pastinya sudah tahu tentang sastrawan yang satu ini ialah Ahmat Tohari, dan yang paling terkenal ialah Lakon Srintil, dibawah ini akan dipaparkan mengenai sebuah Resensi novel Karya Ahmat Tohari yang berjudul Lintang kemukus, untuk lebih jelasnya simak saja resensi dibawah ini...!!!
“Srintil”nya
Ahmad Tohari Sudah Tidak Becus Meronggeng
Judul : Lintang Kemukus Dini Hari
Pengarang: Ahmad Tohari
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, 1999
Tebal : 211 halaman
Dukuh Paruk tetaplah Dukuh Paruk dengan kebodohan dan kemiskinannya. Sedangkan
Srintil adalah Srintil, ronggeng dua puluhan tahun tanpa papan nama juga tetap
seorang ronggeng. Bagian Dukuh Paruk yang tersohor dengan foya-foyanya meski
melarat. Tapi dukuh Paruk bukanlah Dukuh Paruk namanya tanpa ada ronggeng macam
Srintil. Seolah akan mati digilas peradaban.
Srintil dalam perjalanannya menjadi ronggeng tenar mengalami kesurutan.
Hal ini dipicu oleh pertemuannya dengan Rasus yang mengecewakan. Lelaki yang
diserahi keperawanannya sebelum melampaui ritual penahbisan ronggeng, tidak
menanggapi birahi dan cintanya, serta telah menampiknya. Rasus memang bercinta
semalaman dengan perempuan milik Dukuh Paruk itu, tapi meninggalkannya tanpa
pesan sebelum pagi menjelang. Seperti kebanyakan lelaki yang minggat setelah
puas meniduri Srintil.
Superstar Dukuh Paruk itu merasa keperempuanannya terinjak-injak. Srintil
tetap perempuan layaknya. Ingin ada pasangan hidup tempat bercurah. Merasa
benci karena di satu sisi ia dicampakkan lelaki yang dicintainya, dan di sisi
lain takut kalau tak punya anak akibat ramuan dukun ronggeng, Nyai Kartareja, Srintil
mogok ngronggeng setelah kepergian Rasus.
Tertekan batinnya, Srintil jatuh sakit. Wajahnya pucat, matanya cekung,
dan kekenesannya sebagai ronggeng roboh. Apalagi menolak makanan yang
diberikan. Tak ada obat yang bisa menyembuhkannya. Hingga suatu saat Tampi
menjenguknya bersama Goder, bayinya yang baru sepuluh bulan.
Melihat Goder, ruang batinnya melonjak kegirangan, naluri keibuannya
basah oleh rengekan Goder, yang baginya, merupakan pengganti. Berkat Goderlah
semangat Srintil untuk hidup menyala kembali. Tampi harus merelakan salah satu
anaknya diasuh oleh seorang perempuan terhormat dan termahal macam Ronggeng
Dukuh Paruk itu. Tetapi Goder tidak membuat Srintil pentas lagi. Meskipun
Marsusi mengiming-imingi dengan kalung seberat 100 gram bermata berlian.
Marsusi yang kaya raya merasa terhina. Kemudian membalas penghinaan
dengan membuat pentas ronggeng Srintil gagal ketika ia menari di Dawuan, dalam
rangka tujuh belas Agustus. Atas penginsafan dari Sakum, si Buta dengan cerita ronggeng-ronggeng
dahulu yang mengalami peristiwa seperti dialah Srintil mau naik pentas lagi.
Kemudian Srintil menjadi gowok, seorang perempuan yang mengajari perjaka
sebelum menikah agar tidak memalukan di malam pertamanya. Tetapi keronggengan
Srintil kemudian mengakibatkan mala petaka. Karena pentas ronggengnya dijadikan
kedok politik oleh Pak Bakar yang menanggapnya. Setiap ada pentas, seakan-akan
rapat atau musyawarah yang diadakan Bakar tidak terendus.
Ketika dini hari lelangit berhias lintang kemukus, Dukuh Paruk membara
dengan kepulan asap yang menghanguskan rumah-rumah penduduk. Hal ini karena
keronggengan Srintil menjadi bencana besar akibat politik yang menyusup
diantara kekenesan tariannya. Bakar benar-benar membakar Dukuh Paruk bersama
propaganda-propagandanya, melenyapkan citra dan kehidupannya. Begitu pula
dengan diri Srintil dan Rasus yang kemudian tak diketahui keberadaannya.
♥
Sebenarnya Ahmad Tohari mengarang buku trilogi
mengenai keronggengan Dukuh Paruk. Buku pertama berjudul “Ronggeng Dukuh
Paruk”, yang kedua “Lintang Kemukus Dini Hari”, dan terakhir ditutup oleh
“Jantera Bianglala”. Penulis sendiri baru membaca buku yang pertama dan kedua,
dan ternyata masih sangat penasaran bagaimana ending yang disajikan oleh
pengarang. Hal ini dikarenakan penulis menemukan warna berbeda dalam gaya penulisan si
Pengarang yang terkesan menyatu sekali dengan hasil karyanya.
Penjabaran alam begitu mendetail, seolah-olah
yang membacanya merasakan sendiri apa yang terjadi. Kepekaannya meruntut cerita
perlu diacungi jempol. Ahmad Tohari seakan-akan tidak dapat lepas dari
kehidupan kampung. Begitu pula ketika ia melukiskan segala problematika orang
kampung yang identik dengan keterbelakangan dan kemiskinannya. Berikut salah
satu contohnya:
Apa yang kelihatan oleh Srintil
adalah gambar ketidakcukupan yang parah. Rumah Sakum hanya bertiang empat,
doyong, ayam dan angin bebas masuk dan keluar dari segala penjuru. Dari
dalamnya orang bisa melihat awan di langit, dan bintang-bintang pada waktu
malam. Rumah, tepatnya gubuk itu, kelihatan demikian compang-camping. (hal.85-86).
Kalimat-kalimat
deskriptif-naratif pengarang mampu mensugesti pembaca bahwa tak ada gaya hidup
mewah dan wah dalam kisah “Lintang Kemukus Dini Hari” tersebut. Yang ada hanya
kelugasan, kenyataan lazim yang dengan tidak sadar sebenarnya begitu dekat
dengan kehidupan kita. Bahkan sangat memungkinkan kita sendirilah lakon dari
kelaziman itu.
Srintil yang seorang ronggeng bagaimanapun dituhankan
Ahmad Tohari pada akhirnya disetankan juga profesi tersebut olehnya. Ia
menyebutkan bahwa ronggeng tetap sebuah tarian erotik untuk membangkitkan
kelelakian banyak orang. Tidak sedikit rumah tangga yang hancur karena para
suami berambisi memiliki Srintil selama mungkin. Hal ini dapat diketahui dari
kalimat makian yang dilontarkan Nyai Kartareja seperti di bawah ini:
“Oalah toblas, beginilah caramu membalas budi
kami, ya! Kami berdua telah memberimu jalan sehingga kamu mendapatkan kamukten.
Tetapi inilah imbalan yang kami terima; dipermalukan habis-habisan oleh Pak
Marsusi. Anak Santayib, dasar cecurut kamu! Dan kamu bertingkah menolak kalung
seratus gram? Merasa sudah kaya? Bila kamu tidak suka kalung itu mestinya bisa
kau ambil untukku. Dan kau layani Pak Marsusi karena semua orang toh tahu kau
seorang ronggeng dan sundal”. (hal.70).
Dalam novel ini pesan moral tersirat sangat
saratnya. Ahmad Tohari yang latar belakang pendidikannya di pondok pesantren
mengetengahkan sebuah kehidupan pelacur yang seakan dibingkai rapi dan
dipuja-puji layaknya Tuhan. Dari pengamatan penulis, sebenarnya pengarang hanya
ingin menegaskan bahwa tidak ada yang layak kita puji selain Tuhan yang kekal.
Tidak pula pada hal-hal materi yang bersifat terbatas dan sementara.
Ketidakbecusan Srintil menjadi ronggeng pun
dideskripsikan secara halus melalui kegalauan hatinya. Karena bagi Dukuh Paruk
dan penghuninya, ronggeng adalh gambaran kesenangan dan kejantanan. Jadi,
ronggeng tak boleh mendung hatinya.
Kedua anak yang bertelanjang badan itu
mengundurkan diri. Mereka membawa pertanyaan yang muskil; mengapa seorang
ronggeng bisa menangis?(hal.12).
Namun, deskripsi pengarang mengenai alam
beserta problematikanya bisa jadi membuat
pembaca bosan. Seolah-olah ketika penulis membaca, tema yang ingin dicapai pun
terulur teratur. Tambahan pula, ending yang ditulis begitu kabur. Kalau mengacu
pada ending terbuka yang penamatannya masih dapat dilanjutkan oleh pembaca
sendiri, mungkin penulis tidak akan mengatakan endingnya kabur. Tetapi cerita
yang ada justru di antara keduanya. Dijelaskan secara gamblang dan benar-benar
berakhir, tapi juga pembaca seperti digiring untuk melanjutkan akhir ceritanya.
Diperlukan kondisi-kondisi
tertentu agar orang bisa membuka catatan lengkap itu. Kondisi-kondisi itu bisa
jadi berupa waktu yang mampu mencairkan segala emosi. Atau kedewasaan sikap dan
kejujuran agar orang memiliki keberanian mengakui keberanian sejarah. Maka pada
suatu ketika orang bisa membuka catatan tentang Srintil. Atau catatan itu bakal
lenyap selama-lamanya menjadi bagian rahasia kehidupan Dukuh Paruk.
Novel ini sangat enak dinikmati. Selain ada
segi hiburan dan seninya, juga dapat menambah wawasan serta kepekaan berbahasa.
Tetapi ada hal yang perlu diperhatikan pada kelayakan usia pembaca, yaitu cocok
dibaca oleh anak yang setidaknya telah lulus SMP. Buakn apa-apa, melainkan ada
peristiwa daerahnya orang dewasa yang belum pantas dikonsumsi, meski dengan
alasan bagi proses kedewasaan anak secara wajar di bawah usia tersebut
sekalipun.
Demikian sedikit ulasan mengenai Ronggeng Dukuh Paruk, semoga bermanfaat...!!! jangan lupa kritik dan sarannya yaaa...!!!
No comments:
Post a Comment