Analisis Puisi
dalam admin ini mencoba menguak tentang sisi diksi yang terdapt didalam Puisi
Kucing, penggunakan kata yang tidak seperti biasanya dapat menimbulkan
sebuah anggapan bahwasanya disetiap kata-katanya tersimpan sebuah makna yang
hendak disampaikannya.
Sudah
banyak Contoh Analisis Puisi yang mna mengunakan teori-teori tertentu,
bergantung pada, dari sisi mana yang akan di Analisisnya, semoga didalam
Analisis Puisi Kucing dapat memberikan manfaat dalam mengerjakan tugas
sekolah,
Salam Sastra…!!!!
Kucing
lewat dia mengalir ngilu ngiau dia bergegas lewat
dalam aortaku dalam rimba
darahku dia besar dia bukan harimau bukan singa
bukan hiena bukan leopar
dia macam kucing bukan kucing tapi kucing
ngiau dia lapar dia merambah rimba afrikaku
dengan cakarnya dengan amuknya
dia meraung dia mengerang jangan beri
daging dia tak mau daging Jesus jangan
beri roti dia tak mau roti ngiau kucing meronta
dalam darahku meraung
merambah barah darahku dia lapar 0 alangkah lapar
ngiau berapa juta hari
dia tak makan berapa ribu waktu dia
tak kenyang berapa juta lapar lapar kucingku
berapa abad dia mencari mencakar menunggu tuhan mencipta kucingku
tanpa mauku dan sekarang dia meraung
mencariMu dia lapar jangan beri daging jangan
beri nasi tuhan menciptanya tanpa setahuku dan kini dia minta
tuhan jemput saja untuk tenang sehari untuk
kenyang sewaktu untuk tenang..
Puisi -Sutardji Calzoum Bachri, 1995
ANALISIS PUISI KUCING
Dari puisi di atas, terdapat
unsur mantra, seperti halnya penyebutan nama Tuhan, pokok inti yang terdapat
didalamnya yaitu pencarian tuhan, atau peningkatan iman yang tidak akan pernah
berhenti. Kata “kucing”diatas merupakan sebuah lambang dari semangat orang yang
tak pernah berhenti dalam mencari Tuhan. Meskipun tak pernah pernah tercapai,
namun mereka terus mencari. Namun, bila kita selami pemikiran Sitardji, dalam
konsep “Kredo”-nya,Sutardji sesungguhnya ingin membebaskan kata-kata dari
fungsinya sebagai alat pembawa pengertian Lebih lanjut, Sutardji menyatakan
pula bahwa kata-kata harus bebas menentukan dirinya sendiri. Dalam puisi yang
ia ciptakan, Sutardji pun mengatakan dengan tegas bahwa ia ingin membebaskan
kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggunya seperti kamus-kamus dan
penjajahan lain.
Pemikirannya yang kedua,
Sutardji ingin “mengembalikan kata kepada mantra”.Sutardji yang tak pernah
mendefinisikan makna dari mantra dalam pemikirannya ditambah dengan
karya-karyanya berupa puisi —salah satunya dapat dilihat pada “Kucing”—yang
sarat akan kata-kata dengan rasa magis sepertinya dapat menimbulkan anggapan
bagi masyarakat bahwa karyanya memanglah mantra. kata-kata dan kalimat dalam
puisi Sutardji, termasuk dalam puisi “Kucing” di atas, jika dirangkaikan satu
sama lain sesungguhnya dapat membentuk suatu prosa yang terdiri dari
kalimat-kalimat sederhana. Pada puisi diatas, terdapat pemenggalan suku kata
yang tidak biasa seperti “af” dengan“rikaku” terpisah pada baris baru. Namun
jika dilihat kembali, bukan tak mungkin bahwa tujuan Sutardji melakukan pemenggalan-pemenggalan
tak biasa tersebut adalah guna menghasilkan suatu tipografi dengan bentuk
setengah sisi siluet kucing
Dari hal ini dapat terlihat
bahwa unsur mantra dalam puisi lama sungguh berbeda dengan unsur mantra yang
dianggap oleh sebagian besar orang terdapat dalam karya Sutardji. Keunikan yang
dicapai Sutardji lebih kearah tipografi pada puisinya. Pada mantra dalam puisi
lama pun tentu tidak terdapat tipografi. Selain itu, perbedaan nampak pula pada
tujuan penciptaan mantra. Jika mantra dalam puisi lama bertujuan untuk
memperoleh kekuatan dari unsur gaib, sedangkan dalam karya Sutardji
mengedepankn unsur tipografi dikarenakan teradapat sebuah pesan yang
benar-benar akan dismapaikankepada pembacanya.
No comments:
Post a Comment