About

PENGERTIAN KARYA SASTRA, NOVEL, DAN NASIONALISME



A.  PENGERTIAN KARYA SASTRA, NOVEL, DAN NASIONALISME
Karya sastra adalah hasil sastra baik berupa puisi, prosa maupun lakon. Sedangkan karya sastra tidak dapat terlepas dari karya seni yang merupakan ciptaan yang dapat menimbulkan rasa indah bagi orang yang melihat, mendengar dan merasakannya (Pusat Bahasa Departemen Nasional, 2003: 511).
Novel ialah karangan prosa yang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku (Pusat Bahasa Departemen Nasional, 2003: 788).
Definisi nasionalisme yaitu paham atau ajaran untuk mencintai bangsa dan negara sendiri; kesadaran keanggotaan di suatu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabadikan identitas integritas, kemakmuran dan kekuatan bangsa itu; semangat kebangsaaan (Pusat Bahasa Departemen Nasional, 2003: 775-776).
Alat untuk menyampaikan perasaan dan pikiran adalah bahasa. Baik tidaknya tergantung pada kecakapan sastraawan dalam mempergunakan kata-kata. Dan segala kemungkinan di luar kata tidak dapat dipergunakan (Slamet Muldjana, 1956: 7), misalnya mimik, gerak dan sebagainya. Kehalusan perasaan sastrawan dalam mempergunakan kaat-kata sangat diperlukan. Juga perbedaan arti dan rasa sekecil-kecilnya pun harus dikuasai pemakainya. Dengan demikian tak berarti bahwa bahasa serta kata-kata karya sastra berbeda dengan bahasa masyarakat.
Gaya bahasa (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2003: 340) adalah pemanfaatan atas kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur atau menulis, pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu, keseluruhan ciri-ciri bahasa sekelompok penulis sastra, cara khas dalam menyatakan pikiran dan perasaan dalam bentuk tulis atau lisan.
Makna bahasa disebut arti (meaning) yang ditentukan oleh konvensi masyarakat bahasa. Dalam karya sastra bahasa sebagai sistem tanda tingkat pertama ditingkatkan derajatnya menjadi sistem tanda tingkat kedua (second order semioties) (Preminger, 1974: 980-98) maka artinya pun ditentukan oleh konvensi sastra menjadi arti sastra.
Suatu hal memang tidak mudah berubah. Apalagi yang sudah diyakini dan mendarah daging di dalam diri masyarakat. Unsur-unsur atau norma yang biasa dipertuhankan tersebut mempunyai tendensi luas jika dibuat deskripsi dengan bahasa fiksi dalam novel. Suatu karya fiksi tidak langsung merombak dan memberi efek langsung kepada pembacanya, melainkan melalui proses atau tahapan. Di Indonesia sendiri, dari masyarakat golongan dewasa, remaja maupun yang masih duduk di bawah bangku kelas enam sekolah dasar kebanyakan terdoktrin oleh suatu hukum, norma, atau sistem (Koentjaraningrat, 1974: 2) sebagai berikut:
  1. Sistem religi dan upacara keagamaan
  2. Sistem dan organisasi kemasyarakatan
  3. Sistem pengetahuan
  4. Bahasa
  5. Kesenian
  6. Sistem mata pencaharian hidup
  7. Sistem teknologi dan peralatan.
Dari ketujuh urutan unsur sistem kebudayaan tersebut menunjukkan pula tingkat kesulitannya untuk diadakan perubahan. Urutan dari bawah ke atas (dari sistem hingga ke sistem religi dan upacara keagamaan) memberi gambaran tingkat kesulitan tersebut. Sistem yang paling mudah berubah karena pengaruh mulai dari sistem teknologi dan peralatan hingga terus menanjak ke atas. Karya sastra mungkin saja mempengaruhi dengan jalan membuat terobosan, tapi hal itu tidak memakan waktu yang sebentar. Melainkan melalui suatu proses yang terus-menerus, berkesinambungan dan selaras.
B.   PENGARUH NOVEL TERHADAP JIWA NASIONALISME REMAJA
Pembaca merupakan faktor yang hakiki dan menentukan dalam sastra (Jausz, 1970). Suatu karya sastra hadir percuma bila tidak ada yang menikmatinya. Seakan-akan mubadzir. Karena penentu merah atau hitam karya sastra adalah pembaca dan penikmatnya (dalam makalah ini remaja).
Kriteria remaja pun beragam dalam menanggapi suatu karya sastra berbentuk novel. Hal ini disebabkan oleh perkembangan psikologi mereka. Perkembangan tersebut mempunyai ciri-ciri psikologi (Soeparwoto 2005: 62-63) sebagai berikut:
  1. Periode yang penting (mempengaruhi bersikap secara langsung)
  2. Periode peralihan (cenderung coba-coba)
  3. Periode perubahan (perubahan fisik, minat, emosi meninggi, bersikap ambivalen, perubahan nilai)
  4. Usia bermasalah (penuh dilematis sebagai akibat perilaku coba-coba)
  5. Mencari identitas (membentuk kelompok atau gank)
  6. Usia yang menimbulkan ketakutan (takut bila orang lain terlihat lebih darinya)
  7. Masa yang tidak realistik (imitatif)
  8. Ambang masa dewasa (sikap dan perbuatan cenderung ingin menyamai orang dewasa dalam life style maupun keminatannya terhadap hubungan seksual)
Sebenarnya pada masa-masa yang telah disebutkan tersebut di mukalah yang tepat untuk dimasuki oleh substansi-substansi karya sastra yang benar-benar diakui dan bermutu melalui berbagai seleksi yang dilakukan oleh para ahli sastra dan kejiwaan. Karena kelabilan mereka maka karya sastra dihadirkan dengan tujuan menjadi arah pengukuhan jati diri. Melalui seni dalam karya sastra mereka dapat diarahkan menjadi manusia yang “halus” dalam menjalani kehidupannya sebagai manusia individu, sosial dan warga negara yang baik.
Para pembaca pula yang akan menentukan layak-tidaknya atau baik-buruknya suatu karya sastra ‘novel’. Jika pembaca sudah menentukan, maka keberadaan atau eksistensi karya di tengah-tengah masyarakat baru diakui dan dikatakan tidak percuma lagi. Bagaimanapun juga sebenarnya karya sastra berwujud apapun sangat dibutuhkan oleh masyarakat sebagai satu cermin diri mengenai dirinya dan apa yang akan serta telah diperbuatnya.
Hal demikian disebabkan oleh tendensi di dalamnya, yaitu tentang moral. Salah satu unsur yang pokok dalam kehidupan moral itu sendiri ialah kesadaran tentang kesalahan moral (Drijarkara, 1966: 33). Biasanya pembaca tertarik baca tentang hal-hal yang berkenaan sama dengan apa yang pernah ia lakukan dan ingin ia lakukan, suatu pengalaman dalam karya sastra yang pernah atau ingin ia alami. Maka jenis novel ini sangat besar memberi sugestion agar revisi atau kehendak mengubah cepat terjadi.
Novel yang berhawa heroik nasionalisme banyak sekali terdapat pada cerita sejarah bangsa Indonesia yang dewasa ini dikemas sangat menarik melalui media televisi sebagai alat bantu deskriptifnya. Suatu karya sastra itu sendiri lahir bukan tanpa dibarengi dengan kebudayaan masyarakat pendukungnya. Sedangkan kebudayaan itu sendiri merupakan suatu pola hidup eksplisit yang merupakan suatu sistem yang berbentuk sejarah, yang cenderung diikuti oleh seluruh atau suatu bagian khusus dari suatu kelompok (Sujamto, 1992: 44).
Misalnya tentang kepahlawanan Gajah Mada, kepahlawanan korban G.30.S.PKI, dan sebagainya. Kemudian muncul cerita terbaru tentang tokoh hero yang diciptakan oleh Prie G.S. penulis muda Semarang. Melalui novelnya yang berjudul “Aku Cinta Padamu”, yaitu suatu kisah cinta yang dibumbui dengan ajaran moral cinta kasih terhadap orang-orang yang tidak punya (miskin).
Prie G.S mungkin berpandangan bahwa nasionalisme harus dimulai dari hal atau peristiwa di sekitar kita dulu. Tidak usah muluk-muluk. Cinta tanah air tidak harus maju perang di medan laga, tetapi bisa juga dengan membantu sesama yang membutuhkan. Dengan demikian tidak terjadi kecemburuan sosial yang dapat mengakibatkan ancaman stabilitas nasional.
Pada esai “Your Lebanon and Mine Gibran” (Joseph Peter Ghougassian, 2001: 121) juga dapat diambil gambaran betapa pentingnya arti suatu negeri atau tempat hidup bagi seseorang. Sebuah bangsa dan negara bagi seseorang bisa memberi arti identitas, kebanggaan, dan prestise yang mendalam. Tetapi juga dapat membuat seseorang merasa menyesal dilahirkan di negara yang bersangkutan. Semua ini dapat diwakilkan melalui substansi novel, sebab bahasanya fiktif. Kearkaisannya membuat pencipta dan penikmat merasa tidak dikekang. Mengalir begitu saja tanpa kendali maupun sanksi harus dipenjarakan. Lihatlah penggalan esainya:
“…Lebanonmu adalah dua orang, seorang yang membayar pajak dan seorang lagi mengumpulkannya.
Lebanonku adalah orang yang menyandarkan kepalanya di kakinya di bawah pohon Cedar yang Suci, lupa akan penyelamatan Tuhan dan sinar matahari.
… Lebanonmu adalah pegawai, karyawan dan direktur. Lebanonku adalah perkembangan pemuda, resolusi kedewasaan dan kebijakan umur. …”
Dari penggalan tersebut dapat ditarik tendensi bahwa sebenarnya tulisan tersebut memberikan seseorang status sosial. Pembaca yang mau berfikir, pasti akan mendapati betapa besar si Aku dalam penggalan tersebut mengenal benar bangsa, dan negara sekaligus bagaimana kehidupannya, serta kegelisahan dirinya terhadap fenomena yang ia rasakan, ia lihat dan ia ingin rombak.
Sejalan dengan penggalan tersebut, Ranggawarsita menggambarkan keadaan suatu negara dalam Serat Kalitada yang berisi: “Mangkya darajating praja. Kawuryan wus suny anyuri. Rurab pangrehing ukara. Karana tanpa palupi. Atilar silastuti. Sujana sarja kelu. Kalulum kalatida. Tidhem tandhaning dumadi. Ardayengrat dene karoban rubeda” (Keadaan negara waktu sekarang sudah makin merosot. Situasi telah rusak. Karena sudah tidak ada yang dapat diikuti lagi. Sudah banyak yang meninggalkan petuah-petuah lama. Orang cerdik cendekiawan terbawa arus zaman yang penuh dengan keragu-raguan. Suasana mencekam karena dunia penuh kerepotan).
Dari serat tersebut dapat diambil simpulan bahwa zaman telah mengalami banyak kemunduran di berbagai bidang. Sebagai pembaca remaja, tentu belum begitu bisa menelaahnya. Maka pembaca perlu berpikir dan bertanya. Pembaca yang punya nalar akan mendapatkan ide atau gagasan dari serat itu untuk mengatasi kemunduran yang ada. Beda dengan yang kosong melompong otaknya, seribu kali membaca sia-sia karena tidak cerdas menghadapi serat tersebut. Jadi, pembaca yang masih remaja harus pandai-pandai mensiasati pola penelaahan sebuah karya sastra.
Fenomena di muka sama halnya dengan substansi dan cara memahami novel “Burung-Burung Manyar” karya Y.B Mangunwijaya (Zaidan Hendy: 1989: 69). Novel tersebut membahas pejuang Teto yang gigih mempertahankan prinsip kepahlawanannya. Meskipun pada akhirnya kepahitan yang diterimanya. Hal ini dapat memberi teladan pada remaja bahwa menjadi orang sukses tidak selalu mendapatkan perlakuan seperti yang kita inginkan. Dapat dipetik pula jiwa nasionalisme Teto alias Sutadewa dalam mengambil tindakan apa untuk mempertahankan bangsa dan negaranya.
Karya sastra khususnya novel zaman orde baru banyak sekali besubstansikan nuansa sosial politik yang menjadikan karya sastra itu berbau retoris. Hal ini dapat dibuktikan dengan kajian sastra yang kebanyakan memuat Sapta M (Ismail, 1990: 156-157), yaitu: momong atau membimbing, momot atau menyerap aspirasi, momor atau adaptasi, memet atau tidak gegabah, mapan atau kuat fisik maupun mental, mituhu atau loyal, dan mitayani atau dapat diandalkan.
Jiwa nasionalisme secara tersirat diapresiasikan dalam novel “Jalan Tak Ada Ujung” karya mochtar Lubis (Zaidan Hendy, 1989: 68-69). Novel tersebut menceritakan kehidupan Guru Isa yang menjalani kehidupan rumah tangga bersama Fatimah. Keadaaan rumah tangga mereka terguncang prahara ketika diketahui Isa mandul, kemudian memutuskan untuk mengadopsi anak yaitu Salim.
Kehidupan Fatimah menjadi tersiksa akibat kebutuhan batinnya tidak dipenuhi oleh Isa. Sampai suatu hari datanglah Hazil teman seperjuangan Isa yang menyenangi musik dan biola. Fatimah tertarik karena sering bertemu dengannya. Pertemuan keduanya berbuah perselingkuhan yang akhirnya diketahui oleh Isa setelah menemukan pipa Hazil di bawah bantal kamar tidurnya.
Isa sangat marah, tapi ia tahan sebab menyadari keadaan dirinya yang tidak bisa memenuhi kebutuhan istrinya itu. Ia lebih suka mengalihkan kemarahan dengan ikut berjuang melawan penjajah. Hazil pun ikut. Hingga suatu ketika mereka tertangkap oleh pihak musuh.
Di rumah tahanan, ketakutan Isa memuncak menyaksikan para pejuang lain disiksa. Tetapi justru dengan itu semua penyakit impotennya sembuh. Isa kemudian menjadi seorang pejuang yang berani menghadapi risiko. Dalam hatinya ia sangat mengejek Hazil yang berpura-pura menjadi pejuang gagah berani, ternyata seorang pengecut yang mengakui segala-galanya tentang pejuang RI di depan musuh setelah disiksa. Sedangkan Isa teguh pendirian dan tetap bungkam mengenai perjuangan dan tentara RI. Ia bangga bahwa kini ia kuat kembali dan dialah pejuang sejati.
Dari “Jalan Tak Ada Ujung” tersebut pembaca akan bisa memetik nilai-nilai yang terkandung di dalam tubuh cerita. Nilai kepahlawanan dan jiwa nasionalisme ditonjolkan sekali dalam karya yang satu ini. Hal ini dimaksudkan bahwa novel yang demikian bisa menjadi referensi bagi si Pembaca untuk meneladaninya dalam kehidupannya menjadi makhluk individual, sosial dan warga negara yang baik.
Pengarang menulis novel tidak asal nulis saja. Melainkan disertai rujukan moral yang ingin disampaikannya. Sedangkan moral itu sendiri tidak dapat lepas dari nilai. Nilai yang dimaksud bukan semata-mata untuk memenuhi dorongan intelek dan keinginan manusia. Nilai justru berfungsi untuk membimbing dan membina manusia supaya menjadi lebih luhur, lebih matang sesuai harkat dan martabat manusia (human dignity). Human dignity inilah tujuan itu sendiri, tujuan dan cita-cita manusia (Maman Rachman, 2004: 67).
Nasionalisme memang tidak hanya ditemui dalam novel saja. Tetapi kehadiran novel dengan kearkaisan bahasa maupun bentuknya setidaknya ikut mewarnai gejolak dan perkrmbangan psikologis seorang remaja dalam mencintai tanah air dan bangsanya.

C.  UPAYA MENGENALKAN DAN MENGEMBANGKAN NOVEL
Sebenarnya berbagai upaya untuk mengenalkan maupun mengembangkan apresiatif karya sastra novel telah banyak dilakukan. Dalam rangka mengenalkan novel saja, banyak sekali perpustakaan dan toko buku yang didirikan. Seminar atau bedah buku pun demikian. Hanya saja kegiatan tersebut sedikit diminati oleh remaja dengan berbagai alasan yang unik. Salah satunya mungkin tidak tahu, tidak punya uang, malas, mengganggu jadwal belajar, capek, dan lain sebagainya.
Hal yang dilakukan untuk mengembangkan novel agar lebih varitif pun telah banyak dilakukan. Misalnya dengan menggelar sayembara penulisan novel, perekrutan jurnalistik, seminar dan lain sebagainya. Alasan terhambatnya seorang remaja mengikutinya pun sama banyak alasannya. Salah satu di antaranya adalah informasi tentang hal tersebut belum sampai pada mereka. Mungkin ada pihak-pihak tertentu yang ingin menang sendiri dengan cara menelan informasi yang telah disebarluaskan untuk kepentingan pribadinya. Sebab yang ada di hadapan kita sekarang adalah informasi tersebut memang dikuasai dan dimengerti oleh pihak minoritas yang memonopoli keadaan dunia sastra.
     Oleh karena itu tugas kita sebagai warga negara pada umumnya dan penikmat sastra pada khususnya harus berusaha sekuat tenaga mencegah hal tersebut. Tidak usah merasa takut dalam bertindak, karena Undang-Undang Dasar 1945 melindungi kegiatan kita. Kebebasan berekspresi dibuka seluas-luasnya asal tidak merugikan kepentingan umum. Undang-undang tersebuat kuat, yaitu terdapat pada pasal  28, pasal 28A, pasal 28C ayat 1, pasal 28I ayat 3, pasal 28J ayat 2, dan pasal 32 ayat 1 (Rustopo dan Soegito, 2005: 57-61), yang berbunyi:
  1. Pasal  28, berbunyi: “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.”
  2. Pasal 28A, berbunyi: “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.”
  3. Pasal 28C ayat 1, berbunyi: “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.”
  4. Pasal 28I ayat 3, berbunyi: “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.”
  5. Pasal 28J ayat 2, berbunyi: “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk  menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
  6. Pasal 32 ayat 1, berbunyi: “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.”

No comments: