dan ritma tentunya, citraan, tipografi, dan gaya bahasa yang digunakan
pengarang.
Untuk itulah
penulis mengambil puisi yang berjudul Mengenang
dan Meninjau Karya Purwa Atmadja dan Momeye
Karya Sindhunata untuk dibandingkan unsur-unsur instrinsiknya (yang telah
penulis sebutkan di atas). Hal ini penulis lakukan untuk mengetahui persamaan
dan perbedaan selain yang ada pada kedua puisi tersebut, tentunya, juga pada
angkatan kedua puisi tersebut (paling tidak secara sederhana terlebih dahulu).
Dapat dilihat
bahwa secara garis besar substansi dari kedua puisi tersebut berbicara mengenai
kritik sosial, yaitu di dalam kemerdekaan ternyata manusia itu masih saja
dijajah. Di dalam Mengenang dan Meninjau karya Purwa Atmadja (yang bernama asli Anwar
Isnudikarta) kemerdekaan masih diperjuangkan, ada harapan untuk hidup selayak
mungkin di dalam negara yang merdeka jika mau berusaha. Meskipun hidup di
tengah pemerintahan yang carut-marut dan politik ekonomi yang amburadul, rakyat
dmasih dapat bekerja keras untuk hidup lebih baik dan tercukupi
kebutuhan-kebutuhannya.
Tetapi di dalam Momeye karya Sindhunata (yang bernama
lengkap Gabriel Poessanti Sindhunata) kemerdekaan justru menjadi bumerang bagi banyak
orang. Di satu sisi kemerdekaan untuk diperjuangkan, diraih dan dipertahankan.
Di sisi lain kemerdekaan itu sendiri banyak merampas segala yang dimiliki
(hilangnya harta benda, pengorbanan nyawa, robeknya keperawanan, dan
sebagainya).
Kedua puisi yang
ditulis lempeng (bertipografi sejajar
dan lurus ke bawah seperti menulis sajak pada umumnya) ternyata mempunyai diksi
yang berbeda. Purwa Atmadja menggunakan kata-kata yang padat makna, sedangkan
Sindhunata lebih pada penggunaan kata-kata yang mampu bercerita secara naratif.
Pilihan kata yang digunakan di dalam Mengenang
dan Meninjau karya Purwa Atmadja lebih pada kata-kata yang padat kata dan
padat makna. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut:
…
Ekonomi kurat karit
Suruh menghemat
Suruh semangat
Ah, Bung, manakah Pemimpin
Yang akan mengatur
Negara Makmur?
Sementara itu,
di dalam Momeye karya Sindhunata digunakan
kata-kata yang mampu bercerita secara naratif. Maksudnya tidak habis pada satu
baris saja, melainkan bersambung pada baris-baris di bawahnya. Hal demikian
dapat dilihat pada kutipan berikut:
…
Memang kemerdekaan tidak hanya direbut
dengan darah dan bambu runcing
tapi juga dengan penderitaanmu
dan keperawananmu, Momeye
yang dirobek dengan paksa
ketika kau dirodapaksa jadi jugun ianfu
wanita pemuas nafsu
Kau diantre di loket dengan harga tiga yen
sehari kau harus melayani lima belas tamu
pagi pegawai sipil, malam serdadu
…
Kedua puisi di
atas mempunyai persajakan yang bebas, tidak terikat pada pola penulisan
persajakan yang telah ada dan dikenal secara konvensional. Hal demikian itulah
yang memberi kekhasan tersendiri bahwa angkatan 1945 dan angkatan 2000
mempunyai persajakan yang lebih bebas, diksinya pun lebih bebas dari angkatan
sebelumnya. Meskipun tidak dapat dipungkiri masih ada puisi yang ditulis dengan
menggunakan pola-pola konvensional. Tetapi pola tersebut hanya dicomot sebagai
referensi saja, tidak seutuhnya digunakan.
Pada puisi Mengenang dan Meninjau terdapat
persamaan bunyi pada kata keras-beras,
sarung-karung, menghemat-semangat, mengatur-makmur, telantar-lapar sehingga
menimbulkan bunyi berirama yang harmonis dan liris. Apalagi kata rakyat, merdeka, makmur, bersatu, dan kawan yang
diulang dalam puisi tersebut juga dapat menimbulkan irama yang padu dan
mempertegas suasana, yaitu citraan pandang atau penglihatan terhadap semangat rakyat
yang berkobar.
Sementara itu citraan
pada puisi di dalam Momeye ada banyak
sekali citraan penglihatan, misalnya saja dalam: Tentara pulang dari medan
laga dan Keringat dan asap rokok.
Selain itu juga didapatkan citraan lain seperti: citraan pendengaran (Banyak anak gelandangan menjerit seperti
Rinjani dan Di mana-mana teriak
merdeka), dan citraan penciuman (Berbau
di tubuhnya).
Gaya bahasa yang digunakan kedua pengarang jauh
dari kesan-kesan konotatif dan bermajas. Tidak ada kata yang sulit dipahami.
Istilah seperti jugun ianfu yang
digunakan pun sudah memasyarakat. Hal ini membuat pembaca tidak mengalai
kesulitan dalam menikmati dan memahami kedua puisi tersebut. Inilah yang
menjadi ciri keduanya, yaitu diksi yang digunakan langsung menuju pada sasaran,
pada apa yang dimaksudkan.
Pada Mengenang dan Meninjau karya Purwa
Atmadja berisi mengenai keadaan masyarakat yang terhimpit beban hidup, rakyat
masih tidak tahu bagaimana caranya memenuhi kebutuhan hidup seperti sandang,
pangan, dan papan. Rakyat mengharapkan adanya pemimpin yang dapat membawa pada
perbaikan agar mereka menjadi rakyat adil makmur dan sejahtera.
Oleh karena
itulah mereka bersemangat untuk bersatu memperjuangkan kemerdekaan mereka.
Merdeka untuk apa saja; terutama untuk hidup layak secara manusiawi. Sebab
tidak ada kemerdekaan yang bisa dicapai secara instant. Harus ada semanat
persatuan, kerja keras dan saling menolong.
Sedangkan Momeye lebih banyak berbicara tentang
kemerdekaan yang ternyata membuat sengsara. Di dalam kemerdekaan pun ternyata
banyak orang yang masih hidup sengsara, menderita. Tidak ada kemerdekaan yang
mutlak. Tidak ada merdeka yang benar-benar merdeka.
Tidak ada
kemerdekaan yang dapat dicapai tanpa pengorbanan. Jelasnya, kedua puisi
tersebut bertendensi untuk mengingatkan banyak orang untuk tidak melupakan sejarah
dan membangkitkan semangat patriotisme, semangat mencapai dan mempertahankan
kemerdekaan dengan mengetengahkan permasalahan mengenai kemerdekaan yang
dicapai tidak dengan mudah diraih. Perlu adanya pengorbanan!
Tidur saja, mas. Selama masih malam. Dengan begitu,
paling tidak, kau bisa melupakanku. Meski tidak sepenuhnya lupa, dan mungkin
masih membekas sisa-sisa sakit semalam. Tetapi tidur akan jauh membuatmu
menjadi lebih baik.
Lupakanlah bahwa kita pernah saling cinta.
Sebab hidup bersama itu tidak mungkin lagi buat
kita.
Selama masih kita bersama tak akan ada harapan
untuk saling memahami.
Berdamai.
Maafkan aku. Maafkan aku sebab berdustat padamu.
Maafkanlah aku, karena tak berterus terang padamu.
No comments:
Post a Comment