BEDAH LIDAH DENGAN
STRUKTURALIS
KARYA SUGITO HADISASTRO
Cerita pendek (cerpen) merupakan salah satu karya sastra
berbentuk prosa. Secara leksikal, definisi daeri cerpen itu sendiri ialah
sebuah kisahan pendek (kurang dari 10.000 karakter) yang memberikan kesan
tunggal yang dominan dan memusatkan diri pada satu tokoh dalam satu situasi
(pada suatu ketika).
Cerita pendek tersebut terdiri dari unsur-unsur
pembangun cerita yang merupakan satu kesatuan yang dipadukan hingga
terbentuklah sebuah kisah yang saling berkait dan dapat dipahami substansi
peristiwanya. Unsur tersebut akan penulis bahas dalam uraian yang penulis beri
titel: “Bedah Struktur Cerpen ‘Kembalikan Lidahku’ Karya Sugito Hadisastro”.
Dalam membedah cerpen “Kembalikan Lidahku” ini penulis
menggunakan metode atau teori strukturalis sebagai berkut:
I. SINOPSIS
Judul : Kembalikan Lidahku
Pengarang :
Sugito Hadisastro
Penerbit :
Suara Merdeka
Edisi : Minggu, 14 Maret 2004
Halaman :
18
Pemotong kayu yang bernama Ngatimin
itu di PHK karena semua kerjaannya telah digantikan dengan tenaga mesin. Hal ini
membuat kehidupannya suram dan terus mengalami kesempitan perekonomian
keluarga. Hidupnya digantungkan pada istrinya. Sedangkan dia sendiri
menggantikan tugas istrinya untuk merawat mertuanya yang sakit parah.
Setiap hari ia sering sekali melamun.
Merenungi nasib yang menimpanya. Kalau sudah merenung, ia senang sekali
menyendiri. Menghindari keramaian pasar, hidupnya semakin tertutup. Lebih suka
duduk di bawah pohon asam tua di pinggir jalan desa ke arah makam.
Kalau sudah begitu, dia lupa akan
darat maupun laut. Baginya, di bawah pohon asam ia bisa mendapatkan suasana
nyaman yang jauh dari keadaan rumahnya yang panas oleh caci maki yang panas
dari istri dan mertuanya.
Tiba-tiba ada orang tua pemecah batu yang
menyapanya. Ngatimin malah bicara tentang keadaan yang menimpanya dan
keinginannya untuk memotong saja lidahnya karena sering berkeluh kesah.
Kemudian orang tua pemecah batu itu menyuruh Ngatimin menemui orang tua pencari
ikan. Ia diminta untuk meminjam pisau guna memotong lidahnya tersebut.
Dari orang tua pencari ikan, ia
disarankan untuk menemui seseorang yang pekerjaannya membunuh buaya. Katanya,
ia mempunyai pisau yang tajam untuk memotong tajam Ngatimin yang selalu
mengeluh. Ia pun menuruti setiap kata yang diucapkan oleh mereka yang
ditemuinya.
Bertemu pula Ngatimin dengan pembunuh
buaya yang ternyata adalah seorang perempuan tua renta. Ngatimin berpikir jika
perempuan itu pasti tidak bisa membunuh buaya. Tetapi perempuan itSu membuatnya
percaya bahwa dia memang pembunuh buaya dengan menunjukkan buruan-buruannya.
Ngatimin tidak jadi memotong lidah
hari itu, melainkan lusa nanti, hari yang telah disepakati keduanya. Ia pulang,
berniat pamitan pada mertua, istri dan anaknya, agar tidak terkejut
mendapatinya kelak pulang tak berlidah lagi.
Sepulangnya, Ngatimin tidak menemukan
siapapun di rumahnya. Hanya saja ada seorang tetangga menyapanya setengah
memaki. Ngatimin terkejut ketika tetangga tersebut memberitahukan padanya bahwa
mertuanya telah mati, anak dan istrinya mencar-cari dirinya.
Ngatimin lemas. Keadaannya
mengenaskan dengan perut lapar, haus, dan tubuhnya tak terurus. Untung saja ada
sepotong ubi rebus yang tidak diketahui pemilinya dilibas secepat kilat oleh
Ngatimin.
Kemudian ia pergi lagi menemui
pembunuh buaya itu. Tapi kali ini ia ingin membatalkan niatnya. Hal ini membuat
pembunuh buaya marah, dan segera melibas lidahnya. Sekali libas saja Ngatimin
mendapati darah dari lidahnya mengucur.
Ngatimin melarikan diri dengan
berteriak-teriak: “Jangan potong lidahku. Tolonglah aku masih ingin mempunyai
lidah!”. Perempuan tua itu mengumpat-umpat.
Entah mengapa tetangga-tetangga
Ngatimin yang menyaksikannya berteriak-teriak itu kebingungan. Mereka
melihatnya berlarian setelah bangun dari ambin tidurnya. Ngatimin berlari terus
menuju ke pohon asam tempat biasa ia merenung. Tapi kali ini bukan untuk
merenung.
II. UNSUR STRUKTURALIS
PROSA
A. Tema dan Amanat
Pengarang tampaknya ingin menyampaikan
bahwa setiap manusia hendaknya bekerja keras. Kehidupan tidak akan menjadi
lebih baik jikalau hanya merenung dan berpangku tangan serta meratapi nasib.
Kehidupan terus melaju bagai roda pedati. Melindas terus tanpa bersisa, hanya
meninggalkan jejak-jejak lindasan tersebut dalam kenangan.
Kalau kita terus meratapi nasib,
tanpa ada usaha memperbaiki dan mengusahakan nasib itu lebih baik lagi, maka
tak urung kitalah yang pertama-tama akan habis terlindas. Oleh kejamnya sisi
peradaban terutama. Kehidupan itu kejam, bagi orang-orang yang putus asa tanpa
usaha.
Hendaknya jangan menjadi orang yang
malas. Kalau ingin sukses, jadilah pekerja keras yang ulet, jujur dan bermental
baja. Segala rintangan harus dihadapi sekuat tenaga dengan segala daya upaya.
Dalam cerita pendek “Kembalikan
Lidahku” ini tampaknya pengarang ingin menyampaikan pesan moral bahwa kehidupan
ini tidak dapat ditebak. Apa yang terjadi tidak selamanya sejalan dengan apa
yang diinginkan. Hidup harus diperjuangkan sedemikian rupa agar kehidupan
menjadi lebih baik.
Pokok soal dalam cerita ini adalah
ketidaksanggupann seseorang menerima kenyataan bahwa dirinya sedang mengalami
nasib yang kurang beruntung. Karena tidak terima diperlakukan nasib demikian,
ia ‘mutung’, tidak mau mencoba berbuat apapun yang baru.
Ngatimin tidak mampu bekerja di luar
menjadi pemotong kayu selain tidak mempunyai modal, juga tidak mempunyai
keterampilan yang memadai untuk terjun ke profesi lainnya. Kehidupannya statis.
Mati. Stagnan. Hanya itu-itu saja, seputar kayu, dan urusan keluarga yang
amburadul.
Tampaknya pengarang juga ingin
menyampaikan kepada pembacanya agar tidak menjadi orang yang hidup seperti
Ngatimin yang penuh keterbatasan. Hendaklah seseorang meskipun mempunyai
pekerjaan tetap, sebaiknya mempunyai pekerjaan di luar kerja tetapnya tersebut.
Seseorang harus mempunyai lebih dari
satu skill ataupun talent. Supaya tidak merasa ‘tidak seimbang’ jika satu
diantara kemahiran yang dipunyai itu terhambat perkembangannya.
B. Tokoh-Penokohan Dipandang dari Aspek
Semiotika (Ikon, Simbol, Indeks)
Tokoh sentral :
Ngatimin
Tokoh Pendukung : Istri, anak, Pak Tua Pemecah Batu,
Pak Tua Pencari Ikan, dan Pembunuh
Buaya.
Penokohan Ngatimin. Lelaki yang
putus asa. Tanpa gairah hidup yang baik. Seorang lelaki yang kurang
bertanggungjawab atas kehidupan ekonomi anak dan istrinya.
Ngatimin kelihatan sebagai seorang
lelaki yang bodoh. Belum bisa menata perasannya. Dengan keahlian minim sekali
ia mencoba meraih kehidupan yang lebih baik. Bagaimana mau hidup layaknya orang
lain yang bisa makan cukup dan mencukupi segala kebutuhan hidup jikalau ia
hanya ‘mrenges’ tanpa bekerja. Suatu hal mustahil.
Kelakuan Ngatimin tidak lain adalah
kelakuan yang dilakukan orang yang depresi berat. Orang yang tidak ‘rileks’
menjalani hidup dan jauh dari kehidupan ketuhanan, tidak urung ia dihinggapi
oleh perasaan takut secara terus-menerus. Itulah yang diderita Ngatimin.
Lidah adalah lambang alat indera
pencecap segala rasa. Entah itu sebuah rasa yang ditimbulkan oleh enak atau
tidak enaknnya makanan, atau rasa peka terhadap kehidupan yaitu rasa syukur.
Keadaan susah atau senang seharusnya manusia, termasuk Ngatimin, harus
disyukuri.
Kalau kita mendongak ke atas terus,
sedang diri tak mampu, maka kita akan stress sendiri menghadapi keinginan yang
tak kunjung terwujud sebab keterbatasan yang dimiliki. Kiranya saat merasa
kesusahan, bisa menundukkan kepala. Melihat orang-orang yang lebih menderita
dari apa yang sekarang sedang dirasakannya.
Bersyukur tidak hanya dengan ucapan.
Karena itulah Ngatimin ingin terus mempunyai lidah. Meskipun nyata-nyata
(ternyata) darah muncrat dari sumber pencecapnya itu. Mungkin ia ingin lidahnya
yang ‘lain’ tetap ada. Untuk bersyukur dan mencecap segala manis getirnya rasa
kehidupan ini dengan optimis, ikhlas dan tawadu’ serta iman yang kuat.
Ngatimin juga terlihat begitu dungu karena mau
saja menuruti kata-kata setiap orang yang mengatakan sesuatu padanya. Padahal
apa yang dikatakan tersebut belum bisa dipastikan kebenarannya.
Sebagai manusia hendaklah selektif
dalam memilih ataupun memutuskan segala sesuatunya. Jangan asal comot, dan
tergesa-gesa mengambil tindakan. Apapun yang kelihatannya masuk akal, belum
tentu logis pula dalam aplikasinya.
Bagaikan teori, sepersekian persen
ada ketimpangannya jika diterapkan secara praktis. Sebab teori tersebut dapat
direvisi oleh teori yang lebih baru lagi seiring kebutuhan zaman atau peradaban
yang mengikutinya.
Sedangkan Ngatimin adalah orang yang
statis. Tidak bisa melebur dengan peradaban yang baru melalui mesin-mesin
pemotong yang menggantikan keahliannya itu. Seharusnya ia masih bisa berdikari
meski didatangkan mesin. Hal ini tidak dilakukan karena di samping statis dia
juga kurang inovatif.
Lidah banyak sekali kegunaannya.
Selain alat bantu menelan makanan, ia juga berfungsi sebagai alat bantu
berbicara. Kalau lidah terpotong, maka sulit atau bahkan tidak bisa berbicara.
Mungkin yang ingin disampaikan oleh
pengarang adalah jika kita tidak ‘bisu’ dan berani bertanya tentang
ketidaktahuan kita, maka kita masih bisa dianggap orang yang berpikir. Kaitan
kepala dan lidah banyak sekali.
Lidah untuk merasa, mencecap, dan
memilih mana yang baik atau buruk, dan sekaligus penyampai maksud. Sedangkan kepala adalah sumber pemikiran,
tidak akan diketahui oleh orang lain apa maksud kita bila lidah tidak berperan.
Pemikiran-pemikiran akan menjadi
‘nol’ bila tidak disampaikan secara gamblang, real atau dengan kelogisan. Lidah
bisa bicara apa saja tanpa kepala. Tapi pembicaraan yang didasari oleh
pemikiran-pemikiran akan menjadi pembicaraan yang bermutu dan berdaya guna.
Berbeda sekali dengan pembicaraan
yang didasari oleh kepala yang terisi ‘angin’.
Bukan pembicaraan yang bermutu dan bermanfaat yang didapat, justru dapat pula
mengakibatkan peperangan. Salah ucap, bisa menjadikan kiamat.
Lidah penyampai pendapat. Jika punya
pendapat, maka jangan takut-takut menyampaiakannya. Jangan seperti Ngatimin
yang menggunakan kepalanya terus untuk merenung. Sedangkan lidahnya dibiarkan
menganggur tidak digunakan sebagai mediator pengungkap renungannya.
Ngatimin berteriak-teriak menggunakan
lidahnya ketika ia sudah merasa terlambat. Hal ini dikarenakan oleh apa yang
dipikirkannya ternyata tidak sama dengan apa yang dipikirkan oleh orang lain.
Justru mungkin ia dianggap kurang waras karena sering ‘njetun’ seperti orang
linglung.
Pengarang mungkin pula ingin
menyampaikan bahwa lebih baik mengatasi masalah daripada menumpuk-numpuk
masalah dan menunda menyelesaikannya suatu hari nanti. Karena permasalahan yang
sedikit, lama-lama akan membuncah bila terus ditahan tanpa jalan pemecahan.
Penokohan istri dan anak. Hampir
tidak disinggung-singgung mengenai penokohan anak. Hanya saja dalam direct narator
(cerita langsung dari pengarang) disampaikan bahwa istrinya itu seorang
perempuan yang kurang baik. Sering memaki suaminya dengan kata-kata yang kurang
pantas dan membuat hati panas.
Penokohan Pak Tua Pemecah Batu. Ia seorang
lelaki tua yang digambarkan simpatik. Buktinya ketika ia melihat Ngatimin, ia
mengatakan ‘kasihan’ atas apa yang dideritanya. Tidak hanya itu, ia juga
seorang Pak Tua yang sebenarnya filsafatis.
Hal ini dapat diketahui ketika ia
menyuruh Ngatimin untuk memotong lidahnya sendiri. “Jika Anda berani, potonglah
lidah Anda agar tidak selalu berkeluh-kesah”. Demikian yang ia ucapkan pada
Ngatimin.
Sebuah ucapan sederhana. Terkesan
menantang sekaligus menjerumuskan. Sebab Pak Tua Pemecah Batu mengucapkan kata-kata
ini pada orang ‘selinglung’ Ngatimin yang kerjaannya hanya merenung, merenung,
dan merenung. Tetapi mungkin perkataan inilah awal untuk menyadarkan kebodohan
Ngatimin, karena kemudian ia tidak ingin memotong lidahnya tersebut.
Pak Tua Pemecah Batu mempunyai jiwa
pendidik. Hal ini ditunjukkan oleh sikap tertawaannya yang menyindir kebodohan
Ngatimin. Ia menyuruh Ngatimin memotong kepalanya karena kebodohan ternyata ada
di kepalanya.
Bukannya Ngatimin malah sadar, justru
sebaliknya. Ia meminta saran yang dipotong lidahnya dulu atau kepalanya yang
duluan dilibas. Pak Tua itu tak bisa menjawab.
Disinilah letaknya: tak bisa
menjawab. Guru yang kemampuannya terbatas, daripada menjawab pertanyaan murid
yang jawaban darinya belum tentu benar atau masih diragukan, lebih baik ia
meminta muridnya itu mencari sendiri pada sumber yang lebih ahli.
Jawaban-jawaban yang ngawur akan membuat kehidupan si Murid di masa datang akan
mengabur.
Penokohan Pak Tua Pencari Ikan. Penokohannya
dagambarkan dengan bijaksana. Ia mau memberi saran yang diminta Ngatimin
setelah ia menjelaskan duduk perkaranya. Tidak asal beri saran saja.
Orang Tua Pencari Ikan cukup
bijaksana dan objektif dalam memberikan jawaban pada orang yang meminta
pertimbangan. Hal ini dapat diketahui dari dialognya bersama Ngatimin.
Indikator sikap bijaksana: “Nanti
dulu. Saya ingin mendengar kenapa kepala Anda bodoh dan lidah Anda suka
berkeluh kesah”. Jawaban yang diberikan Ngatimin belum juga diambil keputusan
yang cepat begitu saja.
Indikator objektif: “Ternyata Anda
tidak sebodoh yang dikatakan orang Tua Pemecah Batu itu”. Kemudian ia memberi
jawaban ‘tidak’ ketika Ngatimin bertanya harus memotong kepala atau tidak.
Secara implisit, pengarang ingin
menyampaikan bahwa sebaiknya memberitahukan apa yang benar dan yang tidak.
Ngatimin masih bisa merenung, berarti ia berpikir. Memikirkan sesuatu berarti
menggunakan otaknya. Sedangkan otak itu berada di dalam tengkorak kepala
manusia.
Mungkin kalau lidah, ia tak bisa
bergerak bila otak tak menginginkannya. Pengendali adanya saraf-saraf yang ada
di kepala. Sedangkan lidah itu terserah apa kehendak kepala.
Kalau kepala dipotong, orang tidak
bisa berfikir alias mati. Sedangkan kalau lidah dipotong, masih bisa hidup.
Orang yang kepalanya dipotong (lebih baik mati) adalah orang yang tidak mau
berpikir dan tidak mempunyai keinginan akan sesuatu.
Ngatimin masih bisa berpikir melalui
perenungannya. Ia masih mempunyai keinginan untuk menjadi lebih baik. Maksudnya
ingin memotong lidah tidak lain demi ketentraman hidupnya agar tidak berkeluh
kesah dan tidak bersyukur atas segala sesuatu.
Ia masih bisa berfikir kalau keluh
kesah itu tidak baik. Bukan pekerjaan yang membanggakan. Justru banyak
merugikan. Pak Tua Pencari Ikan menunjukkan hal itu. Bahwa Ngatimin dipikirnya
masih layak hidup selama ia berpikir dan mempunyai keinginan melakukan sesuatu.
Meskipun Ngatimin tidak menyadari hal itu.
Pak Tua Pencari Ikan juga tidak mau
gegabah memberikan jawaban pada Ngatimin uuntuk memotong lidahnya atau tidak.
Karena lidah adalah urusan pribadi Ngatimin. Mau bicara atau tidak, itu adalah
keinginan Ngatimin. Makanya, ia menyarankan Ngatimin untuk mencari seseorang
yang lebih bisa memutuskan akan hal tersebut.
Penokohan Pembunuh Buaya. Ia mempunyai penokohan yang
tegas. Buktinya ialah ia melaksanakan apa yang telah ia janjikan pada Ngatimin.
Bahwa ia akan berusaha memotongkan lidah Ngatimin dengan pisau tajam yang ia
punya.
Tokoh ini bisa menjadi wakil dari
cerdik pandai yang tidak matang emosionalnya. Ia hanya menggunakan logikanya
saja tanpa dibarengi dengan kelogisan tindakan. Tidak mempertimbangkan apakah
ilmunya itu cocok untuk semua aplikasi dalam kehidupan atau tidak.
Ilmu atau apapun yang namanya
kehidupan sudah ada ‘fak’ (bagiannya sendiri-sendiri) dari Tuhan. Misal ilmu
medis, yang hanya cocok untuk bidang kedokteran menyembuhkan pasien. Bukan
untuk membunuhnya. Oleh karena itulah segala sesuatu harus dipegang ahlinya.
Seseorang yang ‘saklek’ dalam
kehidupan meskipun ia pandai sekali, dapat membuat kehidupan orang lain menjadi
tidak karuan. Profesional sih profesional, tapi harus mempertimbangkan keadaan.
Seperti halnya kedisiplinan.
Boleh memberi sanksi tegas pada
pelanggar aturan, tapi harus dengan mendengarkan apa alasan pelanggaran
tersebut bisa terjadi. Kurang lebih demikianlah penokohan si Pembunuh Buaya.
C. Setting
1.
Pedesaan. Hal ini dapat dilihat karena
kehidupan Ngatimin diliputi pepohonan banyak. Bisa jadi backgroundnya daerah pemukiman yang berdekatan dengan hutan. Apalagi
diperkuat dengan kegemarannya merenung di bawah pohon asam tua di pinggir jalan desa menuju ke arah makam. (SIMBOL)
2.
Sungai. Ditunjukkan dengan tempat pemancing ikan yang diberitahukan Pak
Tua Pemecah Batu kepada Ngatimin untuk didatangi. Juga tempat Orang Tua
Pembunuh Buaya yang Ngatimin mintai untuk memotong lidahnya. Sedangkan Pak Tua
Pemecah Batu sendiri berada di cekungan sungai kering karena terlalu lama
kemarau. (SIMBOL)
3.
Rumah. Yaitu ketika dia pulang ke rumah
dan tidak menemui siapa-siapa. Seorang tetangganya menghampiri rumah Ngatimin
tersebut dan memberitahukan padanya bahwa mertuanya sudah meninggal kemarin.
Juga saat Ngatimin bangkit dari ambin
tempatnya tidur dan berlari-larian tanpa tujuan. Sedangkan ambin untuk tidur
itu kebanyakan diletakkan di dalam sebuah rumah. (SIMBOL)
D. Alur-Pengaluran
Pengarang menggunakan alur maju. Cerita pendek
“Kembalikan Lidahku” ini diuraikan secara runtut dari awal hingga akhir.
Istilahnya dari “A-Z”.
Bagian awal. Diuraikan mengenai
nasib Ngatimin yang diberhentikan kerja karena tenaganya telah digantikan oleh
mesin-mesin pemotong kayu. Mulai saat itulah ia menjadi linglung dan gemar
merenung.
Dalam perenungannya itu ia bertemu
dengan Pak Tua Pemecah Batu yang mengatakan bahwa Ngatimin sangat mulia dengan
mau mengurusi mertuanya yang sakit-sakitan. Tetapi ia tidak mau dikatakan
demikian. Justru dengan dimuliakan seperti itu ia merasa sebenarnya orang tua
tersebut sedang menghinanya.
Bagian tengah. Keinginan Ngatimin
untuk memotong lidahnya dengan alasan lidah tersebut sering berkeluh-kesah. Demikian
pula ia ingin memotong kepalanya yang berisi kebodohan.
Ia disarankan Orang Tua pemecah Batu
untuk menemui Orang Tua Pencari Ikan. Sebab katanya, orang tua tersebut yang
mempunyai pisau tajam untuk memotong lidah ngatimin.
Perjalanan Ngatimin pun berlanjut. Dari
tempat Orang Tua Pencari Ikan yang memberi saran agar tidak usah memotong
kepalanya, tapi menyuruhnya menemui Orang tua Pembunuh Buaya untuk memutuskan
lidahnya dipotong atau tidak.
Kemudian Ngatimin bertemu dengan
Pembunuh Buaya tersebut. Mereka mengadakan perjanjian pemotongan lidah lusa
nanti. Karena Pembunuh Buaya ingin mengasah pisau terlebih dahulu, sedangkan
Ngatimin ingin memberitahukan keluarganya agar tidak usah terkejut bila ia
pulang tidak berlidah lagi kelak.
Bagian akhir. Ditutup dengan keterjagaan
Ngatimin terhadap apa yang telah terjadi melalui dialog dengan istrinya.
Ngatimin ngotot kalau Pembunuh Buaya itu telah memotong lidahnya dan ia meminta
tolong untuk mengembalikan lidahnya tersebut dengan berteriak-teriak.
Ending yang digunakan pengarang adalah pengaluran yang terbuka, yaitu: “Ngatimin terus
berlari dan berlari ke pohon asam tempat dia biasa merenung. Kali ini bukan
untuk merenung”.
Ini membuktikan bahwa cerita tersebut
memang telah ditutup, diakhiri, tamat tidak ada sambungannya lagi. Tetapi menimbulkan
‘continue story’ dalam benak pembacanya. Mungkin tentang: apa yang dilakukan
Ngatimin selanjutnya di pohon asam tua tempatnya biasa merenung kalau dia saat
itu melakukan hal-hal bukan untuk merenung.
E. Gaya Cerita
Dalam cerita pendek “Kembalikan
Lidahku” ini pengarang menggunakan bahasa yang kurang mudah dipahami. Meskipun
kata-kata yang digunakan sebenarnya umum digunakan. Tetapi pemilihan diksi yang
pengarang gunakan mengandung pemaknaan ganda.
Hanya orang-orang yang peka saja yang
biasanya dapat memahami tendensi atau pemikiran yang ingin disampaikan
pengarang. Hal inilah mungkin salah satu tujuan pengarang. Menyampaikan
gagasannya secara ‘lebih’ halus.
Pengarang memunculkan tokoh Ngatimin
itu tidak sembarang memunculkan saja. Tetapi sosok Ngatimin merupakan cermin
atau wakil (IKON) dari salah satu sifat kebanyakan orang yang ada di muka bumi
ini. Entah sikapnya, sifatnya, maupun pemikirannya.
Diambil setting pedesaan oleh
pengarang mungkin selama ini kehidupan desalah yang banyak diidentikkan (SIMBOL) dengan
keterbelakangan, ketakutan akan menyongsong kehidupan, kurang terpelajar,
berwawasan sempit, tidak adanya mediator untuk mengarah pada kemajuan, dan
kurangnya tata emosional secara seimbang.
Nama-nama tokoh yang diambil penulis sebagai
wakil berbagai sikap seseorang dalam menyikapi lingkungannya pun cenderung
sebuah simbol-simbol. Ngatimin juga nama
simbolis, yang umum dipakai oleh mereka yang identik dengan ‘ndeso’ atau
‘udik’.
Batu, ikan, dan buaya. Meskipun hal tersebut dipakai oleh nama-nama
orang, ketiga nomina tersebut merupakan lambang dari habitat atau tempat hidup
beserta ciri khas kehidupannya.
Misal batu, diidentikkan dengan kekerasan hati, keobjektifan,
kokoh, dan perkasa. Di samping itu, batu yang telah diolah banyak sekali
manfaatnya, antara lain sebagai bahan bangunan. Bahan-bahan bangunan tersebut
bisa menghasilkan uang untuk mencukupi kebutuhan hidup akan membeli makan,
pangan dan papan.
Sedangkan ikan, hidupnya di air. Menandakan kehidupan yang terus-menerus
kedinamisannya. Ikan simbol dari kehidupan air yang harus bisa beradaptasi di
segala situasi dan kondisi air yang mengalami pasang ataupun surut.
Buaya adalah hewan buas yang bisa
hidup di darat maupun air. Diharapkan manusia bisa hidup di segala situasi,
susah maupun senang harus mempertahankan kehidupannya. Meskipun berat.
Lidah yang menjadi pokok soal dalam
pembuatan cerita ini juga merupakan suatu lambang dari pengungkapan pendapat
dan kemasakan fikir. Tuturan seseorang itu bisa menjadi cermin bagaimana
kepribadian orang yang menuturkannya. Apakah dia merupakan seseorang yang
pekerjaannya hanya menjilat, jujur, ataukah seorang pengadu domba.
F. Sudut Pandang
Pengarang dalam cerita pendek
“Kembalikan Lidahku” ini menggunakan sudut pandang orang ketiga yang mempunyai
ciri adanya tokoh “dia” sebagai pemeran sentral yang mendominasi cerita.
Pengarang adalah pihak narator yang serba hadir dan serba tahu semua hal tetapi
tidak ikut main atau tanpa peran dalam suatu kisahan.
Dalam cerita, peran Ngatimin adalah
‘dia’, yang diceritakan pengarang secara mendetail menurut pandangannya.
Seolah-olah ia tahu apa yang belum, sedang, dan akan terjadi pada
tokoh-tokohnya (salah satunya adalah Ngatimin sebagai central actor).
Kehidupan dalam kisahan yang diungkapkan
pengarang seperti melekat benar pada tokoh-tokohnya dan juga dirinya sendiri.
Jika menggunakan pendekatan ekspresif, maka dapat dilihat bahwa setting dan
tokoh-tokoh yang dimunculkan pengarang adalah orang-orang ‘terdekat’ pengarang
sendiri.
Sedangkan pengarang seperti bercerita,
berdongeng pada pembacanya. Tanpa memiliki peran apapun di dalam cerita
tersebut. Seolah-olah sebagai orang yang menyaksikan langsung apa yang telah,
sedang, dan akan terjadi pada tokoh-tokohnya
No comments:
Post a Comment