About

Hubungan Intertekstualitas Sajak Amir Hamzah Vs Chairil Anwar



Hubungan Intertekstualitas Sajak Padamu Jua dengan Doa
 
Amir Hamzah:
PADAMU JUA

Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu

Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia selalu

Satu kekasihku
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa

Di mana engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata merangkai hati

Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas

Nanar aku, gila sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau petik menarik ingi
Serupa dara di balik tirai

Kasihmu sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu-bukan giliranku
Mati hari-bukan kawanku….
(Nyanyi Sunyi, 1959:5)

Chairil Anwar:
DOA

Kepada pemeluk teguh
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut nama-Mu
Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh

Caya-Mu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

Tuhanku
Aku hilang bentuk
remuk

Tuhanku
aku mengembara di negeri asing

Tuhanku
di pintu-Mu mengetuk
aku tidak bisa berpaling
(Deru Campur Debu, 1959:13)

Sajak Chairil Anwar mempunyai hubungan intertekstualitas dengan sajak-sajak Amir Hamzah. Hubungan intertekstualitas itu menunjukkan adanya persamaan dan pertentangannya dalam hal konsep estetik dan pandangan hidup yang berlawanan.
Untuk mendapat makna penuh sebuah sajak, tidak boleh melupakan hubungan sejarahnya dengan keseluruhan sajak-sajak penyairnya sendiri, sajak-sajak sesamanya, maupun dengan sajak sastra zaman sebelumnya (Teeuw, 1983: 65) Secara intertekstualitas “Doa” Chairil Anwar menunjukkan adanya persamaan dan pertalian dengan sajak “Padamu Jua”. Ada gagasan dan ungkapan Chairil Anwar yang dapat diruntut kembali dalam sajak Amir Hamzah. Begitu juga ide, meskipun dalam pengolahannya ada perbedaan yang menyebabkan tiap-tiap sajak menunjukkan kepribadiannya masing-masing dalam menanggapi masalah yang dihadapi.
Dalam “Padamu Jua” si aku yang cinta dunianya habis kikis dengan pasti kembali kepada-Mu, Tuhan, meskipun pada awalnya kecewa karena ia merasa dipermainkan oleh Engkau. Namun, akhirnya ia tak mau pergi lagi karena Engkau sebagai dara di balik tirai, menanti si aku seorang diri dengan setia.
Dalam “Doa”, si aku yang terasing dalam kebingungannya meskipun pada mulanya termangu, tapi pada akhirnya ia datang juga kepada Tuhan karena Tuhan itu penuh seluruh (Maha Rahman dan Maha Rahim). Tak ada tempat lain untuk mengadu keremukan bentuknya (wujud hidupnya) selain Dia. Maka, setelah aku mengetuk pintu kerahmanan dan kerahimanNya, si aku tak bisa berpaling lagi.
Amir Hamzah menggambarkan Tuhan (Engkau) sebagai kandil (lilin) kemerlap. Ini ditransformasikan Chairil dalam “Doa”, sifat Tuhan sebagai kerdip lilin di kelam sunyi. Si aku dalam saja

Amir Hamzah ragu-ragu karena tak dapat menangkap wujud Engkau: Aku manusia / Rindu rasa / Rindu rupa // Di mana Engkau / Rupa tiada / Suara sayup / Hanya kata merangkai hati//. Bahkan si aku merasa diperhatikan: Engkau cemburu / Engkau ganas / Mangsa aku dalam cakarmu / Bertukar tangkap dengan lemas//.

Hal yang ditransformasikan Chairil: Tuhanku / Dalam termangu aku masih menyebut nama-Mu // Biar susah sungguh mengingat Kau penuh seluruh //. Penderitaan si aku dalam sajak Amir Hamzah (bait ke-3, 4, 5) ditansformasikan Chairil Anwar: Tuhanku / Aku hilang bentuk / remuk / … / aku mengembara di negeri asing.

Meskipun demikian, si aku Amir Hamzah kembali juga kepada Engkau, kekasihnya: Nanar aku, gila sasar / Sayang berulang padamu jua / Engkau pelik menarik ingin / Serupa dara di balik tirai // Kasihmu sunyi / Menunggu seorang diri /. Ini ditransformasikan Chairil dalam “Doa”: Tuhanku / aku mengembara di negeri asing // Tuhanku / di pintu-Mu aku mengetuk / aku tidak bisa berpaling.
Meskipun ada persamaan ide antara kedua sajak tersebut, namun pelaksanaannya, yaitu mengekspresikannya berbeda menyebabkan hasilnya pun berbeda. Hal ini disebabkan adanya perbedaan tanggapan terhadap Tuhan (wujud Tuhan).
Amir Hamzah menanggapi wujud Tuhan sebagai kekasih, Tuhan dianthropomorfkan, diwujudkan sebagai manusia: kekasih, gadis. Dengan demikian, kiasan-kiasannya bersifat personifikasi dan romantik: Pulang kembali aku padamu / Seperti dahulu / … / Kaulah kandil kemerlap / … / Melambai pulang perlahan / Sabar, setia selalu // … / Engkau pelik menarik ingin / Serupa dara di balik tirai // Kasihmu sunyi / Menunggu seorang diri.
Hal di atas lain dari yang digambarkan wujud Tuhan menurut konsep Chairil Anwar. Antara aku dan engkau itu ada jarak. Kekuasaan Tuhan itu multak, ada hamva dan Tuhan. Maka Chairil Anwar tak memberinya bentuk manusia, melainkan hanya kekuasaa-Nya yang terasa. Tuhan memancarkan cahaya yang panas, meskipun juga untuk menerangi hati manusia: Caya-Mu panas suci / tinggal kerdip lilin di kelam sunyi //. Manusia tak dapat berbuat lain kecuali hanya berserah diri dan  mengadukan nasibnya sebab hanya Dia tumpuan keluh dan tangis manusia: Tuhanku / aku hilang bentuk / remuk // Tuhanku / aku mengembara di negeri asing.
            Dalam gaya ekspresi, Chairil Anwar mempergunakan gaya semacam imagisme, yaitu gaya yang mengemukakan pengertian dengan citra-citra, gambaran-gambaran, atau imaji-imaji: Tuhanku / aku hilang bentuk / remuk / … / aku mengembara di negeri asing //. Maka, kata-kata dan kalimatnya ambigu. Amir Hamzah mempergunakan citra-citra juga, tetapi tidak untuk mengemukakan pengertian, melainkan untuk mengkronkretkan tanggapan. Kaulah kandil kemerlap / Pelita jendela di malam gelap / Melambai pulang perlahan / Sabar, setia selalu / … / Engkau cemburu / Engkau ganas / Mangsa aku dalam cakarmu / Bertukar tangkap dengan lepas //. Di sini kata-kata dan kalimatnya tidak ambigu, bahkan mendekati kepolosan (diafan).

Secara langsung atau tidak langsung terdapat pengaruh sajak “Padamu Jua” pada sajak “Doa”. Pengaruh itu tampak pada struktur, penggunaan imaji atau pemilihan simbolik dan tematiknya, walaupun dengan gaya pengucapan yang berbeda yang dipengaruhi oleh latar belakang penyair masing-masing. Dalam hal ini terutama pemikiran, pemahaman keagamaan dan situasi zaman yang melengkupi penyair.
Berdasarkan analisis di atas dapat dikemukakan konklusi sebagai berikut.
1.      Analisis structural dan semiotic dalam sajak Amir Hamzah, secara semiotik hubungan antara aku dengan engkau dalam sajak ini digambarkan sebagai hubungan antara kekasih, antara pemuda dan pemudi gadisnya. Tanda-tanda hubungan itu berupa kata-kata yang mesra memenuhi sajak ini: aku, engkau (dengan huruf kecil), cintaku, padamu, kau, melambai pulang, sabar, setia selalu, kekasihku, rindu rasa, rindu rupa, dll. Dapat diinterpretasikan bahwa puisi tersebut bermakna tentang kerinduan seseorang kepada Tuhannya yang disebabkan oleh kekecewaan duniawi. Dalam puncak kerinduannya, seseorang ingin bertatap muka dengan Tuhan, tetapi orang tersebut tidak akan berhasil bertatap muka sampai mati. Dalam sajak Chairil Anwar, hubungan aku dengan Tuhan itu menjadi intim. Secara semiotic, pengulangan kata ‘Tuhanku’ yang berupa penyebutan atau seruan yang berulang-ulang (empat kali) dalam sajak itu sesuai dengan sifat sajak itu sebagai doa. 
2.   Hubungan intertekstualitas antara puisi “Padamu Jua” karya Amir Hamzah dengan puisi “Doa” karya Chairil Anwar. Puisi “Padamu Jua” sebagai hipogram ditransformasikan pada puisi “Doa” baik dengan cara ekspansi maupun konversi. Adapun hubungan intertekstualitas puisi “Doa” dengan puisi “Padamu Jua” sebagai hipogramnya bersifat inovatif.

No comments: