IKHTISAR SEJARAH PEMIKIRAN
FILSAFAT (1):
AKAL-BUDI DAN IMAN
Mider ing rat saya nglangut
Lelana njajah negari
Mubeng tepining samodra
Sumengka agraning wukir
Anelasak wana wasa
Tumurun ing jurang terbis
(Kinanti)
Yang dibahas disini terutama
filsafat Barat, karena misalnya filsafat India dan filsafat Cina lebih bersifat
mengajar bagaimana manusia mencapai "keselamatan"
("moksa"), atau bagaimana manusia harus bertindak supaya diperoleh
keseimbangan antara dunia dan akhirat.
Tak dapat diungkiri didalamnya juga ada unsur akal, tetapi bukan produk
dari refleksi yang sifatnya kritis rasional.
Ada empat periode besar dalam filsafat Barat:
(A). Zaman Yunani (600 sM - 400 M)
(B). Zaman
Patristik dan Skolastik (300 M - 1500 M)
(C). Zaman Modern
(1500 M - 1800 M)
(D). Zaman
sekarang (setelah 1800 M).
Patut dicatat bahwa tiap zaman
memiliki ciri dan nuansa refleksi yang berbeda. Dalam zaman Yunani diletakkan
sendi-sendi pertama rasionalitas Barat. Zaman Patristik dan Skolastik ditandai
oleh usaha yang gigih untuk mencari keselarasan antara iman dan akal, karena
iman di hati, dan akal ada di otak. Tidak cukuplah sikap credo quia absurdum = "aku percaya justru
karena tidak masuk akal" Tertulianus, 160-223 M. Dalam Zaman Modern direfleksikan berbagai hal tentang rasio,
manusia dan dunia. Jejak pergumulan itu
terdapat dalam aliran-aliran filsafat dewasa ini.
1 Zaman Yunani
Is not the good good because it contains the idea of the good?
Plato
1.1 Filsafat pra-sokrates ditandai oleh usaha mencari asal (asas) segala sesuatu
("arche" = ). Tidakkah di balik keanekaragaman realitas di
alam semesta itu hanya ada satu azas? Thales mengusulkan: air, Anaximandros:
yang tak terbatas, Empedokles: api-udara-tanah-air. Herakleitos mengajar bahwa segala sesuatu
mengalir ("panta rei" = selalu berubah), sedang Parmenides mengatakan
bahwa kenyataan justru sama sekali tak berubah. Namun tetap menjadi pertanyaan:
bagaimana yang satu itu muncul dalam bentuk yang banyak, dan bagaimana yang
banyak itu sebenarnya hanya satu?
Pythagoras (580-500 sM) dikenal oleh sekolah yang didirikannya untuk
merenungkan hal itu. Democritus (460-370 sM) dikenal oleh konsepnya tentang
atom sebagai basis untuk menerangkannya juga.
Zeno (lahir 490 sM) berhasil mengembangkan metode reductio ad absurdum untuk meraih
kesimpulan yang benar.
1.2 Puncak zaman Yunani dicapai pada pemikiran
filsafati Sokrates (470-399 sM), Plato (428-348 sM) dan Aristoteles (384-322
sM).
1.2.1 Sokrates menyumbangkan teknik kebidanan (maieutika
tekhne) dalam berfilsafat. Bertolak
dari pengalaman konkrit, melalui dialog seseorang diajak Sokrates (sebagai sang
bidan) untuk "melahirkan" pengetahuan akan kebenaran yang dikandung
dalam batin orang itu. Dengan demikian
Sokrates meletakkan dasar bagi pendekatan deduktif. -- Pemikiran Sokrates
dibukukan oleh Plato, muridnya.
Hidup pada
masa yang sama dengan mereka yang menamakan diri sebagai "sophis"
("yang bijaksana dan berapengetahuan"), Sokrates lebih berminat pada
masalah manusia dan tempatnya dalam masyarakat, dan bukan pada kekuatan-kekuatan
yang ada dibalik alam raya ini (para dewa-dewi mitologi Yunani). Seperti
diungkapkan oleh Cicero kemudian, Sokrates "menurunkan filsafat dari
langit, mengantarkannya ke kota-kota, memperkenalkannya ke rumah-rumah".
Karena itu dia didakwa "memperkenalkan dewa-dewi baru, dan merusak kaum
muda" dan dibawa ke pengadilan kota Athena. Dengan mayoritas tipis, juri 500 orang
menyatakan ia bersalah. Ia sesungguhnya dapat menyelamatkan nyawanya dengan
meninggalkan kota Athena, namun setia pada hati nuraninya ia memilih meminum
racun cemara di hadapan banyak orang untuk mengakhiri hidupnya.
1.2.2 Plato
menyumbangkan ajaran tentang "idea".
Menurut Plato, hanya idea-lah realitas sejati. Semua fenomena alam hanya
bayang-bayang dari bentuknya (idea) yang kekal. Dalam wawasan Plato, pada awal
mula ada idea-kuda, nun disana di dunia idea. Dunia idea mengatasi realitas
yang tampak, bersifat matematis, dan keberadaannya terlepas dari dunia
inderawi. Dari idea-kuda itu muncul semua kuda yang kasat-mata. Karena itu
keberadaan bunga, pohon, burung, ... bisa berubah dan berakhir, tetapi idea
bunga, pohon, burung, ... kekal adanya.
Itulah sebabnya yang Satu dapat menjadi yang Banyak.
Plato ada pada
pendapat, bahwa pengalaman hanya merupakan ingatan (bersifat intuitif,
bawaan, dalam diri) seseorang terhadap apa yang sebenarnya telah diketahuinya
dari dunia idea, -- konon sebelum manusia itu masuk dalam dunia inderawi
ini. Menurut Plato, tanpa melalui pengalaman (pengamatan), apabila manusia
sudah terlatih dalam hal intuisi, maka ia pasti sanggup menatap ke dunia idea
dan karenanya lalu memiliki sejumlah gagasan tentang semua hal, termasuk
tentang kebaikan, kebenaran, keadilan, dan sebagainya.
Plato
mengembangkan pendekatan yang sifatnya rasional-deduktif sebagaimana
mudah dijumpai dalam matematika. Problem filsafati yang digarap oleh Plato
adalah keterlemparan jiwa manusia kedalam penjara dunia inderawi, yaitu tubuh. Itu persoalan
ada ("being") dan mengada (menjadi,
"becoming").
1.2.3 Aristoteles menganggap Plato (gurunya) telah menjungkir-balikkan
segalanya. Dia setuju dengan gurunya
bahwa kuda tertentu "berubah" (menjadi besar dan tegap, misalnya),
dan bahwa tidak ada kuda yang hidup selamanya. Dia juga setuju bahwa bentuk
nyata dari kuda itu kekal abadi. Tetapi idea-kuda adalah konsep yang dibentuk
manusia sesudah melihat
(mengamati, mengalami) sejumlah kuda. Idea-kuda tidak memiliki eksistensinya
sendiri: idea-kuda tercipta dari ciri-ciri yang ada pada (sekurang-kurangnya)
sejumlah kuda. Bagi Aristoteles, idea ada dalam benda-benda.
Pola pemikiran
Aristoteles ini merupakan perubahan yang radikal. Menurut Plato, realitas
tertinggi adalah yang kita pikirkan dengan akal kita, sedang menurut
Aristoteles realitas tertinggi adalah yang kita lihat dengan indera-mata
kita. Aristoteles tidak menyangkal bahwa bahwa manusia memiliki akal yang
sifatnya bawaan, dan bukan sekedar akal yang masuk dalam
kesadarannya oleh pendengaran dan
penglihatannya. Namun justru akal itulah yang merupakan ciri khas yang
membedakan manusia dari makhluk-makhluk lain. Akal dan kesadaran manusia kosong
sampai ia mengalami sesuatu. Karena itu, menurut Aristoteles, pada manusia
tidak ada idea-bawaan.
Aristoteles
menegaskan bahwa ada dua cara untuk mendapatkan kesimpulan demi memperoleh
pengetahuan dan kebenaran baru, yaitu metode rasional-deduktif dan metode empiris-induktif. Dalam metode rasional-deduktif dari premis
dua pernyataan yang benar, dibuat konklusi yang berupa pernyataan
ketiga yang mengandung unsur-unsur dalam kedua premis itu. Inilah silogisme,
yang merupakan fondasi penting dalam logika, yaitu cabang filsafat yang
secara khusus menguji keabsahan cara berfikir.
Logika dibentuk dari kata logikoz, dan logoz berarti sesuatu yang diutarakan.
Daripadanya logika berarti pertimbangan pikiran atau akal yang
dinyatakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa.
Dalam metode
empiris-induktif pengamatan-pengamatan indrawi yang sifatnya partikular dipakai
sebagai basis untuk berabstraksi menyusun pernyataan yang berlaku universal.
Aristoteles
mengandalkan pengamatan inderawi sebagai basis untuk mencapai pengetahuan yang
sempurna. Itu berbeda dari Plato. Berbeda dari Plato pula, Aristoteles menolak
dualisme tentang manusia dan memilih "hylemorfisme": apa saja yang dijumpai di dunia secara
terpadu merupakan pengejawantahan material ("hyle") sana-sini dari
bentuk ("morphe") yang sama.
Bentuk memberi aktualitas atas materi (atau substansi) dalam individu
yang bersangkutan. Materi (substansi) memberi kemungkinan ("dynamis",
Latin: "potentia") untuk pengejawantahan (aktualitas) bentuk dalam
setiap individu dengan cara berbeda-beda.
Maka ada banyak individu yang berbeda-beda dalam jenis yang sama. Pertentangan Herakleitos dan Parmendides
diatasi dengan menekankan kesatuan dasar antara kedua gejala yang
"tetap" dan yang "berubah".
Dalam konteks
ini dapat dimengerti bila Aristoteles ada pada pandangan bahwa wanita adalah
"pria yang belum lengkap".
Dalam reproduksi, wanita bersifat pasif dan reseptif, sedang pria aktif
dan produktif. Semua sifat yang aktual ada pada anak potensial terkumpul
lengkap dalam sperma pria. Wanita adalah "ladang", yang menerima dan
menumbuhkan benih, sementara pria adalah "yang menanam". Dalam bahasa filsafat Aristoteles, pria
menyediakan "bentuk", sedang wanita menyumbangkan
"substansi".
Dalam makluk
hidup (tumbuhan, binatang, manusia), bentuk diberi nama "jiwa"
("psyche", Latin: anima).
Tetapi jiwa pada manusia memiliki sifat istimewa: berkat jiwanya,
manusia dapat "mengamati" dunia secara inderawi, tetapi juga sanggup
"mengerti" dunia dalam dirinya.
Jiwa manusia dilengkapi dengan "nous" (Latin:
"ratio" atau "intellectus") yang membuat manusia mampu
mengucapkan dan menerima "logoz".
Itu membuat manusia memiliki bahasa.
Pemikiran
Aristoteles merupakan hartakarun umat manusia yang berbudaya. Pengaruhnya terasa sampai kini, -- itu berkat
kekuatan sintesis dan konsistensi argumentasi filsafatinya, dan cara kerjanya
yang berpangkal pada pengamatan dan pengumpulan data. Singkatnya, ia berhasil dengan gemilang
menggabungkan (melakukan sintesis) metode empiris-induktif dan
rasional-deduktif tersebut diatas.
Aristoteles
adalah guru Iskandar Agung, raja yang berhasil membangun kekaisaran dalam
wilayah yang sangat besar dari Yunani-Mesir sampai ke India-Himalaya. Dengan itu, Helenisme (Hellas = Yunani)
menjadi salah satu faktor penting bagi perkembangan pemikiran filsafati dan
kebudayaan di wilayah Timur Tengah juga.
-- (Catatan kecil saja dari FSP: Maka jangan terkejut jika pandangan
berat-sebelah tentang pria-wanita sangat dominan sampai kini. Legitimasi
filsafati agaknya telah diberikan oleh Arsitoteles atas praktek yanh umum di
dalam masyarakat Timur Tengah, Eropa abad pertengahan dan dimana saja. Gereja
Katolik pun selama berabad-abad mengikuti pendirian yang sama, sekalipun
landasan biblisnya sama sekali tidak ada. Yesus, sebagaimana tampak dalam
Injil, memiliki pandangan yang sama sekali tidak berat-sebelah tentang gender.)
Aristoteles
menempatkan filsafat dalam suatu skema yang utuh untuk mempelajari realitas.
Studi tentang logika atau pengetahuan tentang penalaran, berperan
sebagai organon ("alat") untuk sampai kepada pengetahuan yang
lebih mendalam, untuk selanjutnya diolah dalam theoria yang membawa
kepada praxis. Aristoteles
mengawali, atau sekurang-kurangnya secara tidak langsung mendorong,
kelahiran banyak ilmu empiris seperti botani, zoologi, ilmu kedokteran, dan
tentu saja fisika. Ada benang merah yang
nyata, antara sumbangan pemikiran dalam Physica (yang ditulisnya),
dengan Almagest (oleh Ptolemeus), Principia dan Opticks (dari Newton), serta Experiments
on Electricity (oleh Franklin), Chemistry (dari Lavoisier), Geology
(ditulis oleh Lyell), dan The Origin of Species (hasil pemikiran
Darwin). Masing-masing merupakan produk refleksi para pemikir itu dalam situasi
dan tradisi yang tersedia dalam zamannya masing-masing.
1.3 Zaman Yunani pasca-aristoteles ditandai oleh tiga aliran pemikiran filsafat, yaitu Stoisisme,
Epikurisme dan Neo-platonisme. Stoisisme
(Zeno, 333-262 sM) terkenal karena etikanya: manusia berbahagia jika ia
bertindak rasional. Epikurisme (Epikuros,
341-270 sM) juga terkenal dalam etika: "kita harus memiliki kesenangan,
tetapi kesenangan tidak boleh memiliki kita".
Neo-platonisme (Plotinos, 205-270 M). Idea
kebaikan (idea tertinggi dalam Plato) disebut oleh Plotinos to en = "to hen", yang esa, "the one". Yang esa adalah awal, yang pertama, yang
paling baik, paling tinggi, dan yang kekal.
Yang esa tidak dapat dikenal oleh manusia karena tidak dapat
dibandingkan atau disamakan dengan apa pun juga. Yang esa adalah pusat daya, -- seluruh
realitas berasal dari pusat itu lewat proses pancaran (emanasi), bagai
matahari yang memancarkan sinarnya.
Kendati proses emanasi, yang esa tak berkurang atau terpengaruh sama
sekali.
Dari to en mengalir nouz = "nous",
budi, akal, bahkan roh (?).
"Nous" merupakan "bayang-bayang" dari "to
hen". Dari "nous"
mengalir ynch = "psykhe", jiwa, yang merupakan
perbatasan "nous" dengan mh ou = "me
on", materi, yang merupakan kemungkinan atau potensi bagi keberadaan suatu
bentuk, yang pada manusia adalah tubuh.
"Psykhe" merupakan penghubung antara "nous" yang
terang, yang berlawanan dengan materi yang gelap, yang rohani berlawanan dengan
yang jasmani. -- Menurut neo-platonisme,
perlawanan itu merupakan penyimpangan dari kebenaran. Untuk mencapai kebenaran, manusia harus
kembali kepada "to hen", dan itulah tujuan hidup manusia. "To hen" kiranya identik dengan
konsep "Sang Sangkan Paraning Dumadi" dalam tradisi Jawa.
Kesatuan
mistis dengan "to hen" merupakan kebenaran sejati. Manusia harus
berkontemplasi untuk mengatasi hal-hal yang inderawi, yang merupakan penghambat
besar bagi pembebasannya dari hidup dalam dimensi materi yang bersifat gelap
(dan berakhir kepada kematian) menuju kepada hidup dalam dimensi roh yang
membawa kepada terang (serta awal dari kekekalan).
Jejak
pemikiran neoplatonisme dapat diamati dalam pengalaman mistik, yaitu pengalaman
menyatu dengan Tuhan atau "jiwa kosmik". Banyak agama menekankan keterpisahan antara
Tuhan dan Ciptaan, tetapi para ahli mistik tidak menemui pemisahan seperti
itu. Mereka jutru mengalami rasa
"penyatuan dengan Tuhan". Ketika penyatuan itu terjadi, ahli mistik merasa
dia "kehilangan dirinya", dia lenyap ke dalam diri Tuhan atau hilang
dalam diri Tuhan, sebagaimana setitik atau sepercik air kehilangan dirinya
ketika telah menyatu dalam samudera raya.
Tetapi
pengalaman mistik itu tidak selalu
datang sendiri. Ahli mistik harus mencari jalan "pencucian dan pencerahan"
untuk bisa bertemu dengan Tuhan, melalui hidup sederhana dan berbagai teknik
meditasi. Kecenderungan mistik tu diketemukan dalam semua agama besar di dunia.
Dalam "agama" Jawa dikenallah konsep "manunggaling kawula lan
Gusti", yang jejaknya dalam sastra suluk Jawa digali dan diungkapkan bagi
generasi masa kini dalam konteks filsafat dan pandangan keagamaan oleh
Zoetmulder. (Zoetmulder SJ almarhum adalah Guru Besar di Fakultas Sastra UGM).
No comments:
Post a Comment