About

KEBEBASAN INTERPRETASI PUISI

Interpretasi Puisi adalah merupakan sebuah tindakan memahami dan memaknai dalam puisi. untuk lebih jelasnya simak ulasannya mengenai Interpretasi Puisi.



Abstrak

Anggapan bahwa puisi adalah karya sastra eksklusif, bukan karya estetik yang mudah dipahami atau dimaknai oleh para pembacanya, kiranya hendak diluruskan. Sebab, pertama, interpretasi puisi sebenarnya  bebas. Kedua, puisi tidak hanya ditulis dengan gaya penulisan singkat, padat, dan jelas. Tetapi sekarang penulisannya seperti bercerita atau identik dengan narasi yang menggunakan bahasa mudah dipahami atau bahasa yang digunakan dalam percakapan sehari-hari. Ketiga, puisi bukan milik sebagian orang saja, tapi seluruh umat manusia yang berminat membacanya atau menikmatinya. Puisi bukan milik Sastrawan saja, tapi semua orang. Hanya saja banyak orang yang menciptakan opini bahwa puisi hanya milik Sastrawan, peminat sastra yang telah mempunyai bakat alami dan sebagian orang pandai berpuisi saja. Padahal, sebenarnya mereka malas membaca karya sastra saja, terutama puisi yang terkesan sulit dipahami. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa puisi itu bebas diinterpretasikan, puisi bukan hanya milik sebagian orang dan interpretasi adalah hak dari pembacanya bitu sendiri.
Kata kunci: eksklusif, estetik, interpretasi, gaya penulisan

PENDAHULUAN

Selama ini berkembang anggapan bahwa puisi merupakan salah satu bentuk karya sastra yang dianggap eksklusif atau terpisah dari orang kebanyakan. Wirjosoedarmo (1984:51) mengemukakan puisi itu karangan yang terikat oleh banyak baris dalam tiap tiap bait (kuplet/strofa, suku karangan), banyak kata tata baris, banyak suku kata dalam tiap baris, rima dan irama.
Namun, jangan lupa bahwa puisi tidak semuanya demikian. Pada dasarnya, puisi merupakan kata-kata terindah dalam susunan terindah (Samuel Taylor Coliredge:6). Interpretasi puisi sendiri merupakan kebebasan dari pembaca puisi tersebut, dan bukan hal yang ditentukan oleh penulis puisinya.
Sepanjang zaman puisi selalu mengalami perubahan, perkembangan. Hal ini mengingat hakikatnya sebagai karya seni yang selalu terjadi tegangan antara konvensi dan pembahasan atau inovasi (Teeuw, 1980:12). Bahkan puisi selalu berubah-ubah sesuai dengan evolusi selera dengan perubahan konsep estetiknya.
Pandangan-pandangan di muka memperlihatkan bahwa sebenarnya puisi merupakan salah satu bentuk karya sastra yang penginterpretasiannya bebas diberikan oleh siapapun peminat atau pembacanya. Aturan-aturan yang ada dalam puisi tidak diperhatikan ketika interpretasi berlangsung. Hal-hal yang mengenai struktur aturan dalam puisi merupakan kajian bagi seorang ahli sastra dalam mengevaluasi suatu puisi. Benarkah interpretasi puisi itu bebas? Berikut ini dipaparkan beberapa pandangan yang berhubungan dengan hal tersebut.



PENGERTIAN PUISI

Hingga kini pengertian atau definisi puisi sangat beragam. Hal ini dikarenakan puisi itu pada dasarnya sulit didefinisikan. Satu persatu definisi puisi muncul misalnya, puisi adalah kata-kata terbaik dalam susunan terbaik (William Worsworth: Poetry is the best words in the best order).
Definisi puisi yang lain menyebutkan bahwa puisi adalah kritik kehidupan (Mathew Arnold: Poetry is the criticsm of life). Menurut Herman J. Waluyo dalam bukunya Teori dan Apresiasi Puisi mengatakan puisi dari struktur fisik dan stuktur batin. Struktur fisik adalah pilihan kata, rima, dan ritma puisi. Struktur batin adalah perasaan, nada, tema, dan amanat. Bertolak dari kedua struktur itu Herman J. Waluyo mendefinisikan puisi sebagai bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif, yang tersusun dalam menginterpretasikan semua kekuatan bahasa, struktur fisik dan struktur batin.
Puisi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, serta penyusunan larik dan bait, gubahan di bahasa yang bentuknya dipilih dan ditata secara cermat sehingga mempertajam kesadaran orang akan pengalaman dan membangkitkan tanggapan khusus lewat penataan bunyi, irama, dan makna khusus; sajak (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2003:903).  
Meskipun banyak definisi puisi seperti yang diungkapkan seperti teori di muka, sebenarnya definisi puisi tersebut sudah tidak cocok diterapkan dalam puisi Indonesia sekarang ini. Puisi sebagai salah satu bentuk karya sastra berkembang sepanjang zaman mengikuti perubahan, perkembangan (Teeuw, 1980:12).
Karya sastra termasuk puisi, tidak lahir dalam kekosongan budaya, termasuk sastra. Sebuah sajak merupakan tanggapan terhadap sajak-sajak sebelumnya. Tanggapan ini berupa penyimpangan atau meneruskan tradisinya. Penyair meresepsi, menyerap, dan kemudian mentransformasikannya ke dalam sajak-sajaknya. Mentransformasikan adalah memindahkan sesuatu dalam bentuk dan wujud yang lain yang pada hakikatnya sama. Ada istilah khusus yang dikemukakan Riffaterre (1978:23) yaitu tentang Hypogram.
Hypogram adalah teks yang menjadi latar penciptaan sajak yang lain. Seringkali sebuah sajak yang baru mendapatkan makna hakikinya bila dikontraskan (dijajarkan) dengan sajak yang menjadi hypogramnya. Jadi, puisi itu tidak dapat dilepaskan dari hubungan kesejarahannya dengan puisi sebelumnya. Maka, puisi secara garis besar dapat didefinisikan sebagai salah satu bentuk karya sastra fiksi yang merefleksikan kehidupan nyata ke dalam satu bentuk kata-kata terindah dalam susunan terindah, dan terikat dalam unsur-unsur strukturalnya.

PENGERTIAN INTERPRETASI

Interpretasi adalah pemberian kesan, pendapat atau pandangan teoritis terhadap suatu tafsiran (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2003:903). Sedangkan menginterpretasikan berarti menafsirkan, dan penginterpretasian adalah proses, cara, perbuatan menginterpretasikan.
Interpretasi dapat juga disebut pemaknaan atau pemberian makna puisi. Pemaknaan ini istilah aslinya adalah konkretisasi. “Konkretisasi” ini istilah yang dikemukakan oleh Fellix Vedicka (1964:79). Berasal dari Roman Ingarden berarti pengkonkretasian makna karya sastra atas dasar pembacaan dengan tujuan estetik (Vadicka, 1964:78).
Puisi disusun dengan kata-kata terindah dalam susunan terindah (William Worsworth: Poetry is the best words in the best order) yang juga merupakan kata dalam gaya penulisan. Gaya penulisan berhubungan erat dengan gaya bahasa. Sedangkan gaya bahasa tidak bisa terlepas dari makna bahasa.
Gaya bahasa (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2003:340) adalah pemanfaatan atas kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur atau menulis, pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu, keseluruhan ciri-ciri bahasa sekelompok penulis sastra, cara khas dalam menyatakan pikiran dan perasaan dalam bentuk tulis atau lisan.
Makna bahasa disebut arti (meaning) yang ditentukan oleh konvensi masyarakat bahasa. Dalam karya sastra bahasa sebagai sistem tanda tingkat pertama ditingkatkan derajatnya menjadi sistem tanda tingkat kedua (second order semioties) (Preminger, dkk., 1974:980-98) maka artinya pun ditentukan oleh konvensi sastra menjadi arti sastra.
Arti sastra ini adalah arti dari arti (meaning of meaning) atau makna (significance). Oleh karena itu, untuk memberi makna puisi itu haruslah diketahui konvensi puisi tersebut. Di antara konvensi itu adalah ucapan atau ekspresi tidak langsung.
Interpretasi puisi berarti mencoba menafsirkan makna dari puisi. Sedangkan jika ingin mengetahui makna puisi harus tahu apa kata kuncinya. Kata kunci (Indra Jaya Nauman, 2001:22) adalah kata yang sering diulang penyair dan puisinya misalnya, kata yang menunjukkan waktu dan tempat, kata-kata asing, kata yang sengaja diberi perhatian khusus oleh penyair dengan memberi garis bawah, mencetak miring dan sebagainya.

PUISI DALAM KARYA SASTRA

Karya sastra adalah hasil sastra baik berupa puisi, prosa maupun lakon. Sedangkan karya sastra tidak dapat terlepas dari karya seni yang merupakan ciptaan yang dapat menimbulkan rasa indah bagi orang yang melihat, mendengar dan merasakannya (Pusat Bahasa Departemen Nasional, 2003:511).
Puisi adalah salah satu bentuk dari karya sastra. Seringkali istilah puisi disamakan dengan sajak. Akan tetapi sebenarnya tidak sama, puisi itu merupakan karya sastra yang melingkupi sajak. Sedangkan sajak adalah individu puisi. Dalam istilah bahasa Inggrisnya puisi adalah poetry dengan sajak adalah poem. Memang sebelumnya ada istilah puisi, istilah sajak untuk menyebut juga jenis sastranya (puisi) ataupun individu sastranya (sajak) (Rachmat Djoko Pradopo, 1999:278).
Dikemukakan oleh Riffaterre (1978:1) bahwa puisi itu dari waktu ke waktu selalu berubah. Karena evolusi selera dan konsep estetik yang berubah. Akan tetapi ada salah satu esensi yang tetap yaitu puisi itu menyatakan suatu hal dengan arti yang lain atau puisi itu menyatakan suatu secara tidak langsung.
Di samping itu puisi itu adalah struktur yang kompleks. Puisi itu banyak mempergunakan banyak sarana kepuitisan secara bersama-sama untuk mendapatkan jaringa efek sebanyak-banyaknya (Altenbernd, 1970:4-5). Karena puisi itu merupakan stuktur yang kompleks, maka untuk memahaminya (atau untuk memberi makna) harus dianalisis (Hill, 1966:6). Dengan analisis itu akan diketahui unsur-unsurnya yang bermakna atau yang harus diberi makna.
 Untuk “membuka” sajak atau puisi supaya dapat mudah dipahami, dalam konkretasi puisi, haruslah dicari matrix atau kata-kata kuncinya. Kata-kata kunci adalah kata yang menjadi kunci penafsiran sajak yang dikonkretasikan (Rachmat Djoko Pradopo, 1990:299).
Pemaknaan puisi aatu interpretasi memang didasarkan pada analisis struktural intrinsiknya. Akan teatpi seringkali makna strukturalnya ini belum mencakup semua maknanya yang terkandung dalam sajak yang dianalisis tersebut. Maknanya baru menjadi lebih sempurna bila dikontraskan dengan hypogramnya. Untuk pemakaian dengan hubungan intertekstualnya (Riffaterre, 1978:23). Seperti telah dikemukakan bahwa dalam prinsip intertekstualitas pembacalah yang memberi makna, menemukan dan menafsirkan responnya (Rachmat Djoko Pradopo, 1999:302).

KATA DALAM PUISI

Alat untuk menyampaikan perasaan dan pikiran adalah bahasa. Baik tidaknya tergantung pada kecakapan sastrawan dalam mempergunakan kata-kata. Dan segala kemungkinan di luar kata tidak dapat dipergunakan (Slamet Muldjana, 1956:7), misalnya mimik, gerak dan sebagainya. Kehalusan perasaan sastrawan dalam mempergunakan kata-kata sangat diperlukan. Juga perbedaan arti dan rasa sekecil-kecilnya pun harus dikuasai pemakainya. Sebab itu pengetahuan tentang Leksikografi sastrawan syarat mutlak.
Dengan demikian tak berarti bahwa bahasa serta kata-katanya berbeda dengan bahasa masyarakat. Bahkan puisi akan mempunyai nilai abadi bila dalamnya sastrawan berhasil menggunakan kata-kata sehari-hari yang umum. Sesungguhnya sesuatu anggapan salah bahwa para penyair mempunyai bahasa khusus hanya untuk sastrawan saja terlepas dari perbendaharaan bahasa umum.
Seorang penyair juga mempergunakan kata-kata kuna yang sudah mati, seperti ditunjukkan Slamet Muljana (1956:9), tetapi harus dapat menghidupkannya kembali. Seperti sajak Amir Hamzah yang menggunakan kata-kata marak dan leka yang tak pernah kedengaran lagi dalam kata-kata sehari-hari, yang artinya cahaya dan lena atau lalai.
Ada juga sastrawan yang menyisipkan kata-kata Sunda, Minangkabau, Bali dan sebagainya. Pemakaian kata daerah ini secara estetis harus juga dapat dipertanggungjawabkan, artinya penggunaannya harus menggunakan efek puitis, atau dalam bahasa Indonesia kata-kata itu tidak ada. Seringkali ada sastrawan yang menggunakan kata-kata daerah tidak tepat artinya (karena bukan kata daerahnya sendiri) atau hanya untuk “gagah-gagahan”, maka hal ini dapat mempergelap arti atau mengurangi kepuitisannya. Begitu juga halnya, penggunaan kata-kata asing harus dapat menimbulkan efek puitis. Kata-kata asing seperti itu terdapat dalam sajak-sajak Chairil Anwar, namun tidak banyak, di samping itu sajak-sajak Darmanto Jt dalam kumpulannya “Bangsat”.
Dari uraian tadi nyatalah bahwa dasar bahasa yang dipergunakan sastrawan adalah bahasa umum. Bahasa/kata-kata kuna, yang sudah mati, yang tak dimengerti oleh masyarakat bila yang dipakai sastrawan maka dapat menyebabkan sajaknya menjadi mati, tak berjiwa. Misalnya menggunakan kata-kata kawi dalam kesusastraan Jawa. Begitu juga kata-kata kuna dalam kesusastraan Melayu kuna.
Penyair sering mempergunakan istilah-istilah asing atau perbandingan-perbandingan asing atau kalimat-kalimat bahasa asing. Hal ini pun haruslah memberi efek puitis. Maksud penyair agar dapat dimengerti oleh masyarakat luas dan memberi efek universal. Sebab itu, pemakaian kata atau perbandingan itu harus sudah dikenal umum, atau sudah populer.
Penggunaan kata-kata bahasa sehari-hari dapat memberi efek daya yang realistis, sedang penggunaan bahasa atau kata-kata nan indah dapat memberi efek romantis.
Barfield mengemukakan bahwa bila kata-kata yang dipilih dan disusun dengan cara yang sedemikian rupa hingga artinya menimbulkan yang dimaksudkan untuk menimbulkan imajinasi estetik, maka hasilnya itu disebut diksi puitis (1952:41). Jadi, diksi itu untuk mendapatkan kepuitisan, untuk mendapatkan nilai estetik.
Penyair ingin mengekspresikan pengalaman jiwanya secara padat dan intens. Untuk hal itu ia memilih kata-kata yang setepat-tepatnya yang dapat menjelmakan pengalaman jiwanya. Untuk mendapatkan kepadatan dan intensitas serta upaya selaras dengan sarana komunikasi puitis yang lain maka penyair memilih kata yang secermat-cermatnya (Altenbernd, 1970:9). Penyair mempertimbangkan perbedaan arti yang sekecil-kecilnya dengan sangat cermat.
Sebuah kata itu mempunyai dua aspek arti, yaitu denotasi yang artinya menunjuk dan konotasi yaitu arti tambahannya. Denotasi sebuah kata adalah definisi kamusnya yaitu pengertian yang menunjuk benda atau hal yang diberi nama dengan kata itu. Disebutkan atau diceritakan (Altenbernd, 1970:9).
Dikemukakan oleh Renne Wellek (1962:23) bahwa bahasa sastra itu penuh arti ganda, penuh homonim, kategori-kategori arbitraire, atau irasional, menyerap peristiwa-peristiwa sejarah, ingatan-ingatan dan asosiasi-asosiasi. Pendeknya, bahasa sastra itu sangat konotatif (lebih-lebih bahasa puisi). Lagipula bahasa sastra jauh dari hanya menerangkan saja. Bahasa sastra mempunyai segi ekspresifnya, membawa nada dan sikap pembicara atau penulis.

ESTETIK PUISI

Dalam visi estetik Jan Mukarovsky nilai estetik adalah sesuatu yang lahir dari tegangan antara pembaca dan karya: tergantung pada aktifitas pembaca selaku pemberi arti. Oleh karena itu nilai estetik adalah proses yang terus menerus bukan perolehan yang tetap sekali diperoleh tetap dimiliki.
Memang benar bahwa, Poetic Funcition ala Jakobson tidak cukup untuk membatasi seni sastra terhadap bentuk pemakaian bahasa yang lain tetapi ini tidak berarti bahwa pemakaian bahasa sastra sesuai denagn konvesi yang berlaku pada konvensi masyarakat bahasa tertentu tidak menunjukkan ciri-ciri khas. Setiap sastrawan dalam masyarakat tradisional atau modern mempermainkan bahasa, memanfaaatkan kemungkinan dan potensi bahasa, sesuai dengan norma-norma dalam masyarakat itu, dan yang biasa berbeda menurut jenis sastra (puisi lirik dan puisi epik berbeda konvensi bahasanya, lain lagi konvensi prosa naratif dan seterusnya).
            Tegangan itu merupakan bagian yang hakiki dari penikmatan estetik dalam sastra. Tegangan itu dapat terjadi karena bermacam-macam keistimewaan: pemakaian kata-kata yang aneh, kolot, asing, kata majemuk yang baru, malahan paradoksal, kata turunan yang tidak biasa sehari-hari (Arkaisme) atau sama sekali baru (Neologisme), belum pernah dipakai meskipun sesuai dengan potensi sistem bahasa, uraian kata yang aneh, menyimpang dan seterusnya. Singkatnya, segala keistimewaan yang terdapat dalam sastra dalam masyarakat manapun juga.
            Hubungan intertekstual sebuah karya tidak disadari atau tidak diketahui oleh setiap pembaca dan kenikmatan membaca tidak harus berdasarkan pengetahuan atau penghayatan karya sastra yang merupakan hypogramnya (Riffaterre, 1978:23).
            Adapula karya seni yang memperoleh nilai estetiknya pertama-tama dari revolusi bahasa yang terjelma di dalamnya yang kemudian meluntur efeknya karena pembaruan yang diadakan karya itu telah menjadi biasa. Tetapi ada pula karya sastra yang pada waktu penulisannya tidak menimbulkan tegangan apa-apa karena dianggap biasa saja, kemudian baru mulai dirasakan keistimewaan yang menimbulkan tegangan tertentu dengan efek estetik yang lebih besar daripada ketika baru diciptakan, sebab baru pembaca kemudianlah yang mengenakan tegangan yang sebelumnya tidak disadari orang. Demikianlah seterusnya.

KEBEBASAN INTERPRETASI PUISI

Wawasan Mukarovsky telah diterima baru-baru ini oleh para wawasan kritikus Marxis untuk memapankan kandungan kemasyarakatan seni dan kasusastraan. Kita tidak dapat pernah bicara tentang kesusastraan jika kesusastraan itu seolah-olah sebuah kanon yang tetap bagi karya-karya sastra, sebuah perangkat sarana khusus atau satu sosok bentuk dan jenis sastra yang tidak berubah. Untuk memberkati sebuah objek atau artefak dengan martabat nilai estetik adalah sebuah laku kemasyarakatan, yang pada akhirnya tidak terpisahkan dengan ideologi-ideologi yang mendahului. Perubahan-perubahan kemasyarakatan modern telah menghasilkan artefak-artefak tertentu yang terkadang mempunyai fungsi-fungsi non-estetik, dipandang sebagai objek-objek seni yang utama. Fungsi ikon-ikon keagamaan, fungsi kerumahtanggaan vas-vas Yunani dan fungsi kemiliteran lempengan-lempengan embilin dalam zaman modern telah disubordinasikan kepada fungsi estetik yang utama. Apa yang dipilih masyarakat untuk memandangnya sebagai karya seni “bermutu” atau budaya “tinggi” juga tunduk pada nilai-nilai yang berubah.
 Jazz misalnya, pernah ada suatu masa hanya musik rumah-rumah bordil dan bar-bar, kini telah menjadi seni serius meskipun asal-usul lingkungannya “rendah”. Tetapi masih tetap memunculkan evaluasi-evaluasi yang bertentangan. Dari perspektif ini seni dan kesusastraan bukanlah kebenaran-kebenaran yang abadi tetapi selalu terbuka pada definisi-definisi baru. Kelas yang dominan dalam suatu zaman kesejarahan akan mempunyai pengaruh yang penting atas definisi-definisi puisi dan kecenderungan-kecenderungan baru timbul secara normal akan berkeinginan untuk menggabungkannnya ke dalam dunia ideologi tersebut.
Abad kedua puluh telah melihat serangn kuat terhadap kepastian objektif ilmu pengetahuan abad kesembilan belas. Teori Relativitas Einstein sendiri melemparkan keraguan terhadap kepercayaan bahwa pengetahuan objektif secara sederhana sebuah penumpukan fakta yang keras dan progresif. Ahli filsafat T.S. Kuhn telah menunjukkan bahwa apa yang muncul sebagai fakta dalam ilmu pengetahuan tergantung pada rangka referensi yang dibawa ilmu pengetahuan terhadap objek pemahaman.
 Sosiologi Gestalt menyatakan bahwa pikiran manusia tidak memahami benda-benda di dunia sebagai pecahan dan kepingan yang tidak berhubungan tetapi sebagai konfigurasi unsur tema atau keseluruhan yang terorganisasi dan berarti. Barang-barang individual tampak berlainan dalam konteks-konteks yang berbeda bahkan dalam suatu lapangan kelihatan tunggal akan ditafsirkan sesuai dengan apakah barang-barang itu tampak sebagai “figur” dan “dasar”. Pendekatan ini dan pendekatan lain menekankan bahwa pengamat aktif dan tidak pasif dalam laku pemahaman.
            Sajak itu tidak mempunyai keberadaan nyata sampai sajak itu dibaca; artinya hanya dapat dibicarakan oleh para pembacanya. Kata berbeda dalam interpreatsi adalah karena kita membaca berbeda. Pembacalah yang menerapkan kode yang ditulis penyair untuk menyampaikan pesan dan cara pengaktualan ini dengan kata lain apa yang akan tetap hanya potensi yang mempunyai makna.
            Wolfgang Iser menuntut bahwa teks sastra selalu berisi “tempat-tempat kosong” yang hanya pembaca mengisinya. “Tempat kosong” yang berada di antara sajak Wordsworth timbul karena hubungan antara bait-bait itu tidak dinyatakan. Laku penafsiran memerlukan kita untuk mengisi tempat kosong ini. Suatu masalah bagi teori berpusat pada pertanyaan apakah teks sendiri menggerakkan laku penafsiran pembaca atau tidak, atau apakah strategi penafsiran pembaca sendiri menentukan pemecahan atas masalah-masalah yang dilemparkan oleh teks itu.
            Kata-kata yang kita kira objek tidak mengggambarkan objek nyata, tetapi ucapan manusia dalam samaran rekaan. Bahasa rekaan ini menolong kita untuk menyusun objek citraan dalam pikiran kita. Sekalipun sebuah karya sastra tidak menghadirkan objek, karya itu tidak mengacu kepada dunia ekstra-sastra denagn memilih norma tertentu, sistem nilai atau “pandangan dunia”. Norma-norma ini adalah konsep tentang realitas yang menolong manusia untuk membuat arti akan kekacauan pengalaman mereka. Teks itu mengambil “repertoir” norma-norma semacam itu dan menunda validitasnya dalam dunia viksinal.
            Horison harapan yang asli hanya bercerita kepada kita bagaimana harus dinilai dan diinterpretasikan ketika karya itu muncul, tetapi tidak berakhiran dengan penetapan artinya. Dalam pandangan Jauss akan sama salahnya untuk mengatakan bahwa sebuah karya bersifat universal, maknanya tetap selamanya dan terbuka pada semua pembaca dalam periode manapun; “Karya sastra bukan sebuah objek yang berdiri sendiri dan memancarkan wajah yang sama pada tiap pembaca dalam tiap periode. Karya sastra bukanlah sebuah monumen yang mengungkapkan esensinya yang abadi dalam sebuah monolog”.
            Gardamer mengungkapkan bahwa semua tafsiran kesusastraan masa lampau timbul dari sebuah dialog antara masa lampau dan masa sekarang. Usaha kita untuk memahami sebuah karya akan tergantung pada petanyaan yang ditimbulkan oleh lingkungan kebudayaan kita sendiri. Pada waktu yang sama kita berusaha menemukan pertanyaan-pertanyaan yang sedang diusahakan untuk dijawab oleh karya itu sendiri dalam dialognya dengan sejarah.
 Perspektif kita sekarang selalu mencakup sebuah hubungan dengan masa lampau, tetapi pada saat yang sama masa lampau hanya dapat dicapai lewat perspektif sekarang yang terbatas. Dalam hubungan ini, tugas menetapkan suatu pengetahuan masa lampau tampak tak berpengharapan. Akan tetapi suatu gagasan “hermeunetik” atau “pengertian” tidak memisahkan yang mengetahui dan objek dalam situasi yang biasa bagi ilmu pengetahuan yang empiris, tetapi memandang pemahaman sebagai suatu percampuran masa lampau dan masa kini; kita tidak bisa melakukan perjalanan masa lampau tanpa membawa masa sekarang bersama kita. “Hermeneutik” adalah istilah yang mulanya diterapkan untuk penafsiran teks-teks suci; padanan modernnya memelihara sikap serius dan hormat yang sama terhadap teks-teks yang dicoba untuk dimasuki.
            Stanley Fish percaya bahwa para pembaca memberi respon pada perturutan perkataan dalam kalimat, apakah kalimat itu berupa sastra atau tidak. Jonathan Culler mencoba menetapkan penafsiran menurut teori “Strukturalis” yang berusaha menyingkap kebiasaan-kebiasaan dalam strategi pembaca dan diakui bahwa strategi yang sama dapat menghasilkan tafsiran yang berbeda-beda.
            Ahli-ahli Amerika, Holland dan Bleich, memandang pembacaan sebagai suatu proses yang memuaskan atau paling sedikit tergantung kepada keperluan psikologik pembaca. Apapun orang akan berpikir tentang teori yang berorientasi kepada pembaca ini, tidak diragukan lagi bahwa mereka secara sungguh-sungguh menentang teori Kritik Sastra Baru dan Formalisme yang berorientasi kepada teks. Kita tidak lagi berbicara tentang arti sebuah teks tanpa memandang sumbangan pembaca kepadanya.

PENUTUP

Dari uraian pendapat di muka, tampak bahwa pada dasarnya puisi tidak sulit diinterpreatsikan. Puisi adalah karya sastra yang penginterpreatsiannya tergantung pada interpretasi yang ditangkap serta diberikan oleh pembacanya. Apa yang diartikan pembaca setelah membaca puisi maka itulah arti puisi tersebut. Interpretasi sebuah puisi berbeda dari satu pembaca dengan pembaca lainnya.


DAFTAR PUSTAKA

Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka      Jaya.

Pradopo, Rachmat Djoko. 1990. Pengkajian Puisi: Analisi Strata Norma dan Analisis Struktural dan Semiotik. Yogyakarta: Gadjahmada University Press. 

Selden, Rahman. 1993. Panduan Pembaca Teori Masa Kini. Diterjemahkan oleh Rachmat Djoko Pradopo. Yogyakarta: Gadjahmada University Press.

Fokkema, D.W., Elrud Kunne Ibsch. 1998. Teori Sastra Abad Kedua Puluh. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Nauman, Indra Jaya. 2001. Penuntun, Mengenali, Memahami dan Menghargai Puisi. Yogyakarta: Adi Cita.


Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.



Untuk contoh-contohnya bisa anda lihat disini





No comments: