“Aku datang - entah dari mana,
aku ini - entah siapa,
aku pergi - entah kemana,
aku akan mati - entah kapan,
aku heran bahwa aku gembira”.
(Martinus dari Biberach,
tokoh abad pertengahan).
1. Manusia bertanya
Menghadapi
seluruh kenyataan dalam hidupnya, manusia kagum atas apa yang dilihatnya,
manusia ragu-ragu apakah ia tidak ditipu oleh panca-inderanya, dan mulai
menyadari keterbatasannya. Dalam situasi
itu banyak yang berpaling kepada agama:
“Manusia
mengharapkan dari berbagai agama jawaban terhadap rahasia yang tersembunyi
sekitar keadaan hidup manusia. Sama seperti dulu, sekarang pun rahasia tersebut
menggelisahkan hati manusia secara mendalam: apa makna dan tujuan hidup kita,
apa itu kebaikan apa itu dosa, apa asal mula dan apa tujuan derita, mana
kiranya jalan untuk mencapai kebahagiaan sejati, apa itu kematian, apa
pengadilan dan ganjaran sesudah maut, akhirnya apa itu misteri terakhir dan tak
terungkapkan, yang menyelimuti keberadaan kita, darinya kita berasal dan
kepadanya kita menuju?” -- Zaman Kita (no.1), Deklarasi Konsili
Vatikan II tentang Sikap Gereja Katolik terhadap Agama-agama bukan Kristen,
1965.
Salah satu hasil renungan mengenai hal itu, yang
berangkat dari sikap iman yang penuh taqwa kepada Allah, terdapat dalam Mazmur
8:
“Ya
Tuhan, Allah kami, betapa mulianya namaMu diseluruh bumi!
KeagunganMu
yang mengatasi langit dinyanyikan.
Mulut
bayi-bayi dan anak-anak yang menyusu berbicara bagiMu, membungkam musuh dan
lawanMu.
Jika
aku melihat langitMu, buatan jariMu, bulan dan bintang yang Kautempatkan;
apakah
manusia, sehingga Engkau mengingatnya?
Siapakah
dia sehingga Engkau mengindahkannya? -- Namun Engkau telah membuatnya hampir
sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat.
Engkau
membuat dia berkuasa atas buatan tanganMu; segalanya telah Kauletakkan dibawah
kakinya:
kambing
domba dan lembu sapi sekalian,
juga
binatang-binatang di padang;
burung-burung
di udara dan ikan-ikan di laut,
dan apa yang melintasi arus lautan.
Ya
Tuhan, Allah kami, betapa mulia namaMu di seluruh bumi!”
2. Manusia berfilsafat
Tetapi sudah sejak awal sejarah ternyata sikap iman
penuh taqwa itu tidak menahan manusia menggunakan akal budi dan fikirannya untuk
mencari tahu apa sebenarnya yang ada dibalik segala kenyataan (realitas)
itu. Proses itu mencari tahu itu
menghasilkan kesadaran, yang disebut pengetahuan. Jika proses itu memiliki ciri-ciri
metodis, sistematis dan koheren, dan cara mendapatkannya dapat
dipertanggung-jawabkan, maka lahirlah ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang (1)
disusun metodis, sistematis dan koheren (“bertalian”) tentang suatu bidang
tertentu dari kenyataan (realitas), dan yang (2) dapat digunakan untuk menerangkan
gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan) tersebut.
Makin ilmu pengetahuan menggali dan menekuni hal-hal
yang khusus dari kenyataan (realitas), makin nyatalah tuntutan untuk mencari
tahu tentang seluruh kenyataan (realitas).
Filsafat adalah pengetahuan metodis, sistematis
dan koheren tentang seluruh kenyataan (realitas). Filsafat merupakan
refleksi rasional (fikir) atas keseluruhan realitas untuk mencapai hakikat
(= kebenaran) dan memperoleh hikmat (= kebijaksanaan).
Al-Kindi (801 - 873 M) : "Kegiatan manusia yang
bertingkat tertinggi adalah filsafat yang merupakan pengetahuan benar mengenai
hakikat segala yang ada sejauh mungkin bagi manusia ... Bagian filsafat yang paling mulia adalah filsafat
pertama, yaitu pengetahuan kebenaran pertama yang merupakan sebab dari segala
kebenaran".
Unsur "rasional" (penggunaan akal budi)
dalam kegiatan ini merupakan syarat mutlak, dalam upaya untuk mempelajari dan
mengungkapkan "secara mendasar" pengembaraan manusia di dunianya
menuju akhirat. Disebut "secara
mendasar" karena upaya itu dimaksudkan menuju kepada rumusan dari
sebab-musabab pertama, atau sebab-musabab terakhir, atau bahkan sebab-musabab
terdalam dari obyek yang dipelajari
("obyek material"), yaitu "manusia di dunia dalam mengembara
menuju akhirat". Itulah scientia rerum per causas ultimas --
pengetahuan mengenai hal ikhwal berdasarkan sebab-musabab yang paling dalam.
Karl Popper (1902-?) menulis "semua orang adalah
filsuf, karena semua mempunyai salah satu sikap terhadap hidup dan
kematian. Ada yang berpendapat bahwa
hidup itu tanpa harga, karena hidup itu akan berakhir. Mereka tidak menyadari bahwa argumen yang
terbalik juga dapat dikemukakan, yaitu bahwa kalau hidup tidak akan berakhir,
maka hidup adalah tanpa harga; bahwa bahaya yang selalu hadir yang membuat kita dapat kehilangan
hidup sekurang-kuran gnya ikut menolong kita untuk menyadari nilai dari
hidup". Mengingat berfilsafat
adalah berfikir tentang hidup, dan "berfikir" = "to think"
(Inggeris) = "denken" (Jerman), maka - menurut Heidegger (1889-1976
), dalam "berfikir" sebenarnya kita "berterimakasih" =
"to thank" (Inggeris) = "danken" (Jerman) kepada Sang
Pemberi hidup atas segala anugerah kehidupan yang diberikan kepada kita.
Menarik juga untuk dicatat bahwa kata "hikmat"
bahasa Inggerisnya adalah "wisdom", dengan akar kata "wise"
atau "wissen" (bahasa Jerman) yang artinya mengetahui. Dalam bahasa
Norwegia itulah "viten", yang memiliki akar sama dengan kata bahasa
Sansekerta "vidya" yang diindonesiakan menjadi "widya".
Kata itu dekat dengan kata "widi" dalam "Hyang Widi" = Tuhan.
Kata "vidya" pun dekat dengan kata Yunani "idea",
yang dilontarkan pertama kali oleh Socrates/Plato dan digali terus-menerus oleh
para filsuf sepanjang segala abad.
Menurut Aristoteles (384-322 sM), pemikiran kita
melewati 3 jenis abstraksi (abstrahere = menjauhkan diri dari, mengambil dari). Tiap jenis abstraksi melahirkan satu jenis
ilmu pengetahuan dalam bangunan pengetahuan yang pada waktu itu disebut
filsafat:
Aras abstraksi pertama - fisika. Kita mulai berfikir kalau kita
mengamati. Dalam berfikir, akal dan budi
kita “melepaskan diri” dari pengamatan inderawi segi-segi tertentu, yaitu
“materi yang dapat dirasakan” (“hyle aistete”). Dari hal-hal yang partikular
dan nyata, ditarik daripadanya hal-hal yang bersifat umum: itulah proses abstraksi
dari ciri-ciri individual. Akal budi manusia, bersama materi yang “abstrak”
itu, menghasilan ilmu pengetahuan yang disebut “fisika” (“physos” = alam).
Aras abstraksi kedua - matesis. Dalam proses
abstraksi selanjutnya, kita dapat melepaskan diri dari materi yang
kelihatan. Itu terjadi kalau akal budi
melepaskan dari materi hanya segi yang dapat dimengerti (“hyle noete”). Ilmu
pengetahuan yang dihasilkan oleh jenis abstraksi dari semua ciri material
ini disebut “matesis” (“matematika” – mathesis = pengetahuan, ilmu).
Aras abstraksi ketiga - teologi atau “filsafat
pertama”. Kita dapat
meng-"abstrahere" dari semua materi dan berfikir tentang seluruh
kenyataan, tentang asal dan tujuannya, tentang asas pembentukannya, dsb. Aras fisika dan aras matematika jelas telah
kita tinggalkan. Pemikiran pada aras ini
menghasilkan ilmu pengetahuan yang oleh Aristoteles disebut teologi atau
“filsafat pertama”. Akan tetapi karena ilmu pengetahuan ini “datang sesudah”
fisika, maka dalam tradisi selanjutnya disebut metafisika.
Secara singkat, filsafat mencakup “segalanya”.
Filsafat datang sebelum dan sesudah ilmu pengetahuan; disebut “sebelum” karena
semua ilmu pengetahuan khusus mulai sebagai bagian dari filsafat dan disebut
“sesudah” karena ilmu pengetahuan khusus pasti menghadapi pertanyaan tentang
batas-batas dari kekhususannya.
No comments:
Post a Comment