Puisi Doa: yang Berjudul “Doa” dan yang Mengandung
Kata “Doa”
Para penyair
dalam menuliskan puisinya yang berkaitan dengan doa banyak yang memberi judul ”Doa”, seperti Amir Hamzah, Chairil
Anwar, Budiman S. Hartoyo, Ajip Rosidi, Abdul Hadi, Taufiq Ismail, Sutardji,
Rachmat Djoko Pradopo. Pada umumnya puisi-puisi yang hanya berjudul ”Doa”
berkaitan dengan permohonan individu penyairnya. Penggunaan aku lirik sangat
dominan dalam puisi-puisi yang berjudul ”Doa”
ini.
Sebagian besar
penyair menulis puisi dengan judul yang mengandung kata ”Doa” yang ditujukan untuk orang lain (komunitas tertentu) atau
merupakan identifikasi penyair terhadap orang lain (komunitas tertentu),
seperti ”Doa Poyangku” karya Amir Hamzah, ”Doa Orang Kubangan” karya Taufiq
Ismail, ”Doa Putih Pembakar Kapur” karya Toto Sudarto Bachtiar, ”Doa Para
Pelaut yang Tabah” karya Sapardi Djoko Damono, ”Doa Seorang WTS” karya Subagio
Sastrowardoyo, ”Doa untuk Anakku” karya Emha Ainun Nadjib, ”Doa Perempuan” karya
Miranda Risang Ayu”. Judul-judul seperti ini menunjukkan dengan jelas keberpihakan
penyair kepada orang-orang yang disebutkan dalam judul sajaknya. Penyair sudah
tidak berbicara lagi tentang dirinya, keinginan-keinginan dirinya, tetapi sudah
menjadi pembela bagi orang lain; menjadi pembela kaum yang tertindas.
Selain beberapa
jenis judul di atas, terdapat juga judul yang mengandung kata ”doa” berkaitan dengan suasana atau
tempat, seperti puisi ”Doa di Jakarta” karya W.S. Rendra, ”Dalam Doa” karya Sapardi
Djoko Damono, ”Doa di Tengah Massa” karya Emha Ainun Nadjib, ”Doa Penutupan
Penataran P4” karya Mustofa Bisri, ”Doa Malam” karya Ahmadun Y. Herfanda.
Puisi-puisi ini menunjukkan suasana atau keadaan yang perlu mendapat perhatian
karena ada sesuatu yang dirasakan ganjil atau sangat penting oleh penyair.
Puisi Doa: Permintaan, Pengakuan, dan Cinta
Doa dalam puisi banyak yang berisi tentang permintaan. Dalam puisi “Doa” karya Ajip Rosidi yang hanya satu bait berisi permintaan kepada Tuhan.
Tuhan. Beri aku
kekuatan
Menguasai diri sendiri, kesunyian
dan keserakahan. Beri aku petunjuk selalu
untuk memilih jalanMu, keridoanMu, amin.
Menguasai diri sendiri, kesunyian
dan keserakahan. Beri aku petunjuk selalu
untuk memilih jalanMu, keridoanMu, amin.
Demikian pula dalam puisi “Doa” karya Amir Hamzah menginginkan sesuatu dari kekasihnya
(Tuhan) sebagai suatu permintaan,
Aduh kekasihku,
isi hatiku dengan katamu,
Penuhi dengan cahayamu, biar bersinar mataku
sendu, biar berbinar gelakku rayu!
Penuhi dengan cahayamu, biar bersinar mataku
sendu, biar berbinar gelakku rayu!
Berbeda dengan Ajip Rosidi, Amir Hamzah memulai puisi
”Doa”nya dengan memuji-muji Tuhan dan bersyukur kepada-Nya karena Tuhannya
telah memberi kesejukan yang diibaratkan senja setelah terik matahari.
Dengan apakah
kubandingkan pertemuan kita, kekasihku?
dengan senja samar sepoi, pada masa purnama meningkat naik,
setelah menghalaukan panas terik,
angin malam mengembus lemah, menyejuk
badan, melambung rasa,
menayang fikir, membawa angan ke bawah kursimu
dengan senja samar sepoi, pada masa purnama meningkat naik,
setelah menghalaukan panas terik,
angin malam mengembus lemah, menyejuk
badan, melambung rasa,
menayang fikir, membawa angan ke bawah kursimu
Puisi “Doa” Taufiq Ismail dapat dikategorikan ke dalam puisi yang berisi pengakuan dan kehinaan diri, kemudian disusul dengan permohonan berupa pengampunan dari Tuhan.
Tuhan kami
Telah nista kami dalam dosa bersama
Bertahun membangun kultus ini
Dalam pikiran yang ganda
Dan menutupi hati nurani
Ampunilah kami
Ampunilah
Amin
Telah nista kami dalam dosa bersama
Bertahun membangun kultus ini
Dalam pikiran yang ganda
Dan menutupi hati nurani
Ampunilah kami
Ampunilah
Amin
Pengakuan akan dosa juga tampak pada puisi ”Doa”
Budiman S. Hartoyo, seraya memohon agar Tuhan tidak berpaling.
Betapapun, ya
Allah
jangan palingkan Wajah-Mu
Betapapun kusandang dosa-dosaku
dan dengan rasa malu
aku datang menghadap-Mu
jangan palingkan Wajah-Mu
Betapapun kusandang dosa-dosaku
dan dengan rasa malu
aku datang menghadap-Mu
Walaupun tidak
berbicara tentang dosa, Chairil Anwar juga mengungkapkan pengakuan di hadapan
Tuhannya, mengakui akan kelemahan dirinya, Tuhanku/ aku hilang bentuk/ remuk. Dalam
puisi “Doa” Amir Hamzah tampak
sekali bahwa Tuhan sebagai seorang kekasih, Dengan apakah kubandingkan
pertemuan kita, kekasihku? Doa yang dipanjatkan oleh Amir Hamzah doa penuh
cinta. Demikian pula dengan puisi “Doa”
Chairil Anwar memperlihatkan kekuatan cinta kepada Tuhan, Tuhanku/ Dalam
termangu/ Aku masih menyebut namaMu/ Biar susah sungguh/ mengingat Kau penuh
seluruh. Pada bait terakhir secara tersirat Chairil pun membutuhkan uluran
tangan Tuhan supaya mau membuka pintu-Nya.
Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling
Kecintaan
penyair yang sangat besar kepada Tuhannya terasa pula dalam puisi “Doa I” karya Abdul Hadi W.M. Tuhanlah
yang menyediakan segala sesuatu. Kalau ada yang kenyang, Tuhanlah yang
mengulurkan tangan, membuat manusia kenyang. Tuhanlah yang memberi nasi. Akan
tetapi, Tuhan pun ikut meneteskan air mata jika ada makhluk-Nya yang kelaparan
dan berebut nasi. Tuhan ditempatkan sebagai sesuatu yang sangat imanen. Tuhan
merupakan refleksi dari tangan, kenyang, dan nasi.
Kalau ada
tangan yang mengulurkan kenyang dari perut nasi
hingga enyah lapar ini, Kaulah tangan itu.
Kalau ada kenyang yang meliputi nasi hingga tergerak tangan
ini membukanya, Kaulah kenyang itu.
Kalau ada nasi yang menghidupkan kembali jiwa lapar hingga
bangkit kekuatan tangan ini, Kaulah nasi itu.
Tapi kalau ada lapar yang bergerak menggeliat merebut nasi
untuk sekedar kenyang hingga tergoncang seluruh bumi,
Kaulah airmata ini.
hingga enyah lapar ini, Kaulah tangan itu.
Kalau ada kenyang yang meliputi nasi hingga tergerak tangan
ini membukanya, Kaulah kenyang itu.
Kalau ada nasi yang menghidupkan kembali jiwa lapar hingga
bangkit kekuatan tangan ini, Kaulah nasi itu.
Tapi kalau ada lapar yang bergerak menggeliat merebut nasi
untuk sekedar kenyang hingga tergoncang seluruh bumi,
Kaulah airmata ini.
Hal yang sama terdapat dalam puisi ”Doa Putih Pembakar
Kapur” karya Toto Sudarto Bachtiar
Terbungkuk di
bawah keranjang batu
Sehidup suntuk kudaki tangga waktu
Terhuyung-terhuyung satu satu
Tetapi aku masih tetap cinta pada-Mu
Sehidup suntuk kudaki tangga waktu
Terhuyung-terhuyung satu satu
Tetapi aku masih tetap cinta pada-Mu
Puisi Doa: Permohonan Individual dan Permohonan Sosial
Puisi yang
berkaitan dengan doa pada umumnya berbicara tentang individu sebagai aku lirik
atau subjek lirik. Seruan-seruan yang ditujukan kepada Tuhan merupakan seruan
retoris subjek lirik.
Aduh kekasihku,
isi hatiku dengan katamu,
Penuhi dengan cahayamu, biar bersinar mataku
sendu, biar berbinar gelakku rayu!
Penuhi dengan cahayamu, biar bersinar mataku
sendu, biar berbinar gelakku rayu!
Yang menjadi
isi permohonan Amir Hamzah di atas adalah agar diri subjek lirik diterangi
dengan sinar Tuhan. Dalam puisi Budiman S. Hartoyo, dalam lirik puisinya adalah
yang merasa banyak dosa memohon kepada Tuhan agar tidak memalingkan wajahnya.
Betapapun, ya Allah/ jangan palingkan
WajahMu/ Betapapun kusandang dosa-dosaku/ dan dengan rasa malu/ aku datang
menghadapMu
Sementara itu,
yang dimohon oleh Ajip Rosidi dalam puisinya adalah kekuatan untuk menghadapi
hawa nafsu, kesunyian, dan keserakahan, Tuhan.
Beri aku kekuatan/ Menguasai diri sendiri, kesunyian/ dan keserakahan./ Beri
aku petunjuk selalu/ untuk memilih jalanMu, keridoanMu, amin.
Pembicara dalam
puisi Toto Sudarto Bachtiar ”Doa Putih Pembakar Kapur” pun menggunakan subjek
lirik, tetapi puisi ini dengan jelas terlihat siapa aku lirik yang dimaksud,
pembakar kapur. Subjek lirik bukanlah si penyairnya, melainkan pembakar kapur
yang menerima takdirnya dan harus tetap bersyukur dengan keadaannya. Yang
menjadi permohonannya adalah agar Tuhan mau mendengar rintihan kerinduannya.
Terbungkuk di
bawah keranjang batu
Sehidup suntuk kudaki tangga waktu
Terhuyung-terhuyung satu satu
Tetapi aku masih tetap cinta pada-Mu
Dalam gaung nyanyian asap putih
Tidakkah Kau dengar rinduku yang merintih?
Takdir-Mu telah mengantarku ke sini
Ke kehidupan garang masa kini
Sehidup suntuk kudaki tangga waktu
Terhuyung-terhuyung satu satu
Tetapi aku masih tetap cinta pada-Mu
Dalam gaung nyanyian asap putih
Tidakkah Kau dengar rinduku yang merintih?
Takdir-Mu telah mengantarku ke sini
Ke kehidupan garang masa kini
Cara yang sama
dilakukan oleh Subagio Sastrowardoyo, aku lirik dalam puisi “Doa Seorang WTS“
adalah seorang Wanita Susila Puisinya berisi pengaduan terhadap Tuhan agar
Tuhan mau memaklumi pekerjaan yang dilakukannya tanpa menjadikan dirinya
seperti itu dia tidak bisa mendapatkan Rizki untuk makan diri dan keluarganya
jika mengandalkan gaji suaminya walaupun ia tau bahwa pekerjaannya itu tidak
akan pernah di ridhoi oleh tuhannya
Tuhan, jangan
harapkan saya sempurna.
Kesucian saya tak mungkin bisa pulih.
Laki saya kerja di pabrik rokok. Yang
dibawa pulang saban bulan Cuma
10.000. Selebihnya dihabiskan di mainan
judi buntut. Sedang anak-anak masih
kecil, tiga. Yang sulung baru kelas dua
SD. Mereka perlu makan, perlu obat
kalau sakit.
Kesucian saya tak mungkin bisa pulih.
Laki saya kerja di pabrik rokok. Yang
dibawa pulang saban bulan Cuma
10.000. Selebihnya dihabiskan di mainan
judi buntut. Sedang anak-anak masih
kecil, tiga. Yang sulung baru kelas dua
SD. Mereka perlu makan, perlu obat
kalau sakit.
Selain
persoalan aku lirik sebagai individu, pembicara dalam puisi doa dapat berupa
subjek lirik yang mengatasnamakan kelompok dengan menggunakan kata ”kami”,
seperti pada puisi ”Doa” Taufiq Ismail,
Tuhan kami
Telah nista kami dalam dosa bersama
Bertahun membangun kultus ini
Dalam pikiran yang ganda
Dan menutupi hati nurani
Ampunilah kami
Ampunilah
Amin
Telah nista kami dalam dosa bersama
Bertahun membangun kultus ini
Dalam pikiran yang ganda
Dan menutupi hati nurani
Ampunilah kami
Ampunilah
Amin
Beberapa puisi
doa bermuatan doa subjek lirik yang ditujukan untuk orang lain, seperti puisi
”Doa untuk Anakku” karya Emha Ainun Nadjib atau puisi ”Sajak Doa” Ahmadun karya
Y. Herfanda yang ditujukan kepada Kuntowijoyo. Dalam puisi ”Doa untuk Anakku”,
Emha memohon agar Tuhan tidak memanjakan anaknya: Janganlah Kaumanjakan ia/ Jangan Kauistimewakan kemurahan baginya/ Agar
cepat ia mengenali dirinya/ Dan mengerti bahasa tetangganya. Dengan lirik
itu Emha menampakkan subjek lirik memohon agar anaknya diberi ujian, diberi
hukuman, diberi cambukan agar dapat menjadi manusia yang kuat bisa berdiri
tegar menghadapi semua yang akandilaluinya, ketia ia mendapatkan sesuati yang
indah agar tidak lupa kepada orang yang di sekelilingnya.
Sementara itu,
Ahmadun dalam puisinya memohon kesembuhan bagi sahabatnya sesama penyair, yaitu
Kuntowijoyo,
Tuhanku, hari
ini aku bersimpuh
di hadapanmu, mengangkat tangan
dalam linangan air mata sejati
memohon kesembuhan sahabat kami
guru kami, yang kini terbaring
tak berdaya di pangkuan-Mu
di hadapanmu, mengangkat tangan
dalam linangan air mata sejati
memohon kesembuhan sahabat kami
guru kami, yang kini terbaring
tak berdaya di pangkuan-Mu
Pembicara yang
mengatasnamakan ”kami” terdapat pada puisi doa, seperti pada puisi Sapardi,
”Doa Para Pelaut yang Tabah”, puisi Emha Ainun Nadjib, “Doa untuk Hari Esok
Kami” atau puisi Mustofa Bisri “Doa Penutupan Penataran P4”. Dalam puisi
Sapardi, misalnya permohonan yang disampaikan berkenaan dengan kekuatan untuk
dapat terus menjalani hidup yang penuh dengan goda’an dan ujian dari Tuhan,
dalam syair tersebut juga akan terus seperti ini sampai keturunannya, dan
memohon kekuatan untuk semuanya.
selalu bajakan
otot-otot lengan kami, ya Tuhan,
yang tetap mengayuh entah sejak kapan
barangkali akan segera memutih rambut kami ini,
satu demi satu merasa letih, dan tersungkur mati,
tapi berlaksa anak-anak kami akan memegang dayung
serta kemudi
menggantikan kami
yang tetap mengayuh entah sejak kapan
barangkali akan segera memutih rambut kami ini,
satu demi satu merasa letih, dan tersungkur mati,
tapi berlaksa anak-anak kami akan memegang dayung
serta kemudi
menggantikan kami
Puisi-puisi
yang menggunakan aku lirik pada umumnya berbicara tentang kepentingan individu
atau permohonan diri si aku lirik yang sangat mungkin adalah si penyair
sendiri. Akan tetapi, ada pula pembicara dalam puisi doa sebagai aku lirik yang
berdimensi sosial, misalnya doa yang dipanjatkan aku lirik ditujukan untuk
orang lain. Puisi doa yang menggunakan pembicara sebagai seseorang atau
sekelompok orang dimaksudkan sebagai doa yang berdimensi sosial. Demikian pula
penggunaan kata ganti ”kami” dalam doa menunjukkan bahwa doa tersebut tidak
ditujukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi ditujukan pula untuk kemaslahatan
orang banyak.
Puisi Doa: sebagai Kritik Sosial
Puisi doa yang
ditulis oleh para penyair dimanfaatkan pula untuk menyampaikan kritik sosial.
Dalam puisinya yang lain “Mendoakan Khatib Jumat agar Mendoakan” Taufiq Ismail
mengkritik para khatib di mimbar Jum’at yang sering luput dari perhatian
masalah sosial, masalah-masalah kaum muslimin yang terabaikan. Puisi ini
merupakan kritik sosial. Walaupun judulnya mengandung kata “doa”, isinya tidak
berkaitan dengan permintaan, tetapi mengisyaratkan tentang kejadian di Negeri
kita yang setiap tahun selalu terjadi mungkin tidak ada pencegahan dalam
kejadian ini.
Berminggu-minggu
debu Galunggung menyusupi kota-kota
Beratus-ribu saudara kita jatuh sengsara
Di Kalimantan berjuta hektar hutan terbakar
Asapnya menutup Asia Tenggara, apinya berbulan menjalar-jalar
Aku masuk sebuah masjid suatu Jumat tengah hari
Tak kudengar khatib mendoakan mereka
...........................
Beratus-ribu saudara kita jatuh sengsara
Di Kalimantan berjuta hektar hutan terbakar
Asapnya menutup Asia Tenggara, apinya berbulan menjalar-jalar
Aku masuk sebuah masjid suatu Jumat tengah hari
Tak kudengar khatib mendoakan mereka
...........................
Puisi Mustafa
Bisri ”Doa Penutupan Penataran P4” dimaksudkan sebagai kritik terhadap ritual
penataran yang ”sok moralis”, tetapi setelahnya perilaku petatar banyak yang
tidak menghayati dan tidak mengamalkan Pancasila. Puisi ”Doa Para Penguasa
Sepanjang Masa” karya Hamid Jabbar yang isinya hanya satu kata ”Aman” merupakan
kritik yang pedas terhadap para penguasa yang doanya hanya berkenaan dengan
upaya ”mengamankan” kedudukannya.
Puisi ”Doa di
Jakarta” karya W.S. Rendra tidak luput dari kritik sosial tentang keadaan kota
Jakarta yang sudah mulai kehilangan ”kemanusiaan”, lingkungan yang kotor, kekerasan,
dan tipu daya yang sudah menjadi budaya.
Tuhan Yang Maha
Esa
alangkah tegangnya
melihat kehidupan yang tergadai,
pikiran yang dipabrikkan,
dan masyarakat yang diternakkan
alangkah tegangnya
melihat kehidupan yang tergadai,
pikiran yang dipabrikkan,
dan masyarakat yang diternakkan
Puisi Doa: Metafora yang Imanen
Penggunaan
majas dalam puisi-puisi doa tampak khas karena yang diajak berdialog adalah
Tuhan yang harus dipuji, dihormati, dan dicintai. Permohonan haruslah
disampaikan dengan cara-cara yang sangat santun agar permohonan itu dikabulkan.
Dalam puisi Amir Hamzah, Tuhan diibaratkan sebagai kekasih. Tuhan sebagai
kekasih diibaratkan senja yang memberikan kesejukan setelah berlalunya terik
matahari siang hari. Sementara itu, manusia sebagai makhluk yang siap menerima
kata dan kasih Tuhan.
Dalam puisi
Chairil Anwar Tuhan diibaratkan sebagai cahaya panas suci yang bagi dirinya
tinggal kerdip lilin, sementara manusia sebagai makhluk yang lemah, hilang
bentuk – remuk. Metafor cahaya bagi Tuhan digunakan juga oleh Sapardi Djoko
Damono dalam sajaknya “Dalam Doa I”, kupandang ke sana: Isyarat-isyarat dalam cahaya/kupandang semesta ketika Engkau seketika
memijar Kata dalam puisi “Doa” Budiman S. Hartoyo, Tuhan merupakan sesuatu yang imanen,
Tuhan sangat dekat dengan manusia. Tuhan melihat tingkah polah manusia. Manusia
pun dalam puisi ini mengenali, bahkan melihat Tuhannya, bahkan manusia
diibaratkan gasing yang diputar-putar
Tuhan,
Ya, betapapun telah Kausaksikan
polah tingkahku selama ini
seperti mainan gasing di tengah galau kehidupan
yang Kauputar-putar
Ya, betapapun telah Kausaksikan
polah tingkahku selama ini
seperti mainan gasing di tengah galau kehidupan
yang Kauputar-putar
Dalam puisi
“Doa I” Abdul Hadi menempatkan Tuhan sebagai pemeran utama. Tuhan sebagai
tangan yang mengulurkan makanan. Tuhan sebagai kenyang itu sendiri. Tuhan
sebagai nasi. Tuhan sebagai airmata ketika melihat kelaparan. Dalam puisinya
yang lain, “Doa II” Abdul Hadi menempatkan Tuhan sebagai yang imanen karena
berumah di air dan di udara, Tuhan, kami
yang berumah di udara dan air,/ bahagia beroleh angin dapat lagi mengalir...Manusia
adalah makhluk yang tidak dapat hidup tanpa air dan udara. Manusia setiap hari
bernafas dan meminum air untuk kelangsungan hidupnya.
Kelemahan
manusia juga tampak pada puisi Sapardi “Doa Para Pelaut yang Tabah”. Manusia
tidak akan mampu terus menerus mengayuh perahu, maka kekuatan Tuhanlah yang
diharapkan agar para pelaut dapat mewariskan kemampuannya kepada anak-anaknya.
Dalam puisi W.S. Rendra “Doa Seorang WTS” manusia mengakui dirinya sebagai
makhluk yang tidak sempurna dan Tuhan diminta untuk memakluminya. Yang cukup unik
adalah manifestasi Tuhan dalam puisi “Doa” Sutardji Calzoum Bachri. Dia
menyebut Tuhan sebagai Bapak Kapak,
O Bapak Kapak
beri aku leherleher panjang
biar kutetak
biar ngalir darah resah
ke sanggup laut
Mampus!
beri aku leherleher panjang
biar kutetak
biar ngalir darah resah
ke sanggup laut
Mampus!
Sementara itu,
Ahmadun Y. Herfanda dalam puisi “Doa Pembuka” mengambil perumpamaan dari hadis
Qudsi. Tangan, kaki, lidah, mata, dan telinga manusia yang selalu berzikir
adalah tangan, kaki, lidah, dan mata Tuhan. Bentuk kesatuan antara manusia
dengan Tuhannya merupakan bentuk penempatan Tuhan secara imanen.
No comments:
Post a Comment