About

Analisis Puisi: Struturalisme Kecubung Pengasihan"Danarto"

Analisis Puisi, sudah terlalu banyak sebuah kajian mengenai Puisi, Akan tetapi admin ini memberikan sedikit tambahan dan semoga bermanfaat mengenai Analisis Puisi Kecubung pengasihan karya Danarto, dalam kesempatan ini menggunakan pendekatan dengan Strukturalis, ketertarian admin ini dalam analisis ini dikarenakan penggunaan diksi yang tidak mudah dipahami dan penggunaan kata secara majas atau pun pengandaian. pengarang tidak secara vulgar menampilkan karyanya, hal ini dipengauhi oleh karakteristik dari pengarangnya, untuk lebih jelasnya simak saja Contoh analisis puisi dibawah ini,,, tentunya semoga bermanfaat...!!!!!!1111



Kajian Strukturalisme Genetik
terhadap Cerpen Kecubung Pengasihan Karya Danarto

Secara garis besar, cerita pendek Kecubung Peengasihan ini memberikan gambaran pada kita tentang carut-marut kehidupan pada suatu taman. Bung-bunga yang ada di dalam taman tersebut saling membunuh saudara sendiri. Kelaparan mendera semua bangsa manusia, tak kecuali seorang perempuan yang hamil; ia kelaparan. Sedangkan pemerintah, yang menjadi ikon pemerintahan, tidak bergerak cepat dalam  menangani masalah-masalah di dalam ‘keluarga’ besar bangsanya.
Cerita yang ditulis Danarto lebih banyak berbau kritik sosial, politik, dan ketuhanan. Ia merupakan salah satu pengarang yang sering menggunakan kata-kata simbolis demi tersampainya kritik terhadap peradaban atau tatanan hidup yang ia ‘baca’ dari diri dan sekitarnya. Baik kritik yang berbau politis, sosialis, maupun teologis. Hal-hal simbolis tersebut dapat dijumpai pada salah satu cerpennya yang berjudul Kecubung Pengasihan.
Di dalam Kecubung Pengasihan Danarto menggunakan nama-nama tokoh yang didominasi nama-nama kembang seperti Melati, Mawar, Kemuning, Sedap Malam, Anggrek, dan sebagainya. Dari nama-nama tersebut saja bisa dilihat betapa simbolisnya pengarang dalam membuat perumpamaan. Karakter-karakter tokoh serasa diwakilkan pada kembang-kembang yang berada di taman.
Danarto memanfaatkan setting suatu taman untuk mendukung nuansa simbolis cerpennya karena keidentikan kembang dan taman. Dalam konteks cerita, taman dapat saja diibaratkan sebagai suatu negara dengan dihuni suatu bangsa; kita tujukan saja untuk bangsa Indonesia. Tempat terjadinya perikehidupan bangsa Indonesia dengan berbagai gejolaknya.
Kembang secara harfiah menunjukkan bagian dari tumbuhan. Tetapi dalam cerita, kembang dipersonifikasikan laiknya manusia; dalam berbicara, berfikir, dan berlaku serta berinteraksi seperti manusia. Bisa juga kembang itu kita ibaratkan sebagai pahlawan, karena istilah pahlawan seringkali diwakili oleh kata kembang atau bunga.
Melihat latar belakang kehidupam pasca perang, masa itu bangsa Indonesia justru menciptakan peperangan sendiri. Banyak orang yang berlaku sedemikian rupa agar disebut sebagai pahlawan. Padahal kerjaannya membunuh bangsa sendiri; perang saudara. Banyak orang kabur akan makna kehidupan. Membunuh dengan alasan untuk menciptakan ketentraman dan persatuan hajat hidup sebagian orang yang dianggap—oleh mereka sendiri tentunya—yang terbaik dan beranggotakan mayoritas.
Jika kelompok mayoritas mengatakan benar (meski sebenarnya adalah salah), tetap saja hal yang dibenarkan itu unggul. Tentunya dengan konsekuensi yang salah (yang sebenarnya benar) harus dibunuh dan ditumpas demi suara terbanyak. Hal inlah yang membuat kesengsaraan bangsa Indonesia ketika itu; tidak dapat membedakan benar dan salah. Adanya hanya gontok-gontokan dengan saudara sebangsa sendiri.
Orang senang benar dianggap bunga—kembang—pahlawan, tetapi tidak tahu hakikat pahlawan seperti apa. Pahlawan adalah manusia yang membela kepentingan bagsanya yang terjajah, bukan manusia yang suka menumpahkan darah saudara sebangsa dan setumpah darah dengannya. Pahlawan bisa menolerir dan mampu menahan diri akan segala sesuatunya, bukan orang yang dengan mudah tersulut keadaan.
Sedangkan perempuan bunting dalam cerita dapat kita katakan sebagai ibu pertiwi, tumpah darah kita; tempat hidup dan matinya manusia Indonesia dengan berbagai problematika kehidupan. Ibu yang tidak akan lepas dengan kelahiran suatu generasi, dan mendidik generasi-generasi yang dilahirkannya tersebut.
Bagaimana dapat menjadi ibu yang baik jikalau kehidupannya sendiri menderita dan serba kekurangan?
Perempuan bunting dalam cerita jelas sekali digambarkann sebagai sosok perempuan miskin yang tiada hari tanpa kelaparan. Hal ini dapat kita ketahui dari kutipan berikut:
Perempuan bunting itu sudah memasuki bagian taman bunga yang dikenalnya. Ia tiap hari ke situ. Ia makan kembang-kembang itu. Sebagai orang gelandangan ia paling sengsara. Ia kalah rebutan sisa-sisa makanan di tong-tong sampah, sebab pengemis-pengemis lain cekatan (hal. 91).
Dari kutipan di atas saja kita ketahui betapa miskin dan laparnya perempuan bunting itu. Hingga kembang-kembang dijadikan santapan baginya. Hal ini menunjukkan betapa kelaparan sangat ‘keterlaluan’ menimpa perempuan tersebut.
Di dalam cerita, disebutkan bahwa Bunga Kemuning mati karena dibunuh oleh kawannya sendiri (atau saudara serumpunnya sendiri; yaitu rumpun bunga). Hal ini dapat mewakili kehidupan bangsa sendiri yang suka saling menyalahkan dan membunuh saudara sebangsa. Ia dibunuh karena mengatakan ‘fakta’ yang sebenarnya, yang sebenarnya disadari oleh kelompok bunga lain, namun bunga-bunga tersebut ingin mengingkari keadaan yang sebenarnya.
Perhatikan kutipan berikut:
…Kelompok Kemuning yang sendirian itu dikerubut oleh kelompok yang jauh lebih besar dan tentulah bukan peperangan yang seimbang. Tetapi perang adalah perang ia menyeret dengan ganasnya kedua belah pihak untuk mempersembahkan korban-korban kepadanya (hal. 106).
Tidak hanya itu, setting waktu pembuatan cerita ini, tahun 1968 (berada pada akhir kalimat penutup cerita), bisa kita interpretasikan sebagai angka tahun yang ditujukan Danarto untuk menyampaikan kehidupan pasca PKI tahun 1965. Selanjutnya mengapa Danarto menggunakan nama dan setting tempat secara simbolis untuk menyampaikan situasi pada masa itu adalah semata-mata ‘menyembuunyikan’ kritik pedasnya mengenai kehidupan sosial, politik, dan agama pada kritik
Perhatikan kutipan berikut:
“Manusia memang aneh. Pakaiannya mentereng, tapi perutnya lapar,” tukas Sedap Malam (hal. 98).
Dari kutipan tersebut jelas sekali adanya kritik sosial yang bersifat personal. Bahwa banyak orang yang mementingkan penampilan demi menaikkan gengsi; demi dipandang mampu dan mapan. Meskipun ia kelaparan demi hal demikian. Diibaratkan pakaiannya mentereng tapi makannya nasi kucing di Café Meong.
“Aduh! Betapa tidak enaknya jadi manusia!” tukas Kamboja.
“Yah, rasanya mereka amat kejam. Saling mendengki,” sambung Melati (hal. 98).
Terlihat kutipan di atas terarah juga pada tindakan manusia yang suka semena-mena. Kurangnya kepercayaan pada diri dan kemapuan sendiri bisa juga memicu adanya kesenjangan sosial.
Dari beberapa kutipan di atas terlihat Danarto sarat sekali menggunakan bahasa yang halus dan simbolis. Menggunakan kata-kata simbolis berarti dapat berekspresi—dan tidak menutup kemungkinan—mengkrtik dengan sesuka hati pada pemerintah. Dalam hal ini Danarto keluar sebagai pemenang. Kata-katanya yang ‘halus’, juga mampu membawa kritik tajamnya terhadap kehidupan sosial, politik, dan kehidupan beragama kala itu; tergulingnya rezim Soekarno dan tegaknya pemerintahan Soeharto.
Danarto bisa diciduk oleh rezim kala itu karena masalah sebuah cerpen yang ditulisnya terlalu vocal terhadap pemerintahan. Apalagi ketika itu siapapun yang vocal harus dibekam. Dibasmi. Demi tegaknya pemerintahan berasaskan persauan dan kesatuan. Padahal yang terjadi adalah karena takut terguling sehingga kenikmatan hidup yang telah didapat dari keringan dan lapar bangsa Indonesia tak lekas hilang begitu saja. Mereka baru puas setelah menimbun dan menumpuk harta yang besarnya cukup hanya sekedar mencukupi tujuh keturunan.
Perhatikan kutipan berikut:
…Aku tak malu mengemis. Tapi aku ditolak. Aku mau bekerja, tapi tak ada lapangan pekerjaan bagiku. Semuanya menolakku. Hampir-hampir aku percaya bahwa aku hidup tidak bersama manusia. O, negaraku yang miskin. Rakyatku yang miskin. Presidenku yang miskin. Menteri-menteriku yang miskin. Orang-orang cendekiawanku yang miskin. Orang-orang kayaku yang iskin. Miskin jiwa miskin harta. O, dunia sudah terlalu miskin untuk memberiku sisa-sisa makanan.” (hal. 99).
Tidak terlau berat memahami kutipan tersebut. Semuanya gamblang. Dan hal tersebut mungkin akan terus hidup sepanjang usia peradaban manusia. Kaya harta tapi miskin jiwa, atau sebaliknya; miskin harta kaya jiwa. Atau miskin kedua-duanya.
Masa ini pun tak jauh berbeda dengan keadaan di dalam cerita tersebut, bukan?
Tahun-tahun setelah 1965 itu—termasuk 1968 yang melatarbelakangi pembuatan cerita ini—merupakan masa ‘keparat’ yang tak habis-habisnya bagi rakyat Indonesia. Belum mengering luka penjajahan dari Belanda, pukulan dari Jepang, masalah PKI; yang meninggalkan bekas luka akan kemelaratan, keingkaran terhadap Tuhan dan delik-delik masalah yang sungguh komplek dan jumlahnya sulit dipaparkan pada narasi cerita fiktif.
Coba perhatikan kutipan-kutipan berikut:
“Tuhan telah meninggalkan kita,” kata Kemuning (hal. 111).
Kehidupan agama carut-marut. Kepercayaan terhadap Tuhan memudar. Mereka banya meninggalkan Tuhan. Tetapi Danarto menggunakan bahasa yang bertentangan dalam menyampaikan maksud pada cerita yang ditulisnya; justru Tuhan yang menjauh dari manusia.
 “Kalau kita bicara perkara dosa, kita semuanya berdosa,” kata Kenanga. “Tiap hari kami kepingin mati saja. Itu dosa! Tiap hari engkau yang kepingin makan saja dengan melakukan pembunuhan. Itu juga dosa! Padahal itu sudah berlangsung berpuluh-puluh hari dengan restu di hati kami masing-masing. O, betapa tololnya otak kita!” (hal. 102).
…Ia bisa mengadu sepuas-puasnya mengadu kepada Tuhan tentang kesengsaraannya. Tempat ia bisa sembahyang sepuas-puasnya untuk mencari dan mencintai Tuhan dan pasrah kepada-Nya (hal. 113).
Danarto secara implisit menyampaikan amanat atau pesannya kepada para pembaca. Serasa ada pengharapan yang ia tujukan pada banyak orang; yaituberupa kesadaran dan pengendalian diri. Hal ini diperlukan untuk membenahi berbagai bidang kehidupan kocar-kacir.
Di samping itu, banyak sekali diceritakan suatu kepercayaan yang meyakini adanya reinkarnasi. Juga akan ditemui suatu perasaan yang membawa kedamaian pada seua ajaran kebaikan dari seluruh agama. Perhatikan kutipan-kutipan berikut:
“Kenapa kalian suka kepada reinkarnasi?”
“Karena ia semacam dunia baru.”
“Hanya makhluk yang bodoh yang suka kepadanya. A neh sekali, kenapa tidak bercita-cita langsung di sisi Tuhan saja sehabis mati?” (102).
“Kenapa kalian suka kepada reinkarnasi?”
“Karena ia semacam dunia baru.”
“Hanya makhluk yang bodoh yang suka kepadanya. A neh sekali, kenapa tidak bercita-cita langsung di sisi Tuhan saja sehabis mati?” (102).
Gaya penceritaan yang diambil Danarto sungguh ‘cantik’ dan ‘manis’ dilihat dan dicerna. Bahkan untuk menyindirpun, ia menggunakan bahasa yang halus tapi tetap satire, coba perhatikan kutipan berikut:
“Engkau mau bakmi, Manis?”
“Ah, kagak usah ditawari. Ia kagak doyan bakmi. Itu makanan kere. Ia toh sudah punya makanan luks. Kembang-kembang di taman itu.” Hal. (97).
Dari uraian penulis di atas, tak lupa penulis sampaikan bahwa Danarto tak bisa lepas dengan aliran sufinya. Terbukti dengan banyaknya tulisan ketuhanan seperti berikut ini:
Ya, Allah
Undanglah aku
Dalam satu meja makan
Di mana terhidang segala makanan
Kasih sayang
Dan gurau bersahut-sahutan
Lalu Engkau berkata dengan senyum merekah
“Marilah kita bicara tentang segalanya”… (hal. 113).
Kutipan di atas juga serasa ada makna religius; ketika seorang hamba ingin sekali mendekatkan diri dengan Tuhannya ketika ia lelah melakukan perjalanan panjang hidunya. Setelah ‘kekalangkabutan’ spiritualnya, dan lelah akan ‘petualangan’ hidupnya, ia kembali juga pada Tuhannya yang hakiki pada skhirnya. Hal ini juga terlihat pada kutipan berikut:
“O, Kekasihku. Berakhirlah sudah laparku yang panjang dan pedih. Marilah kupeluk Engkau. Kucium bibir-Mu. Kupermainkan rambut-Mu…(118).
Akhirnya, cerita yang menggambarkan seluruh problematika yang ada dalam dunia realitas manusia dapat dihadirkan pada Kecubung Pengasihan oleh Danarto dengan apiknya. Meskipun hanya sepotong-sepotong, serupa slide-slide dalam layer pikir seorang manusia (dan karena inilah bisa dirasakan alur yang ‘hampa’ yang ada dalam alam pikir atau kenangan seseorang yang mencoba menghadirkannya kembali pada ingatannya, meskipun alur kejadiannya tetap saja maju). Karena itulah sudut pandang yang dimanfaatkan oleh Danarto tidak lain adalah sudut pandang orang ketiga yang serba tahu.

No comments: