Hurufiah, merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia, kotak katik sama dengan gerak-gerik dan juga mengguncangkan. Namun, praksis dalam keseharian, penggunaan kosa kata ini sama dengan mengobok-obok, menempatkannya ke sana sini, mempretelin, dan seterusnya yang pada pokoknya cenderung lokatikrantis (melanggar batas-batas atau tata tertib).
Well, kotak katik kata. Ini poin utama catatan kecil ini. Tentang kata-kata yang tercatat dan terdengar tidak biasa. Tentang kata-kata yang aneh-unik lantaran oleh pengguna bahasa di-utak-atik sampai-sampai terkesan ‘ngawur’ dan bahkan muncul tanya ‘Apakah ini bahasa Indonesia yang baik dan benar?’
Jawabannya jelas, jika tak berlatar-alasan dalam penggunaannya, sudah barang tentu kotak katik kata memang mencemaskan. Bukan hanya merusak kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar, tetapi juga bangunan komunikasi antar pribadi dan penyampaian pesannya akan mentok.
Namun, di tangan dan mulut penyair, kotak katik kata bukan hanya merupakan sebuah pemberontakan, tetapi juga merupakan pelepasan dan pembebasan. Selalu saja, jika dan hanya jika penyair yang mengotak-atik kata, apa pun kata adalah ‘makanan empuk’ untuk digarap.
Latarnya jelas, memasuki dunia kepenyairan dengan sendirinya kita diajak memasuki rimba konotasi dan imajinasi yang jika hanya bermodal-bekal kamus satu arti, sudah barang tentu tersesat dan mati arah angin. Ruang tafsir dan apresiasi  adalah medan adu-taji. Sebab di sana, di rimba kata jamak arti, kita dihadir-hadapkan dengan kata yang membuat kita siaga penuh jiwa untuk memaknainya.
Pada sekuplet catatan ini, saya mencoba membagi rasa, betapa susah payahnya saya mengerti-kenal secara mendalam  ‘sepisaupi’-nya Surtadji Calzoum Bachri.
SEPISAUPI
(Sutardji Calzoum Bachri)

sepisau luka sepisau duri
sepikul dosa sepukau sepi
sepisau duka serisau diri
sepisau sepi sepisau nyanyi

sepisaupa sepisaupi
sepisapanya sepikau sepi
sepisaupa sepisaupi
sepikul diri keranjang duri

sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sampai pisauNya kedalam nyanyi
Pertama kali membaca-cerna sajak di atas, yang terlintas dalam ruang kepala saya adalah tentang pemberontakan Bachri atas situasi yang bernama ‘sepi dan sunyi’. Sepi dan sunyi karena terasing merasa bersalah dan dosa, ‘sepikul diri keranjang duri’. Lantaran itu, Bachri memberontak. Penanda bahwa Bachri sudah sedang memberontak adalah ‘pisau’.
Hanya dalam dan dengan melalui ‘pisau’ yang memang harus bernai mencabik-cabik sepi itu, maka segala risau dan sunyi diri tercerabut-burai. Dan akan menjadi suatu kelegaan yang paripurna jika ‘sampai pisauNya kedalam nyanyi’. ‘Nya’ di sini adalah kekuatan lain di luar diri pribadi, yakni (mungkin) Tuhan.
Rupa-rupanya terlalu (sangat) sederhana bagi segenap pembaca tentunya untuk menjelmakan apa makna sajak Bachri di atas sebagaimana yang saya maksud. Mungkin ada yang jauh lebih mendalam dari sebatas itu. Namun bukan poin tulisan ini agar makna atas itu tuntas di bahas. Sebab sesungguhnya yang mau ditonjolkan adalah pertanyaan ini: kotak katik kata di tangan seorang penyair, apakah itu?
Suatu ketika Sutardji Calzoum Bachri menjawab (dalam Gelak Esai & Ombak Sajak Anno 2001, Penerbit Buku Kompas, Juni 2001) dalam esainya yang berjudul ‘kata-kata’ bahwa perjalanan puisi Indonesia modern sampai sekarang adalah perjalanan meraih kebebasan. Kebebasan yang dimaksud tidak hanya kesanggupan sang penyair memaknai dunia sekitarnya secara bebas, tetapi juga terhadap kata-kata.
Terhadap kata-kata sang penyair diminta peka dan peduli. Karena sesungguhnya kata itu sendiri adalah sebuah situasi yang juga misteri. Sampai-sampai Bachri menegaskan “Ada baiknya kalau penyair memanfaatkan (menciptakan) misteri kata-kata untuk menampilkan misteri kehidupan sehari-hari atau menggabungkan misteri kata-kata dengan misteri kehidupan…” Inilah rahasianya, mengapa kata lantas diutak-atik seenak perut oleh seorang penyair.
Tentang semua ini, hanya dalam rimba kata kita dapat suluk memahaminya. Bisa semalam suntuk mengerti, pun bisa seumur hidup tak mengerti-mengerti. Puisi jalan terus. Dan dalam ruang kepalamu, kata-kata berkontal-kantil (berayun-ayun)