2 Zaman Patristik (Para Bapa Gereja)
Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat
untuk mengajar,
untuk menyatakan kesalahan,
untuk memperbaiki kelakuan, dan
untuk mendidik orang dalam kebenaran.
Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaaan Allah
diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik.
2 Tim 3:16-17
Pemikiran
filsafati para Bapa Gereja Katolik mengandung unsur neo-platonisme. Para Bapa Gereja berusaha keras untuk menyoroti
pokok-pokok iman kristiani dari sudut pengertian dan akalbudi, memberinya
infrastruktur rasional, dan dengan cara itu membuat pembelaan yang nalar atas
aneka serangan. Pada dasarnya Allah menjadi pokok bahasan utama. Hakekat
manusia Yesus Kristus dan manusia pada umumnya dijelaskan berdasarkan
pembahasan tentang Allah. Ditegaskan, terutama oleh Agustinus (354-430 M) bahwa
manusia tidak sanggup mencapai kebenaran tanpa terang ("lumens") dari
Allah. Meskipun demikian dalam diri
manusia sudah tertanam benih kebenaran (yang adalah pantulan Allah sendiri).
Benih itu memungkinkannya menguak kebenaran. Sebagai ciptaan, manusia merupakan jejak Allah yang
istimewa = "imago Dei" (citra Allah), dalam arti itu manusia sungguh
memantulkan siapa Allah itu dengan cara lebih jelas dari pada segala ciptaan
lainnya.
"Tuhan,
engkau lebih tinggi daripada yang paling tinggi dalam diriku, dan lebih dalam
daripada yang paling dalam dalam batinku"
-- itu ungkapan Agustinus tentang pengalaman manusia mengenai
transendensi dan imanensi Allah dalam satu rumusan. Dalam zaman ini pokok-pokok iman Kristiani
dinyatakan dalam syahadat iman rasuli (teks "Aku Percaya" yang
panjang). Didalamnya dituangkan rumusan ketat pokok-pokok iman, termasuk
tentang trinitas -- tentu saja dalam katagori pemikiran filsafati pada waktu
itu dan dengan bahan dari Alkitab.
Agustinus
menerima penafsiran metaforis atau figuratif atas kitab Kejadian, yang
menyatakan bahwa alam semesta dicipta creatio ex nihilo dalam 6 hari,
dan pada hari ketujuh Allah beristirahat, sesudah melihat semua itu baik
adanya. "Allah tidak ingin mengajarkan kepada manusia hal-hal yang tidak
relevan bagi keselamatan mereka". Penciptaan
bukanlah suatu peristiwa dalam waktu, namun waktu diciptakan bersama dengan
dunia. Penciptaan adalah tindakan tanpa-dimensi-waktu yang melaluinya waktu
menjadi ada, dan tindakan kontinu yang melaluinya Allah memelihara dunia. Istilah ex nihilo tidak berarti bahwa
tiada itu merupakan semacam materi, seperti patung dibuat dari perunggu, namun
hanya berarti "tidak terjadi dari sesuatu yang sudah ada". Hakikat alam ciptaan ialah menerima seluruh Adanya
dari yang lain, yaitu Sang Khalik. Alam ciptaan adalah ketergantungan dunia
kepada Tuhan.
Disini tidak
disinggung persoalan, apakah penciptaan itu terjadi dalam waktu, atau terjadi
pada suatu ketika atau sudah ada sejak zaman kelanggengan. Para ahli filsafat pada umumnya sependapat bahwa
a priori kita tidak dapat memastikan mana yang terjadi. -- Menciptakan, sebagai
tindakan aktif, dipandang dari sudut Tuhan, merupakan cetusan kehendakNya yang
bersifat langgeng, karena segala sesuatu dalam Tuhan adalah langgeng. Tetapi dipandang dari sudut ciptaan, secara
pasif, ketergantungan dari Tuhan, terciptanya itu dapat terjadi dalam arus
waktu, atau di luarnya, sejak zaman kelanggengan. Jadi kelirulah jika dibayangkan bahwa Tuhan
suatu ketika menciptakan alam dunia lalu mengundurkan Diri. Andaikata Tuhan seolah-olah beristirahat,
maka buah ciptaan runtuh kembali ke nihilum, ke ketiadaan. Dunia terus menerus tergantung pada Tuhan
(creatio dan sekaligus conservatio).
Ketika ditanya mengenai apa yang dilakukan
Allah sebelum menciptakan dunia, Agustinus menjawab tidak ada artinya bertanya
mengenai itu, karena tidak ada waktu sebelum penciptaan tersebut.
No comments:
Post a Comment