Derai-Derai Cemara
Cemara menderai sampai jauh
Terasa hari akan jadi malam
Ada beberapa dahan ditingkap merapuh
Dipukul angin yang terpendam
Aku sekarang orangnya bisa tahan
Sudah berapa waktu bukan kanak lagi
Tapi dulu memang ada satu bahan
Yang bukan dasar perhitungan kini
Hidup hanya menunda kekalahan
Tambah terasing dari cinta sekolah rendah
Dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan
Sebelum pada akhirnya kita menyerah
Karya :Chairil Anwar
A. Unsur Intrinsik
·
Tema >> Perubahan
dalam diri manusia yang terpisah dari kehidupan masa lalu
·
Rasa >> Sedih
·
Nada >> Iba atau merengek
·
Amanat >> Kehidupan hanyalah perjalanan yang keras untuk ditempuh dan setiap manusia
akan mati dengan tenang kalau apa yang harapkannya tercapai.
·
Diksi >> Diksi yang digunakan
dalam sajak ini sangat sederhana dan dingin, sehingga pembaca seolah-olah
mengalami pesakitan yang dialami oleh pengarang.
·
Imajinasi >> Imajinasi yang
digunakan oleh pengarang sangat tinggi walaupun menggunakan kata-kata yang
sederhana tetapi sangat menyentuh hati pembaca.
·
Kata-kata konkret >> Kata-kata yang jika
dilihat secara denotative sama, tetapi secara konotatif tidak sama, bergantung
pada situasi dan kondisi pemakainya.
·
Gaya bahasa >> Bahasa yang digunakan
pengarang dalam sajak ini sangat sederhana, dan dengan kesederhanaan itu
pengarang mencapai kepada klimaks yang ingin disampaikan
·
Irama >> Irama dalam sajak ini
tidak terlalu tinggi-tidak juga rendah
·
Rima >> Unsur bunyi dalam sajak
ini sangat dingin sehingga menimbulkan kemerduan puisi, dan dapat memberikan
efek terhadap makna, nada dan suasana puisi tersebut.
B. Unsur Ekstrinsik
·
Biografi Pengarang
Sebagaimana kita ketahui bahwa sajak-sajak Chairi Anwar merupakan merupakan
sajak yang disusun dengan kata-kata yang sederhana dan lebih memperdalam
makna.Chiril Anwar dan cara hidupnya yang “jalang” telah menjadi semacam mitos,
kita suka bahwa sajak-sajak yang ditulis menjelang kematiannya menunjukkan
sikap hidupnya yang matang dan mengendap meskipun umurnya baru 26 tahun. Puisi
‘Derai-Derai Cemara’ ini merupakan sajak yang ditulisnya pada saat ia berada pada
pembaringan di rumah sakit.
Dalam sajak ini Chairil Anwar meneriakkan keinginannya untuk tetap hidup
walaupun umurnya telah terbatas, yaitu 27 tahun tidak seperti kawan-kawannya
yang lain, seperti HB Jassin yang hidupnya lebih panjang daripada Chairil. Pada
usia 26 tahun ia menyadari bahwa hidupnya “hidup hanya menunda
kekalahan…sebelum pada akhirnya kita menyerah”. Sajak ini merupakan sebuah
kesimpulan yang diutarakan dengan sikap yang sudah mengendap, yang sepenuhnya
menerima proses perubahan dalam diri manusia yang memisahkannya dari gejolak
masa lampau. Proses itu begitu cepat, sehingga “ada yang tetapi tidak
diucapkan”.
Pengaturan inipun begitu tertib dan tenang, masing-masing terdiri dari
empat larik yang sepenuhnya menggunakan rima a-b-a-b citraan alam yang
digunakan Chairil pun menampilkan ketenanangan itu: suara deraian cemara
sampai di kejauhan menyababkan hari terasa akan jadi malam, dan dahan yang di
tingkap merapuh itu pun dipukul angin yang terpendam. Dalam seluruh sajak ini,
kata “dipukul” jelas merupakan kata yang paling keras mengungkapkan masih
adanya sesuatu di dalam yang masih terpendam. Si aku dalam lirik sajak
ini pun menyadari sepenuhnya bahwa hari belum malam, namun terasa jadi malam.
·
Nilai-nilai puisi
-
Nilai agama : Semua yang bernyawa pasti akan mati apabila telah tiba pada
waktunya.
-
Nilai pendidikan : walaupun cita-cita pengarang tidak sesuai dengan yang dia impikan namun
harus tetap semangat dan jangan putus asa.
· Keterkaitan Puisi
Chairil dalam puisinya ini menunjukkan kelebihannya dalam memilih kata-kata
yang tidak biasa orang lain gunakan tetapi memberikan kesan yang dalam pada
setiap pembacanya. Selain itu juga dalam puisinya ini memiliki kelabihan
tersendiri dibanding puisi-puisi lainnya yakni mengenai rimanya yang teratur
berbeda dengan puisi-puisi lainnya.
Puisi ini juga baik dibaca oleh masyarakat umum tidak hanya kalangan
“sastra” saja, yang pada saat ini masyarakat kita cenderung bekerja keras
tetapi lupa kepada penciptanNya. Puisi ini dapat mengajarkan mereka bahwa
sesungguhnya sekeras apapun kita berusaha atau bekerja tetap saja semua jalan
hidup dan keputusan ada di tanganNya. Bahkan seorang Chairil pun akhirnya menyerah juga pada Tuhan di akhir
hayatnya.
· Makna Puisi “Derai-Derai Cemara”
- Pembacaan Heuristik
Kata Derai-derai yang
digunakan penulis untuk judul sajak mempunyai arti berjatuhan atau berguguran
yang biasanya digunakan untuk menyebut beberapa macam tumbuhan atau dedaunan
yang sebelumnya masih berada pada sebuah pohon. Cemara merupakan jenis pohon yg
berbatang tinggi lurus seperti tiang, daunnya kecil-kecil sepertt lidi, nama
ilmiahnya adalah Casuarina Eqnisetifolia
Cemara menderai sampai
jauh, cemara dijelaskan pada bait sebelumnya merupakan sebuah jenis pohon yang
berbatang tinggi lurus seperti tiang yang daunnya kecil-kecil seperti lidi.
Menderai dapat digunakan sebagai sebuah gambaran guguran atau dedaunan yang berjatuhan.
Jauh menggambarkan sebuah jarak yang atau panjang antaranya tidak dekat. Terasa
dapat diartikan suatu suasana yang dialami oleh pelaku, hari dapat diartikan
waktu selama matahari menerangi tempat kita (dari matahari terbit sampai
matahari terbenam). Menjadi malam menunjukkan suasana perubahan situasi, malam
diartikan waktu setelah matahari terbenam hingga matahari terbit. Ada beberapa
menunjukkan jumlah yang tidak tentu banyaknya. Lebih dari dua tetapi tidak
terlalu banyak. Dahan adalah salah satu bagian dari pohon yang tumbuh mencuat
dan menyamping, beranting dan berdaun. Tingkap merupakan salah satu jendela
yang teltetak diatap atau di dinding pada sebuah rumah yang memiliki banyak
nama. Merapuh berasal dari kata dasar rapuh yang berarti sudah lemah, rusak,
tidak kuat lagi. Memperoleh penambahan prefiks yang mempunyai arti sebuah
proses menuju rapuh. Dipukul adalah sesuatu yang dialami oleh subjek yaitu
pukulan dengan sesuatu alat yang berat. Angin adalah gerakan udara dr daerah yg
bertekanan tinggi ke daerah yg bertekanan rendah. Terpendam diartikan sesuatu
yang tertanam, biasanya didalam tanah atau dapat juga dengan sesuatu yang lain.
Sekarang menunjukkan
waktu saat ini atau saat yang sedang terjadi. Bisa berarti dapat atau mampu dan
tahan berarti tetap keadaannya (kedudukannya dsb) meskipun mengalami
berbagai-bagai hal. Sudah berarti telah terjadi. Beberapa menunjukkan jumlah
yang tidak tentu jumlahnya yang lebih dari dua namun tidak terlalu banyak.
Waktu mempunyai arti seluruh rangkaian saat ketika proses, perbuatan, atau
keadaan berada atau berlangsung. Bukan kanak-kanak lagi. Bukan berarti
berlainan dengan sebenarnya. Kanak-kanak berarti periode perkembangan anak masa
prasekolah (usia antara 2-6 tahun). Dulu berarti dahulu yaitu waktu sebelum sekarang
tapi dengan jangka yang cukup lama. Suatu bahan yang dimaksudkan adalah barang
yg akan dibuat menjadi satu benda tertentu; bakal; atau sesuatu yg dapat
dipakai atau diperlukan untuk tujuan tertentu, spt untuk pedoman atau pegangan,
untuk mengajar, memberi ceramah. Bukan merupakan menunjukkan negasi atau
penyebutan sesuatu yang bukan sebenarnya. Dasar diartikan sebuah pokok atau
pangkal suatu pendapat sedangkan perhitungan mempunyai arti tentang
pertimbangan mengenai sesuatu. Kini menunjukkan waktu sekarang atau saat ini
atau waktu dekat dengan sekarang.
Hidup diartikan sebagai
sebuah keadaan yang masih tetap ada, bergerak dan berfungsi sebagai manusia.
Kata ini identik digunakan pada manusia hewan atau tumbuh-tumbuhan. Hanya
berarti Cuma atau menyebutkan sesuatu yang dianggap sepele atau tidak penting.
Menunda berarti mengundurkan waktu pelaksanaan (yang sudah direncanakan
sebelumnya). Kekalahan berarti sebuah situasi yang buruk, berada pada satu
pihak yang dikategorikan lebih lemah. Terasing mempunyai arti terpisah dari
yang lain atau dalam suatu keadaan yang terdiskriminatif. Cinta berarti sebuah
perasaan yang manusiawi dimiliki manusia yang ditujukan kepada lawan jenis atau
merupakan sebuah ungkapan sayang. Sekolah rendah menunjukkan jenjang pendidikan
yang terbatas, mungkin hanya tingkat sekolah dasar yang dianggap lebih rendah
dibandingkan dengan lulus SMA.
Sebelum menunjukkan
waktu ketika belum terjadi atau lebih dahulu dari suatu kejadian. Akhirnya
berarti kesudahannya atau memberikan kesimpulan terhadap sebuah wacana yang
letah dijabarkan sebelumnya. Menyerah berarti berserah pasrah, tidak mampu berbuat
apa-apa.
- Pembacaan Hermeneutik
Derai-derai cemara yang
dipakai pengarang untuk judul sajak merupakan gambaran dari daun-daun cemara
yang berguguran yang mempunyai makna tentang runtuhnya harapan tokoh sajak.
Diawal kalimat menceritakan tentang cemara, cemara merupakan suatu jenis
pepohonan dengan daun yang kecil dan meruncing. Digambarkan dengan suasana sore
hari (hampir malam) dan beberapa dahan merapuh diterjang oleh angin malam.
Merupakan penggambaran diri manusia yang mulai merapuh, dan suasana yang hamper
malam menggambarkan tengtang kesadaran tentang perjalanan hidup yang pasti akan
selalu berakhir dan semua yang bernyawa pasti akan mati.
Bait kedua
menggambarkan kedewasaan tokoh aku, yang digambarkan dari kalimat sudah berapa
waktu aku bukan kanak lagi. Penggambaran tentang pandangan si tokkoh aku yang
terjadi saat dia masih kanak dan tpandangan itu tidak relevan lagi ketika dia
telah beranjak dewasa atau meninggalkan masa kanak-kanaknya.
Bait ketiga merupakan
penggambaran si tokoh aku tentang sebuah keterasingan. Kata jauh menggambarkan
tentang cita-cita si tokoh aku yang cemerlang, akan tetapi pada kenyataannya
hidup selalu penuh penderitaan dan jauh dari apa yang diharapkan oleh si tokoh
aku. Kalimat Hidup hanya menunda-nunda kekalahan merupakan sebuah penggambaran
tentang keputusasaan tokoh, semacam kesimpulan yang diutarakan dengan sikap
mengendap, yang sepenuhnya menerima proses perubahan dalam diri manusia yang memisahkannya
dari masa lalunya.
Matriks, model, dan
varian puisi Derai-derai cemara Secara umum, puisi Derai-derai cemara merupakan
penggambaran sebuah kesadaran tentang sebuah perjalanan hidup manusia dan
rapuh. Setiap perjalanan manusia pasti akan berakhir. Semua yang bernyawa pasti
akan mati apabila telah tiba pada waktunya.
Varian yang pertama
merupakan keseluruhan bait pertama (//Cemara menderai sampai jauh / Terasa
hari akan jadi malam / Ada beberapa dahan di tingkap merapuh / Dipukul angin
yang terpendam //) Pohon cemara menggambarkan tentang sesuatu yang lemah,
rapuh, sesuai dengan bentuk daun cemara yang kecil, meruncing mudah terhempas
oleh angin yang bertiup. Malam identik dengan kesunyian, kegelapan, waktu
istirahat dan akhir dari sebuah kejadian. Angin memberikan gambaran tentang
segala cobaan dan kepahitan dalam hidup, yang menghempas kehidupan si tokoh
pusi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa bait pertama memberikan gambaran tentang
akhir dari sebuah perjalanan hidup. Merupakan sebuah kesadaran tentang segala
sesuatu yang terjadi di dunia ini penuh dengan cobaan dan semua yang ada
didunia ini pasti akan berakhir, semua yang bernyawa juga pasti akan mati.
Varian kedua (//Aku
sekarang orangnya bisa tahan / Sudah beberapa waktu bukan kanak lagi / Tapi
dulu memang ada suatu bahan / Yang bukan dasar perhitungan kini //) tokoh
puisi merupakan sosok yang telah meninggalkan masa lalunya, masa kanak-kanaknya
dan telah menunjukkan kedewasaannya. Tokoh puisi telah mempunyai suatu cita-cita
atau pandangan hidup pada masa kecilnya, akan tetapi apa yang dicita-citakan
pada waktu kecil tidak terjadi pada masa sekarang, dan pandangan tentang
hidupnya telah berbeda dari apa yang pernah dia pikirkan waktu dia masih
kanak-kanak.
Varian ketiga (//Hidup
hanya menunda-nunda kekalahan / Tambah terasing dari cinta dan sekolah rendah /
Dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan / Sebelum pada akhirnya kita
menyerah//) kata-kata hidup hanya menunda-nunda kekalahan seolah terasa
asing ditelinga, biasanya kita mengenal menunda-nunda kemenangan. Kekalahan
digambarkan sebagai suatu symbol kepasrahan dan sangat identik dengan
keputusanaan. Penderitaan , bahkan kematian. Cita-cita si tokoh puisi pada masa
lampaunya yang begitu cemerlang namun tokoh puisi selalu mengalami penderitaan
dalam hidupnya. Nampak dari kata terasingkan yang digunakanyang menceritakan
tentang rencana si tokoh tentang cita-citanya namun berbeda dengan apa yang
diharapkan sehingga membawa dia ke dunia yang dianggap asing dan pada akhirnya
berujung pada keputusasaan, kematian.
Dapat disimpulkan,
puisi Derai-derai Cemara merupakan ungkapan tentang perjalanan seorang tokoh
puisi yang hidupnya penuh penderitaan, dia sempat mempunyai cita-cita yang
cemerlang pada masa kecilnya namun pada kenyataannya hidupnya mengalami
kepahitan dan penderitaan,sehingga membawa pada sebuah keterasingan dan
menyadarkan tentang segala sesuatu yang terjadi di dunia ini pasti akan
berakhir dan segala sesuatu yang bernyawa pasti akan mati.
Hipogram Puisi
Derai-derai Cemara Secara intertekstual Puisi Derai-derai Cemara karya
Chairil Anwar mepunyai kesamaan ide dengan novel Olenka yang ditulis oleh Budi
Dharma. Novel Olenka ini mengangkat tema ketidakberdayaan manusia atas takdir
yang terjabar dalam berbagai peristiwa. Peristiwa-peristiwa yang dialami oleh
Fanton Drummond, Olenka, Wayne Danton, dan Mary Carson menunjukkan bahwa mereka
hanyalah boneka bagi ketentuan takdir. Sikap Budi Darma terhadap adanya
kekuasaan takdir ini terangkum juga dalam pernyataan Fanton Drummond setelah
gagal mendapatkan Olenka maupun Mary Carson. tokoh utamanya (Fanton Drummond,
Olenka, Wayne Danton) adalah tokoh yang mengalami kesepian, kesunyian, dan
keterasingan dari pergaulan masyarakat kota besar. Fanton Drummond merasa
kesepian sehingga begitu berkenalan dengan Olenka, bayangan Olenka terus
mengikutinya. Ia pun bertekad memperistri Olenka meskipun Olenka telah bersuami
dan beranak. Olenka dan Wayne merasa kesepian karena kehidupan rumah tangga
mereka tidak harmonis. Keterasingan tampak dalam tokoh Wayne dan Steve yang
selalu mengucilkan diri dari pergaulan sesama. (Siswanto.163-172 ) Dari sajak
tersebut hanya dua baris yang masuk ke dalam Olenka, yaitu “Hidup hanya menunda
kekalahan” dan “Sebelum pada akhirnya kita menyerah” (bait ketiga). Di dalam
Olenka ungkapan tersebut ditampilkan untuk mendukung suasana ketika Olenka
hendak pergi meninggalkan Fanton (subbagian 1.12, hlm. 55–60). Sebelum Olenka
meninggalkan Fanton, tergambarlah suasana seperti berikut.
‘Sekonyong-konyong dia
menangis. Saya tidak tahu apa sebabnya, dan tidak sampai hati untuk
menanya-kannya. Kemudian dia mengatakan bahwa hidupnya adalah serangkaian
kesengsaraan. Bukan hanya perka-winannya saja yang hancur, akan tetapi juga
seluruh hidupnya. Dia menyesal mengapa dia tidak mati ketika dia masih bayi,
atau paling tidak ketika dia masih kanak-kanak, pada waktu dia masih lebih
banyak mempergunakan instinknya daripada otaknya. Sekarang sudah terlambat
baginya mati tanpa merasa takut menghadapinya. Hidupnya bukan hanya menunda keka-lahan,
akan tetapi juga kehancuran, sebelum akhirnya dia menyerah.’ (hlm. 60)
Tampak bahwa dua baris
sajak Chairil Anwar tersebut dimanfaatkan untuk membangun suasana tertentu agar
kesengsaraan dan kehancuran hidup Olenka –sebelum dia akhirnya menyerah– terasa
lebih dalam. Hanya saja, di dalam gambaran tersebut terasa ada semacam
“manipulasi” atau “penyelewengan” makna sajak. Atau, dalam konteks itu terasa
ada perbedaan yang mendasar antara apa yang dimaksudkan penyair dalam sajak dan
apa yang dimaksudkan pengarang dalam novel. Akan tetapi, justru karena itulah,
hubungan Olenka dengan sajak “Derai-Derai Cemara” karya Chairil Anwar tidak
sekedar bersifat transformatif atau hipogramatik, tetapi juga dialektis.
Benar bahwa dua baris
sajak tersebut baik oleh penyair dalam sajak maupun oleh novelis dalam novel
sama-sama dipergunakan untuk menggambarkan betapa dalam “penyerahan diri”
manusia kepada Tuhan. Akan tetapi, aku lirik di dalam sajak digambarkan lebih
tenang dan lebih dewasa dalam menghadapi segala hal, termasuk ketika ia harus
menghadapi kematian. Sementara itu, di dalam novel, Olenka justru digambarkan
sebagai figur yang penuh rasa sesal. Olenka merasa bahwa hidupnya hanyalah
serangkaian kesengsaraan sehingga ia menyesal mengapa tidak mati saja ketika
dirinya masih bayi. Itulah sebabnya, ia merasa takut dan cemas menghadapi
kematian. Hal ini berbeda dengan sikap aku lirik di dalam sajak. Ungkapan “Aku
sekarang orangnya bisa tahan” dan “Sudah lama bukan kanak lagi” menunjukkan
bahwa aku lirik telah sadar dan siap menghadapi segala hal. Oleh sebab itu, ia
sadar pula bahwa “hidup hanya menunda kekalahan”, karena bagaimanapun kita
(manusia) pasti kalah, sehingga apa pun yang terjadi harus “diserahkan”
sepenuhnya kepada Tuhan. Kalau sudah demikian, tidak perlu takut walaupun
kematian segera menjemput.
Telah dikatakan bahwa
di dalam konteks novel telah terjadi “penyelewengan” makna sajak. Kalau
tindakan “penyerahan diri” di dalam sajak didukung oleh sikap penuh optimistik
akibat dari penerimaannya terhadap adanya proses perubahan yang tidak
terelakkan dalam diri manusia, tindakan “penyerahan diri” di dalam novel justru
disertai dengan sikap dan rasa pesimistik akibat dari ketidaksadarannya akan
proses perubahan dalam hidup. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa gambaran
“penyerahan diri” Olenka (kepada Tuhan) hanya ditampilkan sebagai sebuah
gambaran “penyerahan semu”.
No comments:
Post a Comment